NovelToon NovelToon

PERACIK HANDAL

01. Keinginan Anzel

Anzel memasuki kamarnya setelah makan malam itu, seperti biasa dia selalu masuk kamar setelah makan malam dengan keluarganya. Jika dia ikut berkumpul dengan keluarganya, maka akan selalu diam dan tidak bisa bicara karena setiap kali bicara selalu saja ucapannya di sanggah oleh mamanya, papanya dan juga kakaknya. Kakaknya Marvin sang juara dalam setiap kegiatan yang dia ikuti. Jadi kebanggaan mama dan papanya, menuruti apa yang di mau kakaknya.

Berbeda dengan Anzel, laki-laki itu tidak pernah di turuti kemauannya. Ketika lulus sekolah menengah, Anzel di haruskan diam di rumah. Padahal keinginannya juga sama dengan Marvin, mendaftar kuliah di kedokteran. Dia ingin menjadi dokter dan bekerja di rumah sakit ternama di kota itu.

"Apakah papa mau mengabulkan keinginanku kuliah di kedokteran?" gumam Anzel di sela lamunannya.

Anzel membaca buku-buku koleksinya, banyak juga buku tengang kedokteran. Sengaja dia membelinya untuk persiapan mendaftar ke fakultas kedokteran yang berada dekat dengan rumahnya. Rumah keluarga Barraq Chalid, ayah Anzel berada di tengah kota. Di mana pusat pemerintahan ada di sana, dan tuan Barraq itu bekerja di salah satu instansi pemerintahan dan memiliki kedudukan tinggi di sana, maka dari itu tuan Barraq serta istrinya hidup berkecukupan.

Tuan Barraq memiliki tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dari ketiga anaknya itu, hanya Anzel yang tidak pernah mendapatkan juara di kelasnya.

Marvin Ananta selalu mendapatkan juara karena kecerdasannya. Sekarang kakaknya itu kuliah di fakultas kedokteran dan mengambil spesialis bedah. Sedangkan adiknya yang perempuan juga tak kalah cerdasnya. Natasya Arleta, gadis berusia enam belas tahun dari sejak SD juga sering mendapatkan juara hingga saat ini duduk di sekolah menengah atas.

Anzel merenungi nasibnya yang berbeda dari kedua saudaranya. Dia seperti menyesali kenapa dirinya berbeda dengan kakak dan adiknya.

"Apa benar aku ini anak papa dan mama? Bukankah aku berbeda dengan Marvin dan juga Natasya. Mereka pintar dan selalu mendapatkan juara, tapi aku? Hanya mendapatkan peringkat ke dua puluh dari semua temanku." ucap Anzel.

Setiap kali dia duduk di meja makan, melihat adiknya yang selalu menceritakan kegiatan dan juga prestasinya di sekolah. Serta kakaknya yang juga bercerita tentang praktek-prakteknya dengan dokter ahli bedah lainnya, itu membuat Anzel hanya diam saja. Padahal dia juga ingin bercerita pada kedua papa dan mamanya, tapi mereka tidak menanggapinya.

"Mungkin aku hanya jadi orang yang tidak bisa membanggakan pada papa dan mamaku," ucap Anzel lagi.

Renungannya malam ini, keinginannya akan kuliah di fakultas kedokteran seperti kakaknya membuatnya kini bertekad akan menyampaikannya pada papanya. Ya, Anzel punya cita-cita menjadi dokter. Maka dari itu, dia ingin mendaftarkan ke fakultas kedokteran. Dia yakin dengan kemampuannya bisa masuk ke fakultas bergengsi tersebut, karena nilainya kali ini sungguh di luar prediksinya. Itu karena dia termotivasi ingin masuk ke fakultas kedokteran.

_

Malam berikutnya, seperti biasa. Anzel dan kedua saudaranya berkumpul di meja makan seperti biasa. Makan malam yang tidak boleh di lewati oleh siapa pun, kecuali ada satu anggota keluarga yang sedang sibuk di luar rumah.

Anzel duduk, dia menatap adiknya yang sedang memegangi ponselnya. Tertawa kecil tanpa suara karena membaca hal lucu di ponselnya, kini mata Anzel beralih ke arah kakaknya. Sama halnya dengan Natasya, Marvin juga sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang mereka lihat yang lebih menarik dari pada mengobrol dengan dirinya.

"Kak Marvin, bagaimana dengan kuliahmu di kedokteran? Apa sangat menyenangkan?" tanya Anzel.

Marvin tidak menoleh maupun menjawab pertanyaan adiknya, dia masih saja sibuk mengetik di ponselnya. Anzel menarik napas panjang, kini beralih pada adiknya Natasya.

"Tasya, apa kamu sangat senang hari ini di sekolah?" tanya Anzel.

Lagi-lagi Natasya tidak menggubris pertanyaan Anzel, dia sibuk juga dengan ponselnya.

"Kalian sangat sibuk, sehingga apa yang aku tanyakan tanpa di pedulikan," kata Anzel.

Natasya menatap kakaknya, sinis. Begitu juga dengan Marvin, dia hanya melirik sekilas dan melanjutkan lagi kegiatannya sibuk dengan ponselnya. Tak lama kedua orang tua mereka pun datang, Marvin dan Natasya meletakkan ponselnya di meja. Menyapa kedua orang tuanya dengan ramah dan bersemangat.

"Halo sayang, bagaimana dengan kompetisi fisikanya di sekolah? Apa kamu terpilih jadi perwakilan sekolah untuk kompetisi setingkat kota?" tanya Maria, sang mama.

"Tentu dong ma, aku yang di kirim oleh sekolah untuk perwakilan. Minggu depan acara kompetisi fisika itu, aku sangat senang sekali," jawab Natasya.

"Baguslah, kamu selalu membanggakan mama dan papamu, sayang," kata Maria memuji Natasya, anak bungsunya.

"Sepertinya Natasya akan mengikutimu, Marvin. Dia sangat cerdas sekali, apa kamu mau masuk ke fakultas kedokteran sayang?" tanya tuan Barraq pada anak bungsunya.

"Tidak papa, aku ingin masuk ke teknik saja. Aku ingin jadi ilmuwan fisika, dan akan menjadi ilmuwan terkenal di kota ini," kata Natasya dengan bangganya.

"Itu bagus sayang, mama dan papa mendukungmu," jawab Maria.

Natasya tersenyum, berbeda dengan Anzel. Dia ingin bicara pada papanya, ragu karena takut akan keinginannya tidak di kabulkan oleh papanya. Tapi kemudian dia pun bicara juga, berharap apa yang dia inginkan di kabulkan oleh papanya.

"Papa, aku sudah selesai sekolah terakhirku. Apa aku boleh mendaftar kuliah di fakultas kedokteran?" tanya Anzel akhirnya memberanikan diri.

Semua menatap laki-laki yang sedang menunggu jawaban papanya. Alis Marvin terangkat satu dengan di tarik ke samping, begitu juga dengan Natasya. Gadis itu hanya melebarkan matanya, dengan senyuman mengejek. Apa lagi Maria, dia menggeleng tidak suka akan keinginan Anzel itu.

"Bolehkan pa aku mendaftar ke fakultas kedokteran?" tanya Anzel lagi.

"Apa papa peduli dengan ucapan Anzel?" Marvin bertanya menatap papanya.

"Tidak. Mana ada kemampuan kamu masuk ke fakultas kedokteran." kata tuan Barraq akhirnya bersuara.

"Tapi pa, nilai akhirku bagus. Aku bisa masuk ke fakultas kedokteran, aku juga ingin jadi dokter. Mengenal apa itu peralatan dokter, operasi bedah, berbagai macam obat-obatan. Bahkan aku juga bisa meracik obat sendiri," kata Anzel membela diri agar papanya mengabulkan keinginannya.

"Apa? Membuat obat sendiri? Jangan ngarang, kamu! Hahah!" ucap Marvin tertawa keras mengejek adiknya.

Anzel menatap tajam pada kakaknya yang meremehkan kemampuannya, meski ucapannya itu memang belum terbukti dia bisa meracik obat. Tapi dia tahu komposisi bahan untuk pembuatan obat dan kegunaannya.

"Sudahlah Anzel, nilai akhirmu itu tidak ada gunanya. Buat apa kamu mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran. Bukankah lebih baik kamu diam saja di kamarmu, tidak usah lagi memiliki keinginan apa pun dalam hatimu. Tunggu waktu kamu akan menikah nanti dan pergi dari sini dengan istrimu nanti," kata Maria, mamanya.

Kata-kata Maria lebih pedas dari ucapan papanya, Anzel menarik napas panjang. Setiap kali berdebat masalah keinginannya, setiap kali itu juga tidak ada yang mendukungnya. Bahkan setiap usahanya itu tidak pernah mendapat apresiasi dari keluarganya.

"Pa, kumohon kabulkan keinginanku ini," kata Anzel mencoba merayu papanya.

"Diamlah Anzel! Apa kamu masih berpikir papamu akan mengabulkan keinginanmu?!" teriak Maria yang sudak kesal sekali pada anak kedua yang dia anggap sebagai anak sial.

"Ma, kalian pilih kasih. Natasya di suruh masuk kedokteran, kak Marvin juga begitu. Kenapa aku tidak boleh?" tanya Anzel.

"Anzel! Masuklah dalam kamarmu!" teriak tuan Barraq.

"Pa, aku hanya ingin papa mendukungku."

"Cepat pergi Anzel!"

"Pa?!"

Plak!

Pipi Anzel di tampar oleh papanya, laki-laki tegas berkumis tipis itu menatap anak keduanya dengan tajam. Dia tidak suka di bantah oleh anaknya itu, sedangkan Anzel. Tangannya mengelus pipinya yang terasa perih, menunduk dalam. Tapi kemudian dia bangkit dan segera pergi dari ruang makan itu. Hatinya bergemuruh, marah dan juga sakit hati. Kenapa setiap kali dia menginginkan sesuatu, selalu saja di tolaknya oleh papanya dan juga mamanya.

"Apa aku bukan anak kalian? Selalu saja di bedakan."

_

_

*******

02. Tertabrak

Kamar yang berukurkan empat kali lima, berjendelakan dua kusen bentuk kupu-kupu. Bentuk jendela seperti jaman dulu, kamar bercat putih itu hanya ada perabot lemari, ranjang, meja belajar dan rak buku saja. Di pojok memang ada kamar mandi dalam, ranjang yang hanya seukuran satu setengah kali dua meter.

Kamar yang selalu di tempati Anzel dari kecil hingga besar, kamar itu tidak pernah berubah. Bahkan kedua kamar adik serta kakaknya sering berubah sesuai dengan keinginan mereka. Entahlah, Anzel selalu berbeda dari kedua saudaranya. Perlakuan yang berbeda, pemberian barang juga berbeda bahkan memberi uang pun berbeda.

Anzel selalu berpikir, apakah benar dia anak dari kedua orang tuanya? Kenapa dia selalu berbeda di banding kakak dan adiknya, dari nilai pendidikan yang awal sekolah dasar dia tidak mendapatkan rangking. Dari sana dia di bedakan antara kedua saudaranya.

Malam ini, setelah makan malam yang membuat moodnya rusak. Ketika perdebatan atas keinginannya yang tidak di kabulkan oleh papanya, bahkan papanya itu justru menamparnya ketika dia ngotot ingin masuk ke fakultas kedokteran.

Anzel mengambil buku-buku tentang kedokteran, berbagai macam buku kimia dan juga cara-cara melakukan pembedahan pada kulit serta organ vital manusia dia tahu teorinya. Maka dari itu, dia ingin masuk ke fakultas kedokteran ingin praktek dan juga ingin memperluas wawasannya selain menjadi dokter.

"Papa selalu meragukan kemampuanku, aku juga anak pintar. Anak yang bisa di banggakan, tapi aku terlalu pengecut untuk meyakinkan diriku ini sebenarnya pintar dan jenius," ucap Anzel.

Di bukanya buku, di bolak balik tanpa membacanya. Dia sudah hafal betul setiap halaman buku membahas apa. Akhirnya dia membanting buku tebal tersebut di atas kasurnya.

