Jodoh Pilihan Mertua
Diluar hujan turun sangat deras, suaranya telah mengusik tidur siang seorang wanita yang tengah hamil tua. Baru saja terpejam beberapa saat lalu, tapi kini harus kembali terjaga.
Wanita itu memilih duduk, kondisi kehamilannya ini menyulitkan pergerakannya. Kakinya bahkan bengkak sempurna.
“Ternyata hamil itu rasanya seperti ini, aku jadi tahu bagaimana payahnya menjadi bunda,” ucapnya lirih. Mengingat sang bunda yang jauh diluar kota.
Jenna Chayra Rumi, wanita itu adalah putri dari pasangan kyai Abu Raihan dan ibu nyai Aisyah, pendiri pondok pesantren Wali songo. Pesantren yang mengajarkan ilmu tua kalau kata orang jawa. Ilmu tentang pengobatan versi islam, tentang menangani hal-hal ghaib sesuai ajaran islam. Jadi santri di pondok pesantren ini kebanyakan adalah lelaki dewasa yang telah lulus dari pesantren sebelumnya.
Pesantren Wali songo bukanlah pesantren besar seperti pesantren Ulul Azmi, tempat dimana dirinya sekarang berada. Ya, Jenna adalah menantu dari kyai Ali dan ibu nyai Insyirah. Dulu ia hanya seorang santriwati disini, hingga tiba saatnya ketika kyai Ali mempersuntingnya untuk putranya yaitu Athar Galen Musthafa.
Jenna tersenyum manis, mengingat Athar membuatnya selalu merasa jatuh cinta lagi dan lagi. Dimatanya suaminya itu adalah sosok lelaki sempurna. Lelaki lembut dan penyabar yang selalu menomor satukan pasangannya.
Baru beberapa menit yang lalu Athar berpamitan akan mendatangi undangan reuni atau temu alumni di kota sebelah. Jenna kembali khawatir, pasalnya suaminya tengah merasa kurang enak badan, tapi harus tetap pergi karena kyai Ali sudah semakin tua, tak mungkin bepergian ke luar kota lagi.
Wanita itu merasa ada yang merembes dari dalam jubahnya, disingkapnya selimut yang masih setia menutupi tubuh dari dinginnya hujan diluar sana. Mata Jenna membelalak sempurna, air berwarna jernih mengalir di kakinya, bersamaan dengan perutnya yang tiba-tiba kram, rasa sakitnya seakan tak mampu ditahan lagi.
“Aduh, kenapa ini? apa aku mau melahirkan. Ah, aduh.. ssh..sakit sekali,” desisnya. Nafas mulai memburu, tangannya segera meraih benda pipih diatas meja kecil disamping ranjang. Menggeser layar dan melakukan panggilan.
“Din, tolong kakak dek, bisa kabarkan ke umi, sepertinya kakak mau melahirkan. Ini kakak di kamar, aduh… perut kakak sangat sakit,” ucapnya pada seseorang di sambungan telepon.
Setelah lawan bicaranya menyanggupi permintaannya, Jenna kembali meletakkan ponsel, dipegangnya perut yang telah membesar sempurna. Ia kembali teringat Athar, namun ia tak ingin mengganggu perjalanan suaminya itu.
Tak butuh waktu lama, umi Iin masuk kedalam kamar bersama Dinda putri bungsunya. “Ya Allah, Jenna. Ayo nak kita harus ke rumah sakit sekarang. Abi…. tolong suruh Aydan jangan lama-lama siapkan mobilnya, keadaan Jenna sudah darurat ini,” teriak umi Iin pada sang suami dari dalam kamar.
“Dinda, bawa tas kakakmu yang kemarin sudah disiapkan.”
“Dimana kak tasnya?” Dinda bertanya keberadaan tas berisi kebutuhan persalinan yang disiapkan bersama dengan kakak ipar dan uminya kemarin. Mereka semua memang sangat menunggu kehadiran cucu pertama yang akan lahir dari rahim sang menantu.
Umi Iin memapah Jenna keluar kamar. Dinda yang melihat kedatangan Aydan, saudara juga orang kepercayaan kakaknya Athar segera memberikan tas di tangannya, meminta lelaki itu untuk membawanya ke dalam mobil, sedangkan dirinya memilih membantu sang umi memapah kakak iparnya.
Kini mereka berempat telah berada dalam mobil menuju rumah sakit, Jenna terus mengerang, mendesis lemah. Umi Iin meminta Aydan untuk mempercepat laju kendaraan mereka. Kyai Ali memutuskan menunggu di rumah, menjaga pesantren, khawatir kalau ada tamu yang mendadak berkunjung.
Lelaki sepuh itu menelepon sebuah nomor bertuliskan Athar dalam ponselnya. “Assalamualaikum, Athar. Ini Abi, pulanglah nak, istrimu akan segera melahirkan. Kini ia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit bersama umi, Dinda dan Aydan. Jangan lagi pedulikan acara Reuni itu, biar Abi yang mengabari mereka.”
Wajah menjadi sedikit santai saat mendengar jawaban setuju dari putranya di sana, kyai Ali lantas mematikan ponsel setelah berpamitan terlebih dulu. Kyai Ali yang merasa ikut panik segera memilih untuk mengambil air wudhu, dan segera menggelar sajadah untuk berdzikir dan berdoa agar menantu dan cucunya selamat semua.
***
Tawa seorang gadis kecil terdengar nyaring, renyah menembus kesunyian. Gadis itu berlari lari dengan kaki kecilnya, mengejar seorang anak laki laki yang lebih besar dari dirinya. “Ayo kejar, tangkap aku!” ucap anak laki laki itu.
“Ah, kakak. Aku sudah capek. Bolehkah kita istirahat sebentar?” pintanya, bibir cemberut dan pipi bulatnya mengembang bagai adonan donat. Melihat gadis kecil itu merajuk, membuat anak laki laki tampan itu berjalan mendekat.
“Baiklah, berhentilah cemberut. Kamu sangat jelek kalau seperti itu Na,” ejeknya.
“Mana ada aku jelek kak? kata buya aku cantik.” Gadis dengan rambut kuncir dua itu membela diri sendiri, tersenyum menampilkan mata sipit yang terlihat lucu.
Tergelak hingga sudut mata mengeluarkan cairan bening nan hangat, anak laki laki kecil itu kembali berucap, “oke, kamu memang cantik, kakak mengaku salah. Untuk menebus kesalahan kakak, kamu minta apa tuan putri?”
Tangan menunjuk pada puluhan buah apel yang bergelantungan diatas pohon, senyum di bibir mungil tampak malu-malu. Tak menunggu lama kakaknya segera memanjat keatas pohon, bergerak lincah bagai seekor tupai.
Namun, peribahasa mengatakan sepandai-pandai tupai meloncat pasti akan jatuh juga, kejadian ini tak merujuk pada arti peribahasa, melainkan sesuai kata-katanya. Anak lelaki kecil itu tergelincir, tubuhnya jatuh berdebuk ke atas tanah. Kepala kecilnya menghantam keras sebuah batu yang berada tepat di bawah pohon apel, tak ada waktu menjerit, rasa sakit menghilangkan kesadarannya.
“Kakak!!!” kaki mungil berlari, menginjak rumput hijau yang terbentang luas di sekitarnya, keindahan pemandangan di sekitarnya tak lagi menjadi menarik, melihat anak laki-laki yang dianggapnya sebagai kakak terjatuh dan tak sadarkan diri membuat tangisnya terdengar menyayat hati.
“Kakak, bangun.. hiks hiks.. Aku mohon bangunlah kak, bangun..”
Sebuah ponsel berwarna hitam bergetar di atas meja, suara deringnya memekakkan telinga. Ketukan di pintu menambah kebisingan siang itu, membangunkan seorang pemuda tampan dari tidur lelapnya.
Rasa kantuk masih belum sepenuhnya sirna, lelaki itu berusaha menetralkan nafas yang mulai engap. “Mimpi itu lagi,” gumamnya seraya mengusap wajah kasar, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggelayut manja dimata.
Ketukan di pintu telah berhenti, bersamaan dengan diamnya ponsel diatas meja. Diliriknya ponsel yang telah kembali tenang itu, nama sang adik terpampang disana. Sama sekali tak tertarik untuk kembali menghubungi adiknya, lelaki itu memilih melirik pada kalender, sebuah angka dengan tanda love merah tercetak disana.
“Ya Allah, itu hari ini. Kenapa aku bisa lupa,” ucapnya seraya berlalu. Menyambar handuk pada pintu kamar mandi, bergegas membersihkan diri. Hari ini ia berencana melamar sang kekasih. Sudah empat tahun mereka bersama, lelaki itu ingin segera meyakinkan sang wanita untuk melangkah lebih serius pada hubungan mereka.
Aktivitas mandi telah usai, ia kini mematut diri di depan cermin. Mengenakan celana panjang berbahan jeans, dan kemeja polos berwarna hitam, lengan panjang sedikit ditekuk hingga seperempat ukuran tangannya, arloji kesayangan tak lupa dilingkarkan pada pergelangan tangan.
Rambut telah disisir rapi, tak lupa parfum kesukaan sang kekasih. Aura ketampanan terpancar dari wajahnya. Bentuk tubuh yang atletis menambah kegagahan dari tubuh lelaki itu.
Gawai diatas nakas kembali menjerit, nama sang adik muncul dilayar. “Ada apa sebenarnya anak ini?” lirihnya, menekan tombol hijau dan mengaktifkan speakerphone. “Hallo."
Assalamualaikum kak
“Ah iya, waalaikumsalam. Ada perlu apa Thar?
Kak, bisa gantikan aku keacara reuni temu alumni? di gedung Pancasila dekat kampus kakak.
“Nggak bisa Thar, kakak ada janji sama teman, dan ini sangat penting. Kamu terlalu mendadak kalau minta tolong,” paparnya, mencoba memberi penjelasan.
Istriku melahirkan kak, aku harus pulang. Ini aku sedang dijalan, belum jauh dari rumah dan abi menelepon mengatakan kalau Jenna melahirkan.
“Kamu sama Aydan?”
Tidak kak, aku sendiri. Aydan sengaja kutinggal karena memang ini sudah mendekati hpl Jenna.
“Aduh, kakak minta maaf ya Thar, kakak benar-benar tidak bisa membantumu kali ini. Mintalah Abi untuk menugaskan seorang ustadz dari kantor putra.”
Sebenarnya Abi sudah memintaku pulang saja, hanya aku merasa tak enak dengan para alumni. Kalau tak ada perwakilan keluarga ndalem yang hadir disana.
"Kamu selalu begitu, janganlah terlalu mementingkan pesantren. Pulang saja kasihan istrimu."
Baiklah kak, terimakasih sarannya. Kalau begitu aku matikan dulu kak, disini hujan deras, aku hampir tak bisa melihat jalan.
“Ya sudah, hati-hati. Fokus, jangan ngebut,” ucap lelaki itu memperingatkan adiknya. Panggilan telah usai, kembali dipandangnya pantulan gambarnya pada cermin. Lelaki itu tersenyum puas, hatinya berdegup kencang, mengeluarkan sebuah cincin dari laci meja belajarnya. Membayangkan ekspresi wanitanya, membuat dirinya semakin bersemangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Ade Diah
Iya sudah ketebak, jadi penasaran jalan cerita ya kedepan akan seperti apa
2023-12-29
1