Diluar hujan turun sangat deras, suaranya telah mengusik tidur siang seorang wanita yang tengah hamil tua. Baru saja terpejam beberapa saat lalu, tapi kini harus kembali terjaga.
Wanita itu memilih duduk, kondisi kehamilannya ini menyulitkan pergerakannya. Kakinya bahkan bengkak sempurna.
“Ternyata hamil itu rasanya seperti ini, aku jadi tahu bagaimana payahnya menjadi bunda,” ucapnya lirih. Mengingat sang bunda yang jauh diluar kota.
Jenna Chayra Rumi, wanita itu adalah putri dari pasangan kyai Abu Raihan dan ibu nyai Aisyah, pendiri pondok pesantren Wali songo. Pesantren yang mengajarkan ilmu tua kalau kata orang jawa. Ilmu tentang pengobatan versi islam, tentang menangani hal-hal ghaib sesuai ajaran islam. Jadi santri di pondok pesantren ini kebanyakan adalah lelaki dewasa yang telah lulus dari pesantren sebelumnya.
Pesantren Wali songo bukanlah pesantren besar seperti pesantren Ulul Azmi, tempat dimana dirinya sekarang berada. Ya, Jenna adalah menantu dari kyai Ali dan ibu nyai Insyirah. Dulu ia hanya seorang santriwati disini, hingga tiba saatnya ketika kyai Ali mempersuntingnya untuk putranya yaitu Athar Galen Musthafa.
Jenna tersenyum manis, mengingat Athar membuatnya selalu merasa jatuh cinta lagi dan lagi. Dimatanya suaminya itu adalah sosok lelaki sempurna. Lelaki lembut dan penyabar yang selalu menomor satukan pasangannya.
Baru beberapa menit yang lalu Athar berpamitan akan mendatangi undangan reuni atau temu alumni di kota sebelah. Jenna kembali khawatir, pasalnya suaminya tengah merasa kurang enak badan, tapi harus tetap pergi karena kyai Ali sudah semakin tua, tak mungkin bepergian ke luar kota lagi.
Wanita itu merasa ada yang merembes dari dalam jubahnya, disingkapnya selimut yang masih setia menutupi tubuh dari dinginnya hujan diluar sana. Mata Jenna membelalak sempurna, air berwarna jernih mengalir di kakinya, bersamaan dengan perutnya yang tiba-tiba kram, rasa sakitnya seakan tak mampu ditahan lagi.
“Aduh, kenapa ini? apa aku mau melahirkan. Ah, aduh.. ssh..sakit sekali,” desisnya. Nafas mulai memburu, tangannya segera meraih benda pipih diatas meja kecil disamping ranjang. Menggeser layar dan melakukan panggilan.
“Din, tolong kakak dek, bisa kabarkan ke umi, sepertinya kakak mau melahirkan. Ini kakak di kamar, aduh… perut kakak sangat sakit,” ucapnya pada seseorang di sambungan telepon.
Setelah lawan bicaranya menyanggupi permintaannya, Jenna kembali meletakkan ponsel, dipegangnya perut yang telah membesar sempurna. Ia kembali teringat Athar, namun ia tak ingin mengganggu perjalanan suaminya itu.
Tak butuh waktu lama, umi Iin masuk kedalam kamar bersama Dinda putri bungsunya. “Ya Allah, Jenna. Ayo nak kita harus ke rumah sakit sekarang. Abi…. tolong suruh Aydan jangan lama-lama siapkan mobilnya, keadaan Jenna sudah darurat ini,” teriak umi Iin pada sang suami dari dalam kamar.
“Dinda, bawa tas kakakmu yang kemarin sudah disiapkan.”
“Dimana kak tasnya?” Dinda bertanya keberadaan tas berisi kebutuhan persalinan yang disiapkan bersama dengan kakak ipar dan uminya kemarin. Mereka semua memang sangat menunggu kehadiran cucu pertama yang akan lahir dari rahim sang menantu.
Umi Iin memapah Jenna keluar kamar. Dinda yang melihat kedatangan Aydan, saudara juga orang kepercayaan kakaknya Athar segera memberikan tas di tangannya, meminta lelaki itu untuk membawanya ke dalam mobil, sedangkan dirinya memilih membantu sang umi memapah kakak iparnya.
Kini mereka berempat telah berada dalam mobil menuju rumah sakit, Jenna terus mengerang, mendesis lemah. Umi Iin meminta Aydan untuk mempercepat laju kendaraan mereka. Kyai Ali memutuskan menunggu di rumah, menjaga pesantren, khawatir kalau ada tamu yang mendadak berkunjung.
Lelaki sepuh itu menelepon sebuah nomor bertuliskan Athar dalam ponselnya. “Assalamualaikum, Athar. Ini Abi, pulanglah nak, istrimu akan segera melahirkan. Kini ia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit bersama umi, Dinda dan Aydan. Jangan lagi pedulikan acara Reuni itu, biar Abi yang mengabari mereka.”
Wajah menjadi sedikit santai saat mendengar jawaban setuju dari putranya di sana, kyai Ali lantas mematikan ponsel setelah berpamitan terlebih dulu. Kyai Ali yang merasa ikut panik segera memilih untuk mengambil air wudhu, dan segera menggelar sajadah untuk berdzikir dan berdoa agar menantu dan cucunya selamat semua.
***
Tawa seorang gadis kecil terdengar nyaring, renyah menembus kesunyian. Gadis itu berlari lari dengan kaki kecilnya, mengejar seorang anak laki laki yang lebih besar dari dirinya. “Ayo kejar, tangkap aku!” ucap anak laki laki itu.
“Ah, kakak. Aku sudah capek. Bolehkah kita istirahat sebentar?” pintanya, bibir cemberut dan pipi bulatnya mengembang bagai adonan donat. Melihat gadis kecil itu merajuk, membuat anak laki laki tampan itu berjalan mendekat.
“Baiklah, berhentilah cemberut. Kamu sangat jelek kalau seperti itu Na,” ejeknya.
“Mana ada aku jelek kak? kata buya aku cantik.” Gadis dengan rambut kuncir dua itu membela diri sendiri, tersenyum menampilkan mata sipit yang terlihat lucu.
Tergelak hingga sudut mata mengeluarkan cairan bening nan hangat, anak laki laki kecil itu kembali berucap, “oke, kamu memang cantik, kakak mengaku salah. Untuk menebus kesalahan kakak, kamu minta apa tuan putri?”
Tangan menunjuk pada puluhan buah apel yang bergelantungan diatas pohon, senyum di bibir mungil tampak malu-malu. Tak menunggu lama kakaknya segera memanjat keatas pohon, bergerak lincah bagai seekor tupai.
Namun, peribahasa mengatakan sepandai-pandai tupai meloncat pasti akan jatuh juga, kejadian ini tak merujuk pada arti peribahasa, melainkan sesuai kata-katanya. Anak lelaki kecil itu tergelincir, tubuhnya jatuh berdebuk ke atas tanah. Kepala kecilnya menghantam keras sebuah batu yang berada tepat di bawah pohon apel, tak ada waktu menjerit, rasa sakit menghilangkan kesadarannya.
“Kakak!!!” kaki mungil berlari, menginjak rumput hijau yang terbentang luas di sekitarnya, keindahan pemandangan di sekitarnya tak lagi menjadi menarik, melihat anak laki-laki yang dianggapnya sebagai kakak terjatuh dan tak sadarkan diri membuat tangisnya terdengar menyayat hati.
“Kakak, bangun.. hiks hiks.. Aku mohon bangunlah kak, bangun..”
Sebuah ponsel berwarna hitam bergetar di atas meja, suara deringnya memekakkan telinga. Ketukan di pintu menambah kebisingan siang itu, membangunkan seorang pemuda tampan dari tidur lelapnya.
Rasa kantuk masih belum sepenuhnya sirna, lelaki itu berusaha menetralkan nafas yang mulai engap. “Mimpi itu lagi,” gumamnya seraya mengusap wajah kasar, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggelayut manja dimata.
Ketukan di pintu telah berhenti, bersamaan dengan diamnya ponsel diatas meja. Diliriknya ponsel yang telah kembali tenang itu, nama sang adik terpampang disana. Sama sekali tak tertarik untuk kembali menghubungi adiknya, lelaki itu memilih melirik pada kalender, sebuah angka dengan tanda love merah tercetak disana.
“Ya Allah, itu hari ini. Kenapa aku bisa lupa,” ucapnya seraya berlalu. Menyambar handuk pada pintu kamar mandi, bergegas membersihkan diri. Hari ini ia berencana melamar sang kekasih. Sudah empat tahun mereka bersama, lelaki itu ingin segera meyakinkan sang wanita untuk melangkah lebih serius pada hubungan mereka.
Aktivitas mandi telah usai, ia kini mematut diri di depan cermin. Mengenakan celana panjang berbahan jeans, dan kemeja polos berwarna hitam, lengan panjang sedikit ditekuk hingga seperempat ukuran tangannya, arloji kesayangan tak lupa dilingkarkan pada pergelangan tangan.
Rambut telah disisir rapi, tak lupa parfum kesukaan sang kekasih. Aura ketampanan terpancar dari wajahnya. Bentuk tubuh yang atletis menambah kegagahan dari tubuh lelaki itu.
Gawai diatas nakas kembali menjerit, nama sang adik muncul dilayar. “Ada apa sebenarnya anak ini?” lirihnya, menekan tombol hijau dan mengaktifkan speakerphone. “Hallo."
Assalamualaikum kak
“Ah iya, waalaikumsalam. Ada perlu apa Thar?
Kak, bisa gantikan aku keacara reuni temu alumni? di gedung Pancasila dekat kampus kakak.
“Nggak bisa Thar, kakak ada janji sama teman, dan ini sangat penting. Kamu terlalu mendadak kalau minta tolong,” paparnya, mencoba memberi penjelasan.
Istriku melahirkan kak, aku harus pulang. Ini aku sedang dijalan, belum jauh dari rumah dan abi menelepon mengatakan kalau Jenna melahirkan.
“Kamu sama Aydan?”
Tidak kak, aku sendiri. Aydan sengaja kutinggal karena memang ini sudah mendekati hpl Jenna.
“Aduh, kakak minta maaf ya Thar, kakak benar-benar tidak bisa membantumu kali ini. Mintalah Abi untuk menugaskan seorang ustadz dari kantor putra.”
Sebenarnya Abi sudah memintaku pulang saja, hanya aku merasa tak enak dengan para alumni. Kalau tak ada perwakilan keluarga ndalem yang hadir disana.
"Kamu selalu begitu, janganlah terlalu mementingkan pesantren. Pulang saja kasihan istrimu."
Baiklah kak, terimakasih sarannya. Kalau begitu aku matikan dulu kak, disini hujan deras, aku hampir tak bisa melihat jalan.
“Ya sudah, hati-hati. Fokus, jangan ngebut,” ucap lelaki itu memperingatkan adiknya. Panggilan telah usai, kembali dipandangnya pantulan gambarnya pada cermin. Lelaki itu tersenyum puas, hatinya berdegup kencang, mengeluarkan sebuah cincin dari laci meja belajarnya. Membayangkan ekspresi wanitanya, membuat dirinya semakin bersemangat.
Dalam sebuah ruang rumah sakit, Jenna tengah berjuang untuk melahirkan bayinya. Umi Iin setia menemani di samping, bibirnya komat kamit berdzikir, berharap persalinan menantunya diberikan kelancaran.
Dinda berada diluar ruangan bersama Aydan, gadis itu berusaha menghubungi kakaknya. Namun, lelaki itu tak menjawab.
“Belum bisa Din?” tanya Aydan.
“Belum kak, aku jadi khawatir. Diluar hujan deras kak Aydan. Apakah kak Athar baik-baik saja?”
“Apa yang kamu katakan? tentu saja Athar baik-baik saja. Mungkin dia sudah berada di acara. Jadi tak bisa mengangkat telepon,” kata Aydan, mencoba menenangkan hati saudaranya itu. Meski hatinya sendiri merasa resah.
Tepat pukul 14.50, suara tangisan bayi terdengar dari ruang persalinan. Dinda menatap Aydan dengan wajah cerah, matanya berkaca-kaca. “Kak Aydan, keponakanku sudah lahir?”
Umi Iin keluar ruangan, beliau menangis haru. Memeluk putri bungsunya. “Alhamdulillah nduk, kakak dan keponakanmu selamat, semuanya diberikan kelancaran oleh Allah, bayinya perempuan, wajahnya terlihat persis dengan Athar.”
“Iya umi, umi sekarang sudah jadi jiddah, selamat ya umi.”
“Iya sayang. Ah, bagaimana kakakmu? sudah berhasil menghubungi?” tanya umi Iin, memandang putri dan keponakannya secara bergantian. Dinda menggeleng lemah.
“Mungkin sudah mulai acara bulek, dan ponselnya mode hening. Jadi tidak tahu kalau ada panggilan masuk. Kak Athar biasanya seperti itu kalau menghadiri acara,” ujar Aydan mencoba menenangkan kedua wanita di depannya.
***
Derasnya hujan menghalangi pandangan Athar, jalan raya yang dilewatinya sangatlah ramai, para pengemudi saling membunyikan klakson sebagai tanda satu sama lain.
Mobil tak bisa berjalan cepat bersamaan dengan menurunnya fokus pada dirinya, badannya mulai menggigil, sepertinya ia demam, sedang hujan diluar sana tak ada tanda-akan akan reda. Gemuruh halilintar saling bersahutan. Pandangan mata Athar mulai kabur, namun tekad dihatinya besar, ia ingin mengadzani bayi kecilnya.
Tin tin tin….
Berkali kali dibunyikannya klakson, menyadari bahwa dirinya hampir saja menabrak pengendara motor, rasa pusing yang mendera, juga cuaca buruk semakin membuatnya kesulitan.
“Ya Allah, tolong bantulah hambamu ini, hamba hanya ingin segera berjumpa dengan istri dan anak hamba ya Allah, hamba ingin melaksanakan kewajiban hamba sebagai seorang ayah, mohon izinkanlah ya Alloh,” pintanya lirih.
Bibir terus mengucap dzikir saat melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Mata masih awas menatap ke arah depan, hingga saat mencapai sebuah tikungan, sorot cahaya lampu dari arah kanannya memecah fokus, lelaki itu terkejut saat menyadari sebuah truk besar melaju dengan kecepatan diatas rata-rata dari sebelah kanannya.
Braaakkk…..
Tiiiiiiiiiin…..
Ya Alloh, hamba yakin akan semua takdirmu, bahwa itu adalah yang terbaik bagi hambaMu, jika engkau mengatakan hamba tak bisa berjumpa dengan istri dan anak hamba, maka hamba titipkan mereka padaMu, hamba siap kembali sekarang ya Allah.
Jenna sayang, apa kabarmu? apa putri kita lahir sehat? dokter bilang dia perempuan, apakah dia secantik dirimu sayang? kalau mas pergi, mas titip putri kita ya, didiklah dia menjadi wanita shalihah seperti dirimu, menjadi pribadi kuat sebagaimana cinta kita. Kelak, jika mas tiada jangan cengeng ya, Jennaku wanita kuat. Oh iya, kalau kamu jatuh cinta lagi, maka ikutilah kata hatimu, jangan suka ngambek ya Jen, mas cinta kamu.
“Eh, ayo sini tolongin disini, pengemudi mobil terluka parah, kita harus cepat keluarkan dia dari sana sebelum mobilnya meledak,” ucap seorang lelaki bertubuh tegap dan tinggi. Beberapa warga segera berbondong-bondong menyelamatkan lelaki malang yang tak sadarkan diri, tubuhnya terjepit dibawah mobil yang terguling berkali kali, akibat tabrakan truk yang hilang kendali.
Sebuah ambulans datang, sesaat setelah para warga berhasil mengevakuasi korban. “Hey, ini ponsel korban masih selamat,” ucap salah satu warga.
“Ambil, kita bisa hubungi keluarganya dari sana,” jawab lelaki pertama. Diterimanya ponsel yang hanya retak bagian layar. Mencoba membuka ponsel yang tak dikunci. Lima panggilan tak terjawab beberapa saat yang lalu, salah satu nomor bertuliskan adik kecilku.
Tuuuuuut…… panggilan mulai tersambung.
“Hallo, maaf kami mengabarkan bahwa pemilik ponsel mengalami kecelakaan dengan truk, di jalan mahakam nomor 125, sekarang sudah dibawa ambulans menuju rumah sakit terdekat. Anda bisa segera datang.”
“Iya iya, sama-sama.” Lelaki itu lantas mematikan panggilan.
***
“Lihatlah, hidungnya, bibirnya semua sangat mirip dengan Athar, benarkan Din?” ucap umi Iin, air mukanya terlihat sangat bahagia. Begitu pun Jenna, wanita itu juga sangat bersyukur, meski suaminya tak bersamanya kini. Kyai Ali datang dan mewakili putranya untuk mengadzani cucunya.
“Jenna, bagaimana kedua orangtuamu? apakah mereka akan datang hari ini?”
“Iya umi, tadi Jenna sudah kasih kabar sama bunda, beliau sekarang sedang dalam perjalanan.”
“Baiklah sayangku, sekarang kamu tinggal tunggu kakek dan nenek datang ya, juga ayah, cucuku yang cantik…Athar pasti sangat bahagia nanti melihat putrinya,” ucap umi Iin.
Gawai dalam saku Dinda bergetar, gadis itu segera meraih ponselnya. “Umi, mas Athar,” ucapnya tersenyum riang.
“Cepat-cepat, angkat Din,” jawab sang umi, tak sabar memberikan kabar bahagia pada putranya.
Dinda menempelkan ponsel pada telinga, gadis itu tampak sangat tegang saat mendengarkan suara dari sambungan ponselnya, membuat keluarganya ikut panik. “Baik, terimakasih informasinya,” ucap Dinda, matanya mulai mengembun.
“Dinda, ada apa nduk?
“Mi… kak Jen… kak Athar,” bulir bening berhasil lolos dari pelupuk matanya. Gadis itu mulai terisak. Membuat Jenna dan umi Iin kebingungan.
“Kak Athar kecelakaan umi hiks hiks,” ucap Dinda.
Jenna dan umi hanya mampu saling pandang, keduanya tampak sangat syok hingga tak mampu berbicara apa-apa. Aydan segera mendekat, meraih ponsel dalam genggaman Dinda, menggeser layar dan kembali membuat panggilan.
Lelaki itu berbincang sebentar dengan penelepon tadi, menanyakan kembali rumah sakit dimana Athar dibawa, setelah mendapat jawaban, Aydan mulai berbicara, “Bulek, biar Aydan yang pergi,” ucapnya.
“Ndak Dan, bulek mau ikut.”
“Umi, Jenna juga mau ikut,” ucap Jenna mulai tersengal, bibir wanita itu bahkan bergetar hebat, kedua netranya berkaca-kaca, tetes demi tetes air kesedihan mulai membasahi pipi.
“Nduk, kamu disini saja sama Dinda, kamu belum sehat nak, putrimu juga membutuhkanmu. Athar serahkan sama umi, banyak-banyaklah berdoa ya sayang, doakan suamimu.”
Umi Iin mengusap lembut puncak kepala menantunya yang masih tertutup hijab, beliau lantas menatap pada putri bungsunya, “Din, temani kakakmu, bantu dia. Umi akan kabari abah dan pergi melihat kak Athar, kamu juga bantu doa ya.”
“Baik umi, nanti kabari Dinda ya mi kalau umi sudah sampai sana,” pintanya, yang mendapat anggukan dari umi Iin.
Umi Iin dan Aydan berjalan meninggalkan kedua wanita yang kini saling berpelukan, mencoba saling menyalurkan kekuatan, doa doa terpanjat tulus dari masing-masing hati mereka, berharap akan takdir Allah yang terbaik untuk kedepannya.
Selamatkan suami hamba ya Allah, hamba tidak siap kehilangannya. Hamba masih ingin bersama-sama mendidik anak kami, hamba mohon berilah kami kesempatan ya Allah, tunjukkan keajaibanMu, kembalikan mas Athar dalam keadaan sehat walafiat di samping kami ya Allah.
Mas, putri kita telah lahir. Adik mohon...bertahanlah mas. Kami menunggumu. Maaf aku tak bisa datang mas, umi melarang, juga karena putri kita membutuhkanku. Ingat janji mas yang tak akan pernah meninggalkanku? Kumohon, tepati janjimu mas.. Kumohon...
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, telah meninggal dunia putra kedua dari kyai Ali dan bu nyai Insyirah, bernama Gus Athar Galen Musthafa. Semoga beliau diampuni segala dosanya dan diterima semua amal baiknya. Semoga beliau juga dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mati husnul khatimah.”
Amiiiiin….
Para peziarah dan ribuan santri berkumpul di halaman pondok pesantren Ulul Azmi, mereka semua bergantian untuk mensholatkan jenazah gus mereka di dalam musholla. Sholat jenazah dipimpin langsung oleh kyai Ali dan kyai Abu, orangtua juga mertua dari Athar.
Umi Iin dan Dinda tampak beberapa kali mengusap air mata, kedua wanita itu duduk di halaman rumah, di sekelilingnya para kerabat dan beberapa santri putri. Wajah mereka semua basah oleh air mata. Dimata mereka Athar galen musthafa adalah seorang lelaki yang lemah lembut namun tegas, seorang guru yang bijaksana, seorang gus yang selalu ada saat setiap santri mengalami kesulitan.
Peran Athar pada pesantren Ulul Azmi selama ini sangatlah besar, lelaki itu bahkan yang menghandle semua tentang pesantren sejak kyai Ali dinyatakan sakit jantung, dan harus banyak istirahat sejak satu tahun yang lalu. Saat itu Athar baru saja lulus dari Kairo Mesir.
Lelaki muda itu berwawasan luas, di usianya yang masih belia ia mampu membawa nama baik pesantren dengan segudang prestasinya. Selain itu Athar juga sangat berbakti pada orangtua, tak sekalipun lelaki itu pernah membantah ucapan orangtuanya.
Begitupun pada kedua saudaranya, Athar banyak mengalah, ia tak pernah meminta. Apa yang menjadi bagiannya maka akan diterimanya dengan rasa syukur tak terkira. Hanya satu yang ia pernah ia pinta pada kedua orangtuanya. Yaitu, menikahi Jenna.
Jenna Chayra Rumi, adalah putri dari sahabat abinya, wanita yang dulunya adalah santri di pesantren orangtua Athar. Ia jatuh cinta saat mengajar Jenna dikelasnya. Dan berhasil menjadikan wanita itu sebagai istrinya. Kehidupan mereka baru saja dimulai, bahkan ada bayi yang baru saja hadir diantara mereka. Namun, Athar terlalu cepat pergi.
Tapi mau menyalahkan siapa? tentu saja tidak ada. Tiga hal yang menjadi misteri, dan tak pernah bisa dirubah. Jodoh, rezeki, dan mati. Semua misteri ilahi.
Wanita cantik itu tampak layu, kondisinya yang belum sehat ia paksakan datang menghadiri pemakaman suaminya. Ia berjalan cepat dengan air mata yang terus berderai, dibelakangnya ada Aydan dan bunda Aisy yang mengikutinya.
“Jenna, Jen, jangan kesana nak,” pinta sang bunda. Tak kuasa dirinya melihat putri kesayangannya berjalan bagai mayat hidup. Wanita itu bahkan tak mau makan apapun sejak mendengar suaminya kecelakaan.
Jenna terus meringsek, melewati para peziarah yang kebanyakan laki laki, melihat itu Aydan segera berlari menarik tubuhnya dan membawa wanita itu pergi dari sana. Jenna meronta kuat, namun tubuh mungilnya dengan mudah ditaklukkan oleh Aydan, wanita itu lama kelamaan mulai lelah, tubuhnya menjadi lemas, Aydan menyadari hal itu. Ia segera membopong istri kakaknya masuk kedalam rumah.
Melewati para santri, umi Iin dan juga Dinda, Keduanya menatap heran, “Dan, kenapa Jenna bisa ada disini?”
“Nanti bulek,” jawabnya seraya berlalu. Berjalan tergesa masuk ke dalam rumah.
Melihat besannya berjalan dengan nafas tersengal, reflek umi Iin membantunya, membawa wanita itu untuk duduk di kursi. “Dik Aisy, kenapa Jenna bisa ada disini? bagaimana dengan cucu kita?”
“Aduh mbak, Jenna sudah ndak bisa dilarang, dia marah dan kabur dari rumah sakit, kami terpaksa mengantarnya kesini, genduk di bawa Fadhila kakak ipar Jenna,” ucap bunda Aisy.
Umi Iin hanya bisa menangis, semua orang sangat terpukul atas kepergian Athar, utamanya Jenna. Wanita itu baru saja berjuang melahirkan keturunan Athar. Namun, takdir seolah mempermainkannya. Suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat hendak menemuinya di rumah sakit. Bisa kalian bayangkan betapa tragisnya takdir hidup Jenna.
“Bulek, Jenna tak sadarkan diri dikamar, ditemani Dinda. Aydan pamit ke mushola dulu.”
“Iya Dan, terimakasih ya,” ucap umi Iin, mata wanita itu sembab, ia benar-benar tak menyangka putranya akan pergi mendahuluinya. Para peziarah terus berdatangan, halaman pondok pesantren Ulul Azmi tak mampu lagi menampung jumlah mereka.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan para peziarah, seorang pemuda turun dari dalamnya, diikuti dua pemuda lain yang mengekor di belakangnya. Pemuda pertama berjalan masuk kedalam ndalem utama, menemui umi iin disana.
“Assalamualaikum umi.”
“Waalaikumsalam, le Rizwan, adikmu nak.” Tangis tak mampu lagi ditahan, kedatangan putra pertamanya membuat umi Iin kembali lemah. Kedua putranya sangat mirip satu sama lain, hal itu juga yang membuatnya merasa semakin sedih.
***
Pemakaman putra kedua kyai Ali berjalan lancar, kini para peziarah satu persatu telah kembali kerumah masing-masing. Para lelaki berkumpul diruang tamu, sedangkan umi Iin dan Dinda berada dikamar, istri kyai Ali itu tak mampu menahan kesedihannya, ia pingsan saat tandu membawa tubuh putranya menuju area pemakaman khusus keluarga ndalem.
Jenna ditemani bunda Aisyah kembali ke rumah sakit, kaki wanita malang itu bahkan kembali membengkak, matanya yang terlalu banyak menangis hanya mampu terpejam. Wanita itu sakit luar dalam, ia butuh istirahat total.
Kyai Ali sedang berbincang dengan beberapa sanak saudara yang datang berziarah, ditemani Rizwan disampingnya. Pemuda tampan itu merasa sangat terpukul, perasaan bersalah menggerogoti hatinya. Ia menolak permintaan terakhir adiknya, dan ia menyesali hal itu kini.
Penyesalan memang selalu datang terlambat, ketika adiknya mengalami kecelakaan, bahkan meregang nyawa. Dirinya malah sedang berbahagia dengan kekasihnya. Sungguh seorang kakak yang jahat, batinnya.
“Rizwan,” panggil kyai Ali.
“Dalem Bi.”
“Kuliahmu sudah selesai kan le, kapan kamu pulang. Adikmu sudah tidak ada,” kata kyai Ali, menatap wajah sang putra yang hanya mampu menunduk.
“Iya nanti Abi, Rizwan akan pikirkan nanti. Kalaupun pulang banyak yang harus Rizwan selesaikan dulu, seperti tugas-tugas kampus dan lainnya.”
“Baiklah, sekarang kamu satu-satunya harapan Abi dan Umi. Adikmu sudah menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik, dia anak yang berbakti. Tak pernah sekalipun Athar membantah Abi dan Umi. Kita semua kehilangan anak itu. Semoga Allah memberikan tempat terbaik disisi-Nya.”
“Amiiin Abi, kita semua akan mendoakan Athar. Abi tidak perlu khawatir. Rizwan pasti pulang, dan mungkin inilah saatnya,” ucap lelaki itu, tubuhnya bergerak maju menenangkan sang ayah yang mulai terisak perlahan.
Dalam pelukan putranya tangisan itu menjadi lebih kuat. Terbukti dari pundak kyai Ali yang bergerak keatas dan kebawah. Siapapun pasti tak akan mampu menyaksikan pemandangan ini. Kepedihan apa yang lebih sakit daripada ditinggal orang yang kita sayang?
***
Lima Bulan Kemudian
“Masya Alloh cucu oma, sudah bisa berceloteh ya nak? trus bisa apa lagi?” Bunda Aisy tampak sangat bersemangat menggoda cucu pertamanya.
“Iya dik, Hana bahkan sudah pandai menarik apa saja yang ada di depannya, kalau ada yang lagi makan kue didepannya ya ditarik sama dia, lucu sekali pokoknya,” jawab Umi Iin. Kedua nenek itu tampak sangat bersemangat membahas cucu pertama mereka.
“Iya kah Jen?”
“Iya bun, bahkan Hana sering menarik rambut Jenna. Sampai Jenna berpikir apa harus potong rambut saja,” ucap Jenna, wanita itu tersenyum simpul menanggapi ucapan orangtuanya.
“Ah, jangan. Bayi memang begitu. Iyakan Hanna?” Bunda Aisy kembali menimang cucunya. Membawanya pergi ke ruang tamu. Disana ada kyai Ali dan kyai Abu yang tengah berdiskusi tentang keluarga mereka.
“Ummi, Jenna, kemarilah. Ada yang mau Abi sampaikan,” ucap Kyai Ali.
Dua keluarga kini berkumpul dalam ruang tamu. Jenna duduk bersebelahan dengan bundanya, sedangkan ummi Iin yang mengambil Hana dari gendongan bunda Aisy kini tengah duduk disamping suaminya, Kyai Abu menyimak dari kursi seberang meja.
“Jenna nduk… dengarkan Abi, ini hasil musyawarah Abi sama Buya. Ide ini kami dapat karena mempertimbangkan kebaikan Hana. Bayi itu butuh sosok ayah nak, untuk menggantikan tugas Athar.”
Bulir kesedihan jatuh membasahi pipi, setiap kali Jenna mendengar nama Athar disebut, hatinya sesak. Luka itu masih saja basah, entah siapa yang akan bisa menyembuhkannya. Kalaupun itu waktu, maka butuh berapa lama hingga luka bisa mengering sempurna.
“Nduk, kita semua tidak mau sosok pengganti Athar adalah lelaki yang tidak jelas asal usulnya, bahkan kita juga keberatan kalau lelaki itu nantinya akan membuat Hana jauh dari kita,” kata Ummi Iin, air matanya mulai berlinang, dipeluknya erat bayi lima bulan yang masih terus berceloteh riang.
“Iya, benar Ummimu. Abi membayangkan kalau kamu menikah dengan lelaki lain yang bukan dari keluarga kita, maka sudah pasti kita tak akan menjadi sedekat ini.”
“Ummi tidak mau itu terjadi Jenna, ummi melihat Athar dalam wajah Hana. Ummi tidak mampu melepaskan bayi ini.” Ummi Iin terisak.
“Maaf Abi, Ummi kalau Jenna menyela, Jenna tidak akan pernah membuat Hana jauh dari keluarga ini, Hana masih tetap cucu Abi dan Ummi. Kalau Abi dan Ummi dan rindu, Jenna akan bawa Hana kesini,” terang Jenna, mencoba meyakinkan mertuanya.
“Nduk, kalau Abi boleh meminta, maukah kamu menikah lagi nak?”
“Dengan siapa Abi?” tanya Jenna, dirinya mulai tegang. Dalam hati sungguh masih enggan, bahkan tak ada pikiran kearah sana. Masa iddah juga baru selesai. Kini Jenna hanya ingin fokus pada Hana, sebab tak mudah baginya melupakan Athar.
“Rizwan nduk,” jawab kyai Abu yang sedari tadi memilih diam. Bunda Aisy pun hanya mampu menunduk saat mendengar suaminya menyebutkan satu nama yang membuat Jenna membulatkan mata sempurna.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!