Di raupnya wajahnya kasar, matanya mengarah pada jendela kupu-kupu. Langkahnya mendekat, membuka selopnya dan mendorong daun jendela lebar-lebar. Tatapannya mengarah pada gelapnya malam, mendongak ke atas langit gelap yang di terangi hanya dengan taburan bintang.

"Ini tidak adil! Aku akan mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran meski tanpa persetujuan papa!" teriak Anzel di depan jendela kamarnya.

Hanya di dengar oleh suara kecil binatang malam, meski baru pukul delapan malam. Tapi suasana di luar sangat sepi, Anzel menutup kembali jendela kamarnya. Dia bergegas mengambil tas ranselnya, beberapa buku dan juga map berisi formulir, serta ijasah terakhirnya untuk mendaftarkan diri ke fakultas ke dokteran.

Ya, Anzel berniat mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran besok. Dia memalsukan tanda tangan papanya, karena dia hafal betul bagaimana tanda tangan papanya itu.

"Aku akan menunggu di depan kampus, besok pagi aku akan langsung mendaftar sendiri," ucap Anzel.

Kini keperluan sudah dia masukkan ke dalam tas ranselnya. Melangkah keluar setelah semuanya beres, tidak butuh kendaraan. Anzel pergi ke kampus yang hanya berjarak satu kilo setengah meter dari rumahnya. Dia tidak mengendarai motor kesayangannya, hanya berjalan kaki. Sengaja dia berjalan kali karena ingin menikmati gelapnya malam dan akan menunggu hingga pagi hari tiba.

Dia berpikir, kedua orang tuanya tidak akan mencarinya jika pergi dari rumah malam-malam. Setelah menutup pintu dengan pelan, Anzel berjalan cepat keluar dari gerbang. Menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap satpam di depan rumahnya itu tidak melihatnya keluar malam-malam. Tapi sialnya, ketika sedang membuka pintu gerbang satpam itu tiba-tiba muncul dan bertanya pada Anzel.

"Tuan Anzel, anda mau kemana malam-malam?" tanya satpam penuh selidik pada anak majikannya itu.

Melihat tas ransel menempel di punggungnya, alisnya terangkat satu. Menatap curiga pada anak kedua dari majikannya.

"Aku ada perlu pak satpam, ingin jalan-jalan keluar. Udara malam ini sangat sejuk," jawab Anzel.

"Tapi, sepertinya anda mau pergi jauh. Itu tas di gendongan anda, itu berisi apa?" tanya satpam.

"Ini buku-buku, apa kamu mau lihat? Aku berniat membaca buku di halte bis di depan kampus itu, suasananya sepi. Sangat nyaman untuk membaca buku di sana," kata Anzel beralasan.

"Tapi aneh membaca buku di halte bis, tempat itu ramai. Bukankah lebih nyaman baca buku di kamar?"

"Kalau malam hari, halte bis di sana sepi. Apa lagi malam begini, mendekati tengah malam. Sudahlah pak satpam, jangan urusi urusanku. Sebaiknya jaga gerbang saja," kata Anzel membuka gerbangnya.

"Tuan Anzel, kalau tuan Barraq menanyakan anda bagaimana?" tanya satpam.

"Papa tidak akan menanyakan anaknya yang selalu di abaikan ini," ucap Anzel lagi.

Dia berjalan cepat meninggalkan satpam yang masih menatap kepergiannya. Senyum Anzel mengembang, dia berhasil keluar dari rumahnya. Meski satpam tadi curiga padanya, tapi dia tidak peduli. Besok pagi harus segera ke kampus untuk mendaftarkan diri di fakultas kedokteran impiannya, dia juga punya tabungan karena setiap bulan meski papanya tidak peduli apa keinginannya. Tapi selalu memberikan uang bulanan pada Anzel.

_

Pagi sekali Anzel sudah berada di kampus, tepat kampus itu membuka pendaftaran mahasiswa baru fakultas kedokteran. Anzel langsung mendaftar, mengisi formulir dan juga persyaratan lainnya. Dia sangat senang bisa mendaftar secara langsung dan diam-diam tanpa sepengetahuan keluarganya. Biar nanti jika di terima akan masuk kuliah secara diam-diam juga, jika pun papanya tahu dia pasti di marahi.

"Biarlah, aku di marahi. Yang penting sudah mendaftar ke kampus impianku," ucap Anzel setelah selesai melakukan registrasi.

Dia melangkah pergi dari ruang sekretariat pendaftaran, hatinya sangat bahagia. Langkahnya kini menyusuri gedung megah di mana kampus tersebut adalah kampus favorit, Anzel bangga bisa mendaftar di kampus tersebut.

Setiap gedung dan ruangan kelas Anzel jelajahi untuk mengetahui sebagus apa kampus itu. Dua jam dia berkeliling kampus, hatinya benar-benar lapang.

"Aah, minggu depan pengumuman penerimaan masuk kedokteran. Aku tidak sabar ingin mengetahui apakah masuk atau tidak," gumam Anzel.

Dia berjalan keluar kampus, kembali berjalan kaki di trotoar jalan khusus pejalan kaki. Tas ransel di punggungnya di goyang-goyangkan, persis seperti anak kecil yang senang akan di kasih es krim. Seorang laki-laki berhenti menatap Anzel keluar dari gedung kampus kedokteran, mendekat pada Anzel.

"Apa kamu mendaftar ke fakultas kedokteran?"

"Kenapa? Tidak boleh?"

"Heh, tentu saja boleh. Tapi apa kamu akan di terima? Meskipun nilai akhirmu bagus, tapi tidak mungkin kampus akan menerima mahasiswa sepertimu yang bodoh sepertimu," kata laki-laki itu mencibir Anzel.

"Apa kamu takut jika aku masuk fakultas kedokteran dan kamu akan bersaing denganku, Roger?" tanya Anzel.

"Apa? Bersaing denganmu? Hahah! Jangan mimpi! Aku lebih suka bersaing dengan kakakmu di banding denganmu seorang pecundang," ucap Roger.

"Kita lihat saja nanti, aku juga pintar dan jenius dan aku juga akan mengalahkan semua orang yang meremehkanku," ucap Anzel lagi dengan tekad kuat.

"Oh ya? Berusahalah dengan semangat Anzel, agar tidak lagi jadi seorang pecundang seperti di sekolah dulu. Hahah!"

Anzel tidak peduli, dia terus melangkah meninggalkan gedung megah itu. Meski dia kesal selalu saja Roger meremehkannya setiap kali di sekolah, tapi kali ini dia akan membuktikannya kalau dia mampu bersaing dengan seorang jenius kelas dunia sekali pun.

Anzel berjalan di sepanjang trotoar, sisi jalanan itu sepi. Hanya beberapa kendaraan lalu lalang di jalanan itu, Anzel berjalan menuju pulang. Dia hendak menyeberang jembatan kecil, tapi tiba-tiba sebuah mobil hitam melaju kencang mengarah padanya. Tak dapat menghindar, meski Anzel tahu arah mobil itu kemana. Dia hanya bergeser sedikit, tetapi rupanya laju mobil tersebut sengaja mengarah padanya dan lajunya sangat kencang sehingga Anzel pun keserempet hingga hampir terpelanting.

Keseimbangan tubuhnya tidak kuat hingga dia menjatuhkan tubuhnya ke samping, di mana selokan air yang cukup dalam sekitar satu meter setengah tingginya. Anzel jatuh ke dalam selokan, kepalanya membentur pinggiran selokan. Hingga kesadarannya itu hilang, sebelum sempat menutup mata. Ada sebuah bayangan putih seperti menarik tangannya, baru laki-laki itu menutup matanya.

"Toloong ..."

_

_

*****

03. Profesor Ghaaziy Horace

Sebuah bayangan putih dalam otak Anzel, laki-laki berambut panjang lurus, berjenggot serta mata sipit yang tertutup kacamata bundar sedikit tebal itu menampilkan senyuman ramah pada Anzel. Bajunya juga putih, tapi bukan jubah. Baju seperti seorang dokter.

Tatapan Anzel tidak percaya dengan orang yang menurutnya aneh. Siapa dia? Siapa laki-laki yang samar wajahnya ada di depannya. Laki-laki itu hanya mengulas senyum bahkan senyumnya tak terlihat, Anzel juga tidak bisa berucap sepatah kata pun. Suaranya juga seperti mengambang dan tidak bisa di dengar ketika dia bertanya pada kakek itu.

"Bangunlah anak muda."

"Siapa kamu?"

"Saya seorang profesor, kamu akan jadi seorang profesor yang sangat terkenal dan hebat dengan segala kemampuanmu dalam meracik apa pun, termasuk meracik bom."

"Apa?!"

Kata-kata itu mengiang di telinganya beberapa kali, hingga tiba-tiba Anzel terperanjat dan berteriak, dia duduk dengan keringat bercucuran. Matanya masih terpejam belum sadar di mana dia berada, napasnya juga sedikit memburu karena mimpinya tentang kakek tua berbaju dokter menyuruhnya bangun. Di raupnya wajahnya kasar, dia ingat akan pagi itu pergi ke kampus untuk mendaftarkan diri di kampus. Setelah pendaftaran itu, Anzel bertemu Roger di depan kampus lalu pulang dengan berjalan kaki.

Dia ingat juga ketika sampai di jembatan kecil, ada sebuah mobil melewati dan menyerempetnya hingga dia terjatuh ke dalam selokan. Tangan Anzel meraba seluruh tubuhnya, dia takut ada yang terluka. Tapi nyatanya tidak ada lecet sedikit pun pada tubuhnya, baru setelah itu kepalanya mendongak. Matanya memindai sekeliling di mana dia berada.

Rasa terkejutnya semakin besar ketika sekelilingnya itu sebuah bangunan besar dan ornamen kuno dengan berbagai perabot. Tepatnya alat-alat laboratorium, matanya memicing. Di mana dia berada?

"Kamu sudah bangun, anak muda?" tanya seorang laki-laki berjalan melewatinya dengan membawa sebuah gelas berisi cairan merah dan di goyang-goyangkan.

"Anda siapa?" tanya Anzel terkejut dengan laki-laki tua dengan gelungan rambutnya.

Dia tidak sempat melihat wajah laki-laki tua itu karena langkahnya cepat menuju sebuah kitchen set, tepatnya sebuah meja panjang berisi peralatan persis sama seperti laboratorium. Anzel bangkit dari duduknya, berjalan mengikuti langkah kaki laki-laki berambut di gelung dengan pengait pensil.

"Tuan, anda siapa?" tanya Anzel lagi di belakang laki-laki yang kini sedang menuangkan cairan dalam gelas yang tadi dia bawa.

"Saya? Saya seorang profesor," jawab laki-laki tua masih belum menoleh pada Anzel.

"Profesor? Apa anda seorang ilmuwan?" tanya Anzel lagi.

"Bisa di katakan begitu," jawabnya.

Tubuh laki-laki tua itu beralih ke tempat lain, di mana banyak sekali peralatan laboratorium. Berbagai alat semuanya ada di sana, Anzel memperhatikan ruangan luas itu. Dia terus memperhatikan seluruh ruangan, hingga sadar kalau dirinya berada di sebuah laboratorium besar dan terlihat kuno. Tapi perakatan canggih semuanya ada di sana.

Matanya beralih ke sebuah dinding, tampak ada pigura berukuran delapan puluh kali lima puluh senti. Pigura itu menampilkan wajah seorang laki-laki dengan pose bersedekap kedua tangannya, menatap ke depan dengan senyuman segaris. Tampak berkarisma wajah itu, dengan baju yang melekat di badannya. Menandakan foto dalam pigura itu adalah seorang dokter.

Anzel memperhatikan wajah foto tersebut, semakin dia menatap foto tersebut. Matanya semakin melebar, tidak percaya apa yang dia lihat.

"Itu kan foto profesor Ghaaziy Horace? Ilmuwan terkenal dan profesor segala ilmuwan?" ucap Anzel tidak percaya, suaranya itu membuat laki-laki yang sedang meneropong sesuatu di alat mikroskopnya menoleh ke arah Anzel.

"Ya, itu fotoku," ucap laki-laki berpakaian jubah dokter itu.

"Apa? Foto anda?!" tanya Anzel tidak percaya.

Laki-laki itu diam saja, kini Anzel beranjak dari tempatnya. Mendekat padanya dan melihat dari samping, memperhatikan wajah laki-laki yang masih sibuk dengan pengamatannya pada mikroskop.

"Profesor Ghaaziy?"

"Hemm, kenapa?"

"Apa ini benar anda?" tanya Anzel masih dalam kekagetannya.

Laki-laki itu menoleh ke arah Anzel, kemudian menghadapnya dan menatapnya lekat. Semakin di lihat, Anzel semakin kaget dengan wajah di depannya. Ternyata benar kalau laki-laki di depannya itu adalah profesor Ghaaziy Horace yang ada di foto itu. Dia tahu siapa profesor Gaaziy Horace itu, profesor yang terkenal di negaranya. Profesor yang telah banyak mencetak ilmuwan-ilmuwan handal pada zamannya.

Serta banyak juga ciptaannya yang bermanfaat bagi industri dan juga lingkungan hidup. Tapi dia menghilang ketika ada pameran hasil karyanya dalam teknologi, entah dia menghilang sendiri atau karena orang lain. Karena pada waktu itu ada persaingan ketat antara ilmuwan lainnya, yang dia tahu waktu itu pesaing profesor Ghaaziy Horace adalah Cullen Darris.

Laki-laki itu berambisi dalam ciptaannya dan kabar yang tidak banyak di ketahui oleh orang-orang, profesor Cullen itu adalah mafia juga. Dan entah sekarang mereka juga sama saja menghilang setelah beberapa tahun profesor Ghaaziy menghilang.

Kini Anzel berada tepat di depan profesor handal itu, dia tidak menyangka akan dirinya bertemu dengan orang yang sangat dia kagumi.

"Anzel, namamu kan?" tanya profesor Ghaaziy.

"Oh, iya prof. Anda tahu namaku?" tanya Anzel kaget.

"Ada dalam dompetmu, namamu di kartu nama dalam dompetmu," jawab profesor Ghaaziy.

"Oh ya, benar. Tapi, kenapa anda ada di sini?" tanya Anzel, matanya kembali memindai ruangan besar dengan penataan peralatan laboratorium.

Laboratorium yang luas dan lengkap peralatannya, juga beberapa alat di masa kuno juga ada. Dia menatap lagi laki-laki yang sedang meracik sebuah formula, entah itu formula apa.

"Profesor Ghaaziy? Anda kenapa menghilang dari dunia keilmuwan? Maksud saya, anda tidak ada lagi beritanya di media informasi." tanya Anzel.

Profesor Ghaaziy berhenti mengaduk gelas berisi formula, dia menatap Anzel dengan tatapan datar saja.

"Kamu penasaran dengan diriku? Atau kamu ingin menjadi seperti diriku yang lebih hebat dariku?" tanya profesor Ghaaziy.

"Apa? Maksud anda?"

"Jika kamu ingin sepertiku, kamu jangan banyak cari tahu tentangku. Fokus akan dirimu yang akan menjadi peracik handal, aku akan memberikan ilmuku padamu. Kalau kamu menurut, semuanya akan jadi mudah bagimu menjadi seorang profesor muda yang bisa menciptakan segala formula, bahkan membuat racikan bom yang ledakannya bisa meluluh lantakan sebuah negara," kata profesor Ghaaziy.

"Benarkah?"

"Apa kamu siap?"

"Apa itu artinya profesor akan jadi guruku?"

"Kamu siap?" tanya profesor Ghaaziy lagi.

"Siap profesor!"

"Bagus, kamu juga siap dengan otak dan kemampuanmu yang kamu miliki. Jangan pikirkan tentang keluargamu, karena mereka semua tidak akan peduli di mana kamu berada," kata profesor Ghaaziy lagi.

"Aku siap untuk mendapatkan ilmu darimu, profesor!"

"Baiklah, sekarang kamu persiapkan dirimu untuk belajar dariku."

_

_

*******

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!