PENDERITAAN SI GADIS BUTA
Narendra duduk bersandar di sebuah sofa yang berada di kamar miliknya dengan raut wajah seperti tengah menunggu seseorang. Di tangannya ada segelas red wine kesukaannya yang memang sering di minum setiap malam.
Katanya, wine bisa menyelesaikan semua masalah yang terus mengganggu pikirannya. Walaupun sering kali menyakiti tubuhnya karena harus mengonsumsi minuman itu setiap hari, tetapi Narendra mengakui hasilnya.
“Hey.”
Ada satu sosok berwujud manusia di hadapan Narendra dengan posisi kepala menunduk dan juga sedikit membungkuk. Narendra mencoba berkomunikasi dengan sosok tersebut dengan tatapan yang mengintimidasi.
“Iya, Tuan.”
“Siapa yang menyuruhmu untuk datang kemari? Orang yang sedang kutunggu adalah istriku. Tapi, kenapa malah justru kau yang datang?”
SLURP!
Narendra menyeruput minuman miliknya sebelum melanjutkan ucapan yang sengaja di potong. “Apa kau istriku?” Kemudian berceletuk melawak.
Pelayan itu semakin tidak bisa mengangkat wajahnya. “Saya meminta maaf atas kelancangan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda.”
Dengan cepat meminta maaf itu adalah sesuatu yang baik apalagi di hadapan pelayan itu saat ini adalah seseorang yang sangat membenci sesuatu yang mengganggu ketenangannya. Jantung pelayan itu sudah berdebar-debar.
Wanita setengah baya tersebut bahkan tidak bisa sedikit pun mengangkat wajahnya demi kenyamanan sang Tuan. Karena kalau dipaksa melihat sebelum diperintah, niscaya esok hari beliau akan bangun tanpa nyawa.
“Di mana Lareina? Aku menyuruhnya untuk datang kemari karena dia harus membersihkan sepatuku yang kotor.” Sepatunya penuh dengan debu.
“Nyonya Lareina sedang terluka, Tuan. Tangan Nyonya berdarah karena tiba-tiba tersayat begitu saja oleh sebuah pisau,” ucap pelayan itu menunduk.
Kemudian, pelayan itu melanjutkan, “Saya di sini untuk menggantikan posisi Nyonya membersihkan sepatu Anda. Apakah saya boleh memulainya?”
PRANG!
Tubuh sang pelayan tiba-tiba membeku saat Narendra mencoba menimpuknya menggunakan sebuah gelas. Barang yang mudah pecah tersebut pecah di samping tubuhnya dengan noda merah dari gelas tersebut.
“Alih-alih menyentuh sepatuku, kau bersihkan saja pecahan gelas itu sampai bersih dan keluarlah dari kamar ini.” Narendra masih bisa bersikap lembut.
“B, baik, Tuan.”
.
.
.
Kondisi Lareina memang sedikit memprihatinkan dan juga membingungkan. Pasalnya, tangannya tiba-tiba berdarah seperti ada sesuatu yang tajam menyayat tangannya. Lareina tidak tahu siapa karena dia adalah gadis buta.
“Nyonya, apa sebaiknya kita ke rumah sakit saja? Tangan Anda terus mengeluarkan banyak darah meskipun kami mencoba menutupinya.”
Seorang pelayan yang mengobati Lareina mengusulkan agar berobat ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang lebih intensif. Tetapi, Lareina terus menolak dengan senyuman di bibir seolah ia baik-baik saja.
“Tidak apa-apa. Rasa sakitnya juga sudah mendingan sekarang. Narendra sedang membutuhkanku. Aku harus menemuinya di kamar,” ucap Lareina.
Alasan yang lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan. Lareina tidak pernah mendengarkan nasihat orang-orang di sekitarnya karena tidak mau meninggalkan suaminya. Padahal suaminya itu sudah sangat jahat padanya.
“Sudah ada pelayan yang mendatangi kamar Tuan Narendra, Nyonya. Anda tidak perlu mengkhawatirkan hal itu,” ucap pelayan tersebut memberi tahu.
Dan sontak itu membuat Lareina berdiri terkejut. “Apa? Siapa yang kamu perintahkan? Aku, 'kan, sudah bilang jangan berbuat apa pun tanpaku!”
Lalu menunduk, “Saya minta maaf, Nyonya. Anda sangat membutuhkan perawatan, jadi saya meminta pelayan lain untuk melayani Tuan Narendra.”
Ada apa dengan Lareina yang tiba-tiba terkejut setelah mendengar bahwa ada pelayan lain yang melayani Narendra? Kemungkinan Lareina sudah tahu kenyataan buruk yang akan menimpa pelayan itu sekarang.
“Kamu. Tolong antarkan aku ke kamar Narendra sekarang juga. Aku harus membenarkan semua ini. Cepat, antarkan aku.” Lareina meminta tolong.
“Tapi, Nyonya .... ”
“Kamu tidak mau? Ya, sudah. Aku akan pergi sendiri saja.” Dia tidak membutuhkan seseorang yang bahkan tidak mau mengikuti perintahnya.
“Saya akan mengantar Anda.” Pelayan bernama Nova yang ditugaskan menjadi pelayan pribadi Lareina memutuskan untuk mengantarkannya.
Dia membantu majikannya menaiki satu per satu anak tangga karena memang kamar Narendra ada di lantas atas apartemennya. Sebenarnya ada lift yang dapat memudahkan mereka mencapai lantai yang sedang dituju.
Akan tetapi, Narendra melarang siapa pun termasuk istrinya untuk memakai lift tersebut karena katanya akan kotor dan cepat rusak kalau orang-orang miskin menaikinya. Lareina harus berjuang dengan itu.
“Nyonya. Apa tidak sebaiknya Anda beristirahat saja di kamar? Anda harus merehatkan diri demi menjaga kesehatan tubuh Anda,” ujar Nova cemas.
“Mana bisa aku beristirahat di waktu Narendra membutuhkanku, Nova? Apa kamu lupa betapa galaknya Narendra kalau sedang marah?” sahut Lareina.
Tidak. Mana mungkin Nova melupakan momen terburuknya yang dimarahi habis-habisan oleh suaminya Lareina? Bahkan sakit hatinya masih tersimpan hingga sekarang. Tetapi, Nova sangat kasihan dengan Lareina.
“Saya mengerti. Tapi, Anda juga sedang kesakitan. Jangan terlalu memaksakan diri Anda untuk melayani Tuan Narendra,” pinta Nova melirih.
“Ini sudah menjadi kewajibanku melayani suaminya sendiri. Kami sudah menikah maka sudah tugas istri mengikuti apa pun yang suaminya katakan.”
Lareina memegang tangan Nova. “Kamu jangan terlalu mengkhawatirkan orang lain. Kamu saja tak tahu apakah aku mengkhawatirkanmu juga.”
“Apa pun yang kulakukan ini adalah demi kebaikan pernikahanku sendiri. Narendra seperti itu juga bukan karena kemauannya sendiri, loh.”
Nova tertegun dan merasa malu dengan apa yang dilakukannya menghalangi jalan majikannya bertemu dengan suaminya. Memang keterlaluan kalau begitu. Nova hanya mencemaskan Lareina saja saat ini.
.
.
.
Lareina sudah sampai di depan pintu kamar Narendra setelah bersusah payah menaiki banyak tangga. Dia menyuruh Nova untuk meninggalkannya sendiri karena Lareina tidak mau Narendra terkejut dia membawa siapa.
“Pergilah, Nova. Biar aku saja yang masuk dan membuka pintu. Kamu sudah tidak diperbolehkan ada di sini,” usir Lareina kepada salah satu pelayannya.
“Anda yakin mau masuk sendirian ke dalam? Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada Anda?” Nova tidak bisa meninggalkan Lareina sendirian.
“Kamu tenang saja. Aku pasti akan baik-baik saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Kamu turunlah sebelum Narendra keluar.” Sangat mendesaknya.
“Ya, sudah. Saya permisi dulu.”
Mau bagaimana lagi? Lareina terus memaksanya untuk meninggalkannya seorang diri di depan kamar harimau. Berkali-kali menoleh ke belakang dan Lareina masih berada di sana. Lama-lama, bayangannya mulai memudar.
‘Jangan panik, Lareina. Aku harus bertanggung jawab atas pernikahanku sendiri karena ini memang pilihanku.’ Lareina harus menenangkan dirinya.
PRANG!
Tetapi, pada saat hendak mengetuk pintu kamar, terdengar suara barang pecah dari dalam dan Lareina spontan menempelkan telinga di pintu tersebut. Apa yang terjadi di dalam? Apakah Narendra sedang mabuk lagi?
Karena penasaran, Lareina mencoba masuk dengan hati-hati karena memang tidak bisa melihat apa pun. Dia sedikit panik karena bagian dalam ruangan itu tercium bau berbagai alkohol. Baunya itu menyengat sekali.
“Narendra. Suara apa itu?” Dengan suara yang lembut, Lareina mencoba memanggil nama suaminya dan bertanya terkait suara yang pecah itu.
Namun, tidak ada sahutan apa pun dari suaminya. “Narendra. Kamu baik-baik saja? Suara apa yang pecah itu? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan?”
Tetap tidak ada yang menyahut. Bagaimana Lareina harus mencari keberadaan suaminya kalau matanya saja tidak bisa digunakan dengan baik? Namun, rasa-rasanya seperti ada sesuatu yang mendekat ke arahnya.
Mendadak ...
SET!
“Akhirnya kau keluar juga.”
Narendra menyudutkan tubuh Lareina ke suatu tembok dengan bau alkohol yang keluar dari mulutnya. Tentu saja Lareina merasa terkejut karena tiba-tiba Narendra berbuat sesuatu yang berdekatan dengan tubuhnya.
“Aku minta maaf telah membuatmu menunggu. Tadi aku ada sedikit masalah dan terpaksa harus mengutus satu pelayan untuk merawatmu,” lirihnya.
Sekarang, Lareina hanya perlu menemukan pelayan itu dan menyuruhnya untuk keluar dari kamar Narendra. “Sekarang di mana pelayan itu berada?”
“Karena aku sudah ada di sini aku yang akan menggantikan posisi pelayan itu. Kamu jangan memaksanya untuk bekerja keras. Itu biar aku saja— ”
“Hahaha...!” Ucapan Lareina terpotong karena mendadak ada suara orang tertawa dari hadapannya. Apa sekarang Narendra sedang mentertawainya?
Lareina begitu takut untuk menanyakan alasan di balik tertawanya Narendra barusan. Walaupun dia istrinya tetapi rasa-rasanya Lareina tidak memiliki hak apa pun untuk bertanya atau hanya sekadar menyapanya.
Jadi, dia memutuskan untuk diam sampai Narendra sendiri yang menyuruhnya untuk berbicara. Bagaimana dengan jantung Lareina saat ini? Sepertinya itu tidak usah diragukan lagi. Gadis itu hampir mati berdiri.
“Baru sekarang kau mencemaskan orang lain? Kau bodoh karena menyuruh pelayan itu untuk datang kemari padahal aku hanya menginginkanmu.”
“Kalau seandainya kau tidak main-main denganku, kemungkinan besar pelayan itu masih hidup sekarang,” lanjut Narendra sedikit terkekeh.
DEG!
Apa yang terjadi dengan pelayan itu? “A, apa maksudmu? Apa yang kamu lakukan kepada pelayan itu? Kumohon, jangan sakiti dia. Jangan sakiti dia.”
“Kau mau tahu apa yang terjadi dengannya? Dia melukai dirinya sendiri. Kau jangan salahkan aku telah menyakitinya.” Nadanya halus namun kejam.
Narendra menarik tangan Lareina menuju ke suatu tempat yang katanya ingin bertemu dengan pelayan yang sempat masuk ke dalam kamar itu. Dia melempar tubuh istrinya begitu saja sampai menabrak sesuatu di sana.
“Ughh-!!”
Gadis itu meringis kesakitan karena luka di tangannya tak sengaja dia letakkan di lantai kemudian menekannya. Lareina meraba-raba sesuatu yang ada di belakang tubuhnya. Sesuatu seperti tubuh manusia membeku.
“Apa ini?”
“Sesuatu yang kau ingin temukan. Bukankah kau datang kemari karena mau bertemu dengan pelayan itu? Sekarang dia ada di dekatmu,” smirk Narendra.
Lareina terbelalak. “Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu apa, 'kan, pelayan yang tidak bersalah ini? Astaga, apa ini? Kenapa bau darah?”
“Bukankah aku sudah mengatakannya padamu bahwa dia menyakiti dirinya sendiri. Dia mengambil pecahan gelas saat sedang membersihkan kamar ini.”
“Kemudian ... SRET! Dia menyayat lehernya sendiri dan tumbang begitu saja di depanku. Sekarang bagaimana ini? Pecahan gelasnya masih berserakan.”
Lebih tepatnya adalah Narendra sendiri yang menyuruh pelayan itu untuk menyakiti dirinya sendiri dengan mengambil pecahan gelas dan harus menyayat lehernya. Alhasil, nyawa pelayan itu sudah tidak sadarkan diri.
“Ini tidak mungkin. Tidak mungkin dia melakukan semua itu. Selama ini dia sangat bahagia. Apa kamu yang membunuhnya?” isak Lareina menuduh.
Ucapan yang membuat Narendra menatap datar. Dia meletakkan gelas wine yang sejak tadi dia genggam ke atas meja. Lalu, mendekati Lareina dan mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat. Lareina menatap dengan lesu.
“Memangnya kau tahu apa soal dia bahagia? Kau saja tidak bisa melihat dunia.” Semakin kuat mencengkeramnya. “Beraninya kau menuduhku.”
“Karena aku yakin dia tidak akan mungkin melakukan itu kalau bukan kamu yang menyuruhnya. Sebaiknya kamu katakan saja dengan jujur, Narendra.”
“Bilang kalau memang kamu yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Kamu mengancamnya. Iya, 'kan? Kamu memang seperti itu, kok.” Dia melanjutkan.
PLAK!
Gadis itu terus-menerus memprovokasi kejahatan Narendra dengan kata-kata seolah memang mengetahui banyak hal. Karena telanjur kesal, maka suami itu menampar atau memukul istrinya dengan sekuat tenaga.
“Jaga bicaramu. Orang buta sepertimu memang tahu apa tentang kehidupan orang lain? Kau hanya bisa mendeteksi melalui suara saja,” ujar Narendra.
Lareina menangis tersedu-sedu dan itu membuat Narendra benci akan suara tangisannya. “Jangan bersikap bodoh dan bereskan semua masalah ini.”
Setelah semuanya selesai, Narendra keluar dari dalam kamar itu meninggalkan Lareina seorang diri dengan tubuh pelayan yang sama sekali tidak bergerak. Lareina menangis, marah, dan kecewa akan dirinya sendiri.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments