..."Masa lalu, masih menjadi pemenangnya. Iya kan?"...
...***...
Matahari terlihat hendak menurun. Tenggelam dalam lamunannya. Setelah hujan berlalu. Warna kuning ke-oranye menampakkan diri. Awan putih bergerak halus-pelan mengikuti arahnya.
Bersamaan terbang sekelompok koloni burung-burung liar melintas diatas-ku. Mengepak sayap.
Lampu-lampu pion, menghiasi. Berdiri tegak dengan cat hitam seluruhnya. Terkecuali bagian atas, tempat bohlam lampu diletakkan. Warnanya kuning remang-remang.
Didekatnya, berkerumun laron-laron. Rasanya syahdu, memandang kerumunan orang-orang-berlalu lalang melintas.
Di sisi lain, berdatangan kumpulan becak-becak, yang berhenti untuk menunggu calon pembeli. Sekumpulan bapak-bapak biasanya nongkrong di sana, sambil menyeruput segelas kopi hitam pahit. Juga, mengobrol dengan lainnya.
Ratih Maheswari. Dua puluh lima tahun, menduduki dirinya, pada salah satu tempat favorit. Berada di depan sebuah bangunan cafe.
Aku menempati Bangku taman, agak kering. Kubangan air, serasa menemani Ratih Maheswari, duduk sendirian.
Ini, berada di tengah Jantung Kota Yogyakarta. Trotoar jalan, dipenuhi dengan jejeran bangku, pinggir jalan. Memandang jalan di depanku, itu semua dipenuhi dengan kemacetan.
Kota ini memiliki julukan sebagai, "Kota pelajar." Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertokoan, menjadi pusat pemegang oleh-oleh disini. Pelancong berdatangan, membeli dagangan, warga kota Jogja.
Turis asing-belajar mengenal budaya disini. Para penjual tradisional, menjajakan jualannya.
Menawarkan kepada satu per satu orang-orang-berjalan kaki, melihat-lihat sesuatu, yang mungkin tertarik. Berpindah tempat, satu tempat ke tempat lain.
Menggendong semacam kayu panjang atau bambu panjang, untuk membawa barang dagangan. Ada juga, sengaja merokok di kawasan ini.
Lainnya, meluruskan kedua kakinya-merobohkan tubuh di sisi trotoar jalan. Berteriak sesuai apa yang dijual. Berharap mereka mengerti, lalu membelinya.
Ini sudah sangat lama dilakukan disini. Lagipula, semakin ramai jika banyak cerita yang ditemukan disini.
Aku menonton sekumpulan orang yang berbaur di sana. Perhatianku teralihkan dengan gerombolan mahasiswa di sana. Salah satu, dari mereka bermain alat musik gitar, seraya menyanyikan lagu kesukaan mereka.
Lainnya, ikut menepuk tangan. Memberikan apresiasi kepada si penyanyi itu. Tertawa dan bercanda. Sangat menyenangkan ku-lihat.
Melihat mereka, rasanya aku kembali bernostalgia. Kegiatan mereka yang berkumpul-menyanyi bersama, mengingatkan kepada wajah laki-laki itu dalam benakku.
Rasa rindu, tiba-tiba saja muncul. Zaman kami masih bersekolah-mengenakkan seragam. Masih bebas ber-ekspresi ataupun membuat ulah aneh.
Zaman sekolah, menjadi salah satu sama favorit di semua kalangan remaja-remaja sekarang.
Bagaimana tidak, masa-masa seperti itu memang menjadikan sebuah tempat untuk berkumpul bersama, mengobrol bebas, meluapkan apapun dalam hidup, sebelum nantinya, semua akan berpisah dan melanjutkan kehidupan yang keras ini.
Aku merindukan disaat kebersamaan dengan sahabatku, pulang maghrib hanya sekedar bermain di lapangan sekolah, berlari bersama, sampai harus dipaksa keluar oleh pak satpam.
Walaupun itu juga, ada hal-hal tak mengenakkan. Namun, aku tetap suka menjalani kehidupan sekolah.
Ratih, menatap lamunan jalanan. Mendongak kepala, kepada langit sore, kala itu.
Dear, Bagas Raditya.
Apa kabarmu sekarang? aku harap kau baik-baik saja disana, seusai pertemuan kita yang dulu pernah ada.
Aku sekarang tidak tau apa kesibukanmu sekarang, karena kamu tidak pernah aktif dalam grup chat kelas. Entah mengobrol atau mengirim stiker lucu dan aneh. Yang jelas, aku merindukanmu dalam hatiku.
Semoga, kau selalu mendapat kehidupan yang baik, disana. Ataupun seseorang, yang mengerti tentang hidupmu.
Aku juga, akan selalu ada apabila kamu membutuhkan sesuatu. Entah setahun, dua tahun, atau tahun-tahun berikutnya, aku akan selalu menunggu disini. Dari kejauhan.
Memperhatikan dari jauh. Itu sudah pasti.
Dalam sebuah buku kecil ditangan perempuan cantik ber-usia dua puluh lima tahun, Ratih Maheswari membuka lembaran kertas baru. Masih kosong, kulihat.
Aku mencoba menuliskan kembali kisah cintanya yang ia pendam. Dengan pena, di tangan kanan-nya, aku mulai menulis.
Tulisan ku tidak begitu rapi, namun masih bisa dibaca.
"Selamat untukmu, Bagas Raditya. Sekali lagi, selamat. Karena namamu, aku abadikan didalam karyaku. Sekali lagi, selamat!"
...Masa lalu masih menjadi pemenang, kalau dikatakan seperti itu memang benar. Sampai sekarang, aku masih memikirkannya....
.........
July, 2018
Acara Penerimaan Murid Baru.
Hari pertama, diumur delapan belas tahun, aku menginjak kaki di halaman depan sekolah, bersama ayahku setelah cukup lama mengendarai motor.
"Aku masuk dulu," pintaku setelah menyalami tangan ayahku. Mengikuti beberapa siswa-siswi didepan, berjalan mengantri masuk.
"Iya," ayah menjawab pendek, lalu memutar motornya dan pergi bekerja. Tempat itu, jauh dari SMK ini.
Halaman depan, dengan hotel besar yang dibuat oleh sekolah, membuat Ratih,agak terkejut melihatnya. Sekolah ini, sepertinya mahal untuk membayar SPP bulanan. Ratih sedikit murung. Namun, ia harus bersekolah disini.
Halaman panjang, setelah aku memasuki dari gerbang kecil sekolah. Pohon-pohon menghiasi sisi-sisi kami semuanya. Padat merayap, aku harus berhati-hati melangkah.
Lamanya aku berjalan, tidak ada seseorang yang menjadi teman, aku melihat adanya parkir motor di belokan sebelum aku membelokkan diri ke lapangan sekolah didepan sana.
Riuh, bercampur berisik dari semua anak-anak baru. Kupingku tak kuat memuat semua obrolan mereka.
Ratusan murid, mengisi lapangan, tak begitu luas. Dan, aku terperangkap didalam. Tengah lapangan, bersama lainnya yang tak kukenal.
Sifatku pemalu, tak ada orang yang ingin berkenalan padaku. Aku menutup diri-mengatakan pada diri sendiri.
Sekolah ke jurusan ini, aku tak tau, apakah aku bisa bertahan selama tiga tahun ke depan, atau mungkin aku akan pindah seperti sebelumnya. Hari pertama, membuat energi Ratih mulai menurun.
Guru berkacamata, memberikan kalimatnya, menyentuh mikrofon itu,"semuanya harap diam. Silahkan berbaris sesuai jurusan masing-masing!"
Ibu yang belum memperkenalkan dirinya, berseru pada ratusan siswa-siswi baru. Dia berdiri dalam panggung. Mungkin dibuat tadi malam, sebelum kegiatan dimulai.
Atas suruhan itu, semuanya cepat-cepat mencari papan nama jurusan itu, yang dipegang oleh kakak kelas disini. Sebanyak empat kakak kelas, dengan nama "UPW,PH, BUSANA, KULINER," mengangkat masing-masing papan tulis kecil di kedua tangan, dan berteriak keras.
Ratih, dengan perasaan kuat, memulai perjalanan mencari jurusan yang nantinya akan ditekuni olehnya.
Kuliner. Jurusan yang diambil.
Badanku, mencari kakak kelas yang memegang papan tulis "kuliner" berdesakan, menyenggol lainnya.
Nafasku terengah, tapi masih bisa dikendalikan. Keringat mengucur pelan, sesekali mengusap dengan tisu.
Orang-orang, mulai berbaris. Lebih ramai, dibandingkan jurusan lain. Kuliner, lebih menjadi favorit murid-murid disini.
"Harap diam! jangan berisik!" Kakak kelas—tidak diketahui namanya, berseru.
Ratih, belum membuka mulutnya lagi. Kali ini, ia berdampingan dengan perempuan mengenakan kerudung, pipi tembam memerah. Alis hitam agak tebal, sedang melihat-lihat sekitar.
Dia.juga belum mengatakan sepatah kata-kalimat, padaku.
Di Depanku, antusias mengobrol dengan anak baru. Itu, membuat semangatku menurun, karena aku tertutup. Aku tak pandai, bergaul dengan orang. Ditambah lingkungan baru--masih asing, di mataku.
Sebanyak dua puluh pengajar, sekaligus staff sekolah, berkumpul di depan. Berjejer rapi, mengenakan seragam coklat muda, tampil keren dalam pembawaan.
Bercampur, antara laki-laki dan perempuan. Tertawa sebelum acara pagi ini, dimulai.
Petugas yang mengurusi menjadi sibuk berlari. Mengurus siswa-siswi baru, telat masuk. Baru saja datang dari sana. Mengarahkan dimana dia akan berbaris.
Selain itu, lainnya mengamati kami, dari belakang. Matanya teliti, melihat siapa saja yang berbuat nakal, mungkin dia bisa dibuang atau diancam tidak lulus sekolah. Aku hanya bisa berdiam.
Anak disamping, menanyakan padaku, "siapa namamu?"
"Aku Ratih." Aku canggung menjawab-tak terbiasa berbicara dengan orang lain.
Sejak kecil, orangtuaku selalu memotong pembicaraan jika aku sedang berbicara. Katanya, bicaraku ini tidak penting. Sejak saat itu, aku canggung dan takut, jika harus mengutarakan pendapat.
Perempuan tadi yang berbicara padaku, mengucap beberapa kata. "Salam kenal. Namaku Riana Ancara Tiara. Panggil Riana." Menodongkan tangannya, berkenalan padaku dan aku ikut menjabat tangan anak itu.
"Iya. Salam kenal juga, Riana."
Kami melanjutkan percakapan untuk pertama kalinya, sejak aku merenungi diriku. Dia, ternyata hangat. Aku sepertinya akan berteman dengannya untuk waktu yang sangat lama.
Perasaan canggung, lama-lama juga menghilang sendiri.
Ketika itu juga, guru berkacamata tadi mengajukan diri. Menyalakan mikrofon. Suara menggelegar sampai gerbang depan dan halaman parkir kendaraan, terdengar jelas.
Memberikan sambutan hangat, kepada guru,karyawan,maupun murid-murid baru, berkumpul menyaksikan.
"Selamat pagi,anak murid semuanya." Pintanya, ikut melambaikan salah satu tangan.
"Selamat pagi." Sorai, kami menjawab.
Guru berkacamata memberitahu namanya. Bu Arin, kepala sekolah yang saat ini memberikan pidato untuk semuanya.
Semenjak acara dimulai, dan bu Arin memberikan kata-kata, tiba saatnya ketua kelas mengarahkan adik-adiknya untuk berlari mendatangi aula di lantai dua.
Kami masih berbaris, dan aku mengikuti orang didepan, berjalan pelan menuju tempat itu. Menaiki tangga-tangga dekat kelas busana dan lorong panjang lantai satu. Lorong panjang di lantai dua, telah dipijak oleh Ratih, masih berbaris.
Langkah maju ke depan, sedikit-sedikit agar tidak mengenai sepatu orang.
Ruang guru, setelah barisan kami melewatinya. Sepi, dengan pintu tertutup rapat. Enam pilar menyanggah bangunan.
Aula terlihat jelas, di mata kepala Ratih. Sudah banyak orang duduk didalam saat Ratih ikut memasukinya. Riana, di sampingku ikut menyertai.
"Tempat ini, lebih parah daripada tadi. Mengapa harus disini,sih?"
"Itu benar." Ratih merenung.
Riana mengepakkan kerudung, merasakan seonggok udara yang bisa masuk kedalam dan membuat udara dingin yang dibuatnya.
Tempat ini, sangat pengap. Bau badan tercampur keringat, sangat memabukkan. Aku, menutup lubang hidungku agak rapat menggunakan kerudung yang kupakai hari pertama di lingkungan sekolahan baru.
AC ruangan tidak menyala, saat staff sekolah mencoba menekan tombol-tombol diremot kecil itu.
Hanya.lima kipas angin tertancap di langit-langit tembok. Memutar sesuai porosnya. Itupun, masih tidak efektif untuk mendinginkan ruangan.
Kakak kelas, turun tangan menata adik kelas. Sudah seperti keluarga. Semacam adik-adiknya, hanya saja, mereka sangat banyak. Tegas menyuruh-nyuruh.
Acara itu, dimulai lagi setelah lama mengatur lautan manusia, dalam ruang aula.
Aku menenangkan diri, setelah kemunculan beberapa guru, turut memasuki. Mengambil alih mikrofon, dan acara ini, dilanjutkan.
Gaung gong besar, diayunkan oleh Bu Arin, selaku kepala sekolah SMKN UNGGUL. Wajah bahagia, terpancar setelah menerima anak baru-sekarang menjadi murid sah di sekolah ini.
Aku menepuk tanganku,memeriahkan acara pagi ini. Menyenangkan, dapat menjadi bagian baru di lingkungan yang baru. Terutama, aku mendapat satu teman baru, yang kudapat.
Acara utama telah selesai. Bu Arin beserta empat guru lainnya, meninggalkan ruangan. Disusul kami semua, turut pergi dari sini.
Mereka diarahkan kepada acara selanjutnya mengenai perkenalan lingkungan.
Kami dibawa sesuai jurusan kami. Melihat fasilitas-fasilitas di sekolah ini, nantinya akan kami gunakan sebaik mungkin.
Tiba saatnya, satu per satu memperkenalkan diri mereka, masing-masing per individu. Perasaanku gelisah saat itu juga, mengingat sifatku yang tertutup.
Perlahan, nama-nama didalam buku absen, yang dipegang oleh kakak kelas kami, diucapkan lantang nan jelas.
Satu per satu, berdiri ditempatnya. Memperkenalkan diri semacam pidato singkat kepada puluhan orang-orang,menyaksikan apa yang dikatakan.
Sampai pada namaku, yang ditunjuk.
"Ratih Maheswari." Kakak kelas memberitahu. "Mana, nama anak yang bernama Ratih?" kepalanya asyik melihat-lihat wajah adik-adiknya.
Aku berdiri. Menyeimbangkan tubuhku, dan mengucap kata.
"S-saya, kak." Ratih menaikkan tangan. Berdiri dari tempat, ia duduk tadi.
"Coba, perkenalkan nama, umur, dan kota asal." Dia menyuruh.
"Iya kak." Ratih membalas, lalu menjawab suruhan darinya, "Selamat pagi, semuanya. Nama saya Ratih Maheswari. Umur, delapan belas tahun. Asal Yogyakarta. Terimakasih."
Duduk kembali dibawah.
Lima puluh orang, melingkar. Memberi tepukan hangat, setelah selesai memperkenalkan diri.
Lebih baik, mereka tau tentangku. Setidaknya, semuanya tau, siapa Ratih itu di sekolah ini. Riana duduk di samping. Menepuk kecil,badanku. Aku tidak tau, kenapa dia seperti itu.
Aku hanya bersikap ramah, pada teman baru. Selesai memperkenalkan diri masing-masing, tak lupa obrolan-obrolan konyol, terucap di beberapa anak laki-laki, sengaja. Ketua kelas, membiarkan hal itu terjadi.
Tawa besar, menggugah teman-teman yang bosan untuk bersemangat.
Dua anak berdiri, dari lingkarannya. Maju, mendatangi ketua kelas di tengah-tengah lingkaran.
Dia, diberikan semacam gitar, dari staff acara, pada salah satu anak laki-laki, berambut hitam, pendek. Duduk bersila, bersama teman satunya, berkacamata.
"Nyanyi apa nih? ada request lagu?" tanya anak laki-laki berambut hitam, memegang gitar itu.
"Ayo. Yang lain, mau lagu apa? mumpung kita semua kumpul disini."
Satu anak mengacungkan jari,"Coldplay-viva la vida!" berseru.
"Oke. Ditunggu."
Senar gitar, dipetik dari jari anak itu. Sangat lihat memakai. Mengayun tangan, membuat percikan nada lembut, dan indah.
Semuanya menikmati lagu yang dibawakan oleh kedua teman, di tengah lingkaran. Menepuk pelan, diiringi kepala-badan, juga ikut bergerak kiri-kanan mengikuti melodi lagu.
"Siapa anak itu, yang memegang gitar disana? aku lupa namanya." Aku menunjuk kepala sedikit, lalu bersikap biasa.
"Kau pasti bengong, saat tadi, semuanya memperkenalkan diri." Riana menghela napas. Memajukan diri, berbicara kecil padaku. "Dia Bagas Raditya. Hobinya memang suka bermain alat musik.
Aku juga tidak paham, mengapa dia masuk ke sekolah kuliner. Seharusnya, dia bisa ikut ke sekolah jurusan alat musik."
"Baru tahu, ada jurusan seperti itu."
"Entahlah. Mungkin saja ada." Riana memutar bola matanya. Kembali memandang kedua murid, sejak tadi masih bernyanyi. Belum selesai menamatkan lagunya.
Aku menatap-malu melihat Bagas, ceria membawakan lagunya.
Bagas, menghentikan suaranya. Mulutnya capek komat-kamit bersuara. Limapuluh murid, memberi apresiasi pada kedua anak itu. Ketua kelas menyuruh mereka untuk kembali ke tempatnya.
Siang, berubah menjadi panas. Udara panas, berkeringat di baju seragam. Hari ini, telah selesai melakukan ospek kepada anak-anak baru.
Ketua kelas menyuruh semuanya, untuk meninggalkan area lapangan atau pulang dari kegiatan sekolah. Kami menunduk kepala, mengatakan terimakasih untuk hari ini, dan bergegas pulang.
Semuanya berhamburan meninggalkan lapangan.
Aku meninggalkan lapangan. Sendirian. Melihat lainnya tampak mengobrol dengan lainnya saat perjalanan pulang menuju area parkiran di depan sana, saat seperti kedatanganku pertamakali menginjak kaki di sekolah ini.
"Hei, Ratih." Riana menepuk lagi.
Aku menoleh kaget, "eh, Riana?"
"Aku mengajakmu ke kantin. Kamu mau?" tanya gadis tembam, menawari.
Ratih mengangguk setuju, "boleh deh."
Riana menarik tanganku, setela aku menyetujuinya. Tidak bisa membayangkan, aku mempunyai teman untuk pertama kali. Tidak seperti sekolah dimasa lalu, hanya aku sendiri yang bisa membantu diriku.
Tatapan mengerikan dari manusia asing, terkadang membuat trauma. Namun, dia bisa memecahkan traumaku.
Kami berganti tempat. Ruang kantin, diisi beberapa siswa, asyik membeli jajanan didalam.
"Mau beli apa, Ratih?"
"Bingung, hehe." Aku melihat-lihat menu yang dipajang di meja panjang. Sesekali membuka penutup makanan.
"Okedeh. Nanti kau duduk di sana saja, kalau sudah beli sesuatu. Aku akan menemui mu lagi,setelah mendapatkan makanan." Riana meninggalkan Ratih. Ia mencari sesuatu, dengan apa yang dipilihnya.
"Iya. Baiklah."
Ratih mengantri untuk membayar makanan yang kupilih. Kali ini, semangkok bakso dan segelas es teh, dibawa oleh tanganku dengan nampan plastik, hasil pencarian cuma-cuma yang kutemukan.
Bangku kosong, yang dimaksudkan dari Riana. Ditemukan tas sekolah yang ditinggalkan begitu saja, dengan printilan barang-barang lainnya.
Aku duduk di pojok meja dekat tembok, tidak adanya pintu atau penghalang. Benar-benar tidak ada. Bisa saja, tempat ini rawan terjadi sebuah pencurian atau kemalingan,membuat sekolah rugi, namun aku belum mendengarkannya saja.
Menyendok sedikit sambal, di tengah meja lalu menyeruput pelan, kuah bakso berkaldu pedas, panas-panas. Sensasi merah, bermunculan di bibirku. "Pedas!" bernapas pendek-pendek sambil membuka mulut. Mengepak kearah mulut, seperti mengipas cepat.
Riana mendekati bangku kantin. Seluruh tangan, sibuk membawa hasil perburuan.
Duduk, berhadapan denganku. Menggeser mangkok dan gelas kesamping untuk menyingkirkan sebentar, mengambil tisu makan lalu menggeser makanan ke depannya lagi.
"Kenapa dengan bibirmu?" Riana memandang aneh.
"Hanya kepedasan." Aku mengelap dengan tisu.
"Ya ampun. Coba makan es nya, Ratih." Riana memberi saran.
"Iya. Makasih." Aku meraih es teh, dengan es masih mengambang keatas. Memasukkan kedalam mulut dan mengunyah. Sensasi kriuk kemudian meleleh dalam mulutku.
Kami belum berbicara lagi, sejak menikmati makanan siang ini. Perut kenyang, hati pun lega tampak bahagia dari Riana, yang dilihat oleh Ratih.
Perempuan tembam itu, seperti tukang makan. Pikirannya dipenuhi dengan makanan enak-enak yang belum dicicipi.
"Omong-omong, kenapa kau masuk ke jurusan kuliner?"
"Itu, hanya suruhan ayahku. Aku, tak tahu passion ku dimana. Orangtuaku selalu menyuruh anak-anaknya, masuk ke jalur yang sebenarnya tidak ingin diambil."
Riana mengangguk, memahami cerita temannya lalu memberikan saran bagus untukku. Pertamakali aku berkenalan dengan Riana, dari rasa canggung yang selama ini melilit, menjadi berubah hangat.
Rasa-rasa membelenggu, ikut menghilang. Mungkin ini yang namanya kekuatan teman sebenarnya.
Mungkin saja...
Setengah jam berlalu. Kami memutuskan meninggalkan kantin ini. Para murid, perlahan memenuhi kantin dekat gerbang sekolah. Aku dan Riana berpisah untuk sementara.
Dia pergi dengan motornya dan aku menunggu di halaman depan, bersama anak-anak lain. Sebelumnya, dia memberikan nomor ponselnya untuk mengobrol jarak jauh.
Aku mengetik pesan, pada ayahku. Ia menjawab pendek dan memberikan semacam sticker jempol. Aku menutup ponsel lagi, memasukkan dalam kantong saku.
Menunggu kedatangan ayah, dari halaman depan, dekat bagian gedung hotel.
Ayah mendatangi tempatku. Mengendarai motor yang dibawanya setiap hari. Menyerahkan satu helm-sebelumnya dipakai olehku dalam perjalanan menuju sekolah. Aku menekan tombol "klik" dan menaiki jok motor. Mesin dinyalakan, dan kami berdua bergegas pulang dari sekolah.
Sepanjang perjalanan, kami belum mengobrol. Kondisi jalanan raya yang ramai, ditambah klakson-klakson motor-mobil menambah kerusuhan disini.
Belokan demi belokan, dilewati dan menuju kepada gang kecil. Gang kecil, yang sepi. Waktu yang pas untuk mengobrol sambil berkendara. Aku melamun, menatap lingkungan sekitar yang dilewati, saat ayah mencoba menggeser kecil kaca spion. Menatap jalannya lagi.
Energi terkuras cepat hari ini.
Dalam larutan melamun, motor ayah berhenti. Rumah kecil, dengan gerbang menutupi area depan. Sampah dedaunan, masih belum dibersihkan sejak kematian ibuku-aku tak ingin membahasnya.
"Masuklah dulu. Nanti ayah bereskan." Ayah mendorong motor, masuk kedalam garasi.
Ratih tidak menjawab dan langsung masuk kedalam. Melepaskan helm yang dipakai, menaruh dekat rak garasi. Berdebu.
Pintu di depan, ikut dibukanya. Suara kayu terbuka jelas. Sepi. Tidak ada orang lain, selain aku dan ayah. Hewan peliharaan, kami tidak memilikinya. Bunyi kulkas menyala, itu yang ditemani di rumah berlantai satu.
Ratih menghela napas, "aku pulang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!