“Jackson, kau sudah mendapat apa yang aku perintahkan kemarin?”
Tubuh tegap dengan balutan kemeja hitam itu menghadap lurus ke jendela, memandang langsung perkotaan yang terlihat jelas dari atas gedung. Lengan bajunya digulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat tangan yang menonjol begitu jelas. Berbicara dengan sang asisten tanpa berniat membalikkan tubuhnya.
“Sudah, Tuan. Mata-mata yang di kirim telah mengirim informasi. Ternyata otak di balik penyerangan kemarin, adalah Steve Roger. Sebenarnya dia hanya memanfaatkan Tuan Sean dan menjadikannya sebagai umpan saja,” ucap Jackson rinci.
Alis tebal Vincent terangkat, “Umpan?”
“Bukan tanpa alasan Steve Roger melibatkan Tuan Sean dalam rencananya, terlebih memberi kendali penuh atas penyerangan itu. Karena dia tahu, kekacauan yang terjadi memberinya peluang lebih untuk dapat membobol V.F holding corp. Namun, sayangnya usaha itu gagal. Karena keamanan yang kita buat tak mungkin mudah ditembus begitu saja,” lanjutnya.
“Ada lagi?” tanya Vincent, diangguki Jackson.
“Ya, Tuan. Akibat kegagalannya mengakses V.F holding corp, sekarang Steve mengincar Nona Jane dan ini juga bagian dari rencananya. Jika kita tidak menemukan Nona Jane lebih dulu, maka kapan saja nyawanya bisa terancam.”
Vincent menyisir rambut hitamnya ke belakang dengan santai, seolah tak memedulikan ucapan Jackson. Memilih membasahi bibirnya, seraya menyunggingkan sebuah seringaian kecil.
“Gegabah, ceroboh dan bodoh.”
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***
Tubuh pucat itu terbaring lemah di atas brankar, di sampingnya terdapat patient monitor yang menunjukkan denyut nadi serta saturasi oksigen dalam darah. Aroma desinfektan khas rumah sakit menyeruak memenuhi ruangan. Tak heran jika banyak pasien tidak betah berlama-lama dan lebih memilih perawatan dari rumah.
“Tekanan darah pasien semakin turun, detak jantungnya pun melemah. Luka yang menganga lebar mengakibatkan pasien kehilangan darahnya hingga 30 persen, meski kami sudah menjahit luka serta menghambat pendarahannya. Jika boleh saya tahu, sebenarnya apa yang terjadi pada pasien?”
Pertanyaan dari sang dokter membuat pria yang menolong Jane lantas kebingungan ingin menjawab apa, kepalanya menggeleng tak tahu dan menjelaskan bagaimana dirinya bisa menemukan gadis itu.
“Saya tidak tahu, Dok. Saya mendapati dia tergeletak pingsan di belakang cafe milik saya, saat itu sekitar pukul empat pagi dan tidak ada orang. Keadaannya memang seperti ini ketika saya membawanya kemari,” jelas si pria.
Dokter mengangguk paham, walau sedikit bingung. “Saat ini rumah sakit tengah kehabisan stok darah, terutama darah AB seperti milik pasien. Kalau pasien tidak segera mendapat donor darah, tubuhnya akan terus melemah dan itu berakhir buruk.”
Kedua pria berbeda profesi itu kebingungan. Rumah sakit kehabisan stok darah, sementara si pria penolong memiliki golongan darah yang berbeda dan tidak cocok.
“Baiklah, saya akan menyuruh resepsionis untuk menghubungi rumah sakit pusat.”
“Tunggu.”
Dokter berbalik dan melihat seorang wanita tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tanpa izin, sebelum dirinya sempat bicara wanita tersebut memotongnya lebih dulu dan perkataannya cukup mengejutkan.
“Aku akan mendonorkan darahku untuknya. Kami memiliki golongan darah yang sama.”
Dokter mengerutkan keningnya masih terkejut, tatapan matanya di balik kacamata sedikit memicing, sejenak berdeham pelan lalu menghampiri si wanita.
“Anda serius ingin mendonorkan darah untuk pasien?” tanya dokter sedikit ragu.
Efek samping yang dialami pendonor akan merasakan pusing hebat dalam jangka panjang, serta kehilangan kesadarannya. Kondisi ini terjadi dimana si pendonor terlalu banyak mengeluarkan darah, sehingga waktu yang diperlukan untuk pemulihan pun juga lebih lama.
Tak hanya itu, identitas pasien yang tidak dikenali menjadi masalah. Jika sesuatu terjadi terhadap pasien, maka rumah sakit harus menanggung akibatnya. Tentu saja, dokter tak ingin mengambil risiko.
“Tentu saja, benar. Aku tidak sengaja mendengar percakapan kalian saat melewati ruangan ini, jadi aku berinisiatif untuk membantunya dan kebetulan golongan darah kami sama.”
Wanita itu berucap sambil tersenyum tulus. Dokter mengangguk tanpa curiga, kemudian menyuruh perawat untuk segera menyiapkan semua yang diperlukan untuk pendonoran.
“Kita tidak punya banyak waktu lagi, silakan pergi ke ruangan yang telah disiapkan oleh perawat agar pendonoran bisa cepat dilakukan.”
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***
Dalam sebuah ruangan dengan cahaya remang, beberapa pria tertunduk diam. Tak ada satupun dari mereka yang berani membuka suara, membuat tenggelam akan keheningan sebelum akhirnya suara sedikit serak mengejutkan mereka.
“Menangkap satu gadis saja tidak becus! Kalian dibayar untuk menangkapnya, bukan bermain petak umpet dengannya!”
Steve Roger mengepalkan tangannya yang sedikit keriput itu dengan kesal, mengertakkan gigi menahan amarah.
“Dia satu-satunya senjata kita untuk menaklukkan V.F holding corp! Gadis itu memiliki pengaruh besar bagi Vincent, bahkan bisa membuatnya berlutut padaku dalam hitungan detik!”
Lagi, tak ada dari mereka yang berani membuka suara sedikitpun. Daripada mereka terkena imbas amarah dari sang bos, lebih baik diam mendengarkannya. Saat hendak berbicara kembali, seorang pria dengan pakaian tertutup serba hitam berjalan masuk.
“Ada apa, Raymond?” tanya Steve sedikit malas.
“Keberadaan gadis itu ditemukan.”
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***
Pendonoran darah berjalan dengan lancar. Kini, Jane dipindahkan ke ruang rawat untuk pemulihan. Dokter ber-name tag Aaron itu memeriksa tekanan jantung dan aliran darahnya, memastikan bahwa semuanya tetap normal.
Mata dan tangannya fokus mencatat hasil pemeriksaan di dalam dokumen rekam medis. Tak menyadari jika jari jemari Jane perlahan mulai bergerak, diikuti dengan kesadarannya. Kelopak mata bambi itu akhirnya terbuka, setelah beberapa jam tidak sadarkan diri.
“D-dimana?” Jane berbicara sedikit tergagap.
Sontak saja membuat Aaron terkejut lalu mendekat guna bergegas melakukan pemeriksaan kembali.
“Anda sekarang berada di rumah sakit, Nona. Seseorang menolong dan membawa anda kemari dan anda baru saja menerima transfusi darah.”
Dalam keadaan setengah sadar Jane berusaha mencerna perkataan dokter, kepalanya yang pening digelengkan beberapa kali. Mata sayunya menatap ke arah dokter bingung.
“T-tranfusi darah? Maksud anda, Dok?”
Aaron tersenyum ramah.
“Anda kehilangan cukup banyak darah akibat luka yang di alami. Selain itu, terlambat mendapat penanganan sehingga kondisi anda memburuk. Beruntung ada seorang wanita baik yang mendonorkan darahnya untuk anda, sebab rumah sakit sedang kehabisan stok darah.”
Jane membulatkan matanya sedikit tak percaya, “B-benarkah? Kalau begitu saya harus berterimakasih pada dua orang itu.”
Ia langsung bangkit dari ranjang dan berdiri, tak mempedulikan bahwa tubuhnya masih dalam keadaan lemah. Spontan Aaron langsung membantu agar tidak terhuyung, serta membenarkan cairan infus di lengannya.
“Anda tidak bisa kemana-mana untuk saat ini, anda baru sadar.”
Sayangnya Jane keras kepala dan tidak mendengarkan, mau tak mau Aaron pasrah membantunya.
“Saya akan menyuruh perawat membawakan kursi roda, kondisi anda masih belum stabil.”
Tak berselang lama kursi roda datang, dengan cepat Jane mendudukan tubuhnya. Tenaganya benar-benar habis seakan diperas tanpa sisa. Meski begitu, ia tetap harus pergi menemui dua orang yang telah menolong dan menyelamatkannya.
“Perawat akan mengantar anda. Tapi untuk pria yang membawa anda, dia sudah pergi mengurus cafenya. Dia bilang tidak usah berterima kasih dan menitipkan surat ini untuk anda.”
Jane mengambil surat yang diberikan, lalu mengulas senyum seraya menyimpan surat itu di saku baju. Perawat segera mendorong kursi roda, membawanya keluar menuju ruangan yang tak jauh. Sesosok wanita berambut pendek duduk bersandar di atas brankar, pandangannya teralih ke pintu dimana Jane masuk.
Dirasa keberadaannya tidak diperlukan lagi, perawat berlalu pergi meninggalkan ruangan. Membiarkan dua orang itu bicara.
“Mm, terimakasih sudah mendonorkan darah untukku.” Wanita berambut pendek itu tersenyum menanggapinya.
Jane memaklumi ketika hanya mendapat respon senyuman, mengetahui bahwa tubuhnya masih lemas sama seperti dirinya.
“Sekali lagi terimakasih banyak. Aku benar-benar berutang padamu, tapi ... apa aku bisa meminta bantuanmu sekali lagi?”
Mata bambi itu berbinar cerah, tangannya digenggam erat sesekali dielus oleh Jane. Bahkan ia memberikan puppy eyes terbaiknya yang tak pernah dilihatkan oleh siapapun kecuali kedua orang tuanya.
“Baiklah, apa itu?” tanyanya.
Jane tersenyum senang.
“A-apa nanti setelah ini kau bisa membawaku pergi ke suatu tempat? Aku tak peduli dimana pun itu, aku hanya ingin lari bersembunyi dari seseorang yang tengah mengincarku saat ini. Tolong aku!”
Tatapan matanya penuh permohonan, seperti anak kecil yang tak ingin ditinggalkan sendirian oleh ibunya di sebuah taman. Katakanlah Jane tidak tahu diri, tetapi ia harus melakukan ini agar Vincent tak mengetahui lokasinya. Wanita tersebut tersenyum hangat dan mengangguk setuju.
“Tentu saja, tidak masalah. Aku akan membantumu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments