“Jalani seperti air mengalir, kadang kala ada benturan tapi air itu akan terus mengalir menuju muara seharusnya.”
Hari kedua menikmati jadi pengangguran. Pagi-pagi sudah ditelpon mama, menanyakan apakah pekerjaanku lancar atau tidak. Dengan berbohong lantas kujawab iya saja, biar buntutnya tidak panjang ke mana-mana. Mama juga mengingatkan aku soal Tefan, mengingatkan untuk kesekian kalinya kalau Tefan sudah menjadi milik Karenina.
“Iyah Mama, aku tahu.”
“Riana sayang, Mama tidak mau kamu sampai mengorbankan banyak hal hanya karena Tefan. Kamu harus sadar posisi kamu. Orang tuanya membenci keluarga kita sayang.”
“Iyah Ma.” Jawabku lemah.
Dan aku mulai jengah kalau harus mendengar ini berulang kali, meski maksud mama itu baik tapi tidak juga harus dijelaskan seribu kali.
“Ma, sudah dulu ya, aku mau mandi mau berangkat kerja.” Jawabku berkilah, menghindar dari wejangan mama yang sepanjang rel kereta api.
Aku duduk termenung di atas tempat tidur dan Karenina menerobos masuk begitu saja.
“Hayooo... melamun apaan? Lagi naksir sama seseorang ya?” godanya.
“Sotoy deh. Minggir gih, aku mau mandi dulu.”
“Mau ke mana?”
“Cari kerja. Bosan di rumah terus.”
“Nah gitu dong. Itu baru Rian.”
“Riana.... bukan Rian, Kare...!!!” teriakku dari dalam kamar mandi.
“Biarin. Haha.” Jawabnya sambil tertawa dan keluar kamar, aku mendengar derap kakinya dan suara pintu yang sedang ditutup.
Mandi sudah, sarapan beres, siap - siap ke kantor yang menghubungiku kemarin sore. Semoga diterima. Kalau dipikir - pikir, sebenarnya aku tidak perlu cari - cari kerja seperti ini sebab bisnis papa juga sudah melaju pesat dan butuh orang untuk menjalankannya dan akulah satu - satunya orang yang pantas untuk itu karena aku anak satu - satunya. Tapi bagaimana bisa, kalau passion aku ternyata tidak di sana. Buang - buang waktu saja. Selain bisnis papa yang perlu diurus, sebenarnya aku punya lahan sendiri yaitu bisnis kuliner. Tapi sudah kuserahkan pada sepupuku untuk mengurus semuanya. Aku tinggal tunggu transferan masuk setiap bulannya dan aku percaya sama dia.
Bekerja bagiku sebenarnya hanya untuk menghilangkan rasa jenuh saja. Tinggal di rumah kontrakan pun sebenarnya bukanlah sebuah pilihan terakhir buatku, sebab papa sudah membelikan apartemen tapi aku malah lebih senang tinggal di rumah kontrakan seperti ini. Setidaknya dengan tinggal di sini aku selalu bersama Nina. Kalau di apartemen sepanjang hari akan sendiri, mengajak Nina tinggal di apartemen, dia tidak mau. Katanya jauh dari tempat dia kerja, selain itu sudah nyaman berada di rumah kontrakan ini. Yah, di sinilah memang seharusnya aku berada mungkin.
Aku mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik sembari jari - jariku juga ikut berketak ketuk di atas setir mobil. Ada telpon masuk, tanpa melihat dari siapa aku langsung mengangkatnya.
“Halo...!”
“Dengan Mba Riana Larasati?”
“Iyah benar. Dengan siapa ya?”
“Kami dari perusahaan yang menelpon mbak kemarin untuk melakukan wawancara hari ini, bagaimana mba, apa hari ini bisa dilakukan wawancara?”
“Oh iyah, iyah maaf mba. Ini aku sedang di jalan. Lima menit lagi sampai. Maaf sudah membuat menunggu.”
“Iya ditunggu kalau begitu Mba. Selamat pagi.”
“Oke.”
Inilah salah satu penyakit yang tidak hilang-hilang dari aku, terlalu santai menikmati hal apapun, bahkan dalam hal genting sekalipun. Perusahaan yang bergerak di bidang advertising itu telah menelpon dan aku masih menyetir santai di balik kemudi. Lima menit gimana, paling juga lima belas menit baru sampai kantor tersebut. Let see, apa yang akan terjadi sesampainya aku di kantor itu. Apakah akan tetap dilakukan wawancara atau tidak.
Perusahaannya lagi butuh seorang marketing handal, melihat latar belakangku, aku bisa memenuhi syarat walaupun belum handal dalam hal ini.
Benar saja, lima belas menit kemudian barulah aku sampai di lobby perusahaan dan menemui resepsionisnya.
“Selamat pagi mba, aku dipanggil untuk wawancara hari ini. Bisakah aku wawancara hari ini?”
“Oh, tunggu sebentar ya mba.”
Sang resepsionis lalu menelpon seseorang, mungkin atasannya yang akan melakukan wawancara. Tidak sampai semenit, mba itu telah selesai dan memintaku untuk langsung menuju ruangan bosnya. Resepsionis menunjukkan ruangannya padaku bahkan mengantarkan sampai pintu ruangan bosnya.
Pintu diketuk pelan dan sang resepsionis membukanya dari luar.
“Maaf Pak sudah mengganggu, orangnya sudah datang.”
“Okey, trimakasih Fit. Suruh orangnya masuk.”
Aku pun masuk ke dalam ruangan seperti yang diminta. Ruangannya cukup luas, ada sofa untuk tamu dan ada satu buah kursi berada di depan bos yang tampaknya sedang sibuk di depan laptopnya.
“Selamat pagi Pak.” Ucapku.
“Selamat pagi. Kamu yang bernama Riana Larasati?”
“Iya benar pak.”
Interview seperti ini sudah bukan lagi hal baru bagiku tapi kenapa kali ini aku dibuat berdebar tidak karuan seperti ini sih. Aku berusaha menenangkan diri dengan bersikap tenang dan tidak tegang. Bapak-bapak di depanku ini sama sekali belum memandangku sejak menit yang lalu aku duduk di depannya. Hal itulah yang menyebabkan aku sedikit gugup, blagu banget sih nih Bapak-bapak. Keluhku dalam hati.
“Bahkan untuk interview saja kamu sudah telat hampir lima belas menit. Saya sangatlah menghargai waktu. Meski begitu saya akan memberimu kesempatan, saya ingin mendengar langsung mengenai pengalaman bekerja kamu. Dari CV yang kamu tawarkan nampaknya kamu punya banyak jam terbang. Bisakah kamu menjelaskan pada saya, kenapa saya harus mempekerjakan kamu di perusahaan saya ini?” Jelasnya panjang lebar.
Gila ini bapak - bapak, baru kali ini aku melakukan wawancara dengan seorang bos tanpa melihat wajahku sedikitpun. Orangnya sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas yang ada di depannya itu. Membuat aku sama sekali tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya, tapi kenapa orang ini sampai bisa membuat aku gugup tidak karuan seperti ini?
“Kenapa diam saja?” Tanyanya kemudian.
Eh iya, aku diminta menjelaskan CV kenapa malah melamun seperti ini. Sial!
Akupun bercerita panjang kali lebar, termasuk kenapa aku sampai bisa keluar masuk perusahaan berkali-kali dalam kurun waktu satu tahun. Kudengar bapak di depanku ini hanya berdehem lalu melanjutkan pekerjaannya lagi. Aku jadi kesal dibuatnya, sebenarnya niat mewawancarai tidak sih.
Aku sudah selesai dengan penjelasanku, tapi responnya hanya diam saja lalu tak lama kemudian dia mengangkat wajahnya. Seperti gerakan slow motion, orang ini benar-benar membuat aku kehilangan detak jantungku beberapa detik.
“Bapak...???” Hanya itu yang keluar dari bibirku yang tiba-tiba kelu begitu saja. Sekujur tubuhku seperti membeku mengetahui siapa yang sekarang sedang duduk di depanku.
“Ada apa Riana? Kamu kaget?” Tanyanya.
Jelas pertanyaannya itu konyol, siapa yang tidak kaget. Setelah bertahun-tahun akhirnya aku baru melihatnya lagi dan kini dia menatap ke arahku bagai hendak menelanku. Tatapannya begitu tajam, rasa kebencian itu tidak terlihat surut walau sudah bertahun-tahun berlalu.
“Sepertinya kamu belum melupakan saya. Ada apa? Bisnis papa kamu hancur, sampai kamu harus cari kerja ke sana ke mari? Reputasi dan prestasi kerja kamu selama ini juga kudengar sangat buruk. Sampai harus berpindah\-pindah perusahaan. Tapi tenang saja, di sini saya akan menerima kamu dengan tangan terbuka. Asal kebiasaan terlambat kamu bisa kamu tiadakan. Sebab saya tidak suka orang yang sering terlambat sedikit saja.”
“Saya belum melupakan anda, bagaimana bisa saya melupakan sahabat dari papa saya. Bagaimanapun kita pernah saling dekat dan sudah seperti keluarga—
“Ingat, itu dulu. Sekarang tidak lagi.” Potongnya.
“Iyah dulu...”
“Aku belum lupa semuanya Riana. Dulu kamu masih sangat kecil, mungkin beberapa hal bisa kamu ingat dan beberapa hal lainnya telah kamu lupakan. Oyah, bukannya dulu kamu juga sangat genit pada anakku? Sekarang dia bahkan telah tumbuh menjadi pria dewasa yang kuyakin akan bisa membuat kamu sampai lupa diri. Aku tahu kamu menyukainya, bukan begitu?”
Dicecar seperti ini, aku geram sendiri. Aku merasa dipermalukan, bibirku bergetar dan ingin sekali memaki bapak satu ini. Tapi bagaimanapun orang ini adalah papa dari Tefan dan pernah menjadi sahabat baik dari papa.
“Saya rasa bapak sudah keterlaluan. Wawancara ini sepertinya tidak berjalan semestinya, saya permisi dulu.”
Akupun berdiri dan hendak pergi begitu saja, tapi bapak ini menahanku sekali lagi dengan kata - kata terakhirnya yang membuat dadaku sesak dan nyaris tidak bisa bernafas.
“Lupakan Tefan, jangan pernah menemuinya lagi. Aku tidak mau berurusan dengan keluarga pengkhianat seperti papamu. Lagi pula, Tefan tidak akan pernah menjadi apa \- apa bagimu, suka atau tidak suka. Saya rasa kamu cukup mengerti dengan kata \- kata saya.”
Akupun pergi setelah mendengar sejenak penuturan dari papa Tefan, cukup menyakitkan memang. Tapi apalah artinya rasa sakit dibanding rasa cinta yang begitu besar di antara kami berdua? Aku menelan semua yang dikatakan oleh papa Tefan tanpa sedikitpun menaruh rasa dendam ataupun benci. Bagiku apa bedanya benci atau tidak, dendam atau tidak, hal tersebut tidak akan mengubah apapun perasaanku terhadap Tefan.
Lupakan soal wawancara kerja, aku kira ini sudah direncanakan oleh Papa Tefan sejak awal. Cukup mengejutkan bahwa Papa Tefan kini sukses dengan usaha periklanannya, namun disayangkan bahwa dia tidak pernah lupa pada kebenciannya terhadap Papa dan keluargaku. Saat keluar dari kantor tersebut, tak sengaja aku bersirobok dengan Tefan yang hendak masuk ke dalam kantor. Aku tak sengaja menabraknya karena sejak keluar dari ruangan papa Tefan, aku masih menundukkan kepala. Menyembunyikan sesuatu yang sudah meluncur bebas dari mataku sejak keluar dari ruangan Papa Tefan. Tefan kaget melihatku berada di kantor papanya, aku sendiri sangat terkejut melihat kehadirannya yang begitu tiba-tiba.
“Riana...” Serunya kaget.
“Tefan...” Jawabku berusaha menghapus titik\-titik air yang masih tersisa. Agar tidak menimbulkan kecurigaan Tefan yang pasti akan memancing amarahnya.
“Kok bisa kamu ada di sini?” Tanyanya
“Tidak apa\-apa, aku kebetulan ada telpon dari kantor ini. Kamu sendiri ngapain?” Jawabku asal.
“Aku ke sini mau menemui Pap—
Tefan tidak melanjutkan kata-katanya dan malah menarik lenganku agak ke sudut.
“Jangan bilang kamu sudah ketemu Papa.” Cecarnya lagi.
“Sudah ketemu.” Jawabku dengan mengangkat wajahku dan tak berani menatap wajah Tefan.
“Tapi kenapa? Kenapa kamu bisa ketemu sama Papa? Pasti ada alasannya. By the way, Papa nggak nyakitin kamu kan?” Tanyanya lagi dengan suara yang lebih tenang di ujung kalimatnya.
“Nggak kok. Nanti aku ceritain, kamu masuk saja dulu temui papa kamu. Mungkin kamu sudah ditungguin di dalam.”
“Aku nggak akan masuk sebelum aku pastiin bahwa kamu baik\-baik saja.” Jawabnya dengan suara bergetar karena khawatir.
“Aku baik\-baik saja Tefan, suer!!! Masuk gih!”
“Ya udah deh, tapi kamu mau nggak tungguin aku di sini. Atau kamu tungguin aku di mobil saja. Please...! aku gak akan lama.”
“Oke. Kalau gitu aku langsung ke mobil dulu.”
Aku pun masuk ke dalam mobil yang masih terparkir di halaman perusahaan, sementara Tefan sudah masuk ke dalam kantor. Mungkin saja sekarang dia sudah berada di ruangan Papanya. Alasan apapun Tefan datang kemari karena dipanggil papanya, aku rasa ini ada hubungannya denganku.
*Semoga tidak terjadi apa\-apa Tuhan*.
Desahku dalam hati dan mengusap wajah karena tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.
Aku menunggu cukup lama, sekitar dua puluh menit. Hal itu membuatku semakin khawatir, lalu tidak lama kemudian aku melihat wajah Tefan berjalan ke arah di mana mobilku terparkir. Aku melihat ada yang salah dari wajahnya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Tefan memberi kode dari luar agar aku mau membukakan pintu untuknya. Setelah membuka pintu mobil, Tefan pun masuk dan menghembuskan nafas berat ketika dia telah duduk di sampingku.
“Ada apa Fan?”
“Papa tahu soal hubungan kita.” Jawabnya lemah.
“Lalu?”
“Dia minta aku untuk tidak berhubungan lagi dengan kamu.”
Aku diam sejenak. Mencoba mengambil nafas lebih banyak dan berpikir lebih jernih lagi.
“Apa yang terbaik menurut kamu Fan?”
“Belum tahu.”
“Kita harus tahu Fan.”
“Habis ini kamu mau ke mana?” Tanyanya mengalihkan.
“Pulang. Fan, apa yang sebaiknya kita lakukan?” Tanyaku seperti menuntut.
“Kita tidak usah membahas ini lagi, tetaplah seperti dulu. Jadi Riana yang bahkan tidak peduli terhadap apapun. Mengenai omongan Papa, tidak usah kamu pikirkan malah akan jadi beban buat kamu, buat aku, jika itu terus kita bahas. Dari awal kamu sudah tahu bagaimana aku dengan Karenina dan bagaimana kita. Bukannya aku tidak tegas dalam memperjuangkan hubungan kita Riana, tapi ada hal\-hal yang mesti kita pertimbangkan sebelum bertindak. Di depan kita akan ada masalah yang lebih besar lagi kalau saja kita tidak hati\-hati. Pasti ada jalan keluarnya, percaya sama aku.” Tefan menyeka pipiku.
Tefan seperti menyadarkanku tentang akibat apa yang akan timbul ketika semua orang tahu bagaimana hubungan aku dan Tefan. Tidak hanya menyakiti keluarga masing-masing, tapi juga menyakiti hati sahabatku sendiri. Dan mungkin akan menyakiti siapa saja yang ada kaitannya dalam lingkar hubungan kami. Tapi bagaimana mungkin hal ini terus aku jalani, sementara di sana sini terdapat tekanan. Ada masa di mana kelak aku pasti lelah dan tidak mampu bertahan, sebesar itukah harga yang harus kubayar demi dekat dengan orang yang aku cintai? Lagi - lagi tentang sebuah pengorbanan.
Aku diam dan tak menanggapi semua penuturan Tefan. Ada jeda beberapa saat di antara kami sebelum aku akhirnya angkat bicara.
“Kamu benar Fan. Sekarang sebaiknya aku pulang, aku mau menenangkan diri dulu. Kamu mau ke mana?” Tanyaku berusaha membuat keadaan menjadi normal kembali seperti tidak terjadi apa\-apa.
“Siang ini, aku janji makan siang bersama Nina.” Jawabnya berusaha untuk tidak membuatku cemburu akan kalimatnya.
“Bersikap biasa saja kali Fan. Aku gak apa\-apa kok.” Sindirku dan tersenyum pada Tefan untuk menyatakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan sejauh ini.
“Maafkan aku Riana.”
“Sudahlah.”
Tefan mengecup keningku sebelum akhirnya keluar dari mobil. Dia melambaikan tangan saat aku sudah berada di badan jalan dan bersiap memacu gas. Aku selalu berkata bahwa aku baik-baik saja dan tiap kali kata-kata itu keluar hatiku terus mengingkarinya. Walau berusaha untuk terlihat baik-baik saja, nyatanya tidak demikian, aku juga bisa jatuh karena hati yang rapuh.
Apa yang perlu kutanyakan lagi? Semua sudah jelas, mengenai hubungan yang serba ruwet ini tak ada seorang pun yang bisa menjawab akan berakhir seperti apa. Jalani seperti air mengalir, kadang kala ada benturan tapi air itu akan terus mengalir menuju muara seharusnya. Dan seperti itulah seharusnya aku bersikap, seperti air.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Baihaqi Sabani
nyesek thor.......😭😭😭😭😭
2022-10-17
0
Andrean Brima
cinta tk harus memiliki, yg penting bsa saling menghargai d kedua belah pihak,..jgn me²ntingkn rasa ego..( egois )... apalagi d ada keikatan pertunangan & jg teman ( sahabat karib ) saling berbagi rasa satu rumah, aduuuh... itu yg paling gk enak d liat atau dr segi persahabatan yg sangat kental...lbh baik Riana kmu mundur alon²...& dr segi keluarga jg tdk merestui hubungan antara kalian berdua dr phak Tefan..., kasian kedua orang tua mu Riana yg akn menerima segala hinaan cacian & makian, krna menuruti ke egoisan mu...
2021-05-25
1
Fatimah Zarah🎯™🦩⃝ᶠ͢ᵌꨄ
suka dengan karya2ta' mak ji
2021-02-14
1