NovelToon NovelToon

Crazy Obsession

BAB 1. Peringatan

"Makan makananmu dengan benar atau kau mau aku kirim kembali ke Villa di pegunungan itu, lagi?" geramnya.

Mendengar hal tersebut kepalanya sontak menggeleng panik, sebuah tangan besar tiba-tiba mendarat di pahanya lalu mencengkram kuat sehingga meninggalkan jejak kemerahan yang kontras dengan kulit putih pucatnya.

"T-tidak! Kumohon jangan kirim aku ke sana," cicitnya hampir tak terdengar.

Tangannya yang gemetar menyendok makanan ke dalam mulut, menelan sumber karbohidrat itu dengan susah payah. Kepalanya menunduk tidak ingin melihat mata elang yang terus mengawasi, meski begitu sudut matanya dapat menangkap seringaian kecil terukir di bibir pria itu.

“Jangan tegang, aku hanya bicara.”

Napas hangat mengenai tengkuk lehernya, sentuhan halus pada rambut tidak membuatnya tenang sama sekali. Sebaliknya, gadis itu malah ketakutan. Sendok dalam genggaman hampir terlempar ketika mendengar bisikan rendah di telinganya.

"Jadilah anak baik, Angelica Jane."

Jane berusaha mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar kala merasakan cengkraman kuat di helaian rambutnya. Ia tahu itu, adalah sebuah peringatan untuknya. Maka dengan kaku kepalanya mengangguk tanda mengerti.

Dirinya tak ingin kembali ke villa di pegunungan itu, membayangkan saja sudah membuat rasa takutnya muncul kembali. Villa itu terletak di pedalaman gunung dan dikelilingi hutan pinus yang lebat, Jane pikir itu hanya hutan biasa seperti pada umumnya. Namun, ternyata salah besar. Entah bagaimana caranya, hutan itu telah diubah menjadi labirin tak berujung.

Belum lagi, ada banyak jurang terjal berbahaya yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan apapun. Satu-satunya alat transportasi, yaitu menggunakan helikopter. Villa sepi tanpa penghuni lain dan hanya Jane yang menempati membuatnya hampir gila karena kesepian, suasana mencekam pegunungan serta hutan gelap di sekeliling membuat perasaan menjadi tak nyaman.

Rasa bosan, tak ada teman bicara dan terkunci rapat di villa tanpa bisa keluar seolah menyiksanya secara perlahan. Karena tak ingin menjadi gila di sana, Jane membuang ego bahkan harga dirinya sendiri untuk memohon keluar dari villa.

Sebab, jika dirinya tetap mempertahankan ego hanya akan berakhir sia-sia. Keberhasilan usahanya jika ingin kabur pun tidak mencapai 01,00%. Setidaknya, ia harus keluar terlebih dahulu dari villa itu.

"Apa yang kau lamunkan?"

Jane terperanjat kaget ketika suara berat itu masuk ke telinganya, kepalanya kembali tertunduk seraya menggeleng. Piring di hadapannya sudah kosong, lantas bergegas bangun untuk membereskan. Namun, seolah sudah ditebak pergerakannya ditahan. Lengan kekar melingkar posesif di pinggangnya.

"Pelayan yang akan membereskan, tugasmu di sini cukup menjadi Ratuku. Menurut, serta patuh terhadap perkataan Rajanya. Kau mengerti, sayang?"

Surai hitam panjangnya dielus penuh kasih sayang, sesekali dia menyelipkan anak rambut Jane ke telinga tak membiarkan rambut tersebut menutupi kecantikannya. Mata tajam itu memindai, meraih dagu Jane dan mengangkat wajahnya saling menatap.

“Cantik, sangat cantik.”

Jane sedikit menjauhkan wajahnya tak nyaman, tetapi Vincent tidak membiarkan hal itu terjadi dia ingin wanita itu hanya terfokus padanya. Menyadari dirinya tidak bisa melawan, Jane menghela napas pasrah.

"Vincent ... bisakah kau membawa seseorang kemari? Aku ingin teman mengobrol. Aku bosan karena tidak ada yang bisa diajak bicara," lirih Jane dengan tangan terkepal di bawah meja.

"Memangnya mengobrol dan berbicara denganku tidak cukup?" Vincent menaikkan satu alisnya, mata setajam elang itu menatap Jane menelisik.

"Tidak, bukan begitu. Kau jarang berada di Mansion karena bekerja, kau juga melarang para pelayan agar tidak berbicara padaku apapun alasannya kecuali jika itu perintah darimu."

Vincent menatapnya dalam.

"Aku bisa bekerja dari rumah."

"TIDAK!" Jane tergagap usai memotong perkataan Vincent. “M-maksudku, itu akan membuatmu repot. Bagaimana jika ada yang mencarimu untuk keperluan penting, juga kasihan para bawahanmu jika tidak ada dirimu di kantor."

Jane tersenyum dipaksakan. Semoga saja alasan ini masuk akal. Jantungnya berdetak ribut melihat Vincent menatapnya datar, sebisa mungkin ia mempertahankan senyuman malahan semakin mempermanis agar pria itu percaya.

“Siapa yang tahan tinggal dengan Iblis sepertimu?” batinnya mencemooh.

Kekehan ringan disertai usakkan kilas dirasakan Jane pada rambutnya, mata bambinya mengerjap bingung membuat Vincent menggigit pipi dalamnya gemas.

"Kau mengkhawatirkanku, hm?"

Jane hanya bisa menyengir lugu, menggaruk tengkuk yang tak gatal. Namun, dalam hatinya ia memaki-maki Vincent.

“Aku tidak sudi mengkhawatirkanmu, cih menggelikan.”

Saat ingin menjawab pertanyaan Jane, seorang pria dengan setelan jas hitam berjalan menghampiri kemudian membungkuk hormat kepada Vincent.

"Ada apa, Jackson?" nada bicaranya terdengar kesal.

"Maaf mengganggu waktu anda, Tuan. Ada hal penting yang harus saya sampaikan," ucap Jackson lugas.

Pria itu mengatakan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh Vincent. Sementara, Jane sesekali mencuri-curi pandang penasaran ke arah dua pria yang sedang berbisik-bisik. Saat matanya beradu pandang dengan Vincent, dengan cepat ia memutuskannya dan berpura-pura memainkan garpu di meja.

"Hm, baiklah. Aku akan ke sana setelah ini, pergilah dan persiapkan semuanya." Vincent mengibaskan tangan, menyuruh Jackson bergegas pergi.

"Baik, Tuan."

Jane menatap punggung Jackson penasaran, keningnya sedikit mengernyit mencoba menerka apa yang dia bisikkan pada Vincent barusan.

"Jangan menatapnya seperti itu."

Perkataan Vincent membuat Jane menoleh terkejut, raut wajahnya sangat suram. Gadis itu menggeleng cepat. “Aku tidak, aku hanya penasaran apa yang dia bisikkan padamu. Itu saja," elaknya.

Dirinya benar-benar lupa jika Vincent itu mudah cemburu dan sangat posesif terhadapnya.

"Kau tidak perlu tahu. Setelah ini pergilah ke kamar, kau tidak diizinkan keluar kamar sebelum aku pulang."

Vincent berujar disertai dengkusan pelan, kemudian beranjak dari kursi melenggang pergi meninggalkan Jane seorang diri di meja makan. Jane hanya bisa menyumpah serapahi Vincent dalam hatinya. Tentu saja, mana berani ia menyumpahi pria itu secara terang-terangan.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***

Bugatti La Voiture Noire itu terparkir diparkiran khusus CEO, menarik banyak perhatian dari karyawan terutama para wanita. Tak lama, seorang pria berperawakan gagah keluar dari mobil dengan setelan jas abu-abu serta dua kancing atas terbuka. Membuat para kaum hawa menjerit melihatnya, ditambah paras yang sungguh memikat.

Mengabaikan lirikan kagum yang ditujukan padanya, Vincent memanggil Jackson sembari berjalan memasukkan kedua tangan ke saku celana.

"Bagaimana? Kau sudah mengurus semuanya?"

Jackson mengangguk, menyodorkan Ipadnya kepada Vincent. Memperlihatkan rekaman video singkat, berdurasi sekitar 5 detik. Namun, membuat Vincent menyeringai puas dan mempercepat kakinya melangkah.

"Sepertinya para tikus itu benar-benar mengabaikan peringatanku," kekeh Vincent dengan suara beratnya.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***

Sisi lain, Jane tengah duduk diam di sofa dalam kamarnya. Ia kelelahan. Kelelahan selepas protes kepada pelayan yang mengurungnya di kamar. Jelas dirinya mengabaikan perkataan Vincent, hingga berakhir dikurung dengan dua penjaga di depan pintu.

"Aku ingin keluar, si*alan!" Jane melempar sendal berbulunya ke arah pintu dengan kesal. “Kau mengurungku kembali seperti hewan peliharaan, Vincent. Aku membencimu.”

Tiba-tiba dadanya terasa sesak sambil menatap keluar jendela dengan mata berkaca-kaca, tak bisa dipungkiri ia rindu dengan kehidupan lamanya. Kehidupan lama sebelum Vincent datang, membawa lalu mengurungnya di mansion ini. Walau Vincent memperlakukannya sangat baik, tak membuat Jane lupa akan semuanya.

Ia hanya seorang mahasiswi biasa dengan kehidupan sederhana. Orang tuanya sudah tiada, hanya tinggal seorang diri di rumah warisan keluarga. Sebenarnya, Jane memiliki seorang kakak laki-laki. Namun, mereka terpisah sejak kecil akibat insiden penculikan.

Orang tuanya sudah berupaya melakukan pencarian, tetapi nihil. Tak ada jejak maupun petunjuk, sang kakak seolah hilang ditelan bumi. Tak jarang ia berangan-angan bagaimana rupa wajah sang kakak, akankah ada kemiripan persis dengannya?

Jane menghela napas kasar, mengingat bagaimana pertemuan dengan Vincent dulu yang menurutnya konyol. Mereka bertemu, saat dirinya ingin menolong seorang kakek tua yang hendak diseret paksa oleh anak buah Vincent. Masih teringat jelas, dengan beraninya ia menghadang para pria berbadan kekar itu bahkan hendak mengajaknya berduel.

Segala cara dilakukan agar Vincent bisa melepaskan kakek tersebut, hingga pada akhirnya usahanya berhasil. Namun, Vincent malah meminta dirinya sebagai gantinya karena sudah berani ikut campur. Sontak saja membuat Jane melotot tak terima. Kecerobohannya sendiri karena tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi, tetapi dirinya malah bersikap 'sok pahlawan'.

Karena kesal, ia mengabaikannya dan memilih untuk membantu si kakek. Saat berjalan melewati Vincent, secara sengaja menabrak lengannya cukup keras tak peduli dengan tatapan tajam yang menghunus punggungnya. Melihat Jane begitu berani membuat Jackson tak bisa berkata-kata.

Pria itu mengira Vincent akan mengangkat senjatanya atau mungkin menyuruh beberapa anak buah agar menangkapnya sebagai mainan. Namun, kata yang terucap membuat Jackson menganga tak percaya.

"Menarik."

Sejak saat itu, Vincent mencari tahu serta mengawasi dari jauh. Pada awalnya, hanya iseng. Namun, lama kelamaan berubah menjadi kebiasaan yang tak dapat dilewati. Vincent ingin tahu segalanya tentang Jane. Hanya melihat kegiatan sehari-harinya saja, sudah membuat pria itu gila. Dia menginginkan Jane, tidak peduli dengan cara apa.

Bahkan cara yang tergila, yaitu menculik dan mengurung untuk dirinya sendiri. Tak membiarkan Jane melihat dunia luar, semua pergerakannya diawasi. Vincent juga tak segan-segan untuk melukainya jika berani memberontak, seperti beberapa hari yang lalu.

Jane menurunkan kerah baju, memperlihatkan lebam biru memar di bahu dan lengannya. Luka yang didapatnya saat tidak sengaja menggertak Vincent, tubuhnya didorong kasar ke rak buku hingga membuat rak roboh dan berakhir menimpanya. Oleh sebab itu, Jane tak berani bertindak gegabah lagi.

Asik melamun memikirkan nasibnya, Jane terkejut mendengar suara tembakkan keras dari lantai bawah di susul dobrakan paksa pintu kamarnya. Terlihat kepala pelayan yang tergesa-gesa masuk bersama beberapa pengawal, masing-masing dari mereka memegang senjata.

Belum sempat bicara pergelangan tangannya sudah ditarik untuk berlari keluar, “Nona! Kita harus pergi dari sini secepatnya!”

BAB 2. Melarikan diri.

Penyerangan besar-besaran terjadi di mansion, membuat para anak buah Vincent yang bertugas menjadi kewalahan. Baku tembak sudah tak terelakkan, serta banyaknya jumlah musuh yang terus berdatangan tanpa henti. Tidak ingin mengambil risiko, mereka terpaksa mundur untuk meminta bala bantuan juga memberi tahu perihal penyerangan ini kepada Tuan mereka.

"Cepat pergi dari sini! Anda harus mengamankan, Nona Jane sekarang! Jika pihak musuh mengetahui keberadaannya, itu akan membahayakan nyawanya. Saya akan mencoba menghadang mereka, cepatlah!"

Kepala pelayan yang sedang sibuk mengamankan Jane di belakang tubuhnya sontak mengangguk. Ia bergerak cepat membawa Jane pergi jauh dari sana dan keluar dari area mansion meski tak tahu akan kemana. Setidaknya, Nona kesayangan Tuannya itu harus dalam keadaan baik-baik saja tanpa ada yang tergores sedikit pun.

“Nona, jangan lihat ke belakang! Tetap pegang tangan saya, kita harus keluar dari sini secepat mungkin.”

Menyadari kepanikan gadis itu kepala pelayan mencoba menenangkannya, disaat genting seperti ini pelayan tersebut mengeluarkan pistol dari balik bajunya untuk berjaga-jaga. Jane terkejut setengah mati ketika ada seorang pria berpakaian hitam melompat keluar dari semak-semak, beruntung kepala pelayan segera menyadarinya dan melepas beberapa tembakan hingga dia tewas di tempat.

Jane cukup syok melihat adegan di depannya barusan, ia tak menyangka jika kepala pelayan tua itu bisa menggunakan senjata dengan mudah. Nampaknya, semua yang bekerja di mansion memang memiliki keahlian mereka masing-masing apalagi dikeadaan seperti ini.

Vincent yang mendapat laporan teritorialnya diganggu sekaligus mansionnya di porak-porandakan membuat amarahnya hampir meledak. Beruntung, Jackson dengan cepat menarik Vincent dan menghentikannya agar tidak tersulut emosi.

"Hahaha! Kau terlihat marah, Tuan Muda? Apa terjadi sesuatu? Oh, aku tahu! Pasti mansion megahmu itu sedang diserang, 'kan?"

Mendengar ejekan tersebut Vincent mati-matian mengontrol emosi, jika mau dia bisa menghantamnya dengan meja saat ini juga, tetapi Vincent berusaha tenang bibirnya mengeluarkan kekehan sinis. Tubuhnya duduk di kursi yang telah disiapkan oleh Jackson, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja diiringi seringaian menatap lurus ke arah pria di depannya.

"Kau bermain dengan orang yang salah, Tuan Sean. Mari kita lihat, kesalahan 'kecil' apa yang telah kau perbuat." Vincent meraih berkas dari Jackson dan membacanya. "Penggelapan dana perusahaan senilai 20 milyar, penyeludupan senjata dan menjual file rahasia milik perusahaan kepada pihak musuh, serta penyerangan berencana terhadapku."

Sudut bibir Vincent tertarik ke atas membentuk senyuman manis. Namun, di mata Jackson senyuman itu lebih tepat senyuman kematian daripada manis.

"Kau tahu? Bahkan jika seluruh organ tubuhmu dijual, itu masih belum bisa membayar semua kerugian perusahaan."

Sean berdecih.

"Perset*n tentang kerugianmu! Walau kau menangkapku, tapi aku berhasil membuat perusahaanmu goyah!"

Vincent kembali menyeringai, "Goyah? Jelas tidak, perusahaan ini bukanlah perusahaan induk."

"A-apa?"

"TechnologyF hanyalah anak kecil perusahaan. Kau jelas salah mendapat informasi, Tuan Sean. Apa kau benar-benar berpikir jika perusahaanku sudah goyah?" Vincent bangkit. Berjalan mendekat ke arah Sean dengan tangan berada di saku celana.

"V.F holding corporation masih berdiri tegak jauh di atas kalian, kau pikir dengan cara sampah seperti ini bisa menjatuhkanku begitu saja? Aku pikir ada yang salah dengan isi kepalamu, aku tidak keberatan untuk membantu mengeluarkannya jika kau sudah tidak membutuhkannya lagi nanti.”

Vincent tersenyum ramah menawarkan, sementara Sean mengertakkan giginya kesal dengan kening mengerut tanda berpikir keras. Masih terkejut bahwa dirinya salah mendapat informasi. V.F holding corporation, adalah induk perusahaan sebenarnya dan yang dia kacaukan hanya sebagian kecil yang tak berarti apa-apa.

Namun, sedetik kemudian Sean tertawa sarkas. Kepalanya terangkat mendongak, tersenyum pongah balik mengejek menatap Vincent tanpa rasa takut.

"Benarkah? Omong-omong, bagaimana kabar gadis yang berada di mansionmu itu? Dia terlihat sangat cantik, kulit putihnya benar-benar mulus tanpa lecet. Kau menjaganya dengan begitu baik atau mungkin ... sebaliknya?"

Senyuman Vincent seketika luntur, dia hampir lupa bahwa gadis-nya itu masih berada di mansion. Kemungkinan besar Jane bisa terluka atau lebih parahnya pergi meninggalkannya. Menyadari perubahan Tuannya itu, Jackson bersiaga bersama para bawahan lainnya untuk mengantisipasi jika Vincent berubah menjadi tak terkendali.

Beberapa detik berlalu, tetapi Vincent masih bergeming tidak bergerak dari posisinya. Tiba-tiba, sebuah tangan terangkat lalu mengarah pada Jackson memberi perintah.

"Habisi mereka semua, tanpa terkecuali."

Aura mencekam langsung menguar memenuhi ruangan, menjadikan Sean yang dirantai pun serasa tercekik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Sudut matanya melihat pintu terbuka, kemudian empat orang berbeda usia diseret masuk hingga berlutut di hadapan Vincent.

Sean melotot menatap istri dan anak-anaknya yang mengenaskan, sekujur tubuh mereka dipenuhi luka segar hingga darahnya menetes menodai lantai. Jeritan tangis serta ketakutan dari keluarganya membuat Sean memberontak.

"BA*JINGAN KAU, VINCENT! LEPASKAN ANAK DAN ISTRIKU DASAR IBLIS! MEREKA TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN URUSAN KITA!"

Tawa besar Vincent menggelegar, "Terima kasih atas pujiannya, iblis memang nama belakangku."

Pria bermata elang itu menyambar revolver di atas meja, menemb*kkan beberapa peluru ke tangan dan kaki Sean guna melumpuhkannya. Membiarkan dia kehabisan darah secara perlahan, menjadikan sang istri menjerit histeris melihat suaminya yang terluka.

"Sudah kubilang, kau bermain dengan orang yang salah. Terlebih, kau berani macam-macam dengan milikku!" Vincent menginjak tangan Sean yang tert*mbak, membuat darah keluar mengalir semakin deras.

"Jackson! Seret mereka ke markas! Bedah dan ambil semua organ dalam mereka. Pastikan tidak ada organ yang rusak, setelah itu jual ke Black Market untuk mengganti kerugian TechnologyF!"

"As you wish, Young Master."

Vincent melangkah keluar dengan tatapan dingin, tak peduli dengan darah yang terciprat di lengan kanannya. Jika dilihat dari sudut pandang lain, orang yang tidak tahu akan mengira bahwa Vincent tengah terluka.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***

"Sial! Dimana gadis itu? Kita harus berhasil menangkapnya, kalau tidak kepala kita yang akan menjadi gantinya!"

"Dia tidak bisa berlari sejauh itu. Aku yakin dia masih berada di sekitar sini, cepat berpencar!"

Jane yang sedari tadi terkubur diantara daun-daun kering menahan napasnya gemetar. Karena tidak tahu ingin berlari kemana, kepala pelayan memutuskan untuk berlari masuk ke dalam hutan di belakang mansion dan menyembunyikan Jane dengan cara menguburnya.

Namun, pelayan itu sendiri terbu*uh tak lama selepas menyembunyikan Jane. Bagian kepala belakang dan perutnya ditemb*k hingga berlubang. Tak jauh dari sana, beberapa pria tampak mengecek area sekitar.

"Fu*k! Dimana gadis itu bersembunyi?!" Seorang pria dengan tato tengkorak di lehernya mengumpat frustasi.

Kaki besarnya melangkah perlahan menuju tempat persembunyian Jane. Akan tetapi, di satu langkah lagi dia terhenti mendengar suara dari semak-semak. Lantas kakinya berbalik arah guna mengeceknya.

"Kalau kutemukan gadis itu, akan kuseret dia!" Ia mengertakkan giginya geram, berlari menjauh untuk memeriksa tempat lain.

Merasa situasi sudah aman, Jane dengan pelan bangkit berusaha untuk tidak menimbulkan suara berisik. Mata hitamnya mengedar, melihat sekeliling hutan yang sepi. Tampak matahari mulai turun menjadi senja, menandakan bahwa hari akan berganti malam.

Tubuh pucatnya dibawa berlari kecil guna mencari jalan keluar dari hutan. Pakaian yang dikenakannya sudah kotor karena beberapa kali terjatuh saat berlari, pergelangan kakinya pun tergores ranting taj*m membuat darah menetes di antara dedaunan sepanjang jalan. Meskipun begitu, sekuat tenaga ia berusaha untuk terus berlari.

“Aku harus kemana?” lirihnya.

Tiba-tiba, sebuah pemikiran untuk kabur terlintas di otaknya. Walau situasi sedang tak memungkinkan, apa salahnya ia mencoba? Mungkin ini kesempatannya untuk bisa bebas dari cengkraman Vincent, tak peduli bahwa pihak musuh tengah mengincar dirinya saat ini.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***

"Nona Jane tidak dapat ditemukan, Tuan. Kepala pelayan yang bertugas menjaganya ditemukan tewas di hutan belakang mansion. Kabar baiknya, pihak musuh gagal menangkap Nona Jane. Kemungkinan besar, Nona masih berada di dalam hutan."

Tanpa ekspresi, Vincent menatap beberapa mayat anak buahnya yang mengenaskan. Mendengar penjelasan Jackson, membuat kepalanya ingin pecah. Hari ini, masalah datang bertubi-tubi.

Penyerangan di mansion, gadisnya menghilang, TechnologyF mengalami kerugian yang cukup besar, serta bocornya informasi perusahaan kepada pihak musuh.

"Lacak dia. Semua pakaian yang dikenakannya, terdapat pelacak khusus yang aku pasangkan."

Jackson mengangguk, lantas membuka Ipad miliknya untuk melacak keberadaan Jane dengan alat pelacak khusus yang diberikan. Sementara itu, Vincent melihat bercak merah menempel diantara dedaunan kering. Tak hanya satu, melainkan ada banyak bercak merah sepanjang jalan seolah membuat jejak.

Vincent berbalik, menatap Jackson tak sabar. "Bagaimana? Kau menemukannya?”

Jackson mengangguk kaku. "Sudah, Tuan."

"Bagus, dimana dia?"

"Jurang."

BAB 3. Kehilangan jejak.

Jane berlari tertatih-tatih menyusuri hutan yang gelap hanya mengandalkan cahaya dari bulan, tubuhnya dipenuhi luka terutama di bagian kaki. Karena terburu-buru, ia tak sempat memakai alas kaki membuat kedua kakinya mengalami luka parah. Cairan merah kental terus menetes sepanjang jalan, gelapnya malam dan suasana hutan yang mencekam menemani Jane disetiap langkahnya. Tubuh kurus itu kian melemah hingga pada akhirnya terjatuh kehabisan tenaga.

Napasnya tersengal dan kakinya serasa mati rasa. Bibir sepucat kertas itu meringis, berusaha untuk bangkit guna bersandar di pohon. Mata sayunya mengedar memperhatikan sekitar, berjaga-jaga jika ada binatang buas atau serangga beracun yang dapat membahayakan. Kepalanya terangkat mendongak, melihat langit malam yang sunyi.

“Aku lelah, tapi aku tidak bisa terus berada di sini. Cepat atau lambat Vincent pasti akan menemukanku,” monolognya.

Beruntung pakaian yang dikenakan Jane cukup panjang meski berbahan tipis, jadi ia bisa merobek ujungnya untuk mengikat kakinya yang terluka sebagai penahan sementara agar darah tidak terus menetes.

Baru saja ia bernapas lega untuk sejenak, sebuah sinar berwarna merah samar memantul ke batang pohon membuat Jane langsung waspada. Perlahan tubuhnya bangkit, mencari dimana sinar merah itu berasal. Namun, ketika menunduk ia melihat lengan bajunya lah yang memancarkan sinar merah tersebut.

Terdapat bulatan kecil berwarna hitam di antara hiasan bunga lengan bajunya, bulatan kecil itu mengedipkan sinar merah beberapa kali. Jika dilihat-lihat, bulatan kecilnya benar-benar serupa dengan motif di pakaian Jane. Akan tetapi, motif bulatan lainnya tidak memancarkan sinar seperti itu dan hanya satu saja.

“Apa ini?”

Keningnya mengerut bingung, memperhatikan bulatan kecil yang terus mengedipkan sinar merah samar. Jarinya hendak mencabut benda bulat tersebut, tetapi sedetik kemudian ia menyadari sesuatu.

“I-ini pelacak.”

Kepanikan melanda Jane, takut akan Vincent dapat menemukan dirinya di sini. Ia menggigit jarinya dengan cemas sambil memikirkan sesuatu, kepalanya menggeleng beberapa kali agar bisa berpikir jernih. Saat menoleh matanya menangkap sebuah jurang yang tak jauh dari tempatnya berdiri, senyumnya mengembang mendapat sebuah ide.

Lantas tubuhnya segera bangkit, sedikit berjalan terpincang menuju ke arah tepi jurang sambil menahan rasa perih di kakinya. Menggunakan sisa tenaga yang ia punya, Jane merobek lengan baju yang terdapat alat pelacak kemudian membuangnya bersama batu sebagai pemberat. Matanya menggelap, menatap dasar jurang tanpa ekspresi.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***

Vincent uring-uringan mencari keberadaan Jane, seluruh anak buahnya telah dikerahkan untuk mencari gadis itu di dalam hutan. Namun, karena keterbatasan pencahayaan membuat para bawahan Vincent mengalami kesulitan. Hutan menjadi labirin ketika menjelang malam, membuat semuanya terasa membingungkan.

Vincent masih tak terima bahwa alat pelacak menunjukkan titik dimana terakhir Jane terlihat berada di dasar jurang, pria itu bahkan sempat menghajar beberapa anak buahnya yang menjadi sasaran amuk. Pikirannya berkelana, memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Jane.

Entah mengalami kecelakaan saat kabur dari kejaran musuh atau bisa saja gadis itu memiliki niat untuk melarikan diri darinya dengan memanfaatkan situasi seperti ini. Bahkan yang paling terburuk, yaitu terbunuh. Tidak. Vincent tidak bisa membayangkannya, memikirkannya saja sudah membuat dia hampir kehilangan akal sehat.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, itu berarti tujuh jam lebih telah berlalu. Semua anak buah Vincent kembali dengan tangan kosong. Tak ada satupun dari mereka yang membawa kabar baik, maupun petunjuk dari jejak Jane yang bisa menenangkan bos mereka.

“Aku tidak peduli, terus cari lagi sampai dapat! Jangan kembali sebelum kalian menemukan sesuatu atau tubuh kalian akan menjadi santapan anjing-anjing kelaparan. MENGERTI?!”

Bantingan di meja menjadi penutup akhir dari perkataan Vincent, menunjukkan dirinya tak pernah main-main dengan ucapannya. Amarahnya benar-benar sudah tak terkendali, terutama menyangkut soal Jane. Gadis itu memiliki peran penting dalam hidupnya, yaitu cintanya, jiwanya dan tentu saja obsesinya.

Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Jane, dia bersumpah tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ***

Sedangkan, di sisi lain Jane berhasil keluar dari hutan mengikuti arus air. Ia terus berjalan menyusuri sungai tak mempedulikan tubuhnya yang penuh luka. Dinginnya udara malam menembus menusuk kulit, pakaian yang dikenakannya berbahan kain tipis sehingga tak bisa menghangatkan tubuhnya sama sekali.

Sesekali telapak tangannya saling menggosok untuk menimbulkan hawa hangat, kedua pipinya memerah pucat tak kuasa menahan dinginnya angin malam. Kini, Jane berada di tepi jalan raya besar menuju kota. Namun, karena hari masih gelap jadi tidak ada kendaraan maupun seseorang yang lewat.

Meskipun keadaannya sangat mengkhawatirkan, tak dapat menutupi rasa bahagia di hatinya. Sebab, enam bulan lamanya ia terkurung di neraka berkedok mansion itu. Enam bulan lamanya juga, dirinya hidup bagai boneka yang dikendalikan. Seluruh hidupnya seolah diatur untuk satu orang, yakni Vincent.

Bagi Jane, Vincent itu gila melebihi pasien rumah sakit jiwa. Ketika di mansion, dirinya tak boleh melihat dunia luar sama sekali sehingga membuat kulitnya pucat karena lama tak terkena sinar matahari. Setiap apa yang ingin dilakukannya harus dengan persetujuan pria itu, pun setiap sudut mansion dipasangi berbagai alat pengintai. Bahkan di kamar mandi sekali pun. Hal ini yang membuatnya lebih sering berendam di bathtub, daripada menggunakan shower.

Seandainya waktu bisa diulang. Ia tidak akan pernah menolong kakek itu dan berakhir berurusan dengan Vincent, sedikit terdengar kejam memang. Jane akui pria itu memang tampan, bahkan sempat terpesona padanya. Akan tetapi, ia menarik kembali kata-katanya. Ketampanannya itu hanya topeng belaka, untuk menutupi iblis di baliknya.

Terlalu fokus berjalan dengan pikiran kosong, membuat Jane tersandung bebatuan kecil. Tak lama, manik matanya menangkap objek sorot lampu mobil dari kejauhan. Kepalanya menoleh panik, seketika berlari ke arah pohon dan bersembunyi di belakangnya. Tak bisa dipungkiri, terkurung enam bulan lamanya dari luar membuat semua terasa asing. Terutama ketakutannya akan Vincent terus menghantui pikirannya.

Kedua tangannya menutup mulut mendengar suara mesin mobil mendekat dan berhenti. Dari balik pohon, Jane melihat dua orang pria tengah kebingungan seperti mencari sesuatu.

“Apa kau yakin melihat sesuatu di sini? Buktinya tidak ada apa-apa, aku rasa kau masih mabuk.”

Pria yang lebih pendek menggaruk kepalanya merasa bingung, dia yakin sekali melihat sesuatu tadi.

“Tapi, aku benar-benar melihat siluet seseorang berjalan tadi. Kalau tidak salah, dari postur tubuhnya itu seorang wanita. Anehnya, cara dia berjalan terpincang-pincang ... dan pakaiannya lusuh.”

Kedua pria itu saling memandang, beberapa detik mereka terdiam sebelum akhirnya berlari terbirit-birit memasuki mobil. Jane yang melihat mereka berdua ketakutan pun tak bisa menahan tawanya, sebisa mungkin ia tidak tertawa keras hanya cekikikan. Namun, cekikikannya malah semakin membuat dua pria itu kalang kabut mengendarai mobilnya dengan cepat.

“Sepertinya mereka mengira aku adalah hantu,” ujarnya menggelengkan kepala.

Kejadian tadi membuatnya sedikit terhibur, menghilangkan rasa takut serta paniknya. Jane kembali melanjutkan perjalanan, sesekali menunduk melihat ke bawah kaki. Kain yang membalut lukanya sudah berubah warna menjadi merah. Lukanya pun cukup lebar dan menganga, jika tidak segera diobati maka akan menjadi infeksi.

Daya tahan tubuhnya terus melemah, bibir yang seharusnya berwarna merah alami itu berganti pucat pasi. Keringat menetes di dahinya karena benar-benar sudah kelelahan. Meski begitu, tetap dibawa berjalan untuk bisa cepat sampai ke kota. Harapannya untuk bebas semakin besar.

Ketika berhasil tiba di perkotaan, Jane langsung jatuh lemas di area belakang sebuah cafe. Seluruh tubuhnya total memucat, luka yang dialaminya membuat darahnya berkurang drastis. Napasnya semakin memburu dengan tubuh menggigil, tak dapat menahan semua rasa sakit itu akhirnya ia pingsan tak sadarkan diri.

Seorang pria yang kebetulan lewat terkejut melihat Jane terbaring di aspal dengan tubuh penuh bercak darah, matanya melihat sekeliling panik kemudian berlari menghampiri untuk memeriksa kondisinya.

“Hey, Nona! Apa yang terjadi denganmu?!”

Pria itu mengecek nadinya yang ternyata mulai melemah, tanpa menunda-nunda waktu lagi pria tersebut segera menggendong Jane dan membawanya masuk ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Tak jauh dari sana, seorang wanita yang sedang memegang ponsel diam memperhatikan.

“Dia kehabisan darah, aku harus segera membawanya ke rumah sakit.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!