Aku mendarat, dalam ruangan rumahku yang berlantai satu. Rumah kayu sederhana.
Meletakkan tasku begitu saja, dekat keranjang baju. Menendang kecil sepatu, untuk melepaskannya dan membiarkan berserakan sebelum masuk kedalam.
Ayahku berusaha sabar menghadapi anak gadis semata wayangnya, terbaring lemas dan lesu setelah aktivitas seharian. Sekaligus, sepatu dibiarkan berantakan, didepan ujung sepatu kantornya. Mengkilap.
"Apa kamu tidak bisa membereskan sendiri, Ratih?" ayah menunggu jawaban.
Ratih, masih kesal dalam tidurnya, berusaha bangun perlahan. "Iya. Aku bereskan." nadanya datar, menjawab.
Berjalan berat, langkahnya keras membuat lantai-lantai kayu, seolah ikut berguncang. Mengambil paksa, sepasang sepatu. Meletakkan pada rak kecil. Berjalan menuju kasur tadi.
Ayah menggeleng tak menyenangkan saat melihat Ratih, berubah sifatnya. Wajahnya itu, mengingatkan kepada istri ayah, meninggal beberapa tahun lalu. Ratih mulai berbeda daripada dirinya yang dulu.
Ayah, sekedar mampir ke rumah ini. Mengambil barang yang tertinggal sebelumnya, di kantor dan pergi meninggalkan Ratih, kembali bekerja.
Ruangan ini, menjadi sepi lagi.
Aku hanya tinggal berdua dengannya dalam kesederhanaan. Tidak banyak alat hiburan, menemani Ratih.
Sepanjang waktu setelah pulang kegiatan, Ratih menghabiskan waktu untuk menonton tayangan video. Menurutnya, itu bisa memberikan kebahagian tersendiri baginya.
Semuanya asing dan sepi, bercampur. Ayah, hanya akan mengatakan beberapa kata, yang dirasa perlu, daripada membuat semacam kata-kata humoris atau mencairkan keadaan tegang.
Rasanya, sebelum ini terjadi di masa sekarang, saat ibu masih hidup, ayah selalu membuat lelucon pada ibuku dan aku. Sebelum tidur atau saat-saat kami bertiga berkumpul bersama, setelah seharian melakukan pekerjaan rumit.
Aku merindukan hal-hal kecil, dahulu.
"Setiap kali merenung, pasti seperti ini. Dasar diriku," aku menyapu air mata, menetes dari sela-sela kelopak mataku. Berjatuhan, membasahi pipiku. Menatap keatas, lalu mengedip beberapa kali.
Selesai dalam kesedihan, aku beranjak bangun dari kasurku. Melepaskan seragam yang masih terpakai. Membuang dalam keranjang baju untuk segera dicuci-kan.
Sejak pagi, tidak ada yang bertugas mencuci. Bahkan, pekerjaan rumah untuk setiap hari ya, tergantung siapa yang akan membersihkan.
Terkadang aku yang harus turun tangan untuk setiap harinya. Kadang ayah juga membantu, apabila aku sedang tak ada di rumah, kalaupun ia tak sibuk bekerja atau sedang berlibur.
Keseluruhan, kami berdua tetap mengurusi rumah kecil ini. Ayah tidak mau kehilangan rumah, jika nanti aku pergi meninggalkannya. Mungkin.
Rumah sederhana yang ditinggali, begitu banyak memori dan kenangan yang tidak bisa ditukar oleh mata uang. Kalaupun seseorang mau membeli rumah ini, ayah tidak akan pernah sudi untuk memberikan padanya.
Selama ia masih bisa hidup bernafas di dunia ini.
Ayah, memang begitu. Namanya juga lelaki dewasa matang.
Aku, masih menyayanginya. Hingga sekarang. Namun, setelah kematian ibuku, semuanya berubah. Ayah menjadi sangat tegas, kalau rumah ini berantakan.
Ratih mengingat dalam benak sambil mencuci tumpukan baju, masih terendam busa sabun. Menggosok noda-noda bandel lalu mencelupkan ke ember berisi air bersih.
Beberapa kali. Merendam pakaian tadi, dalam air pewangi baju dan membiarkan selama hampir satu jam, lalu memeras sekencang tenagaku. Urat nadi di lengan terlihat jelas. Kedua telapak tangan, memerah setelah kutahu.
Aku menjemur-tidak ada sengatan matahari disini. Bermodal angin-semoga pakaian ini cepat kering.
Ratih memikirkan nasibnya esok. "Bagaimana ya, besok? apa orang-orang baru, akan segan menerimaku?" pesimis, Ratih berbicara kepada dirinya sendiri.
Tak lama, mesin yang bergetar perlahan diam. Aku mengetahui setelah tersadar akan semuanya.
Mengambil pakaian dalam putaran mesin didalam. Satu per satu, aku mengecek harus pakaian tadi. Sangat wangi. Tidak ada kecacatan yang ku kerjakan.
Senyum cerah, kembali muncul di wajah Ratih. Pekerjaan hari ini, selesai.
Tanganku bergerak memasukkan satu per satu pakaian, menggunakan hanger, yang kutemukan di ruangan ini. Menjemur di bagian luar, pada gantungan kayu, area teras rumah.
Ratih bergegas masuk kedalam. Memasuki kamar mandi dan beberes diri. Setelah lama menunggu, ia keluar dan membuat makan malam.
Menata piring panas diatas meja kecil di ruang tamu, sambil menunggu kedatangan ayah setelah seharian bekerja.
Waktu berlalu. Malam hari, ayah tak kunjung datang pulang. Aku menanyakan hal itu kepada ayah melalui chat sms yang biasa kami gunakan.
Ia membalas "sibuk." Aku menjawab,"iya" dan menutup pembicaraan ini.
Ayah akan lembur selama seharian. Makan malam hari ini, aku kembali sendirian.
Walaupun, menu makanan ini yang disukai ayah, tapi kalaupun ayah sedang tak ada di rumah, rasanya tetap hambar. Tidak berasa.
Ratih, semakin murung. Dalam tatapan lamat, ia melihat sesuatu diatas.
Rembulan berdiri kokoh, ditempatnya saat aku sedang merenungi langitnya malam. Cahaya bersinar terang, ditemani awan-awan, bergerak pelan sesuai alurnya. Bintang, turut menghiasi gelapnya langit.
"Walaupun bulan berdiri sendirian, tapi ia beruntung masih ditemani oleh bintang dan awan."
Begitulah, kata-kata yang diucapkan dari Ratih, memandang langit diatas kepalanya.
Sekaligus, cahaya bulan itu seperti menyoroti rumah ini. Rasanya sangat spesial saja, mendapatkan anugrah seperti itu.
Dalam lamunan, Ratih melihat beberapa pesan lainnya yang masuk. Riana, yang dikenal di sekolah, memberikan salam perkenalan.
Menyuruh untuk menyimpan nomernya. Aku menuruti permintaan.
Aku senang, akhirnya ada seseorang yang mengakui bahwa aku itu ada dan dia menjadikanku sebagai teman.
Ratih sesenggukan menangis- sedang menyantap makan malamnya. Tangan kananku, yang memegang sendok itu, juga bergetar.
Ia, tak bisa melanjutkan makanannya. Makanan penuh di mulut mungil, membuat dia tersedak sedikit.
Tangannya tergesa meraih gelas kosong. Menuang air dari dalam teko. Masih tersisa setengah. Meneguk cepat.
"Alhamdulillah", ucapan pertama setelah Ratih menangis.
Malam itu, menjadi malam panjang bagi Ratih, sendiri di rumahnya. Aku menyudahi makan malam hari ini.
Mengembalikan piring-piring sisa. Lauk sisa, kumasukkan dalam kulkas pendingin-menyala setiap hari.
Aku mematikan saklar lampu. Menarik selimut setengah, menepuk bantal mulai kempes atau menyusut.
Bergerak membetulkan posisi badanku agar nyaman. Kedua kaki, masih nampak. Belum tertutup sepenuhnya oleh selimutku.
Barulah, aku memejamkan mataku di kegelapan malam.
Angin, menyelinap masuk melalui sisi lain tembok rumah-bolongan-bolongan yang belum ditambal lagi oleh ayahku, sejak hujan badai menerjang daerah ini.
Semakin lama, aku merapatkan diriku dengan menutup badan menggunakan selimut tadi. Rasa hangat, membuat tubuhku menjadi rileks.
Nafasku stabil. Bergerak naik-turun.
Dalam pemejaman mata, aku mengatakan pada diri sendiri. "Selamat malam."
Mematikan lampu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments