Lima puluh orang, melingkar. Memberi tepukan hangat, setelah selesai memperkenalkan diri.
Lebih baik, mereka tau tentangku. Setidaknya, semuanya tau, siapa Ratih itu di sekolah ini. Riana duduk di samping. Menepuk kecil,badanku. Aku tidak tau, kenapa dia seperti itu.
Aku hanya bersikap ramah, pada teman baru. Selesai memperkenalkan diri masing-masing, tak lupa obrolan-obrolan konyol, terucap di beberapa anak laki-laki, sengaja. Ketua kelas, membiarkan hal itu terjadi.
Tawa besar, menggugah teman-teman yang bosan untuk bersemangat.
Dua anak berdiri, dari lingkarannya. Maju, mendatangi ketua kelas di tengah-tengah lingkaran.
Dia, diberikan semacam gitar, dari staff acara, pada salah satu anak laki-laki, berambut hitam, pendek. Duduk bersila, bersama teman satunya, berkacamata.
"Nyanyi apa nih? ada request lagu?" tanya anak laki-laki berambut hitam, memegang gitar itu.
"Ayo. Yang lain, mau lagu apa? mumpung kita semua kumpul disini."
Satu anak mengacungkan jari,"Coldplay-viva la vida!" berseru.
"Oke. Ditunggu."
Senar gitar, dipetik dari jari anak itu. Sangat lihat memakai. Mengayun tangan, membuat percikan nada lembut, dan indah.
Semuanya menikmati lagu yang dibawakan oleh kedua teman, di tengah lingkaran. Menepuk pelan, diiringi kepala-badan, juga ikut bergerak kiri-kanan mengikuti melodi lagu.
"Siapa anak itu, yang memegang gitar disana? aku lupa namanya." Aku menunjuk kepala sedikit, lalu bersikap biasa.
"Kau pasti bengong, saat tadi, semuanya memperkenalkan diri." Riana menghela napas. Memajukan diri, berbicara kecil padaku. "Dia Bagas Raditya. Hobinya memang suka bermain alat musik.
Aku juga tidak paham, mengapa dia masuk ke sekolah kuliner. Seharusnya, dia bisa ikut ke sekolah jurusan alat musik."
"Baru tahu, ada jurusan seperti itu."
"Entahlah. Mungkin saja ada." Riana memutar bola matanya. Kembali memandang kedua murid, sejak tadi masih bernyanyi. Belum selesai menamatkan lagunya.
Aku menatap-malu melihat Bagas, ceria membawakan lagunya.
Bagas, menghentikan suaranya. Mulutnya capek komat-kamit bersuara. Limapuluh murid, memberi apresiasi pada kedua anak itu. Ketua kelas menyuruh mereka untuk kembali ke tempatnya.
Siang, berubah menjadi panas. Udara panas, berkeringat di baju seragam. Hari ini, telah selesai melakukan ospek kepada anak-anak baru.
Ketua kelas menyuruh semuanya, untuk meninggalkan area lapangan atau pulang dari kegiatan sekolah. Kami menunduk kepala, mengatakan terimakasih untuk hari ini, dan bergegas pulang.
Semuanya berhamburan meninggalkan lapangan.
Aku meninggalkan lapangan. Sendirian. Melihat lainnya tampak mengobrol dengan lainnya saat perjalanan pulang menuju area parkiran di depan sana, saat seperti kedatanganku pertamakali menginjak kaki di sekolah ini.
"Hei, Ratih." Riana menepuk lagi.
Aku menoleh kaget, "eh, Riana?"
"Aku mengajakmu ke kantin. Kamu mau?" tanya gadis tembam, menawari.
Ratih mengangguk setuju, "boleh deh."
Riana menarik tanganku, setela aku menyetujuinya. Tidak bisa membayangkan, aku mempunyai teman untuk pertama kali. Tidak seperti sekolah dimasa lalu, hanya aku sendiri yang bisa membantu diriku.
Tatapan mengerikan dari manusia asing, terkadang membuat trauma. Namun, dia bisa memecahkan traumaku.
Kami berganti tempat. Ruang kantin, diisi beberapa siswa, asyik membeli jajanan didalam.
"Mau beli apa, Ratih?"
"Bingung, hehe." Aku melihat-lihat menu yang dipajang di meja panjang. Sesekali membuka penutup makanan.
"Okedeh. Nanti kau duduk di sana saja, kalau sudah beli sesuatu. Aku akan menemui mu lagi,setelah mendapatkan makanan." Riana meninggalkan Ratih. Ia mencari sesuatu, dengan apa yang dipilihnya.
"Iya. Baiklah."
Ratih mengantri untuk membayar makanan yang kupilih. Kali ini, semangkok bakso dan segelas es teh, dibawa oleh tanganku dengan nampan plastik, hasil pencarian cuma-cuma yang kutemukan.
