Dalam sebuah ruang rumah sakit, Jenna tengah berjuang untuk melahirkan bayinya. Umi Iin setia menemani di samping, bibirnya komat kamit berdzikir, berharap persalinan menantunya diberikan kelancaran.
Dinda berada diluar ruangan bersama Aydan, gadis itu berusaha menghubungi kakaknya. Namun, lelaki itu tak menjawab.
“Belum bisa Din?” tanya Aydan.
“Belum kak, aku jadi khawatir. Diluar hujan deras kak Aydan. Apakah kak Athar baik-baik saja?”
“Apa yang kamu katakan? tentu saja Athar baik-baik saja. Mungkin dia sudah berada di acara. Jadi tak bisa mengangkat telepon,” kata Aydan, mencoba menenangkan hati saudaranya itu. Meski hatinya sendiri merasa resah.
Tepat pukul 14.50, suara tangisan bayi terdengar dari ruang persalinan. Dinda menatap Aydan dengan wajah cerah, matanya berkaca-kaca. “Kak Aydan, keponakanku sudah lahir?”
Umi Iin keluar ruangan, beliau menangis haru. Memeluk putri bungsunya. “Alhamdulillah nduk, kakak dan keponakanmu selamat, semuanya diberikan kelancaran oleh Allah, bayinya perempuan, wajahnya terlihat persis dengan Athar.”
“Iya umi, umi sekarang sudah jadi jiddah, selamat ya umi.”
“Iya sayang. Ah, bagaimana kakakmu? sudah berhasil menghubungi?” tanya umi Iin, memandang putri dan keponakannya secara bergantian. Dinda menggeleng lemah.
“Mungkin sudah mulai acara bulek, dan ponselnya mode hening. Jadi tidak tahu kalau ada panggilan masuk. Kak Athar biasanya seperti itu kalau menghadiri acara,” ujar Aydan mencoba menenangkan kedua wanita di depannya.
***
Derasnya hujan menghalangi pandangan Athar, jalan raya yang dilewatinya sangatlah ramai, para pengemudi saling membunyikan klakson sebagai tanda satu sama lain.
Mobil tak bisa berjalan cepat bersamaan dengan menurunnya fokus pada dirinya, badannya mulai menggigil, sepertinya ia demam, sedang hujan diluar sana tak ada tanda-akan akan reda. Gemuruh halilintar saling bersahutan. Pandangan mata Athar mulai kabur, namun tekad dihatinya besar, ia ingin mengadzani bayi kecilnya.
Tin tin tin….
Berkali kali dibunyikannya klakson, menyadari bahwa dirinya hampir saja menabrak pengendara motor, rasa pusing yang mendera, juga cuaca buruk semakin membuatnya kesulitan.
“Ya Allah, tolong bantulah hambamu ini, hamba hanya ingin segera berjumpa dengan istri dan anak hamba ya Allah, hamba ingin melaksanakan kewajiban hamba sebagai seorang ayah, mohon izinkanlah ya Alloh,” pintanya lirih.
Bibir terus mengucap dzikir saat melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Mata masih awas menatap ke arah depan, hingga saat mencapai sebuah tikungan, sorot cahaya lampu dari arah kanannya memecah fokus, lelaki itu terkejut saat menyadari sebuah truk besar melaju dengan kecepatan diatas rata-rata dari sebelah kanannya.
Braaakkk…..
Tiiiiiiiiiin…..
Ya Alloh, hamba yakin akan semua takdirmu, bahwa itu adalah yang terbaik bagi hambaMu, jika engkau mengatakan hamba tak bisa berjumpa dengan istri dan anak hamba, maka hamba titipkan mereka padaMu, hamba siap kembali sekarang ya Allah.
Jenna sayang, apa kabarmu? apa putri kita lahir sehat? dokter bilang dia perempuan, apakah dia secantik dirimu sayang? kalau mas pergi, mas titip putri kita ya, didiklah dia menjadi wanita shalihah seperti dirimu, menjadi pribadi kuat sebagaimana cinta kita. Kelak, jika mas tiada jangan cengeng ya, Jennaku wanita kuat. Oh iya, kalau kamu jatuh cinta lagi, maka ikutilah kata hatimu, jangan suka ngambek ya Jen, mas cinta kamu.
“Eh, ayo sini tolongin disini, pengemudi mobil terluka parah, kita harus cepat keluarkan dia dari sana sebelum mobilnya meledak,” ucap seorang lelaki bertubuh tegap dan tinggi. Beberapa warga segera berbondong-bondong menyelamatkan lelaki malang yang tak sadarkan diri, tubuhnya terjepit dibawah mobil yang terguling berkali kali, akibat tabrakan truk yang hilang kendali.
Sebuah ambulans datang, sesaat setelah para warga berhasil mengevakuasi korban. “Hey, ini ponsel korban masih selamat,” ucap salah satu warga.
“Ambil, kita bisa hubungi keluarganya dari sana,” jawab lelaki pertama. Diterimanya ponsel yang hanya retak bagian layar. Mencoba membuka ponsel yang tak dikunci. Lima panggilan tak terjawab beberapa saat yang lalu, salah satu nomor bertuliskan adik kecilku.
Tuuuuuut…… panggilan mulai tersambung.
“Hallo, maaf kami mengabarkan bahwa pemilik ponsel mengalami kecelakaan dengan truk, di jalan mahakam nomor 125, sekarang sudah dibawa ambulans menuju rumah sakit terdekat. Anda bisa segera datang.”
“Iya iya, sama-sama.” Lelaki itu lantas mematikan panggilan.
***
“Lihatlah, hidungnya, bibirnya semua sangat mirip dengan Athar, benarkan Din?” ucap umi Iin, air mukanya terlihat sangat bahagia. Begitu pun Jenna, wanita itu juga sangat bersyukur, meski suaminya tak bersamanya kini. Kyai Ali datang dan mewakili putranya untuk mengadzani cucunya.
“Jenna, bagaimana kedua orangtuamu? apakah mereka akan datang hari ini?”
“Iya umi, tadi Jenna sudah kasih kabar sama bunda, beliau sekarang sedang dalam perjalanan.”
“Baiklah sayangku, sekarang kamu tinggal tunggu kakek dan nenek datang ya, juga ayah, cucuku yang cantik…Athar pasti sangat bahagia nanti melihat putrinya,” ucap umi Iin.
Gawai dalam saku Dinda bergetar, gadis itu segera meraih ponselnya. “Umi, mas Athar,” ucapnya tersenyum riang.
“Cepat-cepat, angkat Din,” jawab sang umi, tak sabar memberikan kabar bahagia pada putranya.
Dinda menempelkan ponsel pada telinga, gadis itu tampak sangat tegang saat mendengarkan suara dari sambungan ponselnya, membuat keluarganya ikut panik. “Baik, terimakasih informasinya,” ucap Dinda, matanya mulai mengembun.
“Dinda, ada apa nduk?
“Mi… kak Jen… kak Athar,” bulir bening berhasil lolos dari pelupuk matanya. Gadis itu mulai terisak. Membuat Jenna dan umi Iin kebingungan.
“Kak Athar kecelakaan umi hiks hiks,” ucap Dinda.
Jenna dan umi hanya mampu saling pandang, keduanya tampak sangat syok hingga tak mampu berbicara apa-apa. Aydan segera mendekat, meraih ponsel dalam genggaman Dinda, menggeser layar dan kembali membuat panggilan.
Lelaki itu berbincang sebentar dengan penelepon tadi, menanyakan kembali rumah sakit dimana Athar dibawa, setelah mendapat jawaban, Aydan mulai berbicara, “Bulek, biar Aydan yang pergi,” ucapnya.
“Ndak Dan, bulek mau ikut.”
“Umi, Jenna juga mau ikut,” ucap Jenna mulai tersengal, bibir wanita itu bahkan bergetar hebat, kedua netranya berkaca-kaca, tetes demi tetes air kesedihan mulai membasahi pipi.
“Nduk, kamu disini saja sama Dinda, kamu belum sehat nak, putrimu juga membutuhkanmu. Athar serahkan sama umi, banyak-banyaklah berdoa ya sayang, doakan suamimu.”
Umi Iin mengusap lembut puncak kepala menantunya yang masih tertutup hijab, beliau lantas menatap pada putri bungsunya, “Din, temani kakakmu, bantu dia. Umi akan kabari abah dan pergi melihat kak Athar, kamu juga bantu doa ya.”
“Baik umi, nanti kabari Dinda ya mi kalau umi sudah sampai sana,” pintanya, yang mendapat anggukan dari umi Iin.
Umi Iin dan Aydan berjalan meninggalkan kedua wanita yang kini saling berpelukan, mencoba saling menyalurkan kekuatan, doa doa terpanjat tulus dari masing-masing hati mereka, berharap akan takdir Allah yang terbaik untuk kedepannya.
Selamatkan suami hamba ya Allah, hamba tidak siap kehilangannya. Hamba masih ingin bersama-sama mendidik anak kami, hamba mohon berilah kami kesempatan ya Allah, tunjukkan keajaibanMu, kembalikan mas Athar dalam keadaan sehat walafiat di samping kami ya Allah.
Mas, putri kita telah lahir. Adik mohon...bertahanlah mas. Kami menunggumu. Maaf aku tak bisa datang mas, umi melarang, juga karena putri kita membutuhkanku. Ingat janji mas yang tak akan pernah meninggalkanku? Kumohon, tepati janjimu mas.. Kumohon...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Ade Diah
Hebat, semua tersusun sangat rapih
2024-01-02
1