1,2,&3 (NOVEL PERTAMA)

1,2,&3 (NOVEL PERTAMA)

PROLOG

..."Masa lalu, masih menjadi pemenangnya. Iya kan?"...

...***...

Matahari terlihat hendak menurun. Tenggelam dalam lamunannya. Setelah hujan berlalu. Warna kuning ke-oranye menampakkan diri. Awan putih bergerak halus-pelan mengikuti arahnya.

Bersamaan terbang sekelompok koloni burung-burung liar melintas diatas-ku. Mengepak sayap.

Lampu-lampu pion, menghiasi. Berdiri tegak dengan cat hitam seluruhnya. Terkecuali bagian atas, tempat bohlam lampu diletakkan. Warnanya kuning remang-remang.

Didekatnya, berkerumun laron-laron. Rasanya syahdu, memandang kerumunan orang-orang-berlalu lalang melintas.

Di sisi lain, berdatangan kumpulan becak-becak, yang berhenti untuk menunggu calon pembeli. Sekumpulan bapak-bapak biasanya nongkrong di sana, sambil menyeruput segelas kopi hitam pahit. Juga, mengobrol dengan lainnya.

Ratih Maheswari. Dua puluh lima tahun, menduduki dirinya, pada salah satu tempat favorit. Berada di depan sebuah bangunan cafe.

Aku menempati Bangku taman, agak kering. Kubangan air, serasa menemani Ratih Maheswari, duduk sendirian.

Ini, berada di tengah Jantung Kota Yogyakarta. Trotoar jalan, dipenuhi dengan jejeran bangku, pinggir jalan. Memandang jalan di depanku, itu semua dipenuhi dengan kemacetan.

Kota ini memiliki julukan sebagai, "Kota pelajar." Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pertokoan, menjadi pusat pemegang oleh-oleh disini. Pelancong berdatangan, membeli dagangan, warga kota Jogja.

Turis asing-belajar mengenal budaya disini. Para penjual tradisional, menjajakan jualannya.

Menawarkan kepada satu per satu orang-orang-berjalan kaki, melihat-lihat sesuatu, yang mungkin tertarik. Berpindah tempat, satu tempat ke tempat lain.

Menggendong semacam kayu panjang atau bambu panjang, untuk membawa barang dagangan. Ada juga, sengaja merokok di kawasan ini.

Lainnya, meluruskan kedua kakinya-merobohkan tubuh di sisi trotoar jalan. Berteriak sesuai apa yang dijual. Berharap mereka mengerti, lalu membelinya.

Ini sudah sangat lama dilakukan disini. Lagipula, semakin ramai jika banyak cerita yang ditemukan disini.

Aku menonton sekumpulan orang yang berbaur di sana. Perhatianku teralihkan dengan gerombolan mahasiswa di sana. Salah satu, dari mereka bermain alat musik gitar, seraya menyanyikan lagu kesukaan mereka.

Lainnya, ikut menepuk tangan. Memberikan apresiasi kepada si penyanyi itu. Tertawa dan bercanda. Sangat menyenangkan ku-lihat.

Melihat mereka, rasanya aku kembali bernostalgia. Kegiatan mereka yang berkumpul-menyanyi bersama, mengingatkan kepada wajah laki-laki itu dalam benakku.

Rasa rindu, tiba-tiba saja muncul. Zaman kami masih bersekolah-mengenakkan seragam. Masih bebas ber-ekspresi ataupun membuat ulah aneh.

Zaman sekolah, menjadi salah satu sama favorit di semua kalangan remaja-remaja sekarang.

Bagaimana tidak, masa-masa seperti itu memang menjadikan sebuah tempat untuk berkumpul bersama, mengobrol bebas, meluapkan apapun dalam hidup, sebelum nantinya, semua akan berpisah dan melanjutkan kehidupan yang keras ini.

Aku merindukan disaat kebersamaan dengan sahabatku, pulang maghrib hanya sekedar bermain di lapangan sekolah, berlari bersama, sampai harus dipaksa keluar oleh pak satpam.

Walaupun itu juga, ada hal-hal tak mengenakkan. Namun, aku tetap suka menjalani kehidupan sekolah.

Ratih, menatap lamunan jalanan. Mendongak kepala, kepada langit sore, kala itu.

Dear, Bagas Raditya.

Apa kabarmu sekarang? aku harap kau baik-baik saja disana, seusai pertemuan kita yang dulu pernah ada.

Aku sekarang tidak tau apa kesibukanmu sekarang, karena kamu tidak pernah aktif dalam grup chat kelas. Entah mengobrol atau mengirim stiker lucu dan aneh. Yang jelas, aku merindukanmu dalam hatiku.

Semoga, kau selalu mendapat kehidupan yang baik, disana. Ataupun seseorang, yang mengerti tentang hidupmu.

Aku juga, akan selalu ada apabila kamu membutuhkan sesuatu. Entah setahun, dua tahun, atau tahun-tahun berikutnya, aku akan selalu menunggu disini. Dari kejauhan.

Memperhatikan dari jauh. Itu sudah pasti.

Dalam sebuah buku kecil ditangan perempuan cantik ber-usia dua puluh lima tahun, Ratih Maheswari membuka lembaran kertas baru. Masih kosong, kulihat.

Aku mencoba menuliskan kembali kisah cintanya yang ia pendam. Dengan pena, di tangan kanan-nya, aku mulai menulis.

Tulisan ku tidak begitu rapi, namun masih bisa dibaca.

"Selamat untukmu, Bagas Raditya. Sekali lagi, selamat. Karena namamu, aku abadikan didalam karyaku. Sekali lagi, selamat!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!