Penyesalan

Dari kejauhan, gerbang sekolah mulai dipadati oleh murid-murid yang berdatangan. Hana mempercepat langkahnya untuk bergabung bersama mereka. Tepat di depan gerbang, seorang teman sekelasnya melambai sambil memanggil.

"Hana...!" seru Novi dengan antusias.

Hana tersenyum dan membalas lambaian Novi, lalu mempercepat langkahnya.

"Ayo, cepetan, Han!" ucap Novi keras sambil mengulurkan tangan untuk meraih Hana agar mereka bisa berjalan berdampingan.

"Hari ini ada PR Matematika, kan? Lo udah kerjain, kan?" tanya Novi, memastikan.

"Udah kok," jawab Hana sambil tersenyum. Novi tersenyum lega, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Hana.

Beberapa meter sebelum kelas mereka, terlihat seorang siswi berdiri di depan pintu dengan sebuah buku kecil di tangan. Beberapa siswa mengantre untuk membayar uang kas, karena jika tidak, bendahara kelas itu tidak akan mengizinkan mereka masuk.

"Hari ini pun nggak akan makan lagi," batin Hana dengan perasaan berat.

Saat giliran mereka tiba, Hana merogoh kantong bajunya untuk mengambil uang, tetapi Novi lebih dulu menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah kepada bendahara.

"Ini uang kas gue sama Hana," ucap Novi santai.

"Eh, nggak usah, Nov. Gue ada uang kok," Hana berusaha menolak sambil mengeluarkan uang dari kantongnya.

"Udah, nggak apa-apa. Nanti lo bisa traktir gue kalau beasiswa lo udah cair," ujar Novi dengan senyum penuh arti.

Hana menatap Novi dengan mata menyipit. "Huh, mulai deh lo mata-matin beasiswa gue," goda Hana.

"Haha, ya iyalah. Temenan itu saling menguntungkan," balas Novi sambil tertawa kecil sebelum berlari masuk ke kelas.

Hana menghela napas sambil tersenyum tipis, lalu mengikuti Novi masuk ke kelas. Di dalam, suasana sudah ramai. Beberapa siswa sibuk menyalin PR dari teman yang sudah selesai mengerjakannya.

"Woi, cepetan nulisnya! Pak Warto bentar lagi dateng!" teriak Geno panik.

"Ya ampun, pelan-pelan dong, gue nggak keburu!" sahut yang lain dengan ekspresi tak kalah cemas.

Kring...!

Bel tanda masuk berbunyi, membuat suasana semakin tegang. Dari jauh, ketua kelas melihat Pak Warto berjalan ke arah kelas sambil membawa tas hitam dan buku paket.

"Guys, cepetan! Pak Warto udah dekat!" seru Faris, wajahnya panik.

Di sudut kelas, Faldo meletakkan pena dan bersandar di kursi dengan pasrah. "Ya Allah, apa ini akhir dari segalanya?" ucapnya lemah.

"Malah drama! Cepetan nulis, Faldo!" bentak Gea, geram.

Hana yang melihat Faldo menyerah langsung mengambil pena dari tangannya dan menyelesaikan PR itu untuknya. Novi yang melihat Hana berdiri terus memanggil, "Hana! Cepetan duduk! Bapak udah deket banget!"

Ketika Pak Warto masuk, semua siswa sudah kembali ke tempat duduk masing-masing, begutu pun Hana. Suasana hening.

"Berdiri!" perintah Faris. Semua siswa serempak berdiri.

"Selamat pagi, Pak," ucap mereka bersamaan.

"Selamat pagi. Ketua kelas, kumpulkan PR kalian sekarang!" ujar Pak Warto tegas.

Setelah tugas dikumpulkan, Pak Warto berjalan mengelilingi kelas. Tatapan dinginnya membuat semua siswa diam tak berkutik.

"Kamu, Faldo, sudah kumpulkan tugas?" tanyanya ketus.

"I-iya, Pak," jawab Faldo gugup, keringat dingin membasahi wajahnya.

Pak Warto akhirnya berjalan ke papan tulis dan mulai mengajar. Dua jam berlalu dengan materi yang membuat banyak siswa mengernyitkan dahi. Hingga akhirnya, bel istirahat berbunyi.

Kring...! Kring...!

"Tugasnya dikumpulkan besok," ucap Pak Warto sebelum keluar dari kelas.

Semua siswa menghela napas lega. "Hana, ke kantin yuk," ajak Novi.

Hana mengangguk. Namun, sebelum mereka pergi, Faldo menghampiri Hana. "Thanks, ya. Kalau bukan karena lo, gue pasti udah kena masalah."

"Nggak apa-apa," balas Hana singkat, tersenyum. Novi segera menarik tangan Hana, "Ayo, gue laper banget."

Di kantin, Hana hanya memesan nasi kuning. Novi, yang memesan bakso, bertanya, "Lo nggak bosen makan nasi kuning terus?"

Hana tersenyum kecil. "Nggak kok. Gue suka nasi kuning," jawabnya pelan, menyembunyikan alasan sebenarnya.

Setelah makan, mereka kembali ke kelas. Hari berlalu hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Hana berjalan pulang dengan wajah lesu.

Beberapa jam berlalu, dan akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Hana berjalan menuju rumahnya dengan langkah gontai, wajahnya lesu, dan pikirannya dipenuhi kekacauan yang sulit dijelaskan.

Ceklek!

Saat pintu rumahnya terbuka, suara pertengkaran kedua orang tuanya kembali menyambutnya.

"Aku butuh uang, Mas! Arka bajunya rusak lagi! Kalau sudah rusak begitu, dia pasti gak mau ke sekolah! Mau jadi apa dia kalau gak sekolah? Yang ada malah jadi susah seperti kamu!" Helda berteriak dengan wajah merah padam, meluapkan amarahnya.

"Jaga omonganmu!" bentak Braham sambil menunjuk wajah istrinya dengan mata menyala penuh kemarahan.

"Omongan apa? Bukannya semua yang aku bilang benar?! Kamu itu miskin! Kamu menikahi aku tanpa membawa sepeserpun harta! Salah kalau aku bilang begitu?!" balas Helda dengan suara yang semakin meninggi.

"Kurang ajar kamu!" Braham berteriak keras, lalu tangan kasarnya melayang ke pipi istrinya.

Plak...!

"Ah! Sakit! Aku mau cerai! Ceraiin aku sekarang juga! Pergi dari sini! Ini rumah aku, rumah pemberian orang tuaku! Bukan rumah kamu!" teriak Helda sambil memegangi pipinya yang memerah.

"Cih, dasar kurang ajar! Selama ini aku cari uang juga untuk kalian!" Braham membalas dengan nada marah sebelum melangkah masuk ke kamar.

Hana hanya berdiri di ambang pintu, mematung. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan pertengkaran itu. Ia tahu, jika ikut campur, ia hanya akan menjadi sasaran empuk dari amarah mereka.

Melihat ibunya menangis tersedu-sedu, Hana merasa iba, tetapi rasa takut membuatnya tak berani mendekat.

"Hana!" suara ibunya memanggil dengan keras.

"I-iya, Mah," jawab Hana gugup sambil berlari mendekati ibunya.

"Bilang sama Papa kamu, jangan pernah balik lagi ke sini!" perintah Helda, air mata masih mengalir di pipinya.

"T-tapi, Mah... Aku takut," ucap Hana dengan suara gemetar. Ia tahu, mendekati ayahnya saat ini adalah tindakan berbahaya.

"Kamu ini selalu saja nyusahin! Nggak ada gunanya jadi anak!" bentak Helda.

Hana menunduk, kedua tangannya gemetar hebat.

"Cepat bilang sana sebelum dia pergi!" Helda membentak lagi, membuat Hana tersentak.

"I-iya, Mah," Hana menjawab terbata-bata, lalu berlari ke kamar orang tuanya.

Di dalam kamar, ia melihat ayahnya sedang memasukkan pakaian ke dalam tas dengan tergesa-gesa.

"Pa-pa... Kata Mama..." Hana mencoba berbicara, tetapi suaranya tercekat.

Braham langsung menatapnya tajam. "Apa lagi, hah?! Apalagi yang dia bilang?! Nggak puas sudah menghina saya?! Dasar istri nggak tahu diuntung! Kamu pergi sana, jangan ganggu saya! Atau sekalian bantu saya kemasi barang-barang ini!" bentaknya.

"I-iya, Pa," Hana menjawab pelan sambil menahan tangis. Ia segera membantu ayahnya mengemas barang-barang.

Setelah selesai, mereka keluar bersama. Ayahnya membawa barang-barang itu menuju motor, sementara Helda berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kemarahan.

"Nanti Papa kirim uang buat kamu. Kasih ke Meda juga," kata Braham sebelum menyalakan motor.

"I-iya, Pah," jawab Hana dengan suara serak. Ia hanya bisa menahan air mata saat melihat ayahnya pergi.

Ketika Hana kembali masuk ke rumah, ia mendapati ibunya menatapnya penuh amarah. Tanpa peringatan, Helda menarik rambut Hana dengan kasar, menjatuhkannya ke lantai, dan mulai menginjak-injak tubuhnya.

"Mama... Mama sakit...!" Hana menangis, memohon agar ibunya berhenti.

"Anak kurang ajar! Kurang ajar! Kurang ajaaarrr...!" teriak Helda, suaranya memecah keheningan rumah.

Hana hanya bisa pasrah, tubuhnya lemas menerima setiap pukulan dan tendangan.

"Tuhan... Aku menyesal. Aku sangat menyesal karena memilih untuk lahir ke dunia ini," batinnya penuh dengan kepedihan.

"Kata orang, jika kita memilih untuk hidup, itu berarti ada kebahagiaan yang akan kita dapatkan. Tapi sampai sekarang, aku tidak pernah tahu apa itu kebahagiaan. Aku belum pernah merasakannya," pikir Hana sambil menangis.

"Aku membenci diriku sendiri. Saat itu, aku dihadapkan pada perjalanan duniaku, dan Tuhan terus bertanya untuk memastikan jawabanku. Tapi kenapa aku tetap memilih untuk hidup? Padahal, hidupku sangat menyakitkan. Jika aku mati sekarang, di mana kebahagiaan yang seharusnya aku lihat saat itu?" batin Hana semakin tenggelam dalam keputusasaan.

Helda berdiri, mengambil sapu, dan kembali menghujani Hana dengan pukulan.

"Saya sangat menyesal melahirkan anak seperti kamu!" teriaknya dengan penuh kebencian.

Hana memejamkan mata, menahan sakit yang terasa di seluruh tubuhnya. "Harusnya aku yang bilang gitu, Ma. Aku menyesal memilih untuk hidup. Aku juga nggak pernah minta kalian melahirkan aku ke dunia ini," batinnya getir.

Terpopuler

Comments

Serenarara

Serenarara

Ga bisa sekalian dibuat pingsan aja Thor biar emaknya panik, bawa ke RS, dn ketauan dokter. Kalo ketauan tetangga jg malu die.

2025-03-19

1

Rita Riau

Rita Riau

wah ini istri durhaka dan ibu laknat

2025-01-13

1

Syari Andrian

Syari Andrian

ya ammpun nguras esmosi banget sih

2025-02-03

1

lihat semua
Episodes
1 Apa aku ada?
2 Penyesalan
3 Adil?
4 Tolong Aku Tuhan
5 Isi Hati
6 Hana Bahagia
7 Pengorbanan
8 Hana Meninggal?
9 Alea Xena Edgarsyah
10 Wolvey
11 Seorang teman?
12 Sahabat
13 Semuanya tak semudah itu
14 Maaf menjalin ikatan yang baru
15 Ketua baru The Wolvey
16 Musuh baru Xena
17 Firesvart
18 Xena marah?
19 Xena menantang The Vorez
20 Xena Vs Jesse
21 Berkumpulnya kembali anggota "The Wolvey"
22 The Wolvey vs The Vorez
23 Sebuah Nama, Dua Takdir
24 Balapan Kemenangan
25 Kehangatan dan Kasih Sayang
26 Antara Kenangan dan Wajah Baru
27 Kejadian saat itu
28 Jiwa Yang Terluka
29 Jejak Kenangan
30 Jejak Air Mata
31 Goresan Merah
32 Menuju Dunia Baru Xena
33 Luka yang menganga
34 Rintihan jiwa Hana yang terluka
35 Anatomi Sebuah Luka
36 Trauma Masa Lalu
37 Keluarga Baru, Kebahagiaan Baru
38 Wisata Perahu
39 Mereka Wolvey?
40 Pelukan Hangat
41 Wolvey and Xena
42 Suara dari Masa Lalu
43 Anak yang terlupakan
44 Edgarsyah dan Keluarga Kecilnya
45 The Wolvey is Back
46 Bentrok
47 Bentrok II
48 The Manipulator
49 Maaf yang Tak Perlu
50 Ruang...
51 Malam...
52 Alasan sebenarnya...
53 Drama Sekolah
54 Mata yang bisa membaca semuanya
55 Flashback - Kekuasaan
56 Flashback - Hadiah-Ancaman
57 Flashback - Undangan
58 Flashback - Sekolah Mereka dan Mimpiku
59 Flashback - Hina!
60 Flashback - Sampah Dunia
61 Flashback - Ancaman yang membungkam
62 Flashback - Senyum yang mengancam
63 Flashback - Kekejaman Sesungguhnya
64 Satu Bantuan
65 Tak Terjangkau
66 Launan Lagu
67 Resonansi Luka - Jurang Dalam Kepalaku
68 Luka yang Terlupakan
69 Masa Lalu Xena
70 Rahasia yang Dijaga
71 Bantuan Xena
72 Merajuk
73 Kesempatan Kedua
Episodes

Updated 73 Episodes

1
Apa aku ada?
2
Penyesalan
3
Adil?
4
Tolong Aku Tuhan
5
Isi Hati
6
Hana Bahagia
7
Pengorbanan
8
Hana Meninggal?
9
Alea Xena Edgarsyah
10
Wolvey
11
Seorang teman?
12
Sahabat
13
Semuanya tak semudah itu
14
Maaf menjalin ikatan yang baru
15
Ketua baru The Wolvey
16
Musuh baru Xena
17
Firesvart
18
Xena marah?
19
Xena menantang The Vorez
20
Xena Vs Jesse
21
Berkumpulnya kembali anggota "The Wolvey"
22
The Wolvey vs The Vorez
23
Sebuah Nama, Dua Takdir
24
Balapan Kemenangan
25
Kehangatan dan Kasih Sayang
26
Antara Kenangan dan Wajah Baru
27
Kejadian saat itu
28
Jiwa Yang Terluka
29
Jejak Kenangan
30
Jejak Air Mata
31
Goresan Merah
32
Menuju Dunia Baru Xena
33
Luka yang menganga
34
Rintihan jiwa Hana yang terluka
35
Anatomi Sebuah Luka
36
Trauma Masa Lalu
37
Keluarga Baru, Kebahagiaan Baru
38
Wisata Perahu
39
Mereka Wolvey?
40
Pelukan Hangat
41
Wolvey and Xena
42
Suara dari Masa Lalu
43
Anak yang terlupakan
44
Edgarsyah dan Keluarga Kecilnya
45
The Wolvey is Back
46
Bentrok
47
Bentrok II
48
The Manipulator
49
Maaf yang Tak Perlu
50
Ruang...
51
Malam...
52
Alasan sebenarnya...
53
Drama Sekolah
54
Mata yang bisa membaca semuanya
55
Flashback - Kekuasaan
56
Flashback - Hadiah-Ancaman
57
Flashback - Undangan
58
Flashback - Sekolah Mereka dan Mimpiku
59
Flashback - Hina!
60
Flashback - Sampah Dunia
61
Flashback - Ancaman yang membungkam
62
Flashback - Senyum yang mengancam
63
Flashback - Kekejaman Sesungguhnya
64
Satu Bantuan
65
Tak Terjangkau
66
Launan Lagu
67
Resonansi Luka - Jurang Dalam Kepalaku
68
Luka yang Terlupakan
69
Masa Lalu Xena
70
Rahasia yang Dijaga
71
Bantuan Xena
72
Merajuk
73
Kesempatan Kedua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!