Jane berlari tertatih-tatih menyusuri hutan yang gelap hanya mengandalkan cahaya dari bulan, tubuhnya dipenuhi luka terutama di bagian kaki. Karena terburu-buru, ia tak sempat memakai alas kaki membuat kedua kakinya mengalami luka parah. Cairan merah kental terus menetes sepanjang jalan, gelapnya malam dan suasana hutan yang mencekam menemani Jane disetiap langkahnya. Tubuh kurus itu kian melemah hingga pada akhirnya terjatuh kehabisan tenaga.
Napasnya tersengal dan kakinya serasa mati rasa. Bibir sepucat kertas itu meringis, berusaha untuk bangkit guna bersandar di pohon. Mata sayunya mengedar memperhatikan sekitar, berjaga-jaga jika ada binatang buas atau serangga beracun yang dapat membahayakan. Kepalanya terangkat mendongak, melihat langit malam yang sunyi.
“Aku lelah, tapi aku tidak bisa terus berada di sini. Cepat atau lambat Vincent pasti akan menemukanku,” monolognya.
Beruntung pakaian yang dikenakan Jane cukup panjang meski berbahan tipis, jadi ia bisa merobek ujungnya untuk mengikat kakinya yang terluka sebagai penahan sementara agar darah tidak terus menetes.
Baru saja ia bernapas lega untuk sejenak, sebuah sinar berwarna merah samar memantul ke batang pohon membuat Jane langsung waspada. Perlahan tubuhnya bangkit, mencari dimana sinar merah itu berasal. Namun, ketika menunduk ia melihat lengan bajunya lah yang memancarkan sinar merah tersebut.
Terdapat bulatan kecil berwarna hitam di antara hiasan bunga lengan bajunya, bulatan kecil itu mengedipkan sinar merah beberapa kali. Jika dilihat-lihat, bulatan kecilnya benar-benar serupa dengan motif di pakaian Jane. Akan tetapi, motif bulatan lainnya tidak memancarkan sinar seperti itu dan hanya satu saja.
“Apa ini?”
Keningnya mengerut bingung, memperhatikan bulatan kecil yang terus mengedipkan sinar merah samar. Jarinya hendak mencabut benda bulat tersebut, tetapi sedetik kemudian ia menyadari sesuatu.
“I-ini pelacak.”
Kepanikan melanda Jane, takut akan Vincent dapat menemukan dirinya di sini. Ia menggigit jarinya dengan cemas sambil memikirkan sesuatu, kepalanya menggeleng beberapa kali agar bisa berpikir jernih. Saat menoleh matanya menangkap sebuah jurang yang tak jauh dari tempatnya berdiri, senyumnya mengembang mendapat sebuah ide.
Lantas tubuhnya segera bangkit, sedikit berjalan terpincang menuju ke arah tepi jurang sambil menahan rasa perih di kakinya. Menggunakan sisa tenaga yang ia punya, Jane merobek lengan baju yang terdapat alat pelacak kemudian membuangnya bersama batu sebagai pemberat. Matanya menggelap, menatap dasar jurang tanpa ekspresi.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***
Vincent uring-uringan mencari keberadaan Jane, seluruh anak buahnya telah dikerahkan untuk mencari gadis itu di dalam hutan. Namun, karena keterbatasan pencahayaan membuat para bawahan Vincent mengalami kesulitan. Hutan menjadi labirin ketika menjelang malam, membuat semuanya terasa membingungkan.
Vincent masih tak terima bahwa alat pelacak menunjukkan titik dimana terakhir Jane terlihat berada di dasar jurang, pria itu bahkan sempat menghajar beberapa anak buahnya yang menjadi sasaran amuk. Pikirannya berkelana, memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Jane.
Entah mengalami kecelakaan saat kabur dari kejaran musuh atau bisa saja gadis itu memiliki niat untuk melarikan diri darinya dengan memanfaatkan situasi seperti ini. Bahkan yang paling terburuk, yaitu terbunuh. Tidak. Vincent tidak bisa membayangkannya, memikirkannya saja sudah membuat dia hampir kehilangan akal sehat.
Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, itu berarti tujuh jam lebih telah berlalu. Semua anak buah Vincent kembali dengan tangan kosong. Tak ada satupun dari mereka yang membawa kabar baik, maupun petunjuk dari jejak Jane yang bisa menenangkan bos mereka.
“Aku tidak peduli, terus cari lagi sampai dapat! Jangan kembali sebelum kalian menemukan sesuatu atau tubuh kalian akan menjadi santapan anjing-anjing kelaparan. MENGERTI?!”
Bantingan di meja menjadi penutup akhir dari perkataan Vincent, menunjukkan dirinya tak pernah main-main dengan ucapannya. Amarahnya benar-benar sudah tak terkendali, terutama menyangkut soal Jane. Gadis itu memiliki peran penting dalam hidupnya, yaitu cintanya, jiwanya dan tentu saja obsesinya.
Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Jane, dia bersumpah tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***
Sedangkan, di sisi lain Jane berhasil keluar dari hutan mengikuti arus air. Ia terus berjalan menyusuri sungai tak mempedulikan tubuhnya yang penuh luka. Dinginnya udara malam menembus menusuk kulit, pakaian yang dikenakannya berbahan kain tipis sehingga tak bisa menghangatkan tubuhnya sama sekali.
Sesekali telapak tangannya saling menggosok untuk menimbulkan hawa hangat, kedua pipinya memerah pucat tak kuasa menahan dinginnya angin malam. Kini, Jane berada di tepi jalan raya besar menuju kota. Namun, karena hari masih gelap jadi tidak ada kendaraan maupun seseorang yang lewat.
Meskipun keadaannya sangat mengkhawatirkan, tak dapat menutupi rasa bahagia di hatinya. Sebab, enam bulan lamanya ia terkurung di neraka berkedok mansion itu. Enam bulan lamanya juga, dirinya hidup bagai boneka yang dikendalikan. Seluruh hidupnya seolah diatur untuk satu orang, yakni Vincent.
Bagi Jane, Vincent itu gila melebihi pasien rumah sakit jiwa. Ketika di mansion, dirinya tak boleh melihat dunia luar sama sekali sehingga membuat kulitnya pucat karena lama tak terkena sinar matahari. Setiap apa yang ingin dilakukannya harus dengan persetujuan pria itu, pun setiap sudut mansion dipasangi berbagai alat pengintai. Bahkan di kamar mandi sekali pun. Hal ini yang membuatnya lebih sering berendam di bathtub, daripada menggunakan shower.
Seandainya waktu bisa diulang. Ia tidak akan pernah menolong kakek itu dan berakhir berurusan dengan Vincent, sedikit terdengar kejam memang. Jane akui pria itu memang tampan, bahkan sempat terpesona padanya. Akan tetapi, ia menarik kembali kata-katanya. Ketampanannya itu hanya topeng belaka, untuk menutupi iblis di baliknya.
Terlalu fokus berjalan dengan pikiran kosong, membuat Jane tersandung bebatuan kecil. Tak lama, manik matanya menangkap objek sorot lampu mobil dari kejauhan. Kepalanya menoleh panik, seketika berlari ke arah pohon dan bersembunyi di belakangnya. Tak bisa dipungkiri, terkurung enam bulan lamanya dari luar membuat semua terasa asing. Terutama ketakutannya akan Vincent terus menghantui pikirannya.
Kedua tangannya menutup mulut mendengar suara mesin mobil mendekat dan berhenti. Dari balik pohon, Jane melihat dua orang pria tengah kebingungan seperti mencari sesuatu.
“Apa kau yakin melihat sesuatu di sini? Buktinya tidak ada apa-apa, aku rasa kau masih mabuk.”
Pria yang lebih pendek menggaruk kepalanya merasa bingung, dia yakin sekali melihat sesuatu tadi.
“Tapi, aku benar-benar melihat siluet seseorang berjalan tadi. Kalau tidak salah, dari postur tubuhnya itu seorang wanita. Anehnya, cara dia berjalan terpincang-pincang ... dan pakaiannya lusuh.”
Kedua pria itu saling memandang, beberapa detik mereka terdiam sebelum akhirnya berlari terbirit-birit memasuki mobil. Jane yang melihat mereka berdua ketakutan pun tak bisa menahan tawanya, sebisa mungkin ia tidak tertawa keras hanya cekikikan. Namun, cekikikannya malah semakin membuat dua pria itu kalang kabut mengendarai mobilnya dengan cepat.
“Sepertinya mereka mengira aku adalah hantu,” ujarnya menggelengkan kepala.
Kejadian tadi membuatnya sedikit terhibur, menghilangkan rasa takut serta paniknya. Jane kembali melanjutkan perjalanan, sesekali menunduk melihat ke bawah kaki. Kain yang membalut lukanya sudah berubah warna menjadi merah. Lukanya pun cukup lebar dan menganga, jika tidak segera diobati maka akan menjadi infeksi.
Daya tahan tubuhnya terus melemah, bibir yang seharusnya berwarna merah alami itu berganti pucat pasi. Keringat menetes di dahinya karena benar-benar sudah kelelahan. Meski begitu, tetap dibawa berjalan untuk bisa cepat sampai ke kota. Harapannya untuk bebas semakin besar.
Ketika berhasil tiba di perkotaan, Jane langsung jatuh lemas di area belakang sebuah cafe. Seluruh tubuhnya total memucat, luka yang dialaminya membuat darahnya berkurang drastis. Napasnya semakin memburu dengan tubuh menggigil, tak dapat menahan semua rasa sakit itu akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri.
Seorang pria yang kebetulan lewat terkejut melihat Jane terbaring di aspal dengan tubuh penuh bercak darah, matanya melihat sekeliling panik kemudian berlari menghampiri untuk memeriksa kondisinya.
“Hey, Nona! Apa yang terjadi denganmu?!”
Pria itu mengecek nadinya yang ternyata mulai melemah, tanpa menunda-nunda waktu lagi pria tersebut segera menggendong Jane dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Tak jauh dari sana, seorang wanita yang sedang memegang ponsel diam memperhatikan.
“Dia kehabisan darah, aku harus segera membawanya ke rumah sakit.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments