Wolvey

Wolvey

Apa aku ada?

Di dalam kamar yang sederhana, seorang gadis cantik terbaring lemah di lantai, dekat sebuah lemari berukuran sedang. Wajahnya pucat, tubuhnya penuh lebam, dan air matanya terus mengalir membasahi pipi lembutnya.

"Apa salahku, Tuhan? Bukan keinginanku dilahirkan ke dunia ini," lirih Hana dengan suara gemetar. Bibirnya bergetar saat mengucapkan kalimat itu, penuh dengan rasa sakit yang mendalam.

Perlahan, Hana mencoba bangkit meskipun tubuhnya terasa sangat sakit. Beberapa jam telah berlalu sejak ia terbaring lemah di lantai setelah menerima pukulan dari ayah dan ibunya. Dari luar kamar, terdengar suara tawa ceria adik dan kakaknya yang baru saja pulang dari berbelanja kebutuhan sekolah.

"Hahaha! Ma, aku suka banget sama sepatu baru ini. Kalau gini, aku nggak bakal males sekolah lagi," ujar Meda dengan penuh kegembiraan.

"Iya, tapi awas aja kalau kamu sampai malas lagi ke sekolah," balas Helda, ibunya, dengan nada tegas.

"Tenang aja, Ma," jawab Meda ringan.

"Dan kamu, Arka! Jangan sampai baju dan celana sekolahmu rusak lagi. Mama capek tiap bulan harus beli baju baru terus buat kamu!" omel Helda.

"Iya, bacot," sahut Arka dengan nada tak suka sambil berlalu masuk ke kamarnya.

"Kamu kalau dibilangin Mama jangan ngebantah!" tegur Braham, ayahnya, dengan nada keras.

Arka menggerutu pelan di balik pintu kamarnya, "Ck! Berisik."

Sementara itu, di balik pintu kamarnya sendiri, air mata Hana kembali menetes. Ia memandangi sepatu lamanya yang kusam dan sobek, lalu menggenggamnya erat.

"Padahal Mama tahu kalau sepatu aku udah rusak. Baju aku juga nggak pernah diganti," batinnya.

Dada Hana terasa sesak. Jauh di lubuk hatinya, ia merasakan kesedihan dan kekecewaan yang begitu mendalam terhadap perlakuan tidak adil kedua orang tuanya.

"Kenapa kalian lahirin aku?" batinnya, dengan air mata yang terus membasahi pipinya.

Hana memegangi dadanya yang terasa nyeri. "Aku selalu diam, tapi kenapa selalu aku yang disalahkan?" gumamnya lirih.

"Kalau Arka yang salah, pasti ujung-ujungnya aku lagi yang disalahkan. Meda salah, tapi tetap aku juga yang kena. Bahkan kalau Mama dan Papa yang salah, akhirnya aku juga yang dipersalahkan. Kenapa? Kenapa, Ma? Pa? Apa salah aku?" batinnya sambil menggigit bibir menahan tangis.

Hana menyandarkan kepalanya ke lemari, menangis pelan. Tangannya terus memukul dadanya yang terasa sesak.

"Kalian cuma menganggap aku ada saat kalian mau menyalahkan sesuatu yang bukan salahku. Tapi kalau menyangkut kebutuhanku, kalian selalu anggap aku nggak ada," gumamnya dengan suara bergetar.

Berusaha agar tangisannya tak terdengar oleh keluarganya, Hana menutup mulutnya rapat-rapat.

----------------

Keesokan paginya, Hana bangun lebih awal seperti biasa. Ia membersihkan rumah dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

"Ini uang bekal kamu," ujar ibunya sambil menyerahkan uang lima ribu rupiah.

Hana menerimanya tanpa kata, lalu berpamitan dengan suara pelan.

"Mama, uang jajan aku mana?" tanya Meda yang baru saja keluar dari kamarnya.

Helda mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah dari dompetnya dan memberikannya pada Meda.

"Arka, uang kamu Mama simpan di atas meja!" teriak Helda dari ruang tamu.

"Ih, kok Arka dikasih lima puluh ribu, Ma?! Gak adil banget! Kenapa aku cuma dua puluh ribu?" protes Meda dengan wajah kesal.

"Ck! Kamu ini! Dia itu kakakmu, jadi kebutuhannya lebih banyak dari kamu," balas Helda sambil memarahi anak perempuannya.

Di depan pintu rumah, Hana yang hendak pergi ke sekolah mendengar percakapan itu. Ia melirik ke arah Meda dan ibunya dari sela pintu. Sepatu Meda yang baru, pakaian seragamnya yang rapi, dan uang jajan yang lebih besar membuat hati Hana kembali terasa sesak.

"Meda pakai baju baru, sepatu baru, semuanya serba baru. Arka juga pasti sama," batinnya dengan mata mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam erat tasnya dan menundukkan kepala.

"Uang jajan mereka..." pikirnya dengan perasaan yang tak lagi bisa diungkapkan.

"Mama, apa aku ini ada?" batinnya lagi. Ia menutup pintu rumah perlahan sambil tersenyum kecil, seolah sudah terbiasa dengan semua perlakuan itu. Air matanya jatuh perlahan, namun ia tak lagi berusaha menghapusnya.

Terpopuler

Comments

Syari Andrian

Syari Andrian

kasian banget mc nya.. kalau aku pasti dah kabur. /Awkward/

2025-02-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!