SECRETS

SECRETS

BAB 1

Menjalani kehidupan pernikahan tidaklah menarik bagi seorang Mutiara. Saat teman-teman seusianya sudah menikah bahkan memiliki keturunan, gadis yang kini tersenyum sambil menikmati pemandangan dibalik dinding kaca tetap bertahan dalam kesendiriannya.

Bukan tidak ada yang tertarik, namun dirinyalah dengan sengaja membangun dinding kokoh agar tak seorangpun bisa masuk dan merusak kedamaian hati dan pikiran dari kisah yang menurutnya hanya akan membawa penderitaan karena seumur hidup bukanlah waktu yang singkat.

"Apa kabar Bunda? Berbahagialah disana, disini Tiara sedang menunggu!"

Kalimat yang selalu terulang terucapkan jika dalam momen seperti ini. Memang benar kata merindukan orang yang telah tiada terasa sangat menyakitkan namun ada sebuah rasa ikhlas saat mengingat jika kepergian mereka bisa melepaskan rasa sakit.

Khayalan Tiara pada kisah Sang Bunda membuatnya tersenyum miris dan sekuat tenaga dia tidak akan mengulanginya meski harus mendapat cercaan dari keluarga dan orang-orang yang mengenalnya.

Suara dering ponsel mengejutkan Tiara. Keningnya berkerut menatap ponsel diatas meja kerjanya. Seharusnya tidak ada yang menghubunginya pada jam kerja seperti ini. Semua orang yang mengenalnya mengetahui kebiasaan itu dan memaklumi semua. Adapun yang berhubungan dengan pekerjaan selalu terlebih dahulu melalui sekretarisnya, Salana.

Namun deringan ponsel yang terdengar hingga beberapa kali membuatnya segera mengambil ponsel itu.

Mutiara semakin terheran saat melihat nama yang tertera pada layar benda persegi ditangannya. Tidak biasanya nama itu tertulis dalam daftar panggilan didalam ponselnya, bahkan terkadang Mutiara berpikir orang itu sudah melupakan bahwa dirinya ada semenjak dia memutuskan untuk keluar dari rumah yang telah memberinya banyak kenangan. Tentu saja lebih banyak menorehkan kenangan suram hingga dirinya pergi.

Segera Mutiara menekan tombol silent agar deringan itu tidak mengganggu waktunya. Dia perlu berpikir jernih untuk bisa menyelesaikan pesanan pelanggan. Jangan harap dia akan mematikan ponselnya karena didalamnya banyak aplikasi yang dapat membantunya bekerja.

"Seharusnya aku menerima saran Salana, memisahkan ponsel untuk kebutuhan kerja dan pribadi" gumam Mutiara pada dirinya sendiri.

Keadaan seperti ini membuatnya terkadang harus memikirkan ulang hal-hal yang tidak ingin dilakukannya tapi harus dilakukan demi kenyamanannya sendiri.

Mutiara berniat menyimpan ponsel didalam laci meja kerjanya namun urung setelah melihat satu chat masuk.

"Angkat telepon jika masih menggunakan nama Ayah diujung namamu" Satu kalimat membuat Mutiara muak dengan namanya sendiri. Jika bukan karena Bunda yang terus memberikannya banyak nasehat saat masih hidup mungkin dia tidak akan merasakan hal yang dirasakannya kini.

Beberapa saat layar ponsel ditangannya kembali tertera nama yang sedari tadi mencoba menghubunginya. Ia segera menggeser ikon berwarna hijau dan meletakkan benda pipih itu mendekat ke daun telinganya.

"Hal......"

"Kenapa baru mengangkat ponselmu, Ayah sudah meneleponmu lebih dari lima kali" Sapaan yang terpotong dengan bentakan dari pria diseberang telepon membuat Mutiara hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan.

Kata Ayah yang diucapkan pria itu membuat Mutiara tertunduk sendirian dalam ruangannya. Memang benar pria itu adalah Ayah dari Mutiara Dwi Cahya yang bernama Dwi Cahya. Namun pria itu juga yang menggoreskan luka hingga membentuk pribadi Mutiara yang tak tersentuh.

"Maaf aku tidak menyalakan deringannya" Ucap Mutiara pelan meski terdapat kebohongan demi untuk tidak kembali memancing emosi pria yang sedang berbicara dengannya lewat ponsel.

Hembusan nafas terdengar dan Mutiara tahu jika Ayahnya kini mencoba mengendalikan emosi membuatnya tersenyum miris. Mutiara tidak mengerti dan tidak ingin mengerti apapun kenapa sampai Ayahnya melakukan kesalahan fatal pada bunda dan dirinya dulu.

Sedangkan Dwi Cahya tahu jika emosi yang akan dikeluarkannya tidak akan berpengaruh pada putri sulung dari istri pertamanya yang telah meninggal dunia. Mutiara hanya akan diam mendengarkan ocehan hingga membuatnya lelah sendiri berbanding terbalik dengan putri kedua dari istri kedua yang sekarang ini satu rumah dengannya.

"Kamu dimana sekarang?" Tanya Dwi Cahya setelah berhasil mengendalikan dirinya.

"Kantor" Jawab Mutiara singkat.

Hembusan nafas kembali terdengar saat mendengar jawaban singkat putrinya membuat Dwi Cahya terdiam sejenak.

"Tidak ingin bertanya kabar Ayah?" Tanya Dwi Cahya ingin berbasa-basi terlebih dahulu sebelum beralih ke tujuan utama menelepon Mutiara.

Jujur saja dia sangat merindukan putrinya. Anak yang terlahir dari wanita yang sangat dicintainya, Anak yang wajahnya sangat mirip dengan wanitanya namun mewarisi sisi gelap dirinya saat mengetahui bahwa dia memiliki keluarga lain selain mereka dan semakin parah saat istrinya meninggal . Dwi Cahya menyadari itu semua karena kebodohannya sendiri.

Dwi Cahya masih menunggu jawaban putrinya, namun tidak ada suara setelah beberapa detik berlalu membuatnya tidak sabar.

"Ara.... Bagaimana kabarmu Nak?" Dwi Cahya berusaha menurunkan ego demi mendengar suara Sang putri.

"Aku baik" Jawaban singkat kembali Mutiara katakan membuat Dwi Cahya kembali menghembuskan nafasnya lalu melihat langit-langit rumah yang terasa begitu lapang berharap hatinya bisa lapang menerima semua hal yang akan dilakukan Mutiara padanya.

"Ini balasan untukmu, Dwi" gumam Dwi Cahya dalam hatinya."Terima dan salahkan dirimu jika kamu tidak menerima sikap putrimu" Dwi berusaha agar selalu mengalah pada Mutiara meski terkadang ada rasa tidak dihormati oleh sikap cuek putrinya itu.

"Ara, Sabtu malam luangkan waktumu untuk pulang, kita makan malam bersama dan jika sempat menginaplah untuk satu malam" Pinta Dwi pada Mutiara.

"Apa ada acara? " Tanya Mutiara heran. Terhitung enam bulan dia tidak pernah menginjakkan kaki dirumah Dwi. Karena sejak enam bulan sama sekali tidak ada perayaan penting menurutnya. Terakhir Mutiara hadir dalam acara ulang tahun Yunira, putri kedua ayahnya itupun keberadaanya disana tidak cukup 10 menit, aneh bukan.

Sepeninggal Bunda selama-lamanya disertai hadirnya Ibu dan saudara tirinya, membuat Mutiara memutuskan untuk tinggal dirumah Ibu dari bundanya. Meski awalnya Dwi Cahya tidak setuju namun protesnya dalam bentuk terus diam membuat keinginannya akhirnya dipenuhi.

"Tidak ada acara apa-apa, Ayah hanya ingin sekali-kali kita semua makan malam bersama" jawabnya berusaha untuk tetap tenang. Ketidaksabaran Dwi sudah menjadi rahasia umum.

"Apa ada sesuatu yang ingin Ayah sampaikan?" Tanya Mutiara mencoba menebak.

"Ehm.. " Dwi berdehem mencoba menunda jawaban sebenarnya pada Mutiara.

Mendapatkan balasan yang hanya sekedar deheman membuat Mutiara melanjutkan ucapannya.

"Kalau ada yang ingin disampaikan, katakan saja sekarang" Pinta Mutiara pelan.

"Pulang saja, Kita makan malam bersama lalu Ayah ingin bicara langsung berdua sama kamu. Cobalah sekali-kali ikuti ucapan Ayah" Tekan Dwi pada Mutiara.

"Akan Aku usahakan" Ucap Mutiara yang tidak ingin menjanjikan melakukan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

"Harus datang Ara, Ayah tidak menerima penolakan apapun. Kalau perlu Ayah sendiri yang akan datang menjemputmu."

(Ω Д Ω)

Terpopuler

Comments

🍾⃝ͩᴅᷞεͧᴅᷠεͣ ᴅrε

🍾⃝ͩᴅᷞεͧᴅᷠεͣ ᴅrε

semoga sukses y /Rose/

2024-02-10

1

🌼⃝⭕Tunik

🌼⃝⭕Tunik

Hai Mutiara....Ara nya Ayahnya,Salam kenal ya💐🌼

2024-02-10

2

jemput aja yah

2024-02-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!