Pagi harinya, Ratih membangunkan dirinya diatas kasur. Wajahnya kusut. Bingung dengan keadaan didalam rumahnya.
Cemberut, dengan pipi memerah. Beberapa meninggalkan jejak berbekas, setelah semalaman menyentuh lantai itu.
Rambutku kisut. Karena aku, setiap malam selalu berkelahi dengan diriku, masalah ketidaknyamanannya tidur.
Aku memiliki masalah kecil, dalam tidurku. Stress yang bercampur dengan emosi.
Tidak ada siapa-siapa disini.
"Dimana ayah? seharusnya, dia sudah pulang sekarang." Tanganku meraih ponsel. Mengetuk layar beberapa kali. Membuka pesan. Beberapa sudah masuk kedalam.
Aku membaca. Kalimat bercetak tebal, berada di bagian atas, paling baru. Aku menekan. Sebuah kalimat muncul, terbaru.
"Ayah belum bisa pulang, setelah makan siang," katanya dalam obrolan chat.
Aku mengetik padanya, "oke. Aku naik angkot saja." Ayah membalas pesanku, dengan memberi stiker jempol besar, lalu aku mencari SMS yang masuk hari ini.
Riana-dalam SMS itu, ia menanyakan keberadaan lokasi rumah ini. Aku segera mengirim rumahku, dan dia berusaha datang menjemput.
Kesempatan bagus, Ratih berlari beberes. Mengenakan seragam lain, masih muat dipakai. Jemuran baju kemarin, belum begitu kering—jadi aku mencari alternatif lain.
Seragam bekas, kutemukan dalam lemari reyot, masih muat dipakai walau aku telah beranjak remaja.
Mengaitkan kancing, menyisir rambut dan mengenakan kerudung putih. Memasukkan buku-tidak tau, pelajaran apa, yang dibawakan hari ini.
Memakai alas kaki dan sepatu. Lalu mengambil ponsel dan mengunci pintu, rapat.
Disaat bersamaan, Riana sampai di tempat ini. Membawa motor matic kesayangan.
Mempersilahkan diriku naik pada bagian belakang. Mengencangkan helm. Menyalakan mesin, meninggalkan rumahku.
Jalanan didepan kami, begitu ramai. Anak-anak sekolahan dari berbagai sekolah yang kami lewati, tampak macet.
Orang Tua mengantar anaknya masuk kedalam gerbang, sementara anak itu menangis tak ingin ditinggal.
Mengingatkan pada diriku, semasa aku kecil. Ketika ayahku mengirimkan ke sekolah dasar asing, yang aku tak sukai. Aku menangis sejadi-jadinya. Guru berkerudung, berusaha keras membujuk agar aku bisa mengikuti pelajaran hari pertama.
Aku masih mengingat kejadian itu, dalam memori.
Kami berdua berjalan mendatangi area lapangan. Kelas-kelas mengelilingi lapangan basket, pada bagian tengah bersamaan gawang basket tinggi-aku lupa sebutan.
Warna cat biru-putih, mewarnai lapangan ini. Bergambar bola basket dengan tulisan yang memudar.
Beberapa murid baru yang sama seperti kami, mengkhawatirkan sesuatu. Informasi seputar kelas-kelas, hanya dikirimkan melalui sms murid.
Belum ada informasi dari toa sekolah atau speaker pendengaran disini. Aku menatap serius, pesan-pesan yang masuk.
Daftar masing-masing nama beserta kelas bercetak tebal, menggunakan tanda kapital, telah terkirim dari guru baru. Dikirimkan melalui foto.
Aku menyuruh Riana, untuk ikut melihat.
Terasa lega bahwa Riana dan aku satu kelas. Rasanya berdebar kencang, jika kami berbeda kelas. Aku akan menangis.
Kami mendatangi lokasi yang ditujukan. Kelas kuliner X-A, kelasku. Mendatangi papan lokasi-tertera gambar denah sekolah. Telunjuk jariku, menunjuk kelas itu. Aku mendapatkan.
Riana-dia mengangguk setuju, berpikir aku bisa menjadi leader untuk dirinya, selama tiga taun ke depan. Aku menyuruh dia, ikut bersamaku.
Kami menanjak di sebuah tangga, seperti waktu kemarin. Lantai keramik usang, berwarna abu-abu meninggalkan noda tapak sepatu, di-injak oleh kami.
Kepalaku mendongak, melihat-lihat pada bagian atas. Mulutku sedikit terbuka, mengamati bagian atas.
Kami, sampai pada lantai dua. Lorong panjang, dihiasi tanaman pot menambah kesegaran tempat ini.
Kelas-kelas dengan papan nama, pada bagian atas pintu, membantuku mencari kelas yang ku-tuju.
Ada dua arah, setelah kami datang dari arah tangga. Sisi kiri-sisi kanan. Juga kamar mandi, tidak jauh dari tangga tadi.
"Bagaimana kalau ke-arah kiri dulu?" Riana berbicara.
"Coba saja. Kita juga belum tau pasti, dimana tempat itu. Denah lokasi dibawah-kurang paham, aku lihat."
Aku mengikuti saran Riana, ikut berjalan di sisi kananku. Ratih membagi tugas mengamati, apabila dia melihat nama papan kelas, diatas.
Lorong panjang, tanpa jendela. Langsung menghadap kearah lapangan basket dan puluhan siswa-siswi, berkeliaran sebelum bel sekolah berbunyi. Kelas-kelas berada di sisi kanan-aku melihat.
Kami berjalan beberapa menit. Melewati belokan tajam-berada di lorong lain.
"Ratih. Itu kelasnya." Riana menepuk cepat.
Aku melihat yang ditunjukkan Riana. Benar. Itu kelas kami. Keadaan pintu terbuka lebar.
Dua-tiga orang berlari keluar-masuk dari arah kelas itu.
Riana berjalan terlebih dahulu. Aku ikut menyusul dari belakang badan temanku. Kami mengendap, seperti maling hendak mencuri barang.
Dia bertanya kepada manusia baru didalam, lalu memberitahu bahwa kelas ini memang benar, yang kami tuju.
Sekitar tiga puluh orang— aku hitung dengan mataku.
Mereka kalem-berisik. Satu-dua orang, duduk diatas meja mereka, mengobrol santai.
Kami berjalan masuk. Mencari bangku kosong.
Hanya pada baris ketiga, kami menjajakkan kaki. Menduduki diatas kursi, agak bergoyang setelah aku mencoba mengecek ketahanan kayu ini.
Siapa tau, kursi yang diduduki selama pelajaran berlangsung, tiba-tiba ambruk.
Ratih mendapatkan kursi, dekat dengan tembok kelas. Menyampingkan tas sekolah, dibelakang tubuh. Dua kipas angin, bergerak memutar, menempel di sisi tembok.
Pewangi kantong, menggantung di permukaan kipas.
Kami berdua mengobrol sedikit, mengenai kelas ini sambil memperhatikan sekitar. Tampak aneh dan canggung. Apalagi, Anak-anak baru yang belum kami tau.
Beberapa dari mereka, melirik-lirik sedikit. Seperti penasaran dengan sifatku dan Riana. Dua anak baru, di baris ketiga pada bangku meja. Hanya berdua saja.
"Mereka curiga dengan kita, sepertinya." Ratih mengucap kecil, pada Riana. Bola mataku bergerak memantau.
"Tidak apa-apa. Mereka suka seperti itu, kepada orang-orang baru, yang bergabung di sekolah ini. Kita juga harus bisa berbaur dengan mereka."
"Iya. Kamu benar, Riana." Aku mengangguk setuju.
Kami melanjutkan obrolan lain, berdua.
Salah satu gadis berkeringat, dan berkacamata, mendatangi meja kami. "Halo kalian." Menyapa kami-senyum tulus.
Kami menjawab sopan.
"Kamu Ratih, dan kamu Riana. Betul kan?" gadis tadi menunjuk kepada dua anak baru.
"Iya. Itu nama kami." Riana mengangguk.
"Syukurlah," katanya. "Btw, namaku Fatma. Anak baru seperti kalian juga. Kalau kalian belum paham denah sekolah ini, bisa bertanya padaku."
"Baiklah. Oke."
Fatma memberikan secarik kertas kecil. Nama ponsel tertulis bolpoin hitam. "Kalau ada sesuatu, bisa hubungi aku." Dia antusias.
Riana dan aku tersenyum pada teman baru.
"Semoga kita bisa berteman lebih baik lagi, ya." Fatma bergegas kembali ke bangkunya.
Aku membuka SMS itu. Memasukkan nomor Fatma kedalam.
Notifikasi pesan baru, muncul baru saja dalam bagian atas SMS. Ayah, kembali memberikan pesan padaku. Bertanya apakah aku telah berangkat ke sekolah atau belum.
Aku menjawab sudah, dengan bukti mengirimkan foto sebuah kelas baru.
Tampak juga beberapa orang, tak sengaja ku foto. Ayah memberikan stiker jempolnya lagi. Aku menutup pesan SMS, setelahnya.
Dalam keheningan, aku berpikir mungkin dia khawatir, kalau nasib anaknya seperti dirinya.
Walaupun ayah hanya tamatan SD, namun ia ingin anaknya bisa bersekolah tinggi. Melebihi dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments