NovelToon NovelToon

Maaf, Jika Aku Memilih Dia

Bab 1 Berangkat ke kampus

"Hei, bangun... bangun... Kau kira ini masih jam berapa?" Teriakan Ethan membuat seorang gadis bernama Grace terbangun. Gadis itu mengucek kedua matanya, kemudian bangkit dari sana dengan mulut menguap karena rasa kantuk yang belum hilang.

"Memangnya udah jam berapa sih?" Grace melihat kearah jendela, cahaya terang matahari telah menembus jendela dan menyilaukan matanya. Namun, udara pagi begitu dingin hingga orang malas untuk masuk ke kamar kecil.

"Sudahlah, nggak usah banyak tanya. Segera mandi dan berkemas, setelah buatkan sarapan." tegas pemuda yang usianya terpaut jarak satu tahun dengan Grace.

Ethan, dia adalah sosok kakak laki-laki bagi Grace yang tinggal di rumah yang sama. Pria itu sengaja memasang tampang galak agar Grace mau menurut perintahnya.

Namun di saat Ethan berlalu dari sana, Grace tampak menggerutu sendiri. "Dia terlalu memaksaku bangun pagi, sedangkan dia sendiri saja bahkan lebih sering kesiangan." Gadis itu terlihat sangat tak senang, "Huh, dia benar-benar menyebalkan!" Dia berkata saat sebelum memasuki kamar mandi.

Bruakk... dentuman suara pintu di banting menimbulkan bunyi yang keras, hingga pendengarnya terkejut. Dan benar saja, Ethan langsung berlari ke asal suara untuk memastikan. "Grace, apa yang terjadi?"

Hening, tak ada jawaban, gadis itu malah tertawa cekikikan dari dalam kamar mandi. "Rasain! Makanya jangan bikin kesal!" ujarnya berbisik.

Ethan yang merasa di kerjai, langsung tersenyum miring, di benaknya seakan tengah menyimpan sebuah rencana. "Awas kamu nanti!"

Sementara Grace yang pura-pura tak tahu apa-apa, dengan santainya malah bersenandung kecil, sambil menyikat giginya. "Hei... Grace! cepat sedikit. Ingat, hari ini giliranmu membuat sarapan." lagi-lagi teriakan Ethan membuat bising telinga yang mendengar, suaranya memenuhi ruangan hingga Grace terlihat jengkel.

"Aku tak peduli." ia berkata dengan nada ketus. Namun, suaranya sengaja di buat pelan sekali. Siapa yang menduga Ethan akan menguping di depan pintu kamar mandi, pria itu bahkan jelas mendengar ucapannya.

"Jadi begitu ya? Lihat saja nanti..." Ethan langsung beranjak dan perigi menuju dapur. Sorot matanya terlihat serius, namun hatinya tengah berpikir untuk melakukan sebuah rencana untuk mengerjai Grace.

Pintu kamar mandi terbuka, Grace baru saja keluar, dan hendak pergi ke kamar dan bersiap untuk berangkat kuliah seperti hari biasa.

Ethan sengaja muncul di saat sebelum Grace benar-benar masuk ke kamarnya, dengan dua tangan yang sedang membawa piring berisikan beberapa potong roti bakar dan secangkir kopi cappucino, Aromanya begitu harum dan menusuk hidung, di tambah lagi dengan tampilan roti bakar dengan isian selai coklat yang begitu menggoda, membuat yang melihatnya serasa ingin makan.

Grace sampai berhenti di depan pintu kamarnya, melihat ekspresi Ethan yang saat ini tengah menikmati menu sarapan yang menggugah selera makannya. Dengan jarak ruang makan dan kamarnya yang tak begitu jauh, membuatnya dengan cepat segera mempersiapkan diri seadanya.

Bahkan gadis itu muncul di samping Ethan secara tiba-tiba, tanpa ada polesan bedak dan lip gloss seperti biasanya. "Kak Ethan, bagi dikit ya..."

Begitulah Grace, jika ada maunya, dia pasti akan berkata lembut sambil memberikan tatapan yang sengaja di buat memelas berharap pria itu akan merasa kasihan padanya, namun Ethan malah menggeleng, sambil menggeser piringnya, sambil membelakangi gadis itu hingga wajah polos gadis itu berubah cemberut menerima perlakuan yang demikian dari pria yang sudah di anggap kakak sendiri.

"Kakak..."

Ethan menyipitkan sebelah matanya sambil menoleh ke belakang. "Apa?"

"Boleh minta satu? Habisnya jika kamu yang masak selalu enak..."

Grace memicingkan matanya, berharap pria itu akan berbelas kasihan padanya dengan memberikan sepotong roti bakar yang masih tersisa di depannya.

"Nih!" Ethan meletakkan piring berbahan melanin di depannya, sesuai harapan Grace. Tentu saja, seorang Ethan tak mungkin tega membiarkan adik sepertinya kelaparan.

Begitu matanya terbuka, Grace tertawa lebar saat melihat sepotong roti bakar yang masih utuh, dan belum di sentuh sama sekali. "Terima kasih banyak kak Ethan..."

Bukannya langsung sarapan, gadis itu malah langsung berkemas dan menyandang tas kuliahnya, lalu berjalan terburu-buru dan bersiap akan segera pergi.

"Kenapa kamu tak makan sarapannya dulu?" tanya Ethan penasaran.

Grace yang tadinya terfokus pada rencananya untuk pergi, segera mengalihkan pandangannya pada pria yang masih duduk di depan meja makan menikmati minumannya. "Aku mau buru-buru..." sahutnya tenang,

"Jadi, kamu nggak nungguin aku nih? Kenapa kita nggak berangkat bareng aja? Lagipula, kita kan atu tujuan."

Grace mengeleng cepat, sambil terus melakukan rencananya, "Maaf, aku harus melakukan sesuatu dan buru-buru. Kalau begitu aku pergi duluan ya, bye!" Pintu tertutup seiringnya gadis itu keluar dari rumah dan meninggalkan pekarangannya.

Ckckck, "Dasar! Hebat sekali kamu? udah di bikinini sarapan, bukannya di tungguin. Lihat saja efeknya nanti!" Setelah berkata demikian, pria itu menyeringai.

Tak peduli ada yang bertanya karena penasaran, Ethan lalu bangkit meninggalkan meja makan, dan beralih pada motor yang terparkir di halaman rumahnya.

Sementara Grace yang tengah berjalan pelan di atas trotoar, tampak tersenyum sambil menatap menu sarapan buatan Ethan. Bahkan saat akan menyeberang di zebra cross pun, ia segera menyantapnya tanpa memeriksanya lebih dulu. "Aku yakin, jika roti ini di masak dengan sepenuh hati rasanya akan sangat lezat..."

"Huekk!" Tiba-tiba, Grace kembali memuntahkan potongan yang telah di gigitnya tadi sambil menggerutu. "Dasar Ethan si4lan!!?" Amarahnya memuncak seketika,sambil mengusap lehernya yang terasa panas. "Beraninya dia memasukkan banyak merica ke dalam makananku!"

Matanya berkedut, wajahnya berubah jadi merah padam. Grace segera berlari ke arah minimarket yang tak jauh dari sana."Aku harus mencari minuman manis agar panas di tenggorokanku jadi hilang!"

Di dalam minimarket, deretan minuman yang tersusun rapi di etalase kaca yang terlihat begitu menggugah selera. