NovelToon NovelToon

Wolvey

Apa aku ada?

Di dalam kamar yang sederhana, seorang gadis cantik terbaring lemah di lantai, dekat sebuah lemari berukuran sedang. Wajahnya pucat, tubuhnya penuh lebam, dan air matanya terus mengalir membasahi pipi lembutnya.

"Apa salahku, Tuhan? Bukan keinginanku dilahirkan ke dunia ini," lirih Hana dengan suara gemetar. Bibirnya bergetar saat mengucapkan kalimat itu, penuh dengan rasa sakit yang mendalam.

Perlahan, Hana mencoba bangkit meskipun tubuhnya terasa sangat sakit. Beberapa jam telah berlalu sejak ia terbaring lemah di lantai setelah menerima pukulan dari ayah dan ibunya. Dari luar kamar, terdengar suara tawa ceria adik dan kakaknya yang baru saja pulang dari berbelanja kebutuhan sekolah.

"Hahaha! Ma, aku suka banget sama sepatu baru ini. Kalau gini, aku nggak bakal males sekolah lagi," ujar Meda dengan penuh kegembiraan.

"Iya, tapi awas aja kalau kamu sampai malas lagi ke sekolah," balas Helda, ibunya, dengan nada tegas.

"Tenang aja, Ma," jawab Meda ringan.

"Dan kamu, Arka! Jangan sampai baju dan celana sekolahmu rusak lagi. Mama capek tiap bulan harus beli baju baru terus buat kamu!" omel Helda.

"Iya, bacot," sahut Arka dengan nada tak suka sambil berlalu masuk ke kamarnya.

"Kamu kalau dibilangin Mama jangan ngebantah!" tegur Braham, ayahnya, dengan nada keras.

Arka menggerutu pelan di balik pintu kamarnya, "Ck! Berisik."

Sementara itu, di balik pintu kamarnya sendiri, air mata Hana kembali menetes. Ia memandangi sepatu lamanya yang kusam dan sobek, lalu menggenggamnya erat.

"Padahal Mama tahu kalau sepatu aku udah rusak. Baju aku juga nggak pernah diganti," batinnya.

Dada Hana terasa sesak. Jauh di lubuk hatinya, ia merasakan kesedihan dan kekecewaan yang begitu mendalam terhadap perlakuan tidak adil kedua orang tuanya.

"Kenapa kalian lahirin aku?" batinnya, dengan air mata yang terus membasahi pipinya.

Hana memegangi dadanya yang terasa nyeri. "Aku selalu diam, tapi kenapa selalu aku yang disalahkan?" gumamnya lirih.

"Kalau Arka yang salah, pasti ujung-ujungnya aku lagi yang disalahkan. Meda salah, tapi tetap aku juga yang kena. Bahkan kalau Mama dan Papa yang salah, akhirnya aku juga yang dipersalahkan. Kenapa? Kenapa, Ma? Pa? Apa salah aku?" batinnya sambil menggigit bibir menahan tangis.

Hana menyandarkan kepalanya ke lemari, menangis pelan. Tangannya terus memukul dadanya yang terasa sesak.

"Kalian cuma menganggap aku ada saat kalian mau menyalahkan sesuatu yang bukan salahku. Tapi kalau menyangkut kebutuhanku, kalian selalu anggap aku nggak ada," gumamnya dengan suara bergetar.

Berusaha agar tangisannya tak terdengar oleh keluarganya, Hana menutup mulutnya rapat-rapat.

----------------

Keesokan paginya, Hana bangun lebih awal seperti biasa. Ia membersihkan rumah dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

"Ini uang bekal kamu," ujar ibunya sambil menyerahkan uang lima ribu rupiah.

Hana menerimanya tanpa kata, lalu berpamitan dengan suara pelan.

"Mama, uang jajan aku mana?" tanya Meda yang baru saja keluar dari kamarnya.

Helda mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah dari dompetnya dan memberikannya pada Meda.

"Arka, uang kamu Mama simpan di atas meja!" teriak Helda dari ruang tamu.

"Ih, kok Arka dikasih lima puluh ribu, Ma?! Gak adil banget! Kenapa aku cuma dua puluh ribu?" protes Meda dengan wajah kesal.

"Ck! Kamu ini! Dia itu kakakmu, jadi kebutuhannya lebih banyak dari kamu," balas Helda sambil memarahi anak perempuannya.

Di depan pintu rumah, Hana yang hendak pergi ke sekolah mendengar percakapan itu. Ia melirik ke arah Meda dan ibunya dari sela pintu. Sepatu Meda yang baru, pakaian seragamnya yang rapi, dan uang jajan yang lebih besar membuat hati Hana kembali terasa sesak.

"Meda pakai baju baru, sepatu baru, semuanya serba baru. Arka juga pasti sama," batinnya dengan mata mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam erat tasnya dan menundukkan kepala.

"Uang jajan mereka..." pikirnya dengan perasaan yang tak lagi bisa diungkapkan.

"Mama, apa aku ini ada?" batinnya lagi. Ia menutup pintu rumah perlahan sambil tersenyum kecil, seolah sudah terbiasa dengan semua perlakuan itu. Air matanya jatuh perlahan, namun ia tak lagi berusaha menghapusnya.

Penyesalan

Dari kejauhan, gerbang sekolah mulai dipadati oleh murid-murid yang berdatangan. Hana mempercepat langkahnya untuk bergabung bersama mereka. Tepat di depan gerbang, seorang teman sekelasnya melambai sambil memanggil.

"Hana...!" seru Novi dengan antusias.

Hana tersenyum dan membalas lambaian Novi, lalu mempercepat langkahnya.

"Ayo, cepetan, Han!" ucap Novi keras sambil mengulurkan tangan untuk meraih Hana agar mereka bisa berjalan berdampingan.

"Hari ini ada PR Matematika, kan? Lo udah kerjain, kan?" tanya Novi, memastikan.

"Udah kok," jawab Hana sambil tersenyum. Novi tersenyum lega, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Hana.

Beberapa meter sebelum kelas mereka, terlihat seorang siswi berdiri di depan pintu dengan sebuah buku kecil di tangan. Beberapa siswa mengantre untuk membayar uang kas, karena jika tidak, bendahara kelas itu tidak akan mengizinkan mereka masuk.

"Hari ini pun nggak akan makan lagi," batin Hana dengan perasaan berat.

Saat giliran mereka tiba, Hana merogoh kantong bajunya untuk mengambil uang, tetapi Novi lebih dulu menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah kepada bendahara.

"Ini uang kas gue sama Hana," ucap Novi santai.

"Eh, nggak usah, Nov. Gue ada uang kok," Hana berusaha menolak sambil mengeluarkan uang dari kantongnya.

"Udah, nggak apa-apa. Nanti lo bisa traktir gue kalau beasiswa lo udah cair," ujar Novi dengan senyum penuh arti.

Hana menatap Novi dengan mata menyipit. "Huh, mulai deh lo mata-matin beasiswa gue," goda Hana.

"Haha, ya iyalah. Temenan itu saling menguntungkan," balas Novi sambil tertawa kecil sebelum berlari masuk ke kelas.

Hana menghela napas sambil tersenyum tipis, lalu mengikuti Novi masuk ke kelas. Di dalam, suasana sudah ramai. Beberapa siswa sibuk menyalin PR dari teman yang sudah selesai mengerjakannya.

"Woi, cepetan nulisnya! Pak Warto bentar lagi dateng!" teriak Geno panik.

"Ya ampun, pelan-pelan dong, gue nggak keburu!" sahut yang lain dengan ekspresi tak kalah cemas.

Kring...!

Bel tanda masuk berbunyi, membuat suasana semakin tegang. Dari jauh, ketua kelas melihat Pak Warto berjalan ke arah kelas sambil membawa tas hitam dan buku paket.

"Guys, cepetan! Pak Warto udah dekat!" seru Faris, wajahnya panik.

Di sudut kelas, Faldo meletakkan pena dan bersandar di kursi dengan pasrah. "Ya Allah, apa ini akhir dari segalanya?" ucapnya lemah.

"Malah drama! Cepetan nulis, Faldo!" bentak Gea, geram.

Hana yang melihat Faldo menyerah langsung mengambil pena dari tangannya dan menyelesaikan PR itu untuknya. Novi yang melihat Hana berdiri terus memanggil, "Hana! Cepetan duduk! Bapak udah deket banget!"

Ketika Pak Warto masuk, semua siswa sudah kembali ke tempat duduk masing-masing, begutu pun Hana. Suasana hening.

"Berdiri!" perintah Faris. Semua siswa serempak berdiri.

"Selamat pagi, Pak," ucap mereka bersamaan.

"Selamat pagi. Ketua kelas, kumpulkan PR kalian sekarang!" ujar Pak Warto tegas.

Setelah tugas dikumpulkan, Pak Warto berjalan mengelilingi kelas. Tatapan dinginnya membuat semua siswa diam tak berkutik.

"Kamu, Faldo, sudah kumpulkan tugas?" tanyanya ketus.

"I-iya, Pak," jawab Faldo gugup, keringat dingin membasahi wajahnya.

Pak Warto akhirnya berjalan ke papan tulis dan mulai mengajar. Dua jam berlalu dengan materi yang membuat banyak siswa mengernyitkan dahi. Hingga akhirnya, bel istirahat berbunyi.

Kring...! Kring...!

"Tugasnya dikumpulkan besok," ucap Pak Warto sebelum keluar dari kelas.

Semua siswa menghela napas lega. "Hana, ke kantin yuk," ajak Novi.

Hana mengangguk. Namun, sebelum mereka pergi, Faldo menghampiri Hana. "Thanks, ya. Kalau bukan karena lo, gue pasti udah kena masalah."

"Nggak apa-apa," balas Hana singkat, tersenyum. Novi segera menarik tangan Hana, "Ayo, gue laper banget."

Di kantin, Hana hanya memesan nasi kuning. Novi, yang memesan bakso, bertanya, "Lo nggak bosen makan nasi kuning terus?"

Hana tersenyum kecil. "Nggak kok. Gue suka nasi kuning," jawabnya pelan, menyembunyikan alasan sebenarnya.

Setelah makan, mereka kembali ke kelas. Hari berlalu hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Hana berjalan pulang dengan wajah lesu.

Beberapa jam berlalu, dan akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Hana berjalan menuju rumahnya dengan langkah gontai, wajahnya lesu, dan pikirannya dipenuhi kekacauan yang sulit dijelaskan.

Ceklek!

Saat pintu rumahnya terbuka, suara pertengkaran kedua orang tuanya kembali menyambutnya.

"Aku butuh uang, Mas! Arka bajunya rusak lagi! Kalau sudah rusak begitu, dia pasti gak mau ke sekolah! Mau jadi apa dia kalau gak sekolah? Yang ada malah jadi susah seperti kamu!" Helda berteriak dengan wajah merah padam, meluapkan amarahnya.

"Jaga omonganmu!" bentak Braham sambil menunjuk wajah istrinya dengan mata menyala penuh kemarahan.

"Omongan apa? Bukannya semua yang aku bilang benar?! Kamu itu miskin! Kamu menikahi aku tanpa membawa sepeserpun harta! Salah kalau aku bilang begitu?!" balas Helda dengan suara yang semakin meninggi.

"Kurang ajar kamu!" Braham berteriak keras, lalu tangan kasarnya melayang ke pipi istrinya.

Plak...!

"Ah! Sakit! Aku mau cerai! Ceraiin aku sekarang juga! Pergi dari sini! Ini rumah aku, rumah pemberian orang tuaku! Bukan rumah kamu!" teriak Helda sambil memegangi pipinya yang memerah.

"Cih, dasar kurang ajar! Selama ini aku cari uang juga untuk kalian!" Braham membalas dengan nada marah sebelum melangkah masuk ke kamar.

Hana hanya berdiri di ambang pintu, mematung. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan pertengkaran itu. Ia tahu, jika ikut campur, ia hanya akan menjadi sasaran empuk dari amarah mereka.

Melihat ibunya menangis tersedu-sedu, Hana merasa iba, tetapi rasa takut membuatnya tak berani mendekat.

"Hana!" suara ibunya memanggil dengan keras.

"I-iya, Mah," jawab Hana gugup sambil berlari mendekati ibunya.

"Bilang sama Papa kamu, jangan pernah balik lagi ke sini!" perintah Helda, air mata masih mengalir di pipinya.

"T-tapi, Mah... Aku takut," ucap Hana dengan suara gemetar. Ia tahu, mendekati ayahnya saat ini adalah tindakan berbahaya.

"Kamu ini selalu saja nyusahin! Nggak ada gunanya jadi anak!" bentak Helda.

Hana menunduk, kedua tangannya gemetar hebat.

"Cepat bilang sana sebelum dia pergi!" Helda membentak lagi, membuat Hana tersentak.

"I-iya, Mah," Hana menjawab terbata-bata, lalu berlari ke kamar orang tuanya.

Di dalam kamar, ia melihat ayahnya sedang memasukkan pakaian ke dalam tas dengan tergesa-gesa.

"Pa-pa... Kata Mama..." Hana mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat.

Braham langsung menatapnya tajam. "Apa lagi, hah?! Apalagi yang dia bilang?! Nggak puas sudah menghina saya?! Dasar istri nggak tahu diuntung! Kamu pergi sana, jangan ganggu saya! Atau sekalian bantu saya kemasi barang-barang ini!" bentaknya.

"I-iya, Pa," Hana menjawab pelan sambil menahan tangis. Ia segera membantu ayahnya mengemas barang-barang.

Setelah selesai, mereka keluar bersama. Ayahnya membawa barang-barang itu menuju motor, sementara Helda berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kemarahan.

"Nanti Papa kirim uang buat kamu. Kasih ke Meda juga," kata Braham sebelum menyalakan motor.

"I-iya, Pah," jawab Hana dengan suara serak. Ia hanya bisa menahan air mata saat melihat ayahnya pergi.

Ketika Hana kembali masuk ke rumah, ia mendapati ibunya menatapnya penuh amarah. Tanpa peringatan, Helda menarik rambut Hana dengan kasar, menjatuhkannya ke lantai, dan mulai menginjak-injak tubuhnya.

"Mama... Mama sakit...!" Hana menangis, memohon agar ibunya berhenti.

"Anak kurang ajar! Kurang ajar! Kurang ajaaarrr...!" teriak Helda, suaranya memecah keheningan rumah.

Hana hanya bisa pasrah, tubuhnya lemas menerima setiap pukulan dan tendangan.

"Tuhan... Aku menyesal. Aku sangat menyesal karena memilih untuk lahir ke dunia ini," batinnya penuh dengan kepedihan.

"Kata orang, jika kita memilih untuk hidup, itu berarti ada kebahagiaan yang akan kita dapatkan. Tapi sampai sekarang, aku tidak pernah tahu apa itu kebahagiaan. Aku belum pernah merasakannya," pikir Hana sambil menangis.

"Aku membenci diriku sendiri. Saat itu, aku dihadapkan pada perjalanan duniaku, dan Tuhan terus bertanya untuk memastikan jawabanku. Tapi kenapa aku tetap memilih untuk hidup? Padahal, hidupku sangat menyakitkan. Jika aku mati sekarang, di mana kebahagiaan yang seharusnya aku lihat saat itu?" batin Hana semakin tenggelam dalam keputusasaan.

Helda berdiri, mengambil sapu, dan kembali menghujani Hana dengan pukulan.

"Saya sangat menyesal melahirkan anak seperti kamu!" teriaknya dengan penuh kebencian.

Hana memejamkan mata, menahan sakit yang terasa di seluruh tubuhnya. "Harusnya aku yang bilang gitu, Ma. Aku menyesal memilih untuk hidup. Aku juga nggak pernah minta kalian melahirkan aku ke dunia ini," batinnya getir.

Adil?

“Saya sangat menyesal melahirkan anak seperti kamu!”

Kata-kata itu meluncur dari mulut ibunya, menghantam hati Hana seperti belati yang menusuk tanpa ampun. Gadis itu hanya bisa terdiam, tak sanggup melawan atau membalas. Air matanya mengalir deras, jatuh ke lantai dingin tempat tubuhnya tergeletak lemah tak berdaya.

Seluruh tubuh Hana terasa sakit, setiap inci kulitnya perih, terutama pada bagian yang penuh lebam. Namun, rasa sakit fisik itu tidak seberapa dibandingkan luka di hatinya. Dengan sisa tenaga, ia mencoba bangkit. Perlahan, tangannya yang gemetar menopang tubuhnya agar bisa terangkat dari lantai. Langkahnya goyah, tetapi ia memaksa diri berjalan menuju kamar yang hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri.

“Aku harus beres-beres rumah... tapi ganti baju dulu,” batinnya, mencoba mengalihkan pikiran dari rasa sakit.

Di dalam kamar, Hana melepas seragam sekolahnya yang lusuh dan menggantinya dengan pakaian santai. Setelah selesai, ia segera mengambil sapu yang sebelumnya digunakan untuk memukulnya. Ironisnya, alat yang menyakiti dirinya kini menjadi benda yang ia gunakan untuk membersihkan rumah.

Hana memulai dari dalam rumah, menyapu setiap sudut ruangan dengan gerakan lambat namun tekun. Setelah memastikan semuanya bersih, ia melanjutkan pekerjaannya ke halaman depan. Di sana, ia sibuk menyapu dedaunan kering yang berserakan, hingga tiba-tiba pandangannya menangkap sosok wanita bergaun merah keluar dari sebuah rumah besar di ujung jalan. Wanita itu melangkah mendekat sambil tersenyum ramah.

“Hana, Mama kamu ada di rumah?” tanya wanita itu, Wati, tetangga mereka.

Hana menghentikan sapuannya, menoleh ke arah suara. “Iya, Tante. Ada,” jawabnya pelan.

“Oh, Tante mau ke rumah kamu. Bilangin ya ke Mama,” ujar Wati sambil mengangguk kecil.

“Iya, Tante. Nanti aku kasih tahu,” balas Hana dengan senyum tipis, meski raut wajahnya masih menyiratkan kelelahan. Setelah itu, ia kembali menyapu sejenak sebelum memutuskan masuk ke dalam rumah untuk menyampaikan pesan. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh gagang pintu, suara “Ceklek!” terdengar. Ibunya, Helda, membuka pintu lebih dulu.

“Eh, Mama mau ke mana?” tanya Hana dengan nada ragu, berusaha memecah keheningan. Namun, ibunya hanya menatapnya dengan dingin, wajahnya memancarkan ketidaksukaan yang tidak ia sembunyikan.

“Ma, Tante Wati tadi bilang mau ke sini,” ujar Hana, sambil melirik ke arah Wati yang berdiri di halaman.

“Assalamu’alaikum, Bu Helda!” sapa Wati dari kejauhan, melambaikan tangan dengan ramah.

“Wa’alaikumsalam, Bu Wati. Udah lama di sini?” jawab Helda, akhirnya memaksakan senyum kecil sambil berjalan menghampiri tetangganya.

Sebelum pergi, Helda sempat menoleh ke arah Hana. “Siapin minum buat Bu Wati,” katanya singkat. Hana mengangguk patuh, lalu bergegas menuju dapur.

“Baru sampai kemarin sore. Bu Helda gimana kabarnya? Baik, kan?” tanya Wati sambil memeluk Helda dengan hangat, gaya khas ibu-ibu yang akrab.

“Alhamdulillah, saya baik. Bu Wati sendiri gimana?” balas Helda dengan nada ramah, meski raut wajahnya tetap dingin.

“Saya juga baik, Bu. Alhamdulillah,” jawab Wati sambil tersenyum.

Helda mengangguk kecil. “Ayo masuk, Bu,” ajaknya sambil memutar gagang pintu.

Di ruang tamu, Hana sudah menyiapkan makanan ringan di atas meja. Tidak lama kemudian, ia datang membawa dua gelas teh hangat untuk ibunya dan Wati.

“Ini tehnya, Tante,” kata Hana dengan sopan sambil meletakkan gelas di hadapan Wati.

Wati tersenyum lembut. “Wah, rajin banget kamu, Hana. Cantik dan pintar pula. Cocok nih jadi calon menantu!” ujarnya dengan nada bercanda.

Helda tersenyum tipis. “Hana memang anak yang rajin, pintar juga di sekolah. Dia juga selalu bantu saya bersih-bersih rumah,” katanya, seolah bangga.

Namun, bagi Hana, pujian itu terdengar hampa. Ia tahu betul kata-kata ibunya tidak mencerminkan kenyataan. Sambil berdiri di sudut ruangan, Hana hanya bisa diam, menelan rasa getir yang menyelimuti hatinya.

"Hm, paket lengkap banget, dong, kalau gitu. Bersyukur banget ya, punya anak seperti Hana," ujar Wati sambil tersenyum hangat.

Helda tersenyum kecil, lalu menjawab dengan nada sedikit malu, "Iya, haha. Hana memang selalu bantuin saya kalau beres-beres rumah."

"Oh, pantes tadi saya lihat Hana lagi nyapu halaman rumah. Rajin banget ya, Bu Helda. Mirip banget sama ibunya, nih," sahut Wati, sambil menepuk tangan Helda dengan akrab.

Helda terkekeh kecil. "Hahaha, iya, dia memang nurun sifat rajin dari saya, Bu."

Wati mengalihkan pandangannya ke arah Hana yang berdiri tak jauh dari mereka. "Eh, Hana, duduk sini, dong. Masak dari tadi kamu berdiri terus? Capek, kan? Ayo, duduk," katanya sambil menepuk sofa di sebelahnya.

"E-em, iya, Tante," jawab Hana pelan, lalu duduk di sisi Wati dengan gerakan kaku.

"Nah, gitu, dong," kata Wati dengan senyum lebar. "Ngomong-ngomong, saya ke sini mau ngajak Bu Helda jalan-jalan hari Minggu nanti. Anak-anaknya Bu Helda juga boleh ikut semua. Kita bakal seru-seruan bareng. Bu Helda mau, kan? Saya juga udah ngajak Bu Reni. Kita bakal pakai tiga mobil, jadi pasti muat."

Helda terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Wah, terima kasih, Bu Wati, sudah repot-repot ngajak kami. Tapi… suami saya lagi pergi, Bu."

"Ah, gak apa-apa kalau suaminya gak ikut. Sekali-sekali kita para istri pergi senang-senang sendiri. Bu Helda gak usah khawatir, semua makanan dan keperluan biar saya yang urus. Jadi, ayo ikut, ya, Bu?" pinta Wati dengan nada memohon, disertai tawa kecil.

Helda melirik Hana yang duduk di sebelah Wati. "Hana gimana? Mau ikut gak?" tanyanya sambil menatap putrinya.

Hana menunduk sedikit, lalu menjawab pelan, "E-em, terserah Mama aja."

Helda menghela napas ringan. "Baiklah, kalau Bu Wati maksa," katanya dengan nada bercanda, melirik Wati sambil tersenyum.

"Hahaha, siap, Bu! Pas banget, jadi muat di mobil nanti," jawab Wati dengan wajah ceria.

"Kalau boleh tahu, ada acara apa, Bu, sampai ngajak banyak orang?" tanya Helda penasaran.

"Oh, ini, Bu. Suami saya baru menang proyek besar dengan kliennya, jadi kami mau merayakannya. Kebetulan, anak saya juga ulang tahun. Dia maunya dirayain dengan jalan-jalan bareng keluarga dan teman dekat. Ya sudah, sekalian ajak tetangga juga biar makin ramai," jelas Wati dengan senyum bangga.

"Oh, selamat ya, Bu. Saya turut senang mendengarnya," ujar Helda sambil tersenyum tulus.

"Terima kasih, Bu Helda. Saya juga senang kalau bisa berbagi kebahagiaan dengan tetangga," jawab Wati.

Helda mengangguk. "Makasih juga sudah ngajak kami. Saya benar-benar bersyukur punya tetangga seperti Bu Wati."

"Iya, sama-sama, Bu. Kan sudah sunah Rasul juga untuk berbagi kebahagiaan," balas Wati dengan senyum tulus yang mengukir wajahnya.

"Betul, Bu. Memang itu yang seharusnya kita lakukan," jawab Helda dengan anggukan kecil.

Wati tertawa kecil, lalu melanjutkan, "Bulan lalu, anak pertama saya ulang tahun. Tapi dia gak mau dirayain, mintanya dibeliin motor. Nah, sekarang giliran anak perempuan saya yang ulang tahun. Dia maunya jalan-jalan, tapi harus rame-rame. Anak-anak zaman sekarang, ya, maunya aneh-aneh."

Helda ikut tertawa. "Hahaha, sabar aja, Bu. Anak-anak zaman sekarang memang begitu."

"Iya, Bu. Tapi saya dan suami harus nurutin kemauan mereka. Kalau enggak, nanti mereka bilang kami gak adil," ujar Wati sambil menggeleng kecil.

Helda tersenyum. "Iya, benar, Bu. Saya juga selalu berusaha adil ke anak-anak. Kalau enggak, pasti ada yang cemburu. Padahal, sebagai orang tua, kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk mereka."

"Iya, hahaha. Kadang lucu juga, ya, anak-anak zaman sekarang. Padahal, dulu kita..." ucapan Wati tiba-tiba terdengar samar di telinga Hana. Ia hanya duduk diam, mendengarkan obrolan ibunya tanpa banyak bicara.

"Adil?" batin Hana. Kata itu berputar-putar di kepalanya, terasa begitu asing dan menyakitkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!