Another World Grimoire

Another World Grimoire

Chapter 1.0 : Prolog ( Begining Arc )

Akhir hidupku sudah dekat.

Itu terlintas pada pikiranku setelah melihat tubuhku yang bersimbah darah di sebuah lantai bangunan. Melihat ragaku yang sudah sukar kugerakkan, aku hanya bisa terdiam membisu menatap beberapa petugas medis mendatangiku.

Aku hanya memandangi mereka tanpa bisa berkata apa-apa. Bahkan untuk menggerakkan mulutku sendiri saja sudah menambah penderitaanku yang sekarang ini. Aku benar-benar akan mati.

Aku bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun, setelah aku tertembak oleh sebuah peluru. Waktu itu, aku baru saja pulang dari membeli manga kesukaanku. Betapa menyedihkan ketika aku menyadari bahwa yang kubeli itu menjadi manga-ku untuk yang keterakhir kalinya.

“Ah…”

Bergumam tanpa suara, aku diteriaki dengan suara nyaring dari para petugas medis. Apa yang mereka teriaki kepadaku? Entahlah, aku pun tidak bisa mendengar mereka, bahkan satu desibel pun tidak.

Dalam posisi tergeletak, aku hanya mencoba untuk menggerakkan setiap jari-jemari tanganku. Meskipun begitu, nampaknya aku sudah tidak bisa bergerak lagi untuk selama-lamanya.

Aku mengingatnya.

Itu terjadi sekitar sepuluh menit yang lalu, di mana ketika aku habis dari toko buku, meminum kopi di sebuah kedai di pinggiran jalan kota. Hari itu masih terik, tubuhku masih bisa kukendalikan.

Dilayani oleh pelayan kafe yang cantik, aku tidak bisa mengalihkan pandangannku dari padanya. Setiap detiknya, aku selalu memandanginya bahkan aku mengingat bagaimana rupanya dan suaranya hanya dalam dua menit.

Kopi yang kunikmati melambangkan ketenangan yang kujalani sebagai seorang otaku dan neet. Dari fisik dan dari umur, aku masih bersekolah. Aku masih menyukai hal-hal beginian.

Dan semuanya itu terjadi dengan begitu cepat, bahkan aku tidak menyadarinya sedikit pun.

Seorang perampok kemudian mendatangi tempat itu, dengan membawa sebuah pistol kecil di tangannya, lalu menodongkannya kepada seluruh orang di sana.

Ia berteriak, “Berikan uang kalian! Atau akan kubunuh kalian semua!”

Seluruh pegawai dan pelanggan di sana terkejut, bahkan beberapa dari mereka merasa ketakutan, sampai tidak dapat bergerak seperti mana biasanya.

Mereka mengiyakan permintaan perampok itu. Pelayan kedai kopi yang melayaniku tadi menuju ke arah belakang dapur, dan kemudian kembali ke arah tempat pelanggan dengan membawa uang yang sangat banyak.

Perempuan itu berniat untuk menuruti perampok itu. Sebagai laki-laki, aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Melihat ketidakadilan dan perampasan yang membuatku sangat muak untuk hidup.

“Hahaha! Untung, nih!”

Aku memberanikan diriku pada saat berjalan menuju ke arah perampok itu, tanpa rasa ragu ataupun takut.

“Oi!”

Perampok itu mengarahkan pandangannya kepadaku. Wajahnya terlihat amat kebingungan.

“M—mau apa kau?…” katanya.

“Serahkan uang yang kau rampok tadi!” kataku lantang.

Seluruh pandangan mengarah tepat kepadaku. Mereka sama sekali heran akan tindakanku ini. Aku tidak bersenjata, sementara perampok itu memiliki pistol kecil sejenis revolver, yang seharusnya pada zaman ini sudah menjadi barang antik.

“Apa katamu? Mau merebut ini? Coba saja kalau bisa!” kata perampok itu sambil tertawa lepas.

“Kumohon berhentilah! Kau akan terluka…”

Pelayan kafe yang kulihat tadi khawatir kepadaku, mengucapkan ini dengan lantang kepadaku yang sedang berhadapan dengan perampok sialan ini. Aku merasa bahwa yang kuperbuat ini adalah benar.

Aku berlari dengan tiba-tiba ke arah perampok itu.

— Bukan tanpa alasan bahwa aku melakukan ini.

Apakah manusia hidup hanya sendirian? Kalau begitu, aku pasti tidak akan dilayani seperti seramah ini.. Baru kali ini ada orang yang ramah dalam melayani pelanggannya.

Kehidupan sosial sekarang—yang kupercayai selama ini—tidak akan membawamu kepada kedamaian ataupun kesejahteraan. Mereka memedulikan orang lain, namun tidak peduli dengan dirinya, atau orang-orang terdekatnya.

— Namun perempuan itu berbeda, sangat berbeda.

Aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Dia sangat baik.

Kembali kepada kejadian itu, aku berlari dengan yakin, dan mengabaikan revolver yang mengarah kepadaku dan bisa ditembakkan kapan saja ketika ia akan benar-benar ingin membunuhku.

“Hentikan!”

“Sialan! Aku akan menembakmu sekarang juga!”

— Suara tembakan dari sebuah senjata api memecah ketegangan di sana.

Aku masih bisa berdiri, pikirku. Aku tidak akan membiarkanmu!

Darah mengucur tepat di bagian pinggangku. Tubuhku terasa nyeri—lebih buruk dari itu. Terasa sangat panas, bahkan aku sampai muntah darah. Terlihat ekspresi khawatir ada di wajah para pelayan dan pelanggan kafe yang lainnya.

Jangan khawatirkan aku! Aku mengatakan ini dalam hati.

Perampok itu sementara tersenyum melihatku.

“Belum…”

Aku melihat ekspresi kesenangan pada perampok itu. Dia tidak menyesal karena telah membunuh orang yang mencoba untuk mencegahnya melakukan suatu tindak kejahatan yang terbilang berat.

“Masih… belum!”

Aku berlari sebisa mungkin, dan aku mencapai kerah baju perampok itu.

Semuanya terkejut melihatku, bahkan si perampok itu.

Dengan tiba-tiba, aku memukul tangannya, dan ia menjatuhkan revolver miliknya itu.

“Apa?” Perampok itu terkejut.“Bagaimana kau—”

Ia terkejut kembali untuk yang kedua kalinya secara berurutan.

Revolver itu berada di tanganku sekarang. Aku mengarahkannya tepat ke lehernya dengan jarak yang sangat dekat. Dia (perampok) terlihat sangat ketakutan ketika aku mengerahkan serangan ini.

“Kau sudah tidak bisa lari lagi…” Aku bersiap untuk menarik pelatuk revolver itu bila ia berulah kembali.

Perampok itu sangat ketakutan, bahkan ia sampai berteriak sangat keras.

“Hentikan… ulahmu ini sekarang juga…”

Dia sama sekali tidak meresponku ataupun melakukannya. Dia mencoba untuk bergerak dan mengelak dari sana.

“Aku akan menghitungnya mulai dari, sepuluh.”

Ia ketakutan, bahkan sampai tidak bisa bergerak.

“Sembilan, … delapan, …tujuh, …”

Dia mulai berteriak sangat keras.

“... Enam, … lima, … empat, …”

Itu terdengar sangat lantang. Lukaku mulai terasa sakit, sekujur tubuhku terasa seperti panas.

“... Tiga, … dua, …”

Matanya sudah pucat, begitu pula dengan wajahnya. Teriakannya masih bergema di seluruh kafe itu.

“... Dan satu.”

Teriakannya kali ini lebih lantang dari yang sebelumnya. Aku mengurungkan niatku untuk menembak dirinya. Aku merasa bahwa aku tidak perlu melakukannya.

Dan sepertinya, semuanya sudah berakhir. Perampok itu pingsan karena sangat ketakutan dan histeris. Teriakannya itu aku yakin telah menghabiskan seluruh tenaganya dan juga mentalnya sekarang ini.

— Semuanya telah berakhir, begitu pula dengan diriku.

Aku terjatuh rebah setelah itu, dan merasakan bahwa diriku tidak sanggup lagi untuk bergerak saat itu. Beberapa petugas kepolisian dalam pandanganku yang samar, ditemani beberapa petugas medis, kemudian datang untuk mengamankan perampok dan juga merawat korban luka.

Pelayan kafe yang banyak membantuku itu bahkan menghampiriku, disertai dengan beberapa pelayan kafe yang lainnya. Aku hanya bisa memandangi mereka tanpa berbuat apapun.

“Hei kamu! Kenapa kamu berbuat sejauh itu?” Pelayan perempuan itu berteriak kepadaku. Sepertinya, air matanya mendadak mengalir.

“Oi, cepatlah! Kalau tidak segera, entah berapa lama lagi kita akan kehilangan dirinya.”

Beberapa pelayan kafe kemudian mengambil kotak First-aid Kit yang berada tepat di dekat mereka.

Tidak ada korban luka di sana—mengecualikan diriku—ataupun korban jiwa. Situasi masih bisa terbilang kondusif dan aman, sampai mereka melihatku yang rebah dengan bersimbah darah di pojokan gedung kafe.

Polisi telah meringkus si perampok yang sedang pingsan. Sementara aku—yang rebah—saat ini, dirawat oleh petugas medis.

— Setidaknya itulah yang bisa kuceritakan kepada kalian.

Dan sekarang, aku berada di ambulans, dalam keadaan kritis. Aku tidak bisa lagi berbuat banyak. Bahkan mau berdiri dan berjalan pun tidak bisa. Kemungkinan bahwa aku selamat masih ada, namun dalam keadaan yang mengkhawatirkan.

Masalahnya, sekarang apa yang terjadi padaku setelah itu.

Pandanganku mulai gelap, gelap sekali. Aku tidak melihat apapun.

Nama anak itu ialah Shu Hizashi, seorang remaja asal Jepang yang mengalami keadaan tragis seperti ini.

◊ ◊ ◊

Hizashi kemudian terbangun pada sebuah ruang hitam yang kosong dan tak ada isinya.

"Aku dimana?!" tanya Hizashi.

Kemudian sebuah cahaya muncul dari atas, menyilaukan mata Hizashi.

"Apa itu?!" tanya Hizashi

Cahaya itu semakin menyilaukan, sampai Hizashi tak bisa melihat apapun.

Tak lama setelah itu, cahaya tersebut langsung redup, dan kembali normal.

[Mengkonfirmasi Nama : Shū Hizashi]

Sebuah kursor game muncul di hadapannya berbunyi demikian.

"Apa-apaan ini? Seperti di game saja," tanya Hizashi.

[Tubuh telah di deteksi beserta seluruh datanya]

"Mendeteksi, tubuh?" tanya Hizashi keheranan.

Kemudian, muncul sebuah suara dari cahaya yang berada di atas tersebut, seperti suara perempuan.

"Shū Hizashi, selamat datang di Bazylian."

"Bazy..lian? Apa itu?!" tanya Hizashi.

"Tempat di mana kau akan menjalani hidup barumu." kata sosok itu.

"Hidup baru? Jadi aku sudah mati?" tanya Hizashi.

"Ya. Kau sudah mati. Kau mengalami pendarahan yang banyak karena tembakan itu." kata sosok itu menjelaskan.

"Begitu ya? Dan, bagaimana keadaan pelayan yang kucoba untuk kuselamatkan?" tanya Hizashi.

Sosok itu terdiam sejenak, melihat Hizashi yang menanti jawabannya.

"Kau walaupun sudah mati masih menanyakan keadaan pelayan yang kau lindungi? Kau ternyata orang yang penuh perhatian, ya?" kata sosok itu.

"Iya. Bagaimana keadaannya?" tanya Hizashi.

"Ia baik-baik saja. Dan penjahat yang menembakmu sudah ditangkap polisi." kata sosok itu.

"Syukurlah — Dan sekarang, aku akan hidup di dunia yang bernama Bazylian itu?" tanya Hizashi.

"Ya. Sepertinya aku sudah cukup banyak menjelaskan kepadamu," kata sosok itu. "Ikuti saja petunjuk dari kursor yang ada di depanmu nanti."

Kemudian, cahaya itu mulai redup dan sosok itu tampak berhenti berbicara.

"Tunggu!" teriak Hizashi.

Cahaya itu masih redup, belum menghilang setelah mendengar teriakan Hizashi.

"Siapa namamu?" tanya Hizashi.

"Another, sebut saja itu," kata sosok itu.

Kemudian, cahaya itu mulai menghilang, sementara Hizashi masih bertanya.

"Another, apa maksudmu?!" tanya Hizashi.

Hizashi sepertinya terlambat, cahaya itu sudah hilang dan tidak ada lagi. Namun, ia kembali muncul dalam wujud seorang perempuan.

"Aku hanya berganti wujud. Kau mudah sekali di tipu ya?" ujarnya sambil tertawa kecil.

"Cewek ini..." gumam Hizashi marah.

Tak lama setelah itu, sebuah kursor muncul di hadapan Hizashi.

[Selamat Datang di Bazylian]

(BERSAMBUNG

STORY BY : JOHN GEVAR)

Terpopuler

Comments

where is the book

2020-11-21

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!