Bangku kosong, yang dimaksudkan dari Riana. Ditemukan tas sekolah yang ditinggalkan begitu saja, dengan printilan barang-barang lainnya.
Aku duduk di pojok meja dekat tembok, tidak adanya pintu atau penghalang. Benar-benar tidak ada. Bisa saja, tempat ini rawan terjadi sebuah pencurian atau kemalingan,membuat sekolah rugi, namun aku belum mendengarkannya saja.
Menyendok sedikit sambal, di tengah meja lalu menyeruput pelan, kuah bakso berkaldu pedas, panas-panas. Sensasi merah, bermunculan di bibirku. "Pedas!" bernapas pendek-pendek sambil membuka mulut. Mengepak kearah mulut, seperti mengipas cepat.
Riana mendekati bangku kantin. Seluruh tangan, sibuk membawa hasil perburuan.
Duduk, berhadapan denganku. Menggeser mangkok dan gelas kesamping untuk menyingkirkan sebentar, mengambil tisu makan lalu menggeser makanan ke depannya lagi.
"Kenapa dengan bibirmu?" Riana memandang aneh.
"Hanya kepedasan." Aku mengelap dengan tisu.
"Ya ampun. Coba makan es nya, Ratih." Riana memberi saran.
"Iya. Makasih." Aku meraih es teh, dengan es masih mengambang keatas. Memasukkan kedalam mulut dan mengunyah. Sensasi kriuk kemudian meleleh dalam mulutku.
Kami belum berbicara lagi, sejak menikmati makanan siang ini. Perut kenyang, hati pun lega tampak bahagia dari Riana, yang dilihat oleh Ratih.
Perempuan tembam itu, seperti tukang makan. Pikirannya dipenuhi dengan makanan enak-enak yang belum dicicipi.
"Omong-omong, kenapa kau masuk ke jurusan kuliner?"
"Itu, hanya suruhan ayahku. Aku, tak tahu passion ku dimana. Orangtuaku selalu menyuruh anak-anaknya, masuk ke jalur yang sebenarnya tidak ingin diambil."
Riana mengangguk, memahami cerita temannya lalu memberikan saran bagus untukku. Pertamakali aku berkenalan dengan Riana, dari rasa canggung yang selama ini melilit, menjadi berubah hangat.
Rasa-rasa membelenggu, ikut menghilang. Mungkin ini yang namanya kekuatan teman sebenarnya.
Mungkin saja...
Setengah jam berlalu. Kami memutuskan meninggalkan kantin ini. Para murid, perlahan memenuhi kantin dekat gerbang sekolah. Aku dan Riana berpisah untuk sementara.
Dia pergi dengan motornya dan aku menunggu di halaman depan, bersama anak-anak lain. Sebelumnya, dia memberikan nomor ponselnya untuk mengobrol jarak jauh.
Aku mengetik pesan, pada ayahku. Ia menjawab pendek dan memberikan semacam sticker jempol. Aku menutup ponsel lagi, memasukkan dalam kantong saku.
Menunggu kedatangan ayah, dari halaman depan, dekat bagian gedung hotel.
Ayah mendatangi tempatku. Mengendarai motor yang dibawanya setiap hari. Menyerahkan satu helm-sebelumnya dipakai olehku dalam perjalanan menuju sekolah. Aku menekan tombol "klik" dan menaiki jok motor. Mesin dinyalakan, dan kami berdua bergegas pulang dari sekolah.
Sepanjang perjalanan, kami belum mengobrol. Kondisi jalanan raya yang ramai, ditambah klakson-klakson motor-mobil menambah kerusuhan disini.
Belokan demi belokan, dilewati dan menuju kepada gang kecil. Gang kecil, yang sepi. Waktu yang pas untuk mengobrol sambil berkendara. Aku melamun, menatap lingkungan sekitar yang dilewati, saat ayah mencoba menggeser kecil kaca spion. Menatap jalannya lagi.
Energi terkuras cepat hari ini.
Dalam larutan melamun, motor ayah berhenti. Rumah kecil, dengan gerbang menutupi area depan. Sampah dedaunan, masih belum dibersihkan sejak kematian ibuku-aku tak ingin membahasnya.
"Masuklah dulu. Nanti ayah bereskan." Ayah mendorong motor, masuk kedalam garasi.
Ratih tidak menjawab dan langsung masuk kedalam. Melepaskan helm yang dipakai, menaruh dekat rak garasi. Berdebu.
Pintu di depan, ikut dibukanya. Suara kayu terbuka jelas. Sepi. Tidak ada orang lain, selain aku dan ayah. Hewan peliharaan, kami tidak memilikinya. Bunyi kulkas menyala, itu yang ditemani di rumah berlantai satu.
Ratih menghela napas, "aku pulang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments