Menjalani kehidupan pernikahan tidaklah menarik bagi seorang Mutiara. Saat teman-teman seusianya sudah menikah bahkan memiliki keturunan, gadis yang kini tersenyum sambil menikmati pemandangan dibalik dinding kaca tetap bertahan dalam kesendiriannya.
Bukan tidak ada yang tertarik, namun dirinyalah dengan sengaja membangun dinding kokoh agar tak seorangpun bisa masuk dan merusak kedamaian hati dan pikiran dari kisah yang menurutnya hanya akan membawa penderitaan karena seumur hidup bukanlah waktu yang singkat.
"Apa kabar Bunda? Berbahagialah disana, disini Tiara sedang menunggu!"
Kalimat yang selalu terulang terucapkan jika dalam momen seperti ini. Memang benar kata merindukan orang yang telah tiada terasa sangat menyakitkan namun ada sebuah rasa ikhlas saat mengingat jika kepergian mereka bisa melepaskan rasa sakit.
Khayalan Tiara pada kisah Sang Bunda membuatnya tersenyum miris dan sekuat tenaga dia tidak akan mengulanginya meski harus mendapat cercaan dari keluarga dan orang-orang yang mengenalnya.
Suara dering ponsel mengejutkan Tiara. Keningnya berkerut menatap ponsel diatas meja kerjanya. Seharusnya tidak ada yang menghubunginya pada jam kerja seperti ini. Semua orang yang mengenalnya mengetahui kebiasaan itu dan memaklumi semua. Adapun yang berhubungan dengan pekerjaan selalu terlebih dahulu melalui sekretarisnya, Salana.
Namun deringan ponsel yang terdengar hingga beberapa kali membuatnya segera mengambil ponsel itu.
Mutiara semakin terheran saat melihat nama yang tertera pada layar benda persegi ditangannya. Tidak biasanya nama itu tertulis dalam daftar panggilan didalam ponselnya, bahkan terkadang Mutiara berpikir orang itu sudah melupakan bahwa dirinya ada semenjak dia memutuskan untuk keluar dari rumah yang telah memberinya banyak kenangan. Tentu saja lebih banyak menorehkan kenangan suram hingga dirinya pergi.
Segera Mutiara menekan tombol silent agar deringan itu tidak mengganggu waktunya. Dia perlu berpikir jernih untuk bisa menyelesaikan pesanan pelanggan. Jangan harap dia akan mematikan ponselnya karena didalamnya banyak aplikasi yang dapat membantunya bekerja.
"Seharusnya aku menerima saran Salana, memisahkan ponsel untuk kebutuhan kerja dan pribadi" gumam Mutiara pada dirinya sendiri.
Keadaan seperti ini membuatnya terkadang harus memikirkan ulang hal-hal yang tidak ingin dilakukannya tapi harus dilakukan demi kenyamanannya sendiri.
Mutiara berniat menyimpan ponsel didalam laci meja kerjanya namun urung setelah melihat satu chat masuk.
"Angkat telepon jika masih menggunakan nama Ayah diujung namamu" Satu kalimat membuat Mutiara muak dengan namanya sendiri. Jika bukan karena Bunda yang terus memberikannya banyak nasehat saat masih hidup mungkin dia tidak akan merasakan hal yang dirasakannya kini.
Beberapa saat layar ponsel ditangannya kembali tertera nama yang sedari tadi mencoba menghubunginya. Ia segera menggeser ikon berwarna hijau dan meletakkan benda pipih itu mendekat ke daun telinganya.
"Hal......"
"Kenapa baru mengangkat ponselmu, Ayah sudah meneleponmu lebih dari lima kali" Sapaan yang terpotong dengan bentakan dari pria diseberang telepon membuat Mutiara hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan.
Kata Ayah yang diucapkan pria itu membuat Mutiara tertunduk sendirian dalam ruangannya. Memang benar pria itu adalah Ayah dari Mutiara Dwi Cahya yang bernama Dwi Cahya. Namun pria itu juga yang menggoreskan luka hingga membentuk pribadi Mutiara yang tak tersentuh.
"Maaf aku tidak menyalakan deringannya" Ucap Mutiara pelan meski terdapat kebohongan demi untuk tidak kembali memancing emosi pria yang sedang berbicara dengannya lewat ponsel.
Hembusan nafas terdengar dan Mutiara tahu jika Ayahnya kini mencoba mengendalikan emosi membuatnya tersenyum miris. Mutiara tidak mengerti dan tidak ingin mengerti apapun kenapa sampai Ayahnya melakukan kesalahan fatal pada bunda dan dirinya dulu.
Sedangkan Dwi Cahya tahu jika emosi yang akan dikeluarkannya tidak akan berpengaruh pada putri sulung dari istri pertamanya yang telah meninggal dunia. Mutiara hanya akan diam mendengarkan ocehan hingga membuatnya lelah sendiri berbanding terbalik dengan putri kedua dari istri kedua yang sekarang ini satu rumah dengannya.
"Kamu dimana sekarang?" Tanya Dwi Cahya setelah berhasil mengendalikan dirinya.
"Kantor" Jawab Mutiara singkat.
Hembusan nafas kembali terdengar saat mendengar jawaban singkat putrinya membuat Dwi Cahya terdiam sejenak.
"Tidak ingin bertanya kabar Ayah?" Tanya Dwi Cahya ingin berbasa-basi terlebih dahulu sebelum beralih ke tujuan utama menelepon Mutiara.
Jujur saja dia sangat merindukan putrinya. Anak yang terlahir dari wanita yang sangat dicintainya, Anak yang wajahnya sangat mirip dengan wanitanya namun mewarisi sisi gelap dirinya saat mengetahui bahwa dia memiliki keluarga lain selain mereka dan semakin parah saat istrinya meninggal . Dwi Cahya menyadari itu semua karena kebodohannya sendiri.
Dwi Cahya masih menunggu jawaban putrinya, namun tidak ada suara setelah beberapa detik berlalu membuatnya tidak sabar.
"Ara.... Bagaimana kabarmu Nak?" Dwi Cahya berusaha menurunkan ego demi mendengar suara Sang putri.
"Aku baik" Jawaban singkat kembali Mutiara katakan membuat Dwi Cahya kembali menghembuskan nafasnya lalu melihat langit-langit rumah yang terasa begitu lapang berharap hatinya bisa lapang menerima semua hal yang akan dilakukan Mutiara padanya.
"Ini balasan untukmu, Dwi" gumam Dwi Cahya dalam hatinya."Terima dan salahkan dirimu jika kamu tidak menerima sikap putrimu" Dwi berusaha agar selalu mengalah pada Mutiara meski terkadang ada rasa tidak dihormati oleh sikap cuek putrinya itu.
"Ara, Sabtu malam luangkan waktumu untuk pulang, kita makan malam bersama dan jika sempat menginaplah untuk satu malam" Pinta Dwi pada Mutiara.
"Apa ada acara? " Tanya Mutiara heran. Terhitung enam bulan dia tidak pernah menginjakkan kaki dirumah Dwi. Karena sejak enam bulan sama sekali tidak ada perayaan penting menurutnya. Terakhir Mutiara hadir dalam acara ulang tahun Yunira, putri kedua ayahnya itupun keberadaanya disana tidak cukup 10 menit, aneh bukan.
Sepeninggal Bunda selama-lamanya disertai hadirnya Ibu dan saudara tirinya, membuat Mutiara memutuskan untuk tinggal dirumah Ibu dari bundanya. Meski awalnya Dwi Cahya tidak setuju namun protesnya dalam bentuk terus diam membuat keinginannya akhirnya dipenuhi.
"Tidak ada acara apa-apa, Ayah hanya ingin sekali-kali kita semua makan malam bersama" jawabnya berusaha untuk tetap tenang. Ketidaksabaran Dwi sudah menjadi rahasia umum.
"Apa ada sesuatu yang ingin Ayah sampaikan?" Tanya Mutiara mencoba menebak.
"Ehm.. " Dwi berdehem mencoba menunda jawaban sebenarnya pada Mutiara.
Mendapatkan balasan yang hanya sekedar deheman membuat Mutiara melanjutkan ucapannya.
"Kalau ada yang ingin disampaikan, katakan saja sekarang" Pinta Mutiara pelan.
"Pulang saja, Kita makan malam bersama lalu Ayah ingin bicara langsung berdua sama kamu. Cobalah sekali-kali ikuti ucapan Ayah" Tekan Dwi pada Mutiara.
"Akan Aku usahakan" Ucap Mutiara yang tidak ingin menjanjikan melakukan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
"Harus datang Ara, Ayah tidak menerima penolakan apapun. Kalau perlu Ayah sendiri yang akan datang menjemputmu."
(Ω Д Ω)
"Harus datang Ara, Ayah tidak menerima penolakan apapun. Kalau perlu Ayah sendiri yang akan datang menjemputmu." Titah Dwi Cahya pada Mutiara dengan Nada tak ingin dibantah.
Mutiara merasa gamang, dia bukan tidak pernah merindukan Dwi Cahya sebagai seseorang yang berperan besar menghadirkan dirinya di dunia ini selain Sang Bunda, Tiana Dewi. Bukan tidak ingat rumah tempatnya lahir penuh canda tawa hingga usianya menginjak 12 tahun.
Tapi rasa itu perlahan menguap saat dia mengingat kenangan pahit yang harus diketahui dan disaksikannya secara langsung banyak kesakitan yang ditanggung oleh wanita yang telah melahirkannya dengan bertaruh nyawa. Dimulai sejak Oma Rinda, nenek dari pihak ayahnya membawa seorang wanita dan dua orang anak yang lebih muda darinya saat ulang tahunnya ke dua belas.
Semua terasa runtuh saat mereka diperkenalkan sebagai saudara satu Ayah dan wanita itu sebagai istri dari Ayahnya juga.
Flassback on
Mutiara melihat sang Bunda yang terus menunduk dan sesekali menghapus air matanya saat mendengar semua ucapan yang dilontarkan wanita tua itu sedangkan Ayahnya hanya bisa tertunduk diam tanpa pembelaan.
Mutiara mendengar satu kalimat yang saat itu dikatakan oleh Oma Rinda yang merupakan alasan dirinya merestui pernikahan kedua itu. "Dwi memerlukan pewaris lelaki dan kamu hanya bisa memberikannya satu anak perempuan."
Disaat itulah Mutiara sadar ternyata lelaki yang merupakan cinta pertamanya memiliki rahasia yang mampu mematahkan semua mimpinya.
Terlebih saat hari-harinya dipenuhi isakan lirih Tiana yang berdampak pada menurunnya kesehatan Wanita itu. Ditambah lagi sosok Dwi sudah jarang terlihat membuat Mutiara merasa dirinya dan Sang Bunda terbuang. Hingga pada akhirnya menyerah adalah satu-satunya jalan yang diambil Tiana.
Dunia Mutiara benar-benar berubah. Kepergian Sang Bunda seperti menggores luka yang semakin dalam. Mutiara merasa menjadi anak yang tak diinginkan kehadirannya.
"Apa Bunda tidak menyayangi Ara? Kenapa Bunda pergi meninggalkan Ara sendiri?" Tanya Mutiara pelan melihat tubuh sang Bunda hanya terbungkus kain putih.
Murti yang mendengar ucapan cucunya hanya bisa memeluk dan membisikkan kata sabar. Hari dimana Tiana meninggal, Mutiara hanya ditemani oleh Eyang Murti.
Saat jenazah Tiana diangkat dalam keranda, Dwi datang bersama keluarga besarnya tidak ketinggalan istri keduanya. Segera Dwi minta jenazah istrinya diturunkan untuk melihat wajahnya dan meminta maaf secara langsung untuk yang terakhir kali.
Setelah itu dia segera bergegas menuju Murti untuk memohon maaf atas semua yang terjadi. Tidak lupa Dwi memeluk Mutiara dan mengatakan hal yang sama.
Hanya berbekal satu kalimat dari Tiana sebelum menutup mata untuk selama-lamanya membuat Mutiara sedikit memiliki hati untuk tetap menghormati lelaki itu.
"Jangan pernah membenci Ayahmu, dia adalah lelaki pertama yang menjagamu dengan cintanya."Ucapan itu terdengar lirih dan penuh harapan, entahlah.
Eyang Murti hanya diam mendengar permohonan maaf Dwi hingga pemakaman usai.
Awalnya Eyang Murti mengajak Mutiara untuk tinggal bersama. Dia tidak bisa membayangkan cucu kesayangannya akan tinggal dengan orang-orang yang telah merebut semua kebahagiaan putrinya.
Namun Dwi bersikeras agar Mutiara tetap dalam pengasuhannya. Tinggal bersama istri kedua serta dua anaknya dirumah Mutiara tinggali bersama Tiana.
Sayangnya Mutiara hanya bisa bertahan selama sebulan hidup bersama.
Setiap hari melihat sosok yang dengan paksa menggantikan posisi Sang Bunda membuatnya tidak nyaman, Ditambah lagi dua adik yang dia rasa mengambil semua perhatian Dwi.
Semakin hari Mutiara semakin diam hingga membuat Dwi mengajak untuk berbicara berdua.
"Ara, Kamu masih marah pada Ayah?" Tanya Dwi yang hanya dibalas gelengan oleh Mutiara.
"Sekali lagi Nak, Maafkan Ayah!" Dwi menatap sendu putrinya. Meski Mutiara masih berusia 12 Tahun, dia tahu pasti gadis kecil itu sudah mengerti apa yang terjadi dilihat dari perubahan sikapnya.
"Apa boleh Ara tinggal bersama Eyang? " Tanya Mutiara dengan raut penuh pengharapan. Dwi meyadarinya.
"Ara ingin meninggalkan Ayah sendiri?"
"Bukankan Ayah sudah memiliki mereka? Ayah sudah tidak memerlukan Ara lagi"
"Kata siapa Ayah tidak memerlukan Ara lagi?" Tanya Dwi dengan wajah penuh ketidaksukaan saat Putrinya mengatakan hal itu.
Mutiara hanya bisa menunduk. Ajaran Tiana untuk terus menghormati lelaki didepannya membuatnya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Pada akhirnya Mutiara mengirimkan pesan pada Murti untuk menjemputnya meski Dwi bersikeras menolak namun atas bujukan oma Rinda akhirnya dia harus merelakan putrinya dirawat oleh mertuanya.
Sejak kepindahan Mutiara membuat hubungan Ayah dan anak itu merenggang.
Kesibukan Dwi membuatnya jarang bisa terus menerus menengok putrinya yang harus menghabiskan 2 jam perjalanan.
Hubungan melalui ponsel tak bisa maksimal digunakan. Hingga membuat komunikasi keduanya hanya bisa dilakukan saat weekend.
Dari situlah Mutiara tidak lagi berharap pada kasih sayang Ayahnya. Rasa rindu dalam hati perlahan dia kikis agar rasa sakit itu tidak menggerogoti kesehatan hati dan pikirannya. Terdengar egois memang.
Flassback off
"Ara, kamu dengar Ayah?" Suara Dwi menghentak pikiran Mutiara agar kembali ke percakapan lewat ponsel .
"Ara dengar" Sahut Mutiara singkat.
"Baiklah! Ingat jangan kecewakan Ayah karena ketidakhadiranmu atau kehadiranmu yang hanya sekejap mata lagi. Kembalilah bekerja. Maaf, Ayah sudah mengganggu waktumu! "
Mutiara menghela napas saat mendengar ponsel dimatikan.
Memang benar beberapa kali dia tidak menanggapi ajakan Dwi atau hanya sekedar setor muka lalu pergi menghilang dari acara.
Mutiara memejamkan mata dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi, berusaha untuk menetralkan perasaannya yang terasa campur aduk memikirkan tujuan Dwi Cahya memintanya datang ke rumah.
Beberapa kali sebelumnya saat dirinya masih sekolah, Mutiara menyempatkan diri untuk mengunjungi Ayahnya bahkan mengambil inisiatif untuk menginap saat liburan tiba.
Tapi apa yang didapatnya. Dwi memilih untuk terus bergelut dalam pekerjaannya dam hanya sesekali menegur dan mengelus kepalanya.
Tidak ada cerita kecuali saat Dwi meminta beberapa pertimbangan pada Mutiara salah satunya memberi saran untuk masuk kampus didaerah yang sama dengan rumah yang ditempati Ayahnya agar mereka bisa hidup bersama lagi namun Mutiara menolak.
"Ara tidak bisa meninggalkan eyang murti sendiri" Ujar Mutiara meyakinkan Dwi.
"Bukankah ada paman edo dan tante sarah yang akan menjaga eyang?"
"Mereka tidak serumah dengan Eyang"
Itulah alasan yang sering digunakan Mutiara saat ajakan itu kembali hadir. Terlalu banyak kenangan buruk teringat saat Mutiara berada dirumah itu.
Sikap Ibu tiri dan kedua anaknya yang hanya berjarak 2 dan 4 tahun memang baik. Namun semua itu tidak dapat menyembuhkan luka hati yang telah digoreskan hingga Mutiara kehilangan kasih sayang sang bunda selama-lamanya
Mutiara berusaha untuk tidak sering berinteraksi dengan ketiganya. Dia tidak menolak anggapan kalau dirinya belum memaafkan mereka karena itulah kenyataan yang ada.
(Ω Д Ω)
Mutiara membuka matanya saat mendengar suara gelas diletakkan diatas meja agak keras hingga menimbulkan bunyi yang dapat membangunkan dirinya dari ingatan masa lalunya.
Mutiara memusatkan netranya pada pelaku didepannya sambil mengerutkan kening.
"Sorry Bu Bos, Aku sudah mengetuk pintu dan memanggil nama Anda beberapa kali namun Anda tidak menjawab!" Ucap Salana sok formal sambil tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
Sebagai sahabat Salana terbiasa dengan sikap dan sifat Mutiara yang cukup berbeda.
Salana merupakan sekretaris sekaligus orang yang hingga saat ini mampu dipercaya oleh Mutiara. Banyak yang bilang hubungan mereka lebih dari sekedar teman, lebih dari sekedar atasan dan bawahan.
Entahlah, perasaan Mutiara terlalu rumit untuk mengartikan hubungan seperti itu.
Mutiara dan Salana sudah berteman saat baru pindah dikota itu. Salana gadis yatim piatu adalah cucu dari asisten rumah tangga Eyang Murti yang terkadang membantu pekerjaan Neneknya agar cepat selesai dan bisa beristirahat lebih cepat.
Usia Mutiara dua tahun lebih muda namun berada ditingkat yang sama membuat Salana dipercayakan untuk menemani dan melindunginya.
keberadaan Mutiara membuat Salana terbantu saat menyelesaikan sekolah yang menurutnya sangat merepotkan, apalagi dirinya sendiri tidak memiliki mimpi dalam hidupnya. Di mulai dari hal itu Salana seperti menjadi bayangan dari Mutiara.
"Ada apa?" Tanya Mutiara pada Salana yang sudah duduk santai didepannya sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Keluarga Moviek menanyakan kesediaan Bu bos menghandle pakaian mereka untuk perayaan perusahaan mereka bulan depan" Ujar Salana penuh binar. Dia selalu terlihat senang saat membahas tentang keluarga Moviek padahal menurut Mutiara keluarga mereka sama dengan keluarga lainnya yang hanya dibedakan dengan banyaknya harta dan kekuasaan. Bukankah itu memang yang membedakan tingkatan sebuah keluarga
Mutiara mendelik mendengar panggilan yang ditujukan padanya.
"Hentikan kelebayanmu Sal!" Tegur Mutiara dengan raut wajah tidak suka dengan panggilan yang baru beberapa diucapkan Salana.
Protes yang dilayangkan Mutiara membuat Salana tertawa geli. Dia menyukai jika Mutiara menunjukkan ekspresi wajah yang lain selain wajah datar dan sedihnya.
Bertahun-tahun berada disamping Mutiara membuatnya mengetahui kebiasaan gadis itu. Mutiara bukanlah seseorang yang akan membiarkan dirinya terlelap dalam keadaan duduk.
Mutiara tipe orang yang mementingkan kesehatan dan kenyamanan dirinya saat waktunya untuk benar-benar istirahat.
Gadis itu akan memenjamkan mata ketika duduk jika ada sesuatu yang salah dan membuat moodnya buruk. Disitulah perannya dibutuhkan sesuai pesan dari Eyang Murti saat ekspresi wajah Mutiara perlahan berubah keruh.
"Kamu tahu tadi aku baru nonton acara gosip disitu ada pengacara kondang yang selalu muncul disetiap pertikaian artis, dia dipanggil Pak Bos! Imut tahu dipanggil kayak gitu.Jadi kepikiran panggil kamu seperti itu." Ucap Salana dengan ekspresi lucu diakhiri dengan kekehan.
Mutiara hanya bisa mendengus mendengar perkataan Salana yang terlalu cepat terpengaruh dengan apa yang dilihatnya.
Melihat respon yang diberikan Mutiara, Salana melanjutkan tujuannya untuk bertemu langsung dengan atasannya itu.
"Jadi Bagaimana keputusanmu?" Tanya Salana dengan ekspresi berubah serius namun tetap dengan mata penuh harap dan Mutiara menyadarinya.
"Bagaimana pendapatmu?" bukannya menjawab Mutiara mencoba balik bertanya dengan tujuan menggali seberapa banyak informasi yang diketahui oleh Salana.
"Ambil kesempatan itu! berhubungan dengan keluarga Moviek bisa menjadi batu loncatan buat kita bukan?" cetus Salana mencoba meyakinkan Mutiara."Kita semua tahu pengaruh mereka dinegara ini" Sambung Salana lagi yang hanya dibalas anggukan oleh Mutiara.
"Benarkah?" tanya Mutiara singkat.
"Tentu saja, mereka memiliki sumber kekayaan yang tidak sedikit dan lingkup pergaulan mereka tidak kaleng-kaleng. Siapa pun yang menjadi langganan mereka dari sektor manapun dijamin akan menjadi salah satu terbaik" Salana masih kekeh dengan apa yang menjadi keinginannya menjadikan keluarga Moviek sebagai salah satu pelanggan di butik mereka.
"Bagaimana kalau kita tidak mampu menuruti keinginan mereka dan mereka tidak merasa puas dengan apa yang kita berikan?"
"Maksudmu?" Tanya Salana bingung dengan ucapan Mutiara yang menurutnya menggambarkan rasa pesimis.
"Kamu pasti tahu kalau mereka pasti sudah memiliki desainer lain sebelumnya dan kita tidak tahu kenapa orang seperti mereka menanyakan kesediaan kita yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan desainer tetap mereka selama ini? lagipula kita juga tidak tahu bagaimana selera mereka apalagi kita hanya diberi waktu tidak cukup dua bulan tanpa pemberitahuan sebelumnya." Mutiara mencoba memberi pemahaman pada Salana.
"Bukankah kemampuanmu tidak kalah dengan mereka?"
"Ini bukan masalah kemampuan Sal. Seharusnya mereka sudah memberitahu jauh sebelumnya jadi kita bisa lebih mempersiapkan diri"
"Bukannya kita punya team"?
"Benar tapi semuanya masih dibawah pengawasanku langsung"
"Kamu juga harus lihat itu" Tunjuk Mutiara pada salah satu desain belum sempurna yang terpajang " kita harus menyelesaikannya dalam minggu ini dan minggu setelahnya kita juga harus menyelesaikan pesanan Nyonya Ruzyn dan Nona Adella" Sambung Mutiara.
"Apa menurutmu aku masih harus menerima permintaan keluarga Moviek?"
"Jadi kita menolak tawaran itu? "
"Kamu sudah tahu jawabannya"
"Bagaimana jika mereka kecewa" sanggah salana yang masih tidak percaya dengan keputusan Mutiara.
"Kecewa sekarang lebih baik daripada kita mengecewakan mereka nanti yang akan berimbas pada usaha kita" Mutiara berucap dengan tenang. "lagi pula mereka takkan sekecewa yang kamu pikirkan Salana" Sambungnya yang hanya bisa berucap dalam hati.
"Bagaimana kalau Pesanan Nyonya Ruzyn dan Nona Adella team yang menyelesaikannya jadi kamu bisa fokus pada pesanan Keluarga Moviek"
Mutiara menghembuskan nafas pelan kemudian menatap Salana dengan intens. Salana yang diperlakukan demikian hanya bisa tertunduk dan merasa bersalah.
"Salana, ketahuilah kepercayaan pelanggan menjadi salah satu terpenting dalam berbisnis. Selama ini kita bisa mencapai tahap ini berkat rasa kepercayaan pelanggan terhadap kita. Aku kira kamu sudah tahu semua"
"Jangan hanya karena ada seseorang yang lebih berkuasa dan menjadi idola kita harus mengeyampingkan orang lain yang lebih dulu memberi kita kesempatan untuk berdiri"
"Nyonya Ruzyn dan Nona Adella memang tidak bisa dibandingkan dengan keluarga Moviek tapi mereka salah satu bagian yang pertama kali memberi kita banyak bantuan saat sedang awal-awal membangun usaha ini " Jelas Mutiara panjang lebar berharap Salana memahami alasan penolakannya.
"Baiklah aku mengerti, kalau begitu aku akan kembali menghubungi dan memberitahu mereka tentang keputusanmu" ucap Salana meski dengan nada mengandung kekecewaan.
"Hm, itu lebih baik"
Salana segera berdiri namun sebelum beranjak dia menggeser gelas yang diletakkannya tadi ke depan Mutiara.
"Ini segelas coklat, katanya bisa memperbaiki mood seseorang"
"Harusnya kamu yang meminumnya, bukan? " sindir Mutiara dengan tersenyum.
"Itu milikmu aku sudah punya bagianku sendiri. Sepertinya kita berdua butuh banyak coklat hingga akhir bulan ini" Balas Salana tersenyum sambil melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Mutiara.
"Sorry Sal" Ucap Mutiara sebelum Salana keluar. Mutiara tahu bagaimana obsesi teman sekaligus sekretarisnya itu pada keluarga Moviek terlebih pada putra mahkota keluarga itu.
"Tidak apa-apa, lagi pula alasannya jelas" balas Salana setelah itu menutup pintu ruangan Mutiara.
"Jangan pernah berhubungan dengan keluarga itu Mutiara"
(Ω Д Ω)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!