NovelToon NovelToon

PENDERITAAN SI GADIS BUTA

Kamu yang Membunuhnya?

Narendra duduk bersandar di sebuah sofa yang berada di kamar miliknya dengan raut wajah seperti tengah menunggu seseorang. Di tangannya ada segelas red wine kesukaannya yang memang sering di minum setiap malam.

Katanya, wine bisa menyelesaikan semua masalah yang terus mengganggu pikirannya. Walaupun sering kali menyakiti tubuhnya karena harus mengonsumsi minuman itu setiap hari, tetapi Narendra mengakui hasilnya.

“Hey.”

Ada satu sosok berwujud manusia di hadapan Narendra dengan posisi kepala menunduk dan juga sedikit membungkuk. Narendra mencoba berkomunikasi dengan sosok tersebut dengan tatapan yang mengintimidasi.

“Iya, Tuan.”

“Siapa yang menyuruhmu untuk datang kemari? Orang yang sedang kutunggu adalah istriku. Tapi, kenapa malah justru kau yang datang?”

SLURP!

Narendra menyeruput minuman miliknya sebelum melanjutkan ucapan yang sengaja di potong. “Apa kau istriku?” Kemudian berceletuk melawak.

Pelayan itu semakin tidak bisa mengangkat wajahnya. “Saya meminta maaf atas kelancangan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda.”

Dengan cepat meminta maaf itu adalah sesuatu yang baik apalagi di hadapan pelayan itu saat ini adalah seseorang yang sangat membenci sesuatu yang mengganggu ketenangannya. Jantung pelayan itu sudah berdebar-debar.

Wanita setengah baya tersebut bahkan tidak bisa sedikit pun mengangkat wajahnya demi kenyamanan sang Tuan. Karena kalau dipaksa melihat sebelum diperintah, niscaya esok hari beliau akan bangun tanpa nyawa.

“Di mana Lareina? Aku menyuruhnya untuk datang kemari karena dia harus membersihkan sepatuku yang kotor.” Sepatunya penuh dengan debu.

“Nyonya Lareina sedang terluka, Tuan. Tangan Nyonya berdarah karena tiba-tiba tersayat begitu saja oleh sebuah pisau,” ucap pelayan itu menunduk.

Kemudian, pelayan itu melanjutkan, “Saya di sini untuk menggantikan posisi Nyonya membersihkan sepatu Anda. Apakah saya boleh memulainya?”

PRANG!

Tubuh sang pelayan tiba-tiba membeku saat Narendra mencoba menimpuknya menggunakan sebuah gelas. Barang yang mudah pecah tersebut pecah di samping tubuhnya dengan noda merah dari gelas tersebut.

“Alih-alih menyentuh sepatuku, kau bersihkan saja pecahan gelas itu sampai bersih dan keluarlah dari kamar ini.” Narendra masih bisa bersikap lembut.

“B, baik, Tuan.”

.

.

.

Kondisi Lareina memang sedikit memprihatinkan dan juga membingungkan. Pasalnya, tangannya tiba-tiba berdarah seperti ada sesuatu yang tajam menyayat tangannya. Lareina tidak tahu siapa karena dia adalah gadis buta.

“Nyonya, apa sebaiknya kita ke rumah sakit saja? Tangan Anda terus mengeluarkan banyak darah meskipun kami mencoba menutupinya.”

Seorang pelayan yang mengobati Lareina mengusulkan agar berobat ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang lebih intensif. Tetapi, Lareina terus menolak dengan senyuman di bibir seolah ia baik-baik saja.

“Tidak apa-apa. Rasa sakitnya juga sudah mendingan sekarang. Narendra sedang membutuhkanku. Aku harus menemuinya di kamar,” ucap Lareina.

Alasan yang lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan. Lareina tidak pernah mendengarkan nasihat orang-orang di sekitarnya karena tidak mau meninggalkan suaminya. Padahal suaminya itu sudah sangat jahat padanya.

“Sudah ada pelayan yang mendatangi kamar Tuan Narendra, Nyonya. Anda tidak perlu mengkhawatirkan hal itu,” ucap pelayan tersebut memberi tahu.

Dan sontak itu membuat Lareina berdiri terkejut. “Apa? Siapa yang kamu perintahkan? Aku, 'kan, sudah bilang jangan berbuat apa pun tanpaku!”

Lalu menunduk, “Saya minta maaf, Nyonya. Anda sangat membutuhkan perawatan, jadi saya meminta pelayan lain untuk melayani Tuan Narendra.”

Ada apa dengan Lareina yang tiba-tiba terkejut setelah mendengar bahwa ada pelayan lain yang melayani Narendra? Kemungkinan Lareina sudah tahu kenyataan buruk yang akan menimpa pelayan itu sekarang.

“Kamu. Tolong antarkan aku ke kamar Narendra sekarang juga. Aku harus membenarkan semua ini. Cepat, antarkan aku.” Lareina meminta tolong.

“Tapi, Nyonya .... ”

“Kamu tidak mau? Ya, sudah. Aku akan pergi sendiri saja.” Dia tidak membutuhkan seseorang yang bahkan tidak mau mengikuti perintahnya.

“Saya akan mengantar Anda.” Pelayan bernama Nova yang ditugaskan menjadi pelayan pribadi Lareina memutuskan untuk mengantarkannya.

Dia membantu majikannya menaiki satu per satu anak tangga karena memang kamar Narendra ada di lantas atas apartemennya. Sebenarnya ada lift yang dapat memudahkan mereka mencapai lantai yang sedang dituju.

Akan tetapi, Narendra melarang siapa pun termasuk istrinya untuk memakai lift tersebut karena katanya akan kotor dan cepat rusak kalau orang-orang miskin menaikinya. Lareina harus berjuang dengan itu.

“Nyonya. Apa tidak sebaiknya Anda beristirahat saja di kamar? Anda harus merehatkan diri demi menjaga kesehatan tubuh Anda,” ujar Nova cemas.

“Mana bisa aku beristirahat di waktu Narendra membutuhkanku, Nova? Apa kamu lupa betapa galaknya Narendra kalau sedang marah?” sahut Lareina.

Tidak. Mana mungkin Nova melupakan momen terburuknya yang dimarahi habis-habisan oleh suaminya Lareina? Bahkan sakit hatinya masih tersimpan hingga sekarang. Tetapi, Nova sangat kasihan dengan Lareina.

“Saya mengerti. Tapi, Anda juga sedang kesakitan. Jangan terlalu memaksakan diri Anda untuk melayani Tuan Narendra,” pinta Nova melirih.

“Ini sudah menjadi kewajibanku melayani suaminya sendiri. Kami sudah menikah maka sudah tugas istri mengikuti apa pun yang suaminya katakan.”

Lareina memegang tangan Nova. “Kamu jangan terlalu mengkhawatirkan orang lain. Kamu saja tak tahu apakah aku mengkhawatirkanmu juga.”

“Apa pun yang kulakukan ini adalah demi kebaikan pernikahanku sendiri. Narendra seperti itu juga bukan karena kemauannya sendiri, loh.”

Nova tertegun dan merasa malu dengan apa yang dilakukannya menghalangi jalan majikannya bertemu dengan suaminya. Memang keterlaluan kalau begitu. Nova hanya mencemaskan Lareina saja saat ini.

.

.

.

Lareina sudah sampai di depan pintu kamar Narendra setelah bersusah payah menaiki banyak tangga. Dia menyuruh Nova untuk meninggalkannya sendiri karena Lareina tidak mau Narendra terkejut dia membawa siapa.

“Pergilah, Nova. Biar aku saja yang masuk dan membuka pintu. Kamu sudah tidak diperbolehkan ada di sini,” usir Lareina kepada salah satu pelayannya.

“Anda yakin mau masuk sendirian ke dalam? Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada Anda?” Nova tidak bisa meninggalkan Lareina sendirian.

“Kamu tenang saja. Aku pasti akan baik-baik saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Kamu turunlah sebelum Narendra keluar.” Sangat mendesaknya.

“Ya, sudah. Saya permisi dulu.”

Mau bagaimana lagi? Lareina terus memaksanya untuk meninggalkannya seorang diri di depan kamar harimau. Berkali-kali menoleh ke belakang dan Lareina masih berada di sana. Lama-lama, bayangannya mulai memudar.

‘Jangan panik, Lareina. Aku harus bertanggung jawab atas pernikahanku sendiri karena ini memang pilihanku.’ Lareina harus menenangkan dirinya.

PRANG!

Tetapi, pada saat hendak mengetuk pintu kamar, terdengar suara barang pecah dari dalam dan Lareina spontan menempelkan telinga di pintu tersebut. Apa yang terjadi di dalam? Apakah Narendra sedang mabuk lagi?

Karena penasaran, Lareina mencoba masuk dengan hati-hati karena memang tidak bisa melihat apa pun. Dia sedikit panik karena bagian dalam ruangan itu tercium bau berbagai alkohol. Baunya itu menyengat sekali.

“Narendra. Suara apa itu?” Dengan suara yang lembut, Lareina mencoba memanggil nama suaminya dan bertanya terkait suara yang pecah itu.

Namun, tidak ada sahutan apa pun dari suaminya. “Narendra. Kamu baik-baik saja? Suara apa yang pecah itu? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan?”

Tetap tidak ada yang menyahut. Bagaimana Lareina harus mencari keberadaan suaminya kalau matanya saja tidak bisa digunakan dengan baik? Namun, rasa-rasanya seperti ada sesuatu yang mendekat ke arahnya.

Mendadak ...

SET!

“Akhirnya kau keluar juga.”

Narendra menyudutkan tubuh Lareina ke suatu tembok dengan bau alkohol yang keluar dari mulutnya. Tentu saja Lareina merasa terkejut karena tiba-tiba Narendra berbuat sesuatu yang berdekatan dengan tubuhnya.

“Aku minta maaf telah membuatmu menunggu. Tadi aku ada sedikit masalah dan terpaksa harus mengutus satu pelayan untuk merawatmu,” lirihnya.

Sekarang, Lareina hanya perlu menemukan pelayan itu dan menyuruhnya untuk keluar dari kamar Narendra. “Sekarang di mana pelayan itu berada?”

“Karena aku sudah ada di sini aku yang akan menggantikan posisi pelayan itu. Kamu jangan memaksanya untuk bekerja keras. Itu biar aku saja— ”

“Hahaha...!” Ucapan Lareina terpotong karena mendadak ada suara orang tertawa dari hadapannya. Apa sekarang Narendra sedang mentertawainya?

Lareina begitu takut untuk menanyakan alasan di balik tertawanya Narendra barusan. Walaupun dia istrinya tetapi rasa-rasanya Lareina tidak memiliki hak apa pun untuk bertanya atau hanya sekadar menyapanya.

Jadi, dia memutuskan untuk diam sampai Narendra sendiri yang menyuruhnya untuk berbicara. Bagaimana dengan jantung Lareina saat ini? Sepertinya itu tidak usah diragukan lagi. Gadis itu hampir mati berdiri.

“Baru sekarang kau mencemaskan orang lain? Kau bodoh karena menyuruh pelayan itu untuk datang kemari padahal aku hanya menginginkanmu.”

“Kalau seandainya kau tidak main-main denganku, kemungkinan besar pelayan itu masih hidup sekarang,” lanjut Narendra sedikit terkekeh.

DEG!

Apa yang terjadi dengan pelayan itu? “A, apa maksudmu? Apa yang kamu lakukan kepada pelayan itu? Kumohon, jangan sakiti dia. Jangan sakiti dia.”

“Kau mau tahu apa yang terjadi dengannya? Dia melukai dirinya sendiri. Kau jangan salahkan aku telah menyakitinya.” Nadanya halus namun kejam.

Narendra menarik tangan Lareina menuju ke suatu tempat yang katanya ingin bertemu dengan pelayan yang sempat masuk ke dalam kamar itu. Dia melempar tubuh istrinya begitu saja sampai menabrak sesuatu di sana.

“Ughh-!!”

Gadis itu meringis kesakitan karena luka di tangannya tak sengaja dia letakkan di lantai kemudian menekannya. Lareina meraba-raba sesuatu yang ada di belakang tubuhnya. Sesuatu seperti tubuh manusia membeku.

“Apa ini?”

“Sesuatu yang kau ingin temukan. Bukankah kau datang kemari karena mau bertemu dengan pelayan itu? Sekarang dia ada di dekatmu,” smirk Narendra.

Lareina terbelalak. “Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu apa, 'kan, pelayan yang tidak bersalah ini? Astaga, apa ini? Kenapa bau darah?”

“Bukankah aku sudah mengatakannya padamu bahwa dia menyakiti dirinya sendiri. Dia mengambil pecahan gelas saat sedang membersihkan kamar ini.”

“Kemudian ... SRET! Dia menyayat lehernya sendiri dan tumbang begitu saja di depanku. Sekarang bagaimana ini? Pecahan gelasnya masih berserakan.”

Lebih tepatnya adalah Narendra sendiri yang menyuruh pelayan itu untuk menyakiti dirinya sendiri dengan mengambil pecahan gelas dan harus menyayat lehernya. Alhasil, nyawa pelayan itu sudah tidak sadarkan diri.

“Ini tidak mungkin. Tidak mungkin dia melakukan semua itu. Selama ini dia sangat bahagia. Apa kamu yang membunuhnya?” isak Lareina menuduh.

Ucapan yang membuat Narendra menatap datar. Dia meletakkan gelas wine yang sejak tadi dia genggam ke atas meja. Lalu, mendekati Lareina dan mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat. Lareina menatap dengan lesu.

“Memangnya kau tahu apa soal dia bahagia? Kau saja tidak bisa melihat dunia.” Semakin kuat mencengkeramnya. “Beraninya kau menuduhku.”

“Karena aku yakin dia tidak akan mungkin melakukan itu kalau bukan kamu yang menyuruhnya. Sebaiknya kamu katakan saja dengan jujur, Narendra.”

“Bilang kalau memang kamu yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Kamu mengancamnya. Iya, 'kan? Kamu memang seperti itu, kok.” Dia melanjutkan.

PLAK!

Gadis itu terus-menerus memprovokasi kejahatan Narendra dengan kata-kata seolah memang mengetahui banyak hal. Karena telanjur kesal, maka suami itu menampar atau memukul istrinya dengan sekuat tenaga.

“Jaga bicaramu. Orang buta sepertimu memang tahu apa tentang kehidupan orang lain? Kau hanya bisa mendeteksi melalui suara saja,” ujar Narendra.

Lareina menangis tersedu-sedu dan itu membuat Narendra benci akan suara tangisannya. “Jangan bersikap bodoh dan bereskan semua masalah ini.”

Setelah semuanya selesai, Narendra keluar dari dalam kamar itu meninggalkan Lareina seorang diri dengan tubuh pelayan yang sama sekali tidak bergerak. Lareina menangis, marah, dan kecewa akan dirinya sendiri.

BERSAMBUNG

Aku Sangat Membencimu!

Katanya, pelayan yang sempat dinyatakan meninggal dunia itu rupanya masih bisa bernapas karena memang hanya pingsan saja. Akan tetapi, yang membuat Lareina bingung adalah tidak ada luka sayatan apa pun di leher.

Lareina sangat mengenal bau itu adalah bau darah bahkan dia sempat memeriksanya lebih lanjut dengan menyentuh cairannya. Dia tidak mungkin salah tetapi Dokter juga tidak mungkin menipu orang-orang keluarga pasien.

Jadi, siapa pemilik darah itu?

Tidak lama kemudian, Narendra datang dengan tangan yang diperban dan sepertinya baru pulang dari rumah sakit. Nova memperhatikan tangan Narendra dan sesekali membungkuk untuk menghormati kedatangannya.

“Bawakan minuman ke kamarku. Orang yang harus melakukan itu harus istriku, jangan yang lain. Kalau tidak, nasib kalian akan sama sepertinya.”

Maksudnya adalah sama seperti pelayan yang saat ini masih berada di rumah sakit. Nova mengangguk, “Baik, Tuan. Saya akan siapkan minumnya.”

Narendra memperhatikan istrinya yang hanya terdiam tak bersuara. Sedikit memicingkan matanya seolah sedang mendeteksi apa yang sedang terjadi kepada Lareina saat ini. Tidak biasanya gadis itu menjadi banyak terdiam.

“Saya akan menyiapkan minumannya dulu, Nyonya. Dan mungkin Anda sendiri yang harus mengantarkannya pada Tuan Narendra,” ucap Nova.

Lareina mengangguk. Tak masalah kalau begitu. “Aku yang akan mengantarkannya. Dia sudah bilang bahwa aku harus selalu melayaninya.”

Kasihan juga melihatnya. Wajah Lareina juga tampak tertekan dengan apa yang sudah terjadi. “Saya permisi ke dapur dulu.” Nova meninggalkannya.

Untuk saat ini Lareina ingin memikirkan satu hal soal pelayan yang katanya menyayat lehernya sendiri. Narendra yang mengatakan semua itu namun Dokter berkata tidak ada bekas luka. Apa mungkin Narendra berbohong?

Kalau Narendra memang berbohong soal itu, memang apa manfaatnya untuk dirinya sendiri? Sepertinya itu tidak bermanfaat sama sekali atau mungkin Narendra sangat kebosanan sampai mempermainkan seseorang?

‘Inilah yang kutakutkan. Kalau Narendra melukaiku mungkin tidak apa-apa, tapi aku tidak bisa membiarkannya menyakiti orang lain,’ batin Lareina.

Dia sudah menganggap para pelayan di sana sebagai keluarganya. ‘Sebisa mungkin aku harus banyak menghabiskan waktu dengan Narendra.’

Lalu, Lareina memegang tangan yang terluka. ‘Supaya tidak ada korban lain yang menjadi target Narendra. Aku tidak mau hal itu sampai terulang lagi.’

Katanya, ia akan berusaha keras menjaga para pelayan di sana dengan mata yang seolah-olah tertutup dengan kain. Lareina bahkan tidak akan pernah tahu Narendra akan melakukan apa tanpa sepengetahuan darinya.

Nova datang dengan membawa minuman dengan piring di bawahnya. Dia memberikannya kepada Lareina. “Ini minuman Tuan Narendra, Nyonya.”

“Baiklah. Kamu tunggu di sini. Jangan ikuti aku sampai ke kamar Narendra. Kamu tidak boleh sampai terluka,” ingat Lareina kepada pelayan pribadinya.

“Saya berjanji, Nyonya.”

Lareina sedikit menarik napasnya dan mengeluarkannya melalui mulut. Pekerjaan yang menguras banyak tenaga dan harus berhati-hati kalau ingin memakai tangga. Tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput, bukan?

.

.

.

Posisi Narendra saat ini sedang berbaring di kasurnya. Cahaya matahari memasuki kamarnya dan sedikitnya mengenai tubuh Narendra. Dia sedang menunggu pesanannya datang karena membutuhkan waktu.

CEKLEK!

Suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Dari suara langkah kakinya yang memakai tongkat, sangat diyakini bahwa itu adalah Lareina. Akhirnya setelah menunggu sepuluh menit, gadis itu datang juga. Dia sudah menunggu.

“Lain kali percepat langkah kakimu itu. Jangan membuatku menunggu lama begini. Kau tahu, 'kan, kalau aku tidak suka menunggu?” tanya Narendra.

“Aku minta maaf. Tangganya sangat panjang jadi aku harus berhati-hati agar minumanmu tidak tumpah,” sahut Lareina. Dia tidak khawatir soal dirinya.

Hal itu membuat Narendra tertarik untuk menoleh. “Kau tak khawatir dirimu akan terluka? Kau benar-benar tak mengkhawatirkan dirimu, huh?”

“Bohong kalau aku tidak takut. Sebenarnya aku sangat takut. Tapi, aku berusaha tetap kuat untuk selalu ada di sisimu,” ucap Lareina tersenyum.

Karena Lareina meyakini bahwa sebenarnya sikap Narendra itu tidak seperti sekarang yang suka memarahi orang-orang atau memukulnya seperti semalam. Dia tahu kalau Narendra adalah sosok yang baik hati sebenarnya.

Namun, karena adanya pengalaman hidup yang tidak diinginkan untuk melihatnya membuat Narendra menjadi sosok manusia yang bisa melakukan apa pun. Lareina hanya perlu membantunya untuk berubah.

“Manusia bodoh. Kaulah yang paling bodoh yang pernah kutemui di dunia ini. Kau sama sekali tidak berharga,” ketus Narendra menjelek-jelekkan.

Ya, sudahlah. Lareina terima saja apa yang dikatakannya. Percuma juga kalau dia berusaha membela diri. Narendra mengambil minuman itu dan meletakkannya di atas nakas setelah meminum satu teguk dari air itu.

“Pijat kakiku.”

“Baik.”

Istri rasa pembantu itu memang ada sebenarnya. Tetapi, bukan istri pada umumnya yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga biasa. Namun, nasib Lareina ini tergantung dari caranya memperlakukan Narendra.

Kalau tidak bisa melayaninya dengan baik, maka dirinya akan ditendang keluar dari rumah itu yang memang adalah keinginan Narendra sendiri. Ia berkeinginan untuk mengusir Lareina namun selalu saja penuh kegagalan.

‘Gadis bodoh ini bisa-bisanya menjadi istriku. Dia sangat berbeda dengan seseorang yang selalu kuimpikan akan menjadi istriku suatu saat nanti.’

‘Sebenarnya trik apa yang sedang dia mainkan sampai memikat hati orang tuaku? Aku dijodohkan dengannya satu hari setelah dia lewat di depan kami.’

‘Benar-benar gadis tidak tahu diri. Dia seharusnya lebih peka terhadap dirinya sendiri bahwa dengan mata seperti itu, dia tidak pantas untukku.’

‘Aku sudah melakukan segala cara untuk mengeluarkannya dari rumah ini dengan kekerasan yang seharusnya tidak boleh kulakukan. Tapi dia ... ’

Narendra merasa kalah kalau Lareina terus bertahan. ‘ ... dia selalu saja mengaku tidak apa-apa dan tidak apa-apa. Sebenarnya apa rencananya ini?’

Dia kebingungan dan ingin tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh Lareina sampai mampu bertahan dalam kondisinya yang seperti ini. Di lihat dari wajahnya, gadis itu tidak merasa tertekan dan terus saja tersenyum.

“Kenapa?”

“Ya?“

“Kenapa kau terus ada di sini? Kau seharusnya meninggalkan rumah ini dan pergi sejauh mungkin. Apa yang kau rencanakan?” tanya Narendra.

Lareina bingung. “Apa yang kurencanakan? Aku tidak merencanakan apa pun. Memangnya kamu melihatmu sebagai orang yang penuh rencana?”

Ia terus saja berbohong sampai Narendra merasa muak. “Kau tidak perlu menipuku seperti ini. Katakan saja apa yang kau inginkan, Lareina.”

Setelah sekian lama, akhirnya Lareina bisa mendengar Narendra menyebut namanya lagi meskipun dengan nada yang ketus. Gadis itu merasa bahagia karena hanya dengan mendengar itu, bisa membuatnya bangkit kembali.

“Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau merasa bahagia dan seolah menjadi gadis yang paling bahagia di dunia setelah aku menyebut namamu?”

Narendra sangat peka. “Apa yang membuatmu tertarik untuk selalu berada di hidupku? Tidak mungkin kalau ini karena pernikahan bersyarat itu.”

Dia membutuhkan sebuah jawaban atas ketahanan Lareina menjaga keharmonisan pernikahannya. Ya, meskipun tidak harmonis yang orang lain pikirkan. Tetapi, entah mengapa Lareina merasa sangat bahagia.

“Itu karena aku mencintaimu. Aku tidak mau bercerai darimu dan akan selalu mempertahankan pernikahan kita,” ungkap Lareina dengan jujur.

“Bohong.”

“Aku tidak bohong.”

“Kau pembohong.”

“Aku— ”

“Kau gadis pembohong!”

Setelah Narendra sedikit membentaknya, Lareina terdiam sejenak. “Kamu boleh menyebutku sebagai pembohong. Tapi aku berkata jujur padamu.”

“Kita memang menikah dengan pernikahan bersyarat tapi aku mencintaimu dan bahkan berkeinginan untuk melihat wajahmu,” lanjut Lareina.

Sang suami hanya menampilkan wajah ketidakpedulian soal rasa cinta istrinya yang begitu besar kepadanya. Hatinya terus mengatakan semua itu bohong. Apa pun yang Lareina katakan dan lakukan hanya kebohongan.

Perlu kesabaran untuk menyadarkan seseorang yang begitu keras kepala. Lareina tersenyum dan menunduk. Tidak masalah kalau Narendra masih belum bisa menerima cintanya yang tak akan punah di terjang badai.

“Aku mau kau bisa secepatnya meninggalkan rumah ini. Biarkan aku hidup bahagia dengan caraku sendiri. Kau tidak perlu mengurusku lagi,” katanya.

“Bagaimana bisa aku melakukan itu? Aku adalah istrimu sudah seharusnya kita berdua bersama di rumah yang sama,” tolak Lareina menggeleng.

“Kau bukan istriku! Sudah berapa kali aku mengatakan itu padamu! Kau bukan istriku! Aku sangat membencimu!” teriak sang suami pada istrinya.

Bagaimana perasaanmu kalau mendengar kata kebencian dari suamimu sendiri? Apakah kamu akan tetap bersamanya dan membenteng semua kebencian suamimu sendiri atau justru kamu memilih menyerah?

Semua itu ancaman untuk Lareina agar meninggalkan rumah itu beserta suaminya yang sangat dicintai. Tidak masalah jika ingin membencinya. Namun, Lareina sama sekali tidak mau menyerah mendapatkannya.

“Kamu boleh membenciku, Narendra. Aku sama sekali tidak peduli kamu mau membenciku sebanyak apa pun yang kamu inginkan nantinya.”

“Kamu juga boleh memukulku seperti semalam dan lampiaskan apa pun yang ada di dalam dirimu padaku. Aku akan menanggung kesedihanmu.”

“Tapi, kumohon jangan menyuruhku untuk meninggalkanmu. Bagaimana bisa aku melakukan itu di saat aku sedang mencintaimu? Aku tidak bisa.”

“Aku ingin selalu ada di sisimu dan mendukungmu dengan semangat yang membara di dalam hatiku. Apa kamu tidak bisa merasakan ketulusanku?”

Bagi Narendra, keberadaan Lareina adalah suatu beban tersendiri dalam hidupnya yang memang harus disingkirkan secepat mungkin. Pernikahan ini bukan dirinya yang meminta. Ini hanya suatu paksaan keluarga.

Dengan kata lain, Narendra bisa mengusirnya tanpa syarat dan tanpa Lareina memintanya sekalipun. “Kau benar-benar tidak tahu diri, ya.”

“Apa maksudmu? Apakah mencintaimu itu adalah suatu tindakan kriminal? Apakah aku akan dipenjara karena mencintaimu?” tanya Lareina memekik.

SYUNG!

Narendra melempar bantal dan mengenai kepala Lareina. Itu bisa dijadikan sebagai tanda bahwa Narendra tidak senang dengan cara istrinya berbicara. Apalagi memekik seperti itu bisa membuatnya sangat murka.

“Kalau kau tidak senang dengan lemparan itu, akan lebih baik kau keluar dari rumah ini. Aku bisa saja mengusirmu sekarang juga,” ancam Narendra.

Tersenyum, “Tidak apa-apa. Lakukan apa pun yang kamu mau. Aku minta maaf karena sudah berteriak padamu. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”

“Jangan berjanji kalau kau akan mengulanginya di kemudian hari. Apa kau merasa dirimu pantas dipuji karena kelembutanmu?” Narendra terkekeh.

“Lihatlah dirimu sendiri. Kau bahkan tidak bisa melihat. Kau bahkan tidak tahu suamimu sendiri seperti apa. Bisa-bisanya kau menjadi istriku.”

“Biar kusarankan satu hal. Keluarlah dari rumah ini dengan uang yang akan kuberikan padamu. Dengan uang itu, kau bisa mengobati matamu.”

“Kita bisa sama-sama terbebas dari pernikahan kontrak ini. Kau membawa uang untuk mengobati matamu dan aku bisa hidup dengan bebas tanpamu.”

“Mana yang akan kau pilih? Sudah jelas yang paling bagus adalah menerima uang untuk mengobati matamu. Bukankah kau ingin melihatku?”

“Kau bisa melihatku tapi ketika kau memutuskan untuk menerima uang itu dan kemudian kita bercerai. Itu jalan yang mudah untuk kau lewati.”

Sebaiknya Narendra katakan saja dengan jelas bahwa dia ingin bercerai dengan Lareina agar bisa hidup sesuai dengan jalannya sendiri. Dengan kepergian istrinya, dia bisa melakukan apa pun semuanya sendiri.

Tetapi, apakah Lareina justru akan tergoda dengan uang yang ditawarkan oleh suaminya demi menyembuhkan matanya? Benar kata Narendra. Dengan itu, dia bisa menggunakannya untuk operasi mata.

Bibirnya mulai terangkat manis hendak memutuskan sesuatu di antara dua pilihan yang paling menyesakkan hatinya. Semakin menaik dan mulai menarik napas sembari berkata, “Aku akan memilih ... ”

BERSAMBUNG

Mendadak Ada Pencurian

Yang Lareina pilih ini sudah menjadi keputusan bulatnya. Dia masih akan tetap berada di rumah itu sampai Narendra bisa mencintainya dan mengakui keberadaannya sebagai seorang istri yang lama menunggu cinta.

Orang-orang mungkin akan mengira kalau Lareina adalah sosok yang bodoh yang rela bertahan dengan kondisi itu hanya demi cintanya. Tetapi baginya, Narendra J. Wilson adalah segalanya bagi seluruh jiwa dan raganya.

“Nova. Bagaimana kondisi pelayan itu? Apa sekarang sudah membaik? Katanya yang kudengar, dia akan pulang hari ini?” tanya Lareina khawatir.

“Iya, Nyonya. Dokter sudah mengizinkan dia untuk pulang karena memang kondisinya sudah baik-baik saja. Anda tidak perlu cemas,” sahut Nova.

Lareina mengangguk mengerti. “Kejadian semalam itu benar-benar membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Kupikir Narendra ... membunuhnya.”

Itu karena darah misterius yang berada di dekat pelayan itu. “Aku merasa sangat bersalah karena sudah menuduh Narendra yang tidak-tidak.”

Nova semakin teringat dengan tangan Narendra yang sepertinya terluka. Pagi ini, dia menemukan sesuatu yang membuatnya berkerut kening. Dia bertanya-tanya, apakah Narendra semalam habis bertengkar dengan orang?

‘Kalau aku beri tahu Nyonya tentang ini, kira-kira apa yang akan Nyonya pikirkan soal Tuan, ya? Apa lebih baik aku sembunyikan saja?’ batin Nova.

Dipikir-pikir Lareina juga berhak tahu soal suaminya apalagi ia tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tugas Nova di sana untuk menjaga Lareina dan memberitahukan segala yang harus diceritakan.

“Nova, kamu masih di sini, 'kan?” tanya Lareina. Suara Nova hampir tidak kedengaran dan itu membuat Lareina berpikiran sang pembantu pergi.

“Iya, saya masih di sini, Nyonya. Anu, saya ingin memberi tahu Anda sesuatu yang sepertinya Anda harus ketahui,” ucapnya mulai sedikit terbuka.

“Soal apa?”

“Ini tentang Tuan Narendra. Saya melihat tangan Tuan seperti diperban dan sepertinya Tuan mengalami insiden buruk saat pulang,” katanya.

Sontak itu membuat Lareina terdiam. “Kenapa kamu baru memberitahuku itu sekarang? Kenapa tidak tadi kamu bilang kalau dia terluka?”

Nova menunduk, “Saya minta maaf, Nyonya. Saya merasa kalau itu bukan waktu yang tepat untuk memberi tahu Anda tentang keadaan Tuan.”

Karena tidak mungkin juga Nova membicarakan hal itu saat berpapasan langsung dengan orang bersangkutan. Dia tidak berani, bukan tidak enak. Narendra sangat kejam sampai dia tidak bisa menatapnya.

“Apa lukanya sangat parah? Apa sampai mengeluarkan darah juga?” tanya Lareina menarik-narik tangan Nova untuk menceritakan semuanya.

“Sepenglihatan saya tidak ada bekas darah. Hanya itu yang saya lihat. Saya berkata seperti ini karena Anda adalah istrinya.” Nova berkata jujur.

“Iya, katakan apa pun yang kamu lihat. Kalau kamu merasa Narendra begitu mencurigakan, kamu harus tetap memberitahuku.” Tidak boleh tidak.

Yang memenuhi pikiran Lareina sekarang adalah dari mana luka Narendra itu berasal. Kalau Narendra memang berkelahi dengan seseorang itu sudah menjadi hal yang biasa. Tetapi, bagaimana dengan yang lain?

Lareina mencoba mengingat-ingat kembali apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun dia tidak bisa melihat, tetapi Lareina memiliki sesuatu yang bisa meyakinkan perasaannya soal apa pun yang dianggap mencurigakan.

“Nova.”

“Iya, Nyonya?”

“Apa kamu tahu tempat di mana rumah sakit yang Narendra datangi tadi pagi?” Sudah ada niatan mendatangi rumah sakit itu untuk mencari tahu.

“Saya tidak tahu, Nyonya. Saya hanya tahu kedatangan Tuan saja dari luar dengan tangan yang sudah diperban.” Nova selalu ada bersama Lareina.

“Coba kamu tanyakan pada sopir yang mengantar Narendra. Kemungkinan dia tahu besar soal rumah sakit yang Narendra datangi.” Memberi perintah.

“Saya akan coba menanyakannya.” Nova meninggalkan tempat itu. Perintah yang Lareina ucapkan padanya harus diselesaikan dengan baik.

Lareina hanya penasaran. Dia merasa seperti ada sesuatu yang aneh antara kejadian semalam dengan tangan Narendra yang katanya sudah terluka bahkan sampai diperban. Apa itu ada sangkut pautnya dengan Narendra?

Tidak membutuhkan waktu sampai beberapa menit, Nova sudah kembali dari luar dengan membawa secarik kertas di tangannya yang mungkin berisikan alamat rumah sakit yang Narendra datangi untuk berobat.

“Nyonya.”

“Bagaimana? Kamu sudah mendapatkan alamatnya?” tanya Lareina. Dia sungguh tidak bisa menahan diri dan ingin secepatnya mengetahui sesuatu.

“Saya sudah mendapatkan alamatnya. Kita hanya perlu mendatangi rumah sakit ini yang memang tidak terlalu jauh dari sini,” ucap Nova mengangguk.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita keluar sekarang? Kira-kira Narendra tidak akan mencariku tidak, ya?” Lareina dihadapkan dengan keraguan.

Jika ingin keluar, ada baiknya Lareina meminta izin terlebih dahulu agar Narendra bisa tahu ke mana istrinya akan pergi. Itu juga untuk mencegah kecurigaan tersendiri suaminya kepada istrinya yang dikira tidak setia.

“Anda harus meminta izin kepada Tuan Narendra lebih dahulu, Nyonya. Kita tidak bisa langsung pergi begitu saja tanpa izin dari suami Anda,” ujar Nova.

Lareina mengangguk, “Kamu benar. Aku harus meminta izin Narendra dulu dan meyakinkannya. Aku akan ke kamarnya dulu. Kamu tunggu saja di sini.”

“Baik.”

.

.

.

Semuanya sangat gelap. Lareina memasuki sebuah ruangan yang diduga adalah kamar Narendra dengan meraba-raba barang yang berada di sana. Tongkat di tangannya juga sering kali membantunya untuk berjalan.

‘Kalau saja aku bisa melihat semuanya, aku tidak akan mungkin melakukan ini dan berjalan dengan tegap ke arah suamiku,’ batin Lareina begitu lelah.

Dia ingin bisa melihat lagi karena kebutaannya ini bukan dari lahir melainkan karena pernah terjadi sebuah kecelakaan besar yang mengakibatkan Lareina harus kehilangan penglihatannya. Itu menyakitkan.

“Narendra, kamu di mana?” Setelah meraba-raba tempat tidur dan meyakini keberadaan suaminya tidak ada di sana, Lareina mencari ke tempat lain.

Sebisa mungkin ingin menemukan suaminya tanpa bantuan dari siapa pun dan tanpa merepotkan orang-orang. “Narendra, aku mau meminta izin.”

KRIEET!

Lareina langsung menoleh ke arah sumber suara yang sepertinya ada sesuatu yang baru saja di buka. Tetapi, dia tidak tahu apa itu. Rasa-rasanya seperti pintu atau sesuatu yang memang dapat di buka atau di tutup.

“Narendra? Apa itu kamu? Kamu di mana? Aku bukan bermaksud untuk mengganggu, hanya saja aku ingin meminta izin untuk keluar sebentar.”

Ada bagusnya berbicara langsung ke intinya. “Kalau kamu mengizinkan aku keluar, aku akan segera pergi. Aku hanya akan pergi sebentar lalu kembali.”

Kenapa tidak ada suara sama sekali? Apa benar suara itu berasal dari Narendra? Bagaimana kalau orang lain yang memang sengaja menipunya? Itu tidak masalah. Namun, bagaimana kalau seorang pencuri masuk?

‘Pencuri?’

Dia mengangkat tongkatnya yang memang secara khusus digunakan untuk berjalan saja. Tetapi kali ini, Lareina akan menggunakannya sebagai tameng untuk mengusir pencuri yang masuk ke dalam kamar suaminya tanpa izin.

“Hey, pencuri! Aku tidak takut padamu! Tunjukkan dirimu dan keluar dari kamar suamiku! Beraninya kamu mencuri di rumahku!” ancam Lareina.

Tidak ada ketakutan apa pun kalau caranya ini untuk menjaga keselamatan suaminya sendiri. Insting orang buta kadang lebih tajam daripada orang-orang normal lainnya. Namun, tidak semua orang bisa menyadarinya.

“Jangan main-main denganku! Tunjukkan dirimu yang sebenarnya dan keluarlah dari rumah ini! Atau aku akan memanggil polisi sekarang juga!”

Narendra keluar dari dalam kamar mandinya dan langsung terkejut melihat keberadaan istrinya yang sudah memegang tongkat. Anehnya, ia juga mengucapkan kata-kata yang berhubungan untuk melawan para pencuri.

Memangnya di kamarnya ada pencuri? Dasar aneh. Dia mencoba mendekati Lareina dan menepuk pundaknya tanpa bersuara. Apakah Narendra tidak tahu kalau dengan cara seperti itu bisa membuat Lareina jadi salah paham?

SYUNG!

Tongkat kemudian dilayangkan ke belakang tanpa ragu-ragu karena memang berpikir itulah orang yang mengerjainya barusan. Narendra segera menghindar dan mencekik leher Lareina dengan lengan dari belakang.

“Ugh! Lepaskan aku! Jangan menggangguku! Keluar kamu dari kamar suamiku sebelum aku melaporkanmu kepada polisi!” Lareina mengancam.

Narendra masih belum mau membuka suaranya dan membiarkan Lareina bertingkah apa pun sesuai keinginannya. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan istrinya itu kala bertemu pencuri sungguhan di rumah.

“Kamu tidak mau melepaskanku! Jangan salahkan aku kalau tulangmu sampai patah! Asal kamu tahu saja kalau aku pernah belajar cara bela diri!”

Tertegun.

Narendra tidak pernah tahu kalau Lareina memang suka hal-hal yang menyangkut tentang fisik tubuh. Tetapi, tenang saja. Otot Narendra lebih besar daripada yang dimiliki Lareina jadi dia tidak mudah tumbang.

Ada sesuatu yang mencengkeram baju bagian belakang Narendra dan tidak ada yang tahu kapan Lareina melakukannya di sana. Dalam hitungan yang sangat cepat, Lareina membungkuk dan membanting tubuh Narendra.

BUGH!

“Akh...!”

Narendra meringis kesakitan. Tubuhnya sangat sakit bukan main dan bisa-bisanya dengan tubuh Lareina yang seperti itu mampu mengangkat tubuh pria yang ukurannya lebih kuat dan lebih berotot dari pada dirinya.

“Rasakan itu! Kalau mau bermain-main denganku, kamu latihlah dulu ototmu dan kembali serang aku kalau sudah kuat!” Sedang merendahkan.

“Kalau kau sudah memamerkan kemampuanmu, sebaiknya bantu aku berdiri! Beraninya kau melemparku semaumu!” pekik Narendra marah.

“Umph!” Lareina justru menutup mulutnya. ‘Astaga! Jadi, orang yang kubanting itu adalah Narendra? Gawat! Aku berada dalam masalah besar!’

Tubuhnya menjadi bergetar tidak karuan setelah mengetahui bahwa orang yang menjadi korbannya adalah suaminya sendiri. Lareina mengulurkan sebelah tangannya ke mana-mana untuk membantu Narendra berdiri.

“Ayo, raih tanganku.”

“Ugh!”

“Eh, eh-!! AAAA!!”

BRUK!

Dikarenakan tubuh Lareina tidak seimbang dan Narendra langsung meraih tangannya dengan cepat malah membuat tubuhnya oleng kemudian ikut ambruk di lantai. Bukan! Bukan di lantai. Tetapi di dada bidang Narendra.

‘Bau sabun.’

“Menyingkir dari tubuhku!”

Narendra mendorong tubuh Lareina sehingga gadis itu kini berada di posisi yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini juga ia benar-benar terjatuh di atas lantai yang dingin. Lareina tidak akan melupakan momen berharga ini.

‘Rupanya dia habis mandi, ya. Bau sabunnya membuat perasaanku sangat tenang. Kapan lagi aku bisa mencium bau sabun dari tubuh suamiku?’

Pikiran Lareina menjadi sempit. “Maaf, aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku kira tadi itu ada orang asing masuk ke kamarmu. Rupanya itu kamu, ya.”

“Kenapa kau berpikir ada orang yang masuk ke kamar ini selain aku? Dan dari mana kau mempunyai kemampuan seperti itu?” Narendra penasaran.

“Entahlah, aku juga samar-samar mendengar sesuatu yang terbuka dari arah sana.” Lareina menunjuk ke arah depan. “Asal suaranya ada di sana.”

Dia juga melanjutkan, “Kalau soal ilmu bela diriku, aku memang sudah memilikinya dari kecil karena memang pernah belajar sebelum kecelakaan.”

Narendra tidak fokus pada kemampuan Lareina. Tetapi, dia sedang fokus pada sesuatu yang katanya seperti terbuka. Sedangkan arah kamar mandi berada di belakang Lareina di saat gadis itu sibuk menghadap ke depan.

Jangan-jangan memang ada orang lain yang berada di kamar itu? Karena tidak ada barang atau pintu yang tiba-tiba terbuka selama Narendra menempatinya. Bisa jadi memang ada seseorang yang masuk ke kamarnya.

“Hey, pegang tanganku!”

“Apa?”

“Cepat pegang tanganku!”

“Iya.”

Dia membantu istrinya berdiri dan menuntunnya untuk duduk di atas tempat tidur. “Tunggu di sini. Jangan bergerak sedikit pun dari tempat ini!”

“Oh, oke.”

Lareina tidak tahu apa yang sedang terjadi tetapi sepertinya nada suara Narendra sangat berhati-hati sekarang. Ia juga menyuruhnya untuk diam di tempat tidur tanpa berdiri sama sekali. Kira-kira apa yang terjadi?

Pandangan pria itu sedang tertuju pada satu titik di depannya. Sangat fokus sampai tidak ada yang boleh mengalihkan pandangannya sama sekali karena bisa saja pelaku pencurian itu melarikan diri dari dalam kamarnya.

Mendadak...!

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!