NovelToon NovelToon

Another World Grimoire

Chapter 1.0 : Prolog ( Begining Arc )

Akhir hidupku sudah dekat.

Itu terlintas pada pikiranku setelah melihat tubuhku yang bersimbah darah di sebuah lantai bangunan. Melihat ragaku yang sudah sukar kugerakkan, aku hanya bisa terdiam membisu menatap beberapa petugas medis mendatangiku.

Aku hanya memandangi mereka tanpa bisa berkata apa-apa. Bahkan untuk menggerakkan mulutku sendiri saja sudah menambah penderitaanku yang sekarang ini. Aku benar-benar akan mati.

Aku bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun, setelah aku tertembak oleh sebuah peluru. Waktu itu, aku baru saja pulang dari membeli manga kesukaanku. Betapa menyedihkan ketika aku menyadari bahwa yang kubeli itu menjadi manga-ku untuk yang keterakhir kalinya.

“Ah…”

Bergumam tanpa suara, aku diteriaki dengan suara nyaring dari para petugas medis. Apa yang mereka teriaki kepadaku? Entahlah, aku pun tidak bisa mendengar mereka, bahkan satu desibel pun tidak.

Dalam posisi tergeletak, aku hanya mencoba untuk menggerakkan setiap jari-jemari tanganku. Meskipun begitu, nampaknya aku sudah tidak bisa bergerak lagi untuk selama-lamanya.

Aku mengingatnya.

Itu terjadi sekitar sepuluh menit yang lalu, di mana ketika aku habis dari toko buku, meminum kopi di sebuah kedai di pinggiran jalan kota. Hari itu masih terik, tubuhku masih bisa kukendalikan.

Dilayani oleh pelayan kafe yang cantik, aku tidak bisa mengalihkan pandangannku dari padanya. Setiap detiknya, aku selalu memandanginya bahkan aku mengingat bagaimana rupanya dan suaranya hanya dalam dua menit.

Kopi yang kunikmati melambangkan ketenangan yang kujalani sebagai seorang otaku dan neet. Dari fisik dan dari umur, aku masih bersekolah. Aku masih menyukai hal-hal beginian.

Dan semuanya itu terjadi dengan begitu cepat, bahkan aku tidak menyadarinya sedikit pun.

Seorang perampok kemudian mendatangi tempat itu, dengan membawa sebuah pistol kecil di tangannya, lalu menodongkannya kepada seluruh orang di sana.

Ia berteriak, “Berikan uang kalian! Atau akan kubunuh kalian semua!”

Seluruh pegawai dan pelanggan di sana terkejut, bahkan beberapa dari mereka merasa ketakutan, sampai tidak dapat bergerak seperti mana biasanya.

Mereka mengiyakan permintaan perampok itu. Pelayan kedai kopi yang melayaniku tadi menuju ke arah belakang dapur, dan kemudian kembali ke arah tempat pelanggan dengan membawa uang yang sangat banyak.

Perempuan itu berniat untuk menuruti perampok itu. Sebagai laki-laki, aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Melihat ketidakadilan dan perampasan yang membuatku sangat muak untuk hidup.

“Hahaha! Untung, nih!”

Aku memberanikan diriku pada saat berjalan menuju ke arah perampok itu, tanpa rasa ragu ataupun takut.

“Oi!”

Perampok itu mengarahkan pandangannya kepadaku. Wajahnya terlihat amat kebingungan.

“M—mau apa kau?…” katanya.

“Serahkan uang yang kau rampok tadi!” kataku lantang.

Seluruh pandangan mengarah tepat kepadaku. Mereka sama sekali heran akan tindakanku ini. Aku tidak bersenjata, sementara perampok itu memiliki pistol kecil sejenis revolver, yang seharusnya pada zaman ini sudah menjadi barang antik.

“Apa katamu? Mau merebut ini? Coba saja kalau bisa!” kata perampok itu sambil tertawa lepas.

“Kumohon berhentilah! Kau akan terluka…”

Pelayan kafe yang kulihat tadi khawatir kepadaku, mengucapkan ini dengan lantang kepadaku yang sedang berhadapan dengan perampok sialan ini. Aku merasa bahwa yang kuperbuat ini adalah benar.

Aku berlari dengan tiba-tiba ke arah perampok itu.

— Bukan tanpa alasan bahwa aku melakukan ini.

Apakah manusia hidup hanya sendirian? Kalau begitu, aku pasti tidak akan dilayani seperti seramah ini.. Baru kali ini ada orang yang ramah dalam melayani pelanggannya.

Kehidupan sosial sekarang—yang kupercayai selama ini—tidak akan membawamu kepada kedamaian ataupun kesejahteraan. Mereka memedulikan orang lain, namun tidak peduli dengan dirinya, atau orang-orang terdekatnya.

— Namun perempuan itu berbeda, sangat berbeda.

Aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Dia sangat baik.

Kembali kepada kejadian itu, aku berlari dengan yakin, dan mengabaikan revolver yang mengarah kepadaku dan bisa ditembakkan kapan saja ketika ia akan benar-benar ingin membunuhku.

“Hentikan!”

“Sialan! Aku akan menembakmu sekarang juga!”

— Suara tembakan dari sebuah senjata api memecah ketegangan di sana.

Aku masih bisa berdiri, pikirku. Aku tidak akan membiarkanmu!

Darah mengucur tepat di bagian pinggangku. Tubuhku terasa nyeri—lebih buruk dari itu. Terasa sangat panas, bahkan aku sampai muntah darah. Terlihat ekspresi khawatir ada di wajah para pelayan dan pelanggan kafe yang lainnya.

Jangan khawatirkan aku! Aku mengatakan ini dalam hati.

Perampok itu sementara tersenyum melihatku.

“Belum…”

Aku melihat ekspresi kesenangan pada perampok itu. Dia tidak menyesal karena telah membunuh orang yang mencoba untuk mencegahnya melakukan suatu tindak kejahatan yang terbilang berat.

“Masih… belum!”

Aku berlari sebisa mungkin, dan aku mencapai kerah baju perampok itu.

Semuanya terkejut melihatku, bahkan si perampok itu.

Dengan tiba-tiba, aku memukul tangannya, dan ia menjatuhkan revolver miliknya itu.

“Apa?” Perampok itu terkejut.“Bagaimana kau—”

Ia terkejut kembali untuk yang kedua kalinya secara berurutan.

Revolver itu berada di tanganku sekarang. Aku mengarahkannya tepat ke lehernya dengan jarak yang sangat dekat. Dia (perampok) terlihat sangat ketakutan ketika aku mengerahkan serangan ini.

“Kau sudah tidak bisa lari lagi…” Aku bersiap untuk menarik pelatuk revolver itu bila ia berulah kembali.

Perampok itu sangat ketakutan, bahkan ia sampai berteriak sangat keras.

“Hentikan… ulahmu ini sekarang juga…”

Dia sama sekali tidak meresponku ataupun melakukannya. Dia mencoba untuk bergerak dan mengelak dari sana.

“Aku akan menghitungnya mulai dari, sepuluh.”

Ia ketakutan, bahkan sampai tidak bisa bergerak.

“Sembilan, … delapan, …tujuh, …”

Dia mulai berteriak sangat keras.

“... Enam, … lima, … empat, …”

Itu terdengar sangat lantang. Lukaku mulai terasa sakit, sekujur tubuhku terasa seperti panas.

“... Tiga, … dua, …”

Matanya sudah pucat, begitu pula dengan wajahnya. Teriakannya masih bergema di seluruh kafe itu.

“... Dan satu.”

Teriakannya kali ini lebih lantang dari yang sebelumnya. Aku mengurungkan niatku untuk menembak dirinya. Aku merasa bahwa aku tidak perlu melakukannya.

Dan sepertinya, semuanya sudah berakhir. Perampok itu pingsan karena sangat ketakutan dan histeris. Teriakannya itu aku yakin telah menghabiskan seluruh tenaganya dan juga mentalnya sekarang ini.

— Semuanya telah berakhir, begitu pula dengan diriku.

Aku terjatuh rebah setelah itu, dan merasakan bahwa diriku tidak sanggup lagi untuk bergerak saat itu. Beberapa petugas kepolisian dalam pandanganku yang samar, ditemani beberapa petugas medis, kemudian datang untuk mengamankan perampok dan juga merawat korban luka.

Pelayan kafe yang banyak membantuku itu bahkan menghampiriku, disertai dengan beberapa pelayan kafe yang lainnya. Aku hanya bisa memandangi mereka tanpa berbuat apapun.

“Hei kamu! Kenapa kamu berbuat sejauh itu?” Pelayan perempuan itu berteriak kepadaku. Sepertinya, air matanya mendadak mengalir.

“Oi, cepatlah! Kalau tidak segera, entah berapa lama lagi kita akan kehilangan dirinya.”

Beberapa pelayan kafe kemudian mengambil kotak First-aid Kit yang berada tepat di dekat mereka.

Tidak ada korban luka di sana—mengecualikan diriku—ataupun korban jiwa. Situasi masih bisa terbilang kondusif dan aman, sampai mereka melihatku yang rebah dengan bersimbah darah di pojokan gedung kafe.

Polisi telah meringkus si perampok yang sedang pingsan. Sementara aku—yang rebah—saat ini, dirawat oleh petugas medis.

— Setidaknya itulah yang bisa kuceritakan kepada kalian.

Dan sekarang, aku berada di ambulans, dalam keadaan kritis. Aku tidak bisa lagi berbuat banyak. Bahkan mau berdiri dan berjalan pun tidak bisa. Kemungkinan bahwa aku selamat masih ada, namun dalam keadaan yang mengkhawatirkan.

Masalahnya, sekarang apa yang terjadi padaku setelah itu.

Pandanganku mulai gelap, gelap sekali. Aku tidak melihat apapun.

Nama anak itu ialah Shu Hizashi, seorang remaja asal Jepang yang mengalami keadaan tragis seperti ini.

◊ ◊ ◊

Hizashi kemudian terbangun pada sebuah ruang hitam yang kosong dan tak ada isinya.

"Aku dimana?!" tanya Hizashi.

Kemudian sebuah cahaya muncul dari atas, menyilaukan mata Hizashi.

"Apa itu?!" tanya Hizashi

Cahaya itu semakin menyilaukan, sampai Hizashi tak bisa melihat apapun.

Tak lama setelah itu, cahaya tersebut langsung redup, dan kembali normal.

[Mengkonfirmasi Nama : Shū Hizashi]

Sebuah kursor game muncul di hadapannya berbunyi demikian.

"Apa-apaan ini? Seperti di game saja," tanya Hizashi.

[Tubuh telah di deteksi beserta seluruh datanya]

"Mendeteksi, tubuh?" tanya Hizashi keheranan.

Kemudian, muncul sebuah suara dari cahaya yang berada di atas tersebut, seperti suara perempuan.

"Shū Hizashi, selamat datang di Bazylian."

"Bazy..lian? Apa itu?!" tanya Hizashi.

"Tempat di mana kau akan menjalani hidup barumu." kata sosok itu.

"Hidup baru? Jadi aku sudah mati?" tanya Hizashi.

"Ya. Kau sudah mati. Kau mengalami pendarahan yang banyak karena tembakan itu." kata sosok itu menjelaskan.

"Begitu ya? Dan, bagaimana keadaan pelayan yang kucoba untuk kuselamatkan?" tanya Hizashi.

Sosok itu terdiam sejenak, melihat Hizashi yang menanti jawabannya.

"Kau walaupun sudah mati masih menanyakan keadaan pelayan yang kau lindungi? Kau ternyata orang yang penuh perhatian, ya?" kata sosok itu.

"Iya. Bagaimana keadaannya?" tanya Hizashi.

"Ia baik-baik saja. Dan penjahat yang menembakmu sudah ditangkap polisi." kata sosok itu.

"Syukurlah — Dan sekarang, aku akan hidup di dunia yang bernama Bazylian itu?" tanya Hizashi.

"Ya. Sepertinya aku sudah cukup banyak menjelaskan kepadamu," kata sosok itu. "Ikuti saja petunjuk dari kursor yang ada di depanmu nanti."

Kemudian, cahaya itu mulai redup dan sosok itu tampak berhenti berbicara.

"Tunggu!" teriak Hizashi.

Cahaya itu masih redup, belum menghilang setelah mendengar teriakan Hizashi.

"Siapa namamu?" tanya Hizashi.

"Another, sebut saja itu," kata sosok itu.

Kemudian, cahaya itu mulai menghilang, sementara Hizashi masih bertanya.

"Another, apa maksudmu?!" tanya Hizashi.

Hizashi sepertinya terlambat, cahaya itu sudah hilang dan tidak ada lagi. Namun, ia kembali muncul dalam wujud seorang perempuan.

"Aku hanya berganti wujud. Kau mudah sekali di tipu ya?" ujarnya sambil tertawa kecil.

"Cewek ini..." gumam Hizashi marah.

Tak lama setelah itu, sebuah kursor muncul di hadapan Hizashi.

[Selamat Datang di Bazylian]

(BERSAMBUNG

STORY BY : JOHN GEVAR)

Chapter 1.1 : Hidup Baru Dimulai

Bazylian

Adalah sebuah dunia di mana sihir dan legenda serta mahkluk mitologi bisa di temukan.

Empat benua menghiasi dunia itu. Benua-benua itu ialah Benua Eulicus, Benua Shaman, Benua Tharcias, dan Benua Nusogoldia. Setiap benua diisi oleh beberapa negara dengan ribuan pertempuran.

Tahun di sana secara sah di mulai pada waktu era Dewa Hashemut berperang melawan sebuah naga kepunyaan Iblis yang mengacau alam para dewa. Tahun di namakan Tahun Hashemut, dan sekarang baru tahun 1000 Hashemut.

Seharusnya penamaan tahun masih Hashemut. Namun, terjadi sebuah perang besar antarnegara yang menyebabkan kehancuran yang besar pula. Akhirnya Tahun mempunyai dua penamaan.

— Tahun Sebelum Perang Besar dinamakan Before Warring Period (BWP). Cara penghitungannya yaitu mundur.

— Tahun Setelah Perang Besar dinamakan Hashemut Blessed (HB). Cara penghitungannya yaitu maju.

Perang Besar tersebut terjadi pada tahun 1000 Hashemut (1000 BWP) sampai 2000 Hashemut (1 BWP). Setelah perang besar itu, masih banyak perang kecil-kecilan yang masih berlanjut.

Jumlah negara yang awalnya ada sekitar dua tiga puluhan, menjadi hanya sembilan karena banyaknya negeri yang hancur akibat perang.

Negara-negara yang masih tersisa tersebut ialah :

Kerajaan Havasch dan Kedaulatan Dollsius di benua Eulicus.

Kerajaan Narcius, Kerajaan Weidern, Kekaisaran Gaolis, Kerajaan Brundswell di benua Shaman.

Kekaisaran Fulginea dan Republik Shieldwein di Benua Tharcias.

Kekaisaran Chaltzea dan Kepatihan Terkhos di Benua Nusogoldia.

Kebanyakan negara-negara yang masih tersisa berada di Benua Shaman. Kira-kira dua belas negara menyatukan diri masing-masing menjadi tiga negara besar.

Setelah Perang Besar itu, banyak pembaharuan yang terjadi di bidang sihir, teknologi, senjata, edukasi dan politik untuk menjaga kedaulatan negara.

— Tetapi kisah awal tentang perang tak hanya sampai di situ saja.

Di balik Perang Besar yang terjadi ribuan tahun lalu itu, terdapat sebuah kisah yang dirahasiakan — tentang Capoln, seorang diktator yang mengambil alih tahta Kekaisaran Fulgenia Kuno.

Capoln I adalah seorang Kaisar Fulgenia Kuno yang terakhir. Ia merupakan dalang dari Perang Besar, sekaligus penyulut api dengan mengadu domba banyak negara-negara untuk berperang.

Capoln I pada akhirnya mati terbunuh di istananya sendiri ketika akhir perang. Diketahui ia dibunuh oleh Seorang Ksatria yang bernama Ferdinandr. Ferdinandr menjadi Kaisar Fulgenia Baru dan memperbaharui negara itu, serta menghentikan peperangan.

Sayangnya, Capoln tak tinggal diam setelah di alam kematian. Ia meminta kepada Dewa Kebijaksanaan untuk membangkitkannya kembali dengan sebuah kekuatan besar yang dapat menghancurkan dunia.

***

— Kembali kepada situasi sekarang, Alam Bawah Sadar Hizashi.

"Baiklah—Another, aku telah mendengarkan basa-basimu yang mengatakan bahwa ada perang besar, lalu—em—perubahan sistem, dan—" tukas Hizashi kebingungan.

"Ternyata kamu sama sekali tidak mengerti, ya?"

Sosok Another mengekspresikan keterkejutannya dengan suara lembut dan pelannya itu, perihal Hizashi, yang lambat untuk pahan akan situasi ini.

"Yang aku ingin kau ketahui bahwa aku ingin kau untuk menjelajahi dunia ini, sebagai seseorang." Sosok Another melanjutkan.

"Eh—seseorang?" tanya Hizashi kebingungan.

"Ya.." jawab Another pelan.

Mereka berdua saling diam sejenak. Hizashi masih terlihat kebingungan, perihal dirinya yang dibawa ke dunia lain. Dan dunia itu adalah dunia fantasi yang seharusnya sama sekali tidak nyata.

"Ini memang menggangguku, tapi apakah ada item yang bisa kubawa ke dunia itu sebelum kau mengirimku ke di sana."

Item adalah sesuatu yang penting dalam game fantasi. Tak lain adalah benda-benda yang mendukung kita selama bertualang ke dunia itu.

"Ada kok. Kau bisa memilih dari tiga kotak ini." kata Another.

Kemudian munculah tiga kotak yang ukurannya sama dan tak terlihat perbedaan sama sekali di sana. Hanya terlihat angka 1 sampai 3 di setiap kotak.

"Kau mau menjebakku?" Hizashi tak yakin.

"Tidak-tidak. Aku hanya ingin kau memilihnya saja." kata Another.

Hizashi kembali kebingungan. Ia tak tahu harus memilih kotak yang mana. Apabila salah memilih, maka ia akan hidup dalam penyesalan selama di dunia itu.

"Berpikirlah! Apa yang harus kuambil?" Hizashi berpikir. "Biasanya tak ada pilihan seperti ini..."

Hizashi kemudian teringat akan sesuatu yang selama ini ia lupakan, yaitu angka peringkatnya di sekolah. Peringkatnya adalah posisi ketiga.

"Angka peringkatku! Baiklah! Aku harus beruntung saat ini!"

Hizashi maju ke depan dan membuka tutup dari kotak itu dengan gagah dan berani serta tanpa ragu. Sepertinya ia sudah yakin dengan pilihannya.

"Yosh! Aku memilih kotak nomor tiga!" kata Hizashi lantang.

Kemudian kotak nomor tiga terbuka.

Dan apa yang ia dapatkan, sungguh menurutnya bisa dibilang bukanlah suatu keuntungan. Ia mendapat Buku, lebih tepatnya suatu buku dengan ukiran yang indah pada sampulnya.

Buku itu seukuran kamus, terdapat sebuah permata di beberapa sisi sampul buku. Tak terbayangkan ia mendapat sebuah buku yang tak ia tahu apa kegunaannya.

"B—buku?!"

"Selamat, kau mendapatkan buku." kata Another yang sempat tertawa kecil.

"Oi—apa maksudnya—" Hizashi bertanya.

"Kau akan dikirimkan ke dunia itu. Tempat awalmu di Rehobot, Kerajaan Narcius." sela Another. "Semoga beruntung!"

Kemudian lantai di mana kaki Hizashi berpijak bercahaya, lalu ia serasa seakan-akan terbawa oleh sesuatu yang entah dari mana asalnya. Another kemudian sedikit tersenyum dibalik layar, menyampaikan selamat tinggal pada Hizashi.

"Semoga sukses." kata Another.

"Oi—Another-san!"

Hizashi setelahnya hilang dari ruangan itu, lalu terhubung oleh sebuah portal yang tidak tahu dari mana asalnya. Ini adalah langkah awalnya untuk menuju kepada hidup barunya di dunia lain.

"Aaakh!"

***

Hamparan padang rumput yang luas dan bisa dibilang menenangkan dan suasananya damai. Rerumputan dan bunga-bunga bergoyang dihempas oleh angin. Burung-burung berkicauan dengan mentari yang terik bersinar.

Terlihat seorang laki-laki yang sedang tertidur di sana, menghabiskan waktunya di alam bawah sadarnya. Tak salah lagi — ia adalah Shū Hizashi, seorang yang baru saja dibawa ke dunia lain.

Matanya perlahan membuka, ia mencoba tubuhnya untuk bangun dari tidurnya. Ia terlihat memakai baju kasualnya, yang ia pakai di dunia lamanya.

Disamping tangannya yang terletak di rerumputan, terdapat buku yang baru saja ia dapat dari Another.

"Ini...dimana?...."

(TO BE CONTINUED)

-----------------------------------------------------------------------

STORY BY : JOHN GEVAR

JANGAN LUPA LIKE DAN FAVORITE

Chapter 1.2 : Langkah Awal

— Tahun 1000 HB, Rehobot, Kerajaan Narcius

Masih di padang rumput, di mana Hizashi terbangun di wilayah Rehobot. Tak bisa dipungkiri bahwa ia berada di dunia lain. Dan hanya membawa sebuah buku di tangannya.

"Jadi ini, dunia baru yang namanya Bazylian.."

Hizashi berjalan lurus menuju sebuah reruntuhan yang berada di tepat di pandangannya. Reruntuhan itu adalah sebuah kastel, tampak tua dan rusak, seperti bangunan yang sudah lama di tinggalkan.

"Kastil?"

Kemudian, buku yang berada dalam genggaman Hizashi melayang dan membuka sendiri halamannya kepada halaman yang pertama. Kertas itu bercahaya dan akhirnya terdapat sebuah tulisan "Kastil Nivuerde" di halaman kosong, lengkap beserta gambar kastil sebelum hancur.

"Buku ini, ternyata hebat juga.." gumam Hizashi terkejut.

Ia memberanikan dirinya untuk menurunkan buku itu dan kemudian membacanya.

"Nivuerde? Jadi, kastil ini namanya Nivuerde?"

Tak lain reruntuhan itu adalah Kastil Nivuerde, kastil Kekaisaran Gaolis Kuno sebelum era perang besar dimulai. Kastil itu hancur akibat perang. Informasi ini tertulis di buku itu.

"Kastil Nivuerde, Kastil Kekaisaran Gaolis Kuno. Kastil itu hancur dalam perang besar, dan sekarang hanya menyisakan reruntuhan di tepi Rehobot.." gumam Hizashi sambil membaca lembaran di bukunya.

Hizashi melayangkan pandangannya kepada reruntuhan itu. Tak ada seorang pun di sana, seharusnya. Selang beberapa menit, ia mendengar suara geraman yang amat tajam.

"Grrrh!"

"Siapa itu?" Hizashi berwaspada. Ia memandangi sekitarnya dengan penuh curiga.

"Grrrh!"

Suara geraman itu semakin terdengar keras dan menyeramkan. Layaknya binatang buas yang lapar hendak mencari mangsa untuk dilahap.

"Dari mana asalnya itu?.." tanya Hizashi penuh curiga.

Ia masih memandangi sekitarnya, dan kemudain seekor mahkluk berbentuk seperti anjing mendekatinya. Anjing itu menatapnya tajam sambil menggeram keras.

"Grrrh!"

"S—seekor anjing?" Hizashi gemetaran.

Anjing itu kelihatan sendirian. Hizashi merasa bisa menghabisinya, namun ia tak punya senjata. Yang ia punya hanyalah sebuah buku yang tak tahu apa gunanya.

"Sial! Aku tidak tahu bahwa ada monster di sini!"

Hizashi berusaha mundur dari sana perlahan-lahan karena ia tak punya senjata. Sekali lagi, ia hanya punya "buku". Sementara anjing itu mulai mendekat sambil berlari.

"Apa yang harus kulakukan? Kalau ini MMORPG pasti aku masih bisa hidup, namun ini dunia lain.." gumam Hizashi.

Ia masih berpikir keras, bahkan ia tak mengetahui bahwa anjing itu sebenarnya membawa kawanan lain yang ada di belakangnya. Sampai saat itu pun ia belum menemukan ide.

Sementara anjing-anjing itu masih berlari dan mulai dekat ke arahnya, tiba-tiba selintas ide muncul pada kepalanya.

"Kalau begitu.."

Ia melayangkan pandangannya kepada sebuah ranting kayu di sebelahnya. Kemudian ia mengambilnya dan menggunakannya layaknya sebuah pedang yang bisa digunakan untuk menghentikan anjing-anjing itu.

"..akan kutebas kalian semua!"

Tak diduga, ranting kayu itu kemudian menyala, tepat ketika ia masih memegang buku itu di tangan sebelahnya.

Ia tak menyadari bahwa rantingnya menyala. Ia langsung mengarahkan ranting itu kepada seekor dari kawanan anjing monster itu, dan kemudian memukulnya menggunakan ranting itu.

Tepat setelah ia memukul anjing itu menggunakan ranting, anjing yang ia pukul itu kemudian pingsan, lalu mengeluarkan banyak darah dan meninggal.

Jasadnya juga menghilang seketika, dan menjatuhkan sebuah item yang berbentuk seperti batu yang lonjong.

Hizashi terkejut. Betapa ia mengetahui bahwa ranting yang kecil itu bisa membunuh seekor anjing monster yang ganas. Kekuatan dari rantingnya yang kemudian menjadi dugaan sementaranya.

"Ranting ini, ajaib? Bagaimana bisa.."

Ia kembali melayangkan pandangannya kepada buku yang ia bawa. Buku itu kembali terbuka dan di halaman yang menunjukkan "Bab II" yang awalnya hanya tertulis judul, terisi dengan tulisan "Refining (B) – Level 1".

"Re—fining?" Apakah ini skill?" tanya Hizashi.

Pertarungan itu belum selesai. Masih banyak anjing-anjing monster yang perlu dibereskan. Sekitar sepuluh jumlahnya mengelilingi dan mengepung dirinya.

Ia mengamati sekitarnya dengan ranting dan buku yang berada di kedua masing-masing tangannya. Anjing-anjing itu menatapnya tajam dan menakutkan.

Ia kemudian gemetaran dan merasa ada ketakutan yang mendalam melintasi pikirannya yang selalu tenang.

"K—kenapa aku gemetaran?...Apakah ini akhir hidupku?...."

Anjing-anjing itu kemudian menerkam Hizashi dan menjatuhkannya. Ia tak berkutik ataupun meronta, seakan-akan pasrah.

"Ah—ini akhir dari hidupku."

Kemudian rantingnya kembali menyala walaupun lepas dari genggamannya. Anjing-anjing itu mencoba mencabik-cabiknya segingga tangannya luka.

Ia berusaha mengambil ranting itu secepatnya walaupun ia ditimpa oleh anjing-anjing yang berusaha untuk mencabik-cabiknya.

Hizashi berhasil mengambil ranting itu. Kemudian ia mengayunkan ranting itu kepada tiga anjing di depannya, dan kemudian anjing itu terhempas jauh sekitar dua meter secara kencang.

"Eh?"

Ia kembali terkejut dengan skill yang baru ia dapat ini. Ia merasa kembali percaya diri, lalu kembali berdiri.

Kemudian, anjing-anjing yang terhempas itu — yang memang belum mati itu kembali hendak menyerangnya. Hizashi dengan sigap melangkah maju sambil berlari.

"Kalau kau tak melawannya, maka kau akan mati, Hizashi!" ujarnya dalam hati.

Ia kemudian kembali menghempaskan ranting itu kepada anjing-anjing itu, dan kembali mereka terhempas dua meter. Mereka terluka, bahkan ada yang meninggal.

Ia terengah-engah kelelahan. Masih ada sekitar lima anjing lagi yang harus ia lawan. Anjing-anjing itu juga masih melawannya.

"Grrrh!!"

Mereka kembali menggeram. Hizashi kembali dengan yakin berlari ke arah mereka, lalu menghempaskan rantingnya.

Anjing-anjing itu kemudian mati secara bersamaan. Hizashi hampir terjatuh. Ia belum pernah melawan monster sungguhan.

Item yang dijatuhkan anjing itu juga sama. Sebuah benda berbentuk batu dan keras yang lonjong. Warnanya kemerahan sedikit bening.

Kembali, buku itu terbuka pada halaman Bab II dan kemudian menambah lagi tulisan dengan sendirinya, yaitu "High Refining (A) – Level 1" dan "Heavy Quaker (A) – Level 1" .

Dan juga pada halaman sampul buku yang keras, terukir nama "Shū Hizashi" dengan "Level 1".

(TO BE CONTINUED)

--------------------------------------------

STORY BY : JOHN GEVAR

JANGAN LUPA LIKE DAN FAVORITE

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!