Crazy Obsession
"Makan makananmu dengan benar atau kau mau aku kirim kembali ke Villa di pegunungan itu, lagi?" geramnya.
Mendengar hal tersebut kepalanya sontak menggeleng panik, sebuah tangan besar tiba-tiba mendarat di pahanya lalu mencengkram kuat sehingga meninggalkan jejak kemerahan yang kontras dengan kulit putih pucatnya.
"T-tidak! Kumohon jangan kirim aku ke sana," cicitnya hampir tak terdengar.
Tangannya yang gemetar menyendok makanan ke dalam mulut, menelan sumber karbohidrat itu dengan susah payah. Kepalanya menunduk tidak ingin melihat mata elang yang terus mengawasi, meski begitu sudut matanya dapat menangkap seringaian kecil terukir di bibir pria itu.
“Jangan tegang, aku hanya bicara.”
Napas hangat mengenai tengkuk lehernya, sentuhan halus pada rambut tidak membuatnya tenang sama sekali. Sebaliknya, gadis itu malah ketakutan. Sendok dalam genggaman hampir terlempar ketika mendengar bisikan rendah di telinganya.
"Jadilah anak baik, Angelica Jane."
Jane berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar kala merasakan cengkraman kuat di helaian rambutnya. Ia tahu itu, adalah sebuah peringatan untuknya. Maka dengan kaku kepalanya mengangguk tanda mengerti.
Dirinya tak ingin kembali ke villa di pegunungan itu, membayangkan saja sudah membuat rasa takutnya muncul kembali. Villa itu terletak di pedalaman gunung dan dikelilingi hutan pinus yang lebat, Jane pikir itu hanya hutan biasa seperti pada umumnya. Namun, ternyata salah besar. Entah bagaimana caranya, hutan itu telah diubah menjadi labirin tak berujung.
Belum lagi, ada banyak jurang terjal berbahaya yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan apapun. Satu-satunya alat transportasi, yaitu menggunakan helikopter. Villa sepi tanpa penghuni lain dan hanya Jane yang menempati membuatnya hampir gila karena kesepian, suasana mencekam pegunungan serta hutan gelap di sekeliling membuat perasaan menjadi tak nyaman.
Rasa bosan, tak ada teman bicara dan terkunci rapat di villa tanpa bisa keluar seolah menyiksanya secara perlahan. Karena tak ingin menjadi gila di sana, Jane membuang ego bahkan harga dirinya sendiri untuk memohon keluar dari villa.
Sebab, jika dirinya tetap mempertahankan ego hanya akan berakhir sia-sia. Keberhasilan usahanya jika ingin kabur pun tidak mencapai 01,00%. Setidaknya, ia harus keluar terlebih dahulu dari villa itu.
"Apa yang kau lamunkan?"
Jane terperanjat kaget ketika suara berat itu masuk ke telinganya, kepalanya kembali tertunduk seraya menggeleng. Piring di hadapannya sudah kosong, lantas bergegas bangun untuk membereskan. Namun, seolah sudah ditebak pergerakannya ditahan. Lengan kekar melingkar posesif di pinggangnya.
"Pelayan yang akan membereskan, tugasmu di sini cukup menjadi Ratuku. Menurut, serta patuh terhadap perkataan Rajanya. Kau mengerti, sayang?"
Surai hitam panjangnya dielus penuh kasih sayang, sesekali dia menyelipkan anak rambut Jane ke telinga tak membiarkan rambut tersebut menutupi kecantikannya. Mata tajam itu memindai, meraih dagu Jane dan mengangkat wajahnya saling menatap.
“Cantik, sangat cantik.”
Jane sedikit menjauhkan wajahnya tak nyaman, tetapi Vincent tidak membiarkan hal itu terjadi dia ingin wanita itu hanya terfokus padanya. Menyadari dirinya tidak bisa melawan, Jane menghela napas pasrah.
"Vincent ... bisakah kau membawa seseorang kemari? Aku ingin teman mengobrol. Aku bosan karena tidak ada yang bisa diajak bicara," lirih Jane dengan tangan terkepal di bawah meja.
"Memangnya mengobrol dan berbicara denganku tidak cukup?" Vincent menaikkan satu alisnya, mata setajam elang itu menatap Jane menelisik.
"Tidak, bukan begitu. Kau jarang berada di Mansion karena bekerja, kau juga melarang para pelayan agar tidak berbicara padaku apapun alasannya kecuali jika itu perintah darimu."
Vincent menatapnya dalam.
"Aku bisa bekerja dari rumah."
"TIDAK!" Jane tergagap usai memotong perkataan Vincent. “M-maksudku, itu akan membuatmu repot. Bagaimana jika ada yang mencarimu untuk keperluan penting, juga kasihan para bawahanmu jika tidak ada dirimu di kantor."
Jane tersenyum dipaksakan. Semoga saja alasan ini masuk akal. Jantungnya berdetak ribut melihat Vincent menatapnya datar, sebisa mungkin ia mempertahankan senyuman malahan semakin mempermanis agar pria itu percaya.
“Siapa yang tahan tinggal dengan Iblis sepertimu?” batinnya mencemooh.
Kekehan ringan disertai usakkan kilas dirasakan Jane pada rambutnya, mata bambinya mengerjap bingung membuat Vincent menggigit pipi dalamnya gemas.
"Kau mengkhawatirkanku, hm?"
Jane hanya bisa menyengir lugu, menggaruk tengkuk yang tak gatal. Namun, dalam hatinya ia memaki-maki Vincent.
“Aku tidak sudi mengkhawatirkanmu, cih menggelikan.”
Saat ingin menjawab pertanyaan Jane, seorang pria dengan setelan jas hitam berjalan menghampiri kemudian membungkuk hormat kepada Vincent.
"Ada apa, Jackson?" nada bicaranya terdengar kesal.
"Maaf mengganggu waktu anda, Tuan. Ada hal penting yang harus saya sampaikan," ucap Jackson lugas.
Pria itu mengatakan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh Vincent. Sementara, Jane sesekali mencuri-curi pandang penasaran ke arah dua pria yang sedang berbisik-bisik. Saat matanya beradu pandang dengan Vincent, dengan cepat ia memutuskannya dan berpura-pura memainkan garpu di meja.
"Hm, baiklah. Aku akan ke sana setelah ini, pergilah dan persiapkan semuanya." Vincent mengibaskan tangan, menyuruh Jackson bergegas pergi.
"Baik, Tuan."
Jane menatap punggung Jackson penasaran, keningnya sedikit mengernyit mencoba menerka apa yang dia bisikkan pada Vincent barusan.
"Jangan menatapnya seperti itu."
Perkataan Vincent membuat Jane menoleh terkejut, raut wajahnya sangat suram. Gadis itu menggeleng cepat. “Aku tidak, aku hanya penasaran apa yang dia bisikkan padamu. Itu saja," elaknya.
Dirinya benar-benar lupa jika Vincent itu mudah cemburu dan sangat posesif terhadapnya.
"Kau tidak perlu tahu. Setelah ini pergilah ke kamar, kau tidak diizinkan keluar kamar sebelum aku pulang."
Vincent berujar disertai dengkusan pelan, kemudian beranjak dari kursi melenggang pergi meninggalkan Jane seorang diri di meja makan. Jane hanya bisa menyumpah serapahi Vincent dalam hatinya. Tentu saja, mana berani ia menyumpahi pria itu secara terang-terangan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***
Bugatti La Voiture Noire itu terparkir diparkiran khusus CEO, menarik banyak perhatian dari karyawan terutama para wanita. Tak lama, seorang pria berperawakan gagah keluar dari mobil dengan setelan jas abu-abu serta dua kancing atas terbuka. Membuat para kaum hawa menjerit melihatnya, ditambah paras yang sungguh memikat.
Mengabaikan lirikan kagum yang ditujukan padanya, Vincent memanggil Jackson sembari berjalan memasukkan kedua tangan ke saku celana.
"Bagaimana? Kau sudah mengurus semuanya?"
Jackson mengangguk, menyodorkan Ipadnya kepada Vincent. Memperlihatkan rekaman video singkat, berdurasi sekitar 5 detik. Namun, membuat Vincent menyeringai puas dan mempercepat kakinya melangkah.
"Sepertinya para tikus itu benar-benar mengabaikan peringatanku," kekeh Vincent dengan suara beratnya.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***
Sisi lain, Jane tengah duduk diam di sofa dalam kamarnya. Ia kelelahan. Kelelahan selepas protes kepada pelayan yang mengurungnya di kamar. Jelas dirinya mengabaikan perkataan Vincent, hingga berakhir dikurung dengan dua penjaga di depan pintu.
"Aku ingin keluar, si*alan!" Jane melempar sendal berbulunya ke arah pintu dengan kesal. “Kau mengurungku kembali seperti hewan peliharaan, Vincent. Aku membencimu.”
Tiba-tiba dadanya terasa sesak sambil menatap keluar jendela dengan mata berkaca-kaca, tak bisa dipungkiri ia rindu dengan kehidupan lamanya. Kehidupan lama sebelum Vincent datang, membawa lalu mengurungnya di mansion ini. Walau Vincent memperlakukannya sangat baik, tak membuat Jane lupa akan semuanya.
Ia hanya seorang mahasiswi biasa dengan kehidupan sederhana. Orang tuanya sudah tiada, hanya tinggal seorang diri di rumah warisan keluarga. Sebenarnya, Jane memiliki seorang kakak laki-laki. Namun, mereka terpisah sejak kecil akibat insiden penculikan.
Orang tuanya sudah berupaya melakukan pencarian, tetapi nihil. Tak ada jejak maupun petunjuk, sang kakak seolah hilang ditelan bumi. Tak jarang ia berangan-angan bagaimana rupa wajah sang kakak, akankah ada kemiripan persis dengannya?
Jane menghela napas kasar, mengingat bagaimana pertemuan dengan Vincent dulu yang menurutnya konyol. Mereka bertemu, saat dirinya ingin menolong seorang kakek tua yang hendak diseret paksa oleh anak buah Vincent. Masih teringat jelas, dengan beraninya ia menghadang para pria berbadan kekar itu bahkan hendak mengajaknya berduel.
Segala cara dilakukan agar Vincent bisa melepaskan kakek tersebut, hingga pada akhirnya usahanya berhasil. Namun, Vincent malah meminta dirinya sebagai gantinya karena sudah berani ikut campur. Sontak saja membuat Jane melotot tak terima. Kecerobohannya sendiri karena tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi, tetapi dirinya malah bersikap 'sok pahlawan'.
Karena kesal, ia mengabaikannya dan memilih untuk membantu si kakek. Saat berjalan melewati Vincent, secara sengaja menabrak lengannya cukup keras tak peduli dengan tatapan tajam yang menghunus punggungnya. Melihat Jane begitu berani membuat Jackson tak bisa berkata-kata.
Pria itu mengira Vincent akan mengangkat senjatanya atau mungkin menyuruh beberapa anak buah agar menangkapnya sebagai mainan. Namun, kata yang terucap membuat Jackson menganga tak percaya.
"Menarik."
Sejak saat itu, Vincent mencari tahu serta mengawasi dari jauh. Pada awalnya, hanya iseng. Namun, lama kelamaan berubah menjadi kebiasaan yang tak dapat dilewati. Vincent ingin tahu segalanya tentang Jane. Hanya melihat kegiatan sehari-harinya saja, sudah membuat pria itu gila. Dia menginginkan Jane, tidak peduli dengan cara apa.
Bahkan cara yang tergila, yaitu menculik dan mengurung untuk dirinya sendiri. Tak membiarkan Jane melihat dunia luar, semua pergerakannya diawasi. Vincent juga tak segan-segan untuk melukainya jika berani memberontak, seperti beberapa hari yang lalu.
Jane menurunkan kerah baju, memperlihatkan lebam biru memar di bahu dan lengannya. Luka yang didapatnya saat tidak sengaja menggertak Vincent, tubuhnya didorong kasar ke rak buku hingga membuat rak roboh dan berakhir menimpanya. Oleh sebab itu, Jane tak berani bertindak gegabah lagi.
Asik melamun memikirkan nasibnya, Jane terkejut mendengar suara tembakkan keras dari lantai bawah di susul dobrakan paksa pintu kamarnya. Terlihat kepala pelayan yang tergesa-gesa masuk bersama beberapa pengawal, masing-masing dari mereka memegang senjata.
Belum sempat bicara pergelangan tangannya sudah ditarik untuk berlari keluar, “Nona! Kita harus pergi dari sini secepatnya!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
arafaq_9
semangat thor ❤
2024-04-05
1
Teriablackwhite
iblis kek Vincent gak papa sih Thor, aku mah ikhlas sumpeh
2023-12-24
3
Teriablackwhite
Bibir berkata Angelica Jane, otak mengatakan Angelina Joly 😭 mian thor
2023-12-24
2