Katanya, pelayan yang sempat dinyatakan meninggal dunia itu rupanya masih bisa bernapas karena memang hanya pingsan saja. Akan tetapi, yang membuat Lareina bingung adalah tidak ada luka sayatan apa pun di leher.
Lareina sangat mengenal bau itu adalah bau darah bahkan dia sempat memeriksanya lebih lanjut dengan menyentuh cairannya. Dia tidak mungkin salah tetapi Dokter juga tidak mungkin menipu orang-orang keluarga pasien.
Jadi, siapa pemilik darah itu?
Tidak lama kemudian, Narendra datang dengan tangan yang diperban dan sepertinya baru pulang dari rumah sakit. Nova memperhatikan tangan Narendra dan sesekali membungkuk untuk menghormati kedatangannya.
“Bawakan minuman ke kamarku. Orang yang harus melakukan itu harus istriku, jangan yang lain. Kalau tidak, nasib kalian akan sama sepertinya.”
Maksudnya adalah sama seperti pelayan yang saat ini masih berada di rumah sakit. Nova mengangguk, “Baik, Tuan. Saya akan siapkan minumnya.”
Narendra memperhatikan istrinya yang hanya terdiam tak bersuara. Sedikit memicingkan matanya seolah sedang mendeteksi apa yang sedang terjadi kepada Lareina saat ini. Tidak biasanya gadis itu menjadi banyak terdiam.
“Saya akan menyiapkan minumannya dulu, Nyonya. Dan mungkin Anda sendiri yang harus mengantarkannya pada Tuan Narendra,” ucap Nova.
Lareina mengangguk. Tak masalah kalau begitu. “Aku yang akan mengantarkannya. Dia sudah bilang bahwa aku harus selalu melayaninya.”
Kasihan juga melihatnya. Wajah Lareina juga tampak tertekan dengan apa yang sudah terjadi. “Saya permisi ke dapur dulu.” Nova meninggalkannya.
Untuk saat ini Lareina ingin memikirkan satu hal soal pelayan yang katanya menyayat lehernya sendiri. Narendra yang mengatakan semua itu namun Dokter berkata tidak ada bekas luka. Apa mungkin Narendra berbohong?
Kalau Narendra memang berbohong soal itu, memang apa manfaatnya untuk dirinya sendiri? Sepertinya itu tidak bermanfaat sama sekali atau mungkin Narendra sangat kebosanan sampai mempermainkan seseorang?
‘Inilah yang kutakutkan. Kalau Narendra melukaiku mungkin tidak apa-apa, tapi aku tidak bisa membiarkannya menyakiti orang lain,’ batin Lareina.
Dia sudah menganggap para pelayan di sana sebagai keluarganya. ‘Sebisa mungkin aku harus banyak menghabiskan waktu dengan Narendra.’
Lalu, Lareina memegang tangan yang terluka. ‘Supaya tidak ada korban lain yang menjadi target Narendra. Aku tidak mau hal itu sampai terulang lagi.’
Katanya, ia akan berusaha keras menjaga para pelayan di sana dengan mata yang seolah-olah tertutup dengan kain. Lareina bahkan tidak akan pernah tahu Narendra akan melakukan apa tanpa sepengetahuan darinya.
Nova datang dengan membawa minuman dengan piring di bawahnya. Dia memberikannya kepada Lareina. “Ini minuman Tuan Narendra, Nyonya.”
“Baiklah. Kamu tunggu di sini. Jangan ikuti aku sampai ke kamar Narendra. Kamu tidak boleh sampai terluka,” ingat Lareina kepada pelayan pribadinya.
“Saya berjanji, Nyonya.”
Lareina sedikit menarik napasnya dan mengeluarkannya melalui mulut. Pekerjaan yang menguras banyak tenaga dan harus berhati-hati kalau ingin memakai tangga. Tidak ada yang tahu kapan ajal akan menjemput, bukan?
.
.
.
Posisi Narendra saat ini sedang berbaring di kasurnya. Cahaya matahari memasuki kamarnya dan sedikitnya mengenai tubuh Narendra. Dia sedang menunggu pesanannya datang karena membutuhkan waktu.
CEKLEK!
Suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Dari suara langkah kakinya yang memakai tongkat, sangat diyakini bahwa itu adalah Lareina. Akhirnya setelah menunggu sepuluh menit, gadis itu datang juga. Dia sudah menunggu.
“Lain kali percepat langkah kakimu itu. Jangan membuatku menunggu lama begini. Kau tahu, 'kan, kalau aku tidak suka menunggu?” tanya Narendra.
“Aku minta maaf. Tangganya sangat panjang jadi aku harus berhati-hati agar minumanmu tidak tumpah,” sahut Lareina. Dia tidak khawatir soal dirinya.
Hal itu membuat Narendra tertarik untuk menoleh. “Kau tak khawatir dirimu akan terluka? Kau benar-benar tak mengkhawatirkan dirimu, huh?”
“Bohong kalau aku tidak takut. Sebenarnya aku sangat takut. Tapi, aku berusaha tetap kuat untuk selalu ada di sisimu,” ucap Lareina tersenyum.
Karena Lareina meyakini bahwa sebenarnya sikap Narendra itu tidak seperti sekarang yang suka memarahi orang-orang atau memukulnya seperti semalam. Dia tahu kalau Narendra adalah sosok yang baik hati sebenarnya.
Namun, karena adanya pengalaman hidup yang tidak diinginkan untuk melihatnya membuat Narendra menjadi sosok manusia yang bisa melakukan apa pun. Lareina hanya perlu membantunya untuk berubah.
“Manusia bodoh. Kaulah yang paling bodoh yang pernah kutemui di dunia ini. Kau sama sekali tidak berharga,” ketus Narendra menjelek-jelekkan.
Ya, sudahlah. Lareina terima saja apa yang dikatakannya. Percuma juga kalau dia berusaha membela diri. Narendra mengambil minuman itu dan meletakkannya di atas nakas setelah meminum satu teguk dari air itu.
“Pijat kakiku.”
“Baik.”
Istri rasa pembantu itu memang ada sebenarnya. Tetapi, bukan istri pada umumnya yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga biasa. Namun, nasib Lareina ini tergantung dari caranya memperlakukan Narendra.
Kalau tidak bisa melayaninya dengan baik, maka dirinya akan ditendang keluar dari rumah itu yang memang adalah keinginan Narendra sendiri. Ia berkeinginan untuk mengusir Lareina namun selalu saja penuh kegagalan.
‘Gadis bodoh ini bisa-bisanya menjadi istriku. Dia sangat berbeda dengan seseorang yang selalu kuimpikan akan menjadi istriku suatu saat nanti.’
‘Sebenarnya trik apa yang sedang dia mainkan sampai memikat hati orang tuaku? Aku dijodohkan dengannya satu hari setelah dia lewat di depan kami.’
‘Benar-benar gadis tidak tahu diri. Dia seharusnya lebih peka terhadap dirinya sendiri bahwa dengan mata seperti itu, dia tidak pantas untukku.’
‘Aku sudah melakukan segala cara untuk mengeluarkannya dari rumah ini dengan kekerasan yang seharusnya tidak boleh kulakukan. Tapi dia ... ’
Narendra merasa kalah kalau Lareina terus bertahan. ‘ ... dia selalu saja mengaku tidak apa-apa dan tidak apa-apa. Sebenarnya apa rencananya ini?’
Dia kebingungan dan ingin tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh Lareina sampai mampu bertahan dalam kondisinya yang seperti ini. Di lihat dari wajahnya, gadis itu tidak merasa tertekan dan terus saja tersenyum.
“Kenapa?”
“Ya?“
“Kenapa kau terus ada di sini? Kau seharusnya meninggalkan rumah ini dan pergi sejauh mungkin. Apa yang kau rencanakan?” tanya Narendra.
Lareina bingung. “Apa yang kurencanakan? Aku tidak merencanakan apa pun. Memangnya kamu melihatmu sebagai orang yang penuh rencana?”
Ia terus saja berbohong sampai Narendra merasa muak. “Kau tidak perlu menipuku seperti ini. Katakan saja apa yang kau inginkan, Lareina.”
Setelah sekian lama, akhirnya Lareina bisa mendengar Narendra menyebut namanya lagi meskipun dengan nada yang ketus. Gadis itu merasa bahagia karena hanya dengan mendengar itu, bisa membuatnya bangkit kembali.
“Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau merasa bahagia dan seolah menjadi gadis yang paling bahagia di dunia setelah aku menyebut namamu?”
Narendra sangat peka. “Apa yang membuatmu tertarik untuk selalu berada di hidupku? Tidak mungkin kalau ini karena pernikahan bersyarat itu.”
Dia membutuhkan sebuah jawaban atas ketahanan Lareina menjaga keharmonisan pernikahannya. Ya, meskipun tidak harmonis yang orang lain pikirkan. Tetapi, entah mengapa Lareina merasa sangat bahagia.
“Itu karena aku mencintaimu. Aku tidak mau bercerai darimu dan akan selalu mempertahankan pernikahan kita,” ungkap Lareina dengan jujur.
“Bohong.”
“Aku tidak bohong.”
“Kau pembohong.”
“Aku— ”
“Kau gadis pembohong!”
Setelah Narendra sedikit membentaknya, Lareina terdiam sejenak. “Kamu boleh menyebutku sebagai pembohong. Tapi aku berkata jujur padamu.”
“Kita memang menikah dengan pernikahan bersyarat tapi aku mencintaimu dan bahkan berkeinginan untuk melihat wajahmu,” lanjut Lareina.
Sang suami hanya menampilkan wajah ketidakpedulian soal rasa cinta istrinya yang begitu besar kepadanya. Hatinya terus mengatakan semua itu bohong. Apa pun yang Lareina katakan dan lakukan hanya kebohongan.
Perlu kesabaran untuk menyadarkan seseorang yang begitu keras kepala. Lareina tersenyum dan menunduk. Tidak masalah kalau Narendra masih belum bisa menerima cintanya yang tak akan punah di terjang badai.
“Aku mau kau bisa secepatnya meninggalkan rumah ini. Biarkan aku hidup bahagia dengan caraku sendiri. Kau tidak perlu mengurusku lagi,” katanya.
“Bagaimana bisa aku melakukan itu? Aku adalah istrimu sudah seharusnya kita berdua bersama di rumah yang sama,” tolak Lareina menggeleng.
“Kau bukan istriku! Sudah berapa kali aku mengatakan itu padamu! Kau bukan istriku! Aku sangat membencimu!” teriak sang suami pada istrinya.
Bagaimana perasaanmu kalau mendengar kata kebencian dari suamimu sendiri? Apakah kamu akan tetap bersamanya dan membenteng semua kebencian suamimu sendiri atau justru kamu memilih menyerah?
Semua itu ancaman untuk Lareina agar meninggalkan rumah itu beserta suaminya yang sangat dicintai. Tidak masalah jika ingin membencinya. Namun, Lareina sama sekali tidak mau menyerah mendapatkannya.
“Kamu boleh membenciku, Narendra. Aku sama sekali tidak peduli kamu mau membenciku sebanyak apa pun yang kamu inginkan nantinya.”
“Kamu juga boleh memukulku seperti semalam dan lampiaskan apa pun yang ada di dalam dirimu padaku. Aku akan menanggung kesedihanmu.”
“Tapi, kumohon jangan menyuruhku untuk meninggalkanmu. Bagaimana bisa aku melakukan itu di saat aku sedang mencintaimu? Aku tidak bisa.”
“Aku ingin selalu ada di sisimu dan mendukungmu dengan semangat yang membara di dalam hatiku. Apa kamu tidak bisa merasakan ketulusanku?”
Bagi Narendra, keberadaan Lareina adalah suatu beban tersendiri dalam hidupnya yang memang harus disingkirkan secepat mungkin. Pernikahan ini bukan dirinya yang meminta. Ini hanya suatu paksaan keluarga.
Dengan kata lain, Narendra bisa mengusirnya tanpa syarat dan tanpa Lareina memintanya sekalipun. “Kau benar-benar tidak tahu diri, ya.”
“Apa maksudmu? Apakah mencintaimu itu adalah suatu tindakan kriminal? Apakah aku akan dipenjara karena mencintaimu?” tanya Lareina memekik.
SYUNG!
Narendra melempar bantal dan mengenai kepala Lareina. Itu bisa dijadikan sebagai tanda bahwa Narendra tidak senang dengan cara istrinya berbicara. Apalagi memekik seperti itu bisa membuatnya sangat murka.
“Kalau kau tidak senang dengan lemparan itu, akan lebih baik kau keluar dari rumah ini. Aku bisa saja mengusirmu sekarang juga,” ancam Narendra.
Tersenyum, “Tidak apa-apa. Lakukan apa pun yang kamu mau. Aku minta maaf karena sudah berteriak padamu. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
“Jangan berjanji kalau kau akan mengulanginya di kemudian hari. Apa kau merasa dirimu pantas dipuji karena kelembutanmu?” Narendra terkekeh.
“Lihatlah dirimu sendiri. Kau bahkan tidak bisa melihat. Kau bahkan tidak tahu suamimu sendiri seperti apa. Bisa-bisanya kau menjadi istriku.”
“Biar kusarankan satu hal. Keluarlah dari rumah ini dengan uang yang akan kuberikan padamu. Dengan uang itu, kau bisa mengobati matamu.”
“Kita bisa sama-sama terbebas dari pernikahan kontrak ini. Kau membawa uang untuk mengobati matamu dan aku bisa hidup dengan bebas tanpamu.”
“Mana yang akan kau pilih? Sudah jelas yang paling bagus adalah menerima uang untuk mengobati matamu. Bukankah kau ingin melihatku?”
“Kau bisa melihatku tapi ketika kau memutuskan untuk menerima uang itu dan kemudian kita bercerai. Itu jalan yang mudah untuk kau lewati.”
Sebaiknya Narendra katakan saja dengan jelas bahwa dia ingin bercerai dengan Lareina agar bisa hidup sesuai dengan jalannya sendiri. Dengan kepergian istrinya, dia bisa melakukan apa pun semuanya sendiri.
Tetapi, apakah Lareina justru akan tergoda dengan uang yang ditawarkan oleh suaminya demi menyembuhkan matanya? Benar kata Narendra. Dengan itu, dia bisa menggunakannya untuk operasi mata.
Bibirnya mulai terangkat manis hendak memutuskan sesuatu di antara dua pilihan yang paling menyesakkan hatinya. Semakin menaik dan mulai menarik napas sembari berkata, “Aku akan memilih ... ”
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Yuri/Yuriko
Ditunggu kelanjutannya!
2023-12-25
0