“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, telah meninggal dunia putra kedua dari kyai Ali dan bu nyai Insyirah, bernama Gus Athar Galen Musthafa. Semoga beliau diampuni segala dosanya dan diterima semua amal baiknya. Semoga beliau juga dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mati husnul khatimah.”
Amiiiiin….
Para peziarah dan ribuan santri berkumpul di halaman pondok pesantren Ulul Azmi, mereka semua bergantian untuk mensholatkan jenazah gus mereka di dalam musholla. Sholat jenazah dipimpin langsung oleh kyai Ali dan kyai Abu, orangtua juga mertua dari Athar.
Umi Iin dan Dinda tampak beberapa kali mengusap air mata, kedua wanita itu duduk di halaman rumah, di sekelilingnya para kerabat dan beberapa santri putri. Wajah mereka semua basah oleh air mata. Dimata mereka Athar galen musthafa adalah seorang lelaki yang lemah lembut namun tegas, seorang guru yang bijaksana, seorang gus yang selalu ada saat setiap santri mengalami kesulitan.
Peran Athar pada pesantren Ulul Azmi selama ini sangatlah besar, lelaki itu bahkan yang menghandle semua tentang pesantren sejak kyai Ali dinyatakan sakit jantung, dan harus banyak istirahat sejak satu tahun yang lalu. Saat itu Athar baru saja lulus dari Kairo Mesir.
Lelaki muda itu berwawasan luas, di usianya yang masih belia ia mampu membawa nama baik pesantren dengan segudang prestasinya. Selain itu Athar juga sangat berbakti pada orangtua, tak sekalipun lelaki itu pernah membantah ucapan orangtuanya.
Begitupun pada kedua saudaranya, Athar banyak mengalah, ia tak pernah meminta. Apa yang menjadi bagiannya maka akan diterimanya dengan rasa syukur tak terkira. Hanya satu yang ia pernah ia pinta pada kedua orangtuanya. Yaitu, menikahi Jenna.
Jenna Chayra Rumi, adalah putri dari sahabat abinya, wanita yang dulunya adalah santri di pesantren orangtua Athar. Ia jatuh cinta saat mengajar Jenna dikelasnya. Dan berhasil menjadikan wanita itu sebagai istrinya. Kehidupan mereka baru saja dimulai, bahkan ada bayi yang baru saja hadir diantara mereka. Namun, Athar terlalu cepat pergi.
Tapi mau menyalahkan siapa? tentu saja tidak ada. Tiga hal yang menjadi misteri, dan tak pernah bisa dirubah. Jodoh, rezeki, dan mati. Semua misteri ilahi.
Wanita cantik itu tampak layu, kondisinya yang belum sehat ia paksakan datang menghadiri pemakaman suaminya. Ia berjalan cepat dengan air mata yang terus berderai, dibelakangnya ada Aydan dan bunda Aisy yang mengikutinya.
“Jenna, Jen, jangan kesana nak,” pinta sang bunda. Tak kuasa dirinya melihat putri kesayangannya berjalan bagai mayat hidup. Wanita itu bahkan tak mau makan apapun sejak mendengar suaminya kecelakaan.
Jenna terus meringsek, melewati para peziarah yang kebanyakan laki laki, melihat itu Aydan segera berlari menarik tubuhnya dan membawa wanita itu pergi dari sana. Jenna meronta kuat, namun tubuh mungilnya dengan mudah ditaklukkan oleh Aydan, wanita itu lama kelamaan mulai lelah, tubuhnya menjadi lemas, Aydan menyadari hal itu. Ia segera membopong istri kakaknya masuk kedalam rumah.
Melewati para santri, umi Iin dan juga Dinda, Keduanya menatap heran, “Dan, kenapa Jenna bisa ada disini?”
“Nanti bulek,” jawabnya seraya berlalu. Berjalan tergesa masuk ke dalam rumah.
Melihat besannya berjalan dengan nafas tersengal, reflek umi Iin membantunya, membawa wanita itu untuk duduk di kursi. “Dik Aisy, kenapa Jenna bisa ada disini? bagaimana dengan cucu kita?”
“Aduh mbak, Jenna sudah ndak bisa dilarang, dia marah dan kabur dari rumah sakit, kami terpaksa mengantarnya kesini, genduk di bawa Fadhila kakak ipar Jenna,” ucap bunda Aisy.
Umi Iin hanya bisa menangis, semua orang sangat terpukul atas kepergian Athar, utamanya Jenna. Wanita itu baru saja berjuang melahirkan keturunan Athar. Namun, takdir seolah mempermainkannya. Suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat hendak menemuinya di rumah sakit. Bisa kalian bayangkan betapa tragisnya takdir hidup Jenna.
“Bulek, Jenna tak sadarkan diri dikamar, ditemani Dinda. Aydan pamit ke mushola dulu.”
“Iya Dan, terimakasih ya,” ucap umi Iin, mata wanita itu sembab, ia benar-benar tak menyangka putranya akan pergi mendahuluinya. Para peziarah terus berdatangan, halaman pondok pesantren Ulul Azmi tak mampu lagi menampung jumlah mereka.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan para peziarah, seorang pemuda turun dari dalamnya, diikuti dua pemuda lain yang mengekor di belakangnya. Pemuda pertama berjalan masuk kedalam ndalem utama, menemui umi iin disana.
“Assalamualaikum umi.”
“Waalaikumsalam, le Rizwan, adikmu nak.” Tangis tak mampu lagi ditahan, kedatangan putra pertamanya membuat umi Iin kembali lemah. Kedua putranya sangat mirip satu sama lain, hal itu juga yang membuatnya merasa semakin sedih.
***
Pemakaman putra kedua kyai Ali berjalan lancar, kini para peziarah satu persatu telah kembali kerumah masing-masing. Para lelaki berkumpul diruang tamu, sedangkan umi Iin dan Dinda berada dikamar, istri kyai Ali itu tak mampu menahan kesedihannya, ia pingsan saat tandu membawa tubuh putranya menuju area pemakaman khusus keluarga ndalem.
Jenna ditemani bunda Aisyah kembali ke rumah sakit, kaki wanita malang itu bahkan kembali membengkak, matanya yang terlalu banyak menangis hanya mampu terpejam. Wanita itu sakit luar dalam, ia butuh istirahat total.
Kyai Ali sedang berbincang dengan beberapa sanak saudara yang datang berziarah, ditemani Rizwan disampingnya. Pemuda tampan itu merasa sangat terpukul, perasaan bersalah menggerogoti hatinya. Ia menolak permintaan terakhir adiknya, dan ia menyesali hal itu kini.
Penyesalan memang selalu datang terlambat, ketika adiknya mengalami kecelakaan, bahkan meregang nyawa. Dirinya malah sedang berbahagia dengan kekasihnya. Sungguh seorang kakak yang jahat, batinnya.
“Rizwan,” panggil kyai Ali.
“Dalem Bi.”
“Kuliahmu sudah selesai kan le, kapan kamu pulang. Adikmu sudah tidak ada,” kata kyai Ali, menatap wajah sang putra yang hanya mampu menunduk.
“Iya nanti Abi, Rizwan akan pikirkan nanti. Kalaupun pulang banyak yang harus Rizwan selesaikan dulu, seperti tugas-tugas kampus dan lainnya.”
“Baiklah, sekarang kamu satu-satunya harapan Abi dan Umi. Adikmu sudah menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik, dia anak yang berbakti. Tak pernah sekalipun Athar membantah Abi dan Umi. Kita semua kehilangan anak itu. Semoga Allah memberikan tempat terbaik disisi-Nya.”
“Amiiin Abi, kita semua akan mendoakan Athar. Abi tidak perlu khawatir. Rizwan pasti pulang, dan mungkin inilah saatnya,” ucap lelaki itu, tubuhnya bergerak maju menenangkan sang ayah yang mulai terisak perlahan.
Dalam pelukan putranya tangisan itu menjadi lebih kuat. Terbukti dari pundak kyai Ali yang bergerak keatas dan kebawah. Siapapun pasti tak akan mampu menyaksikan pemandangan ini. Kepedihan apa yang lebih sakit daripada ditinggal orang yang kita sayang?
***
Lima Bulan Kemudian
“Masya Alloh cucu oma, sudah bisa berceloteh ya nak? trus bisa apa lagi?” Bunda Aisy tampak sangat bersemangat menggoda cucu pertamanya.
“Iya dik, Hana bahkan sudah pandai menarik apa saja yang ada di depannya, kalau ada yang lagi makan kue didepannya ya ditarik sama dia, lucu sekali pokoknya,” jawab Umi Iin. Kedua nenek itu tampak sangat bersemangat membahas cucu pertama mereka.
“Iya kah Jen?”
“Iya bun, bahkan Hana sering menarik rambut Jenna. Sampai Jenna berpikir apa harus potong rambut saja,” ucap Jenna, wanita itu tersenyum simpul menanggapi ucapan orangtuanya.
“Ah, jangan. Bayi memang begitu. Iyakan Hanna?” Bunda Aisy kembali menimang cucunya. Membawanya pergi ke ruang tamu. Disana ada kyai Ali dan kyai Abu yang tengah berdiskusi tentang keluarga mereka.
“Ummi, Jenna, kemarilah. Ada yang mau Abi sampaikan,” ucap Kyai Ali.
Dua keluarga kini berkumpul dalam ruang tamu. Jenna duduk bersebelahan dengan bundanya, sedangkan ummi Iin yang mengambil Hana dari gendongan bunda Aisy kini tengah duduk disamping suaminya, Kyai Abu menyimak dari kursi seberang meja.
“Jenna nduk… dengarkan Abi, ini hasil musyawarah Abi sama Buya. Ide ini kami dapat karena mempertimbangkan kebaikan Hana. Bayi itu butuh sosok ayah nak, untuk menggantikan tugas Athar.”
Bulir kesedihan jatuh membasahi pipi, setiap kali Jenna mendengar nama Athar disebut, hatinya sesak. Luka itu masih saja basah, entah siapa yang akan bisa menyembuhkannya. Kalaupun itu waktu, maka butuh berapa lama hingga luka bisa mengering sempurna.
“Nduk, kita semua tidak mau sosok pengganti Athar adalah lelaki yang tidak jelas asal usulnya, bahkan kita juga keberatan kalau lelaki itu nantinya akan membuat Hana jauh dari kita,” kata Ummi Iin, air matanya mulai berlinang, dipeluknya erat bayi lima bulan yang masih terus berceloteh riang.
“Iya, benar Ummimu. Abi membayangkan kalau kamu menikah dengan lelaki lain yang bukan dari keluarga kita, maka sudah pasti kita tak akan menjadi sedekat ini.”
“Ummi tidak mau itu terjadi Jenna, ummi melihat Athar dalam wajah Hana. Ummi tidak mampu melepaskan bayi ini.” Ummi Iin terisak.
“Maaf Abi, Ummi kalau Jenna menyela, Jenna tidak akan pernah membuat Hana jauh dari keluarga ini, Hana masih tetap cucu Abi dan Ummi. Kalau Abi dan Ummi dan rindu, Jenna akan bawa Hana kesini,” terang Jenna, mencoba meyakinkan mertuanya.
“Nduk, kalau Abi boleh meminta, maukah kamu menikah lagi nak?”
“Dengan siapa Abi?” tanya Jenna, dirinya mulai tegang. Dalam hati sungguh masih enggan, bahkan tak ada pikiran kearah sana. Masa iddah juga baru selesai. Kini Jenna hanya ingin fokus pada Hana, sebab tak mudah baginya melupakan Athar.
“Rizwan nduk,” jawab kyai Abu yang sedari tadi memilih diam. Bunda Aisy pun hanya mampu menunduk saat mendengar suaminya menyebutkan satu nama yang membuat Jenna membulatkan mata sempurna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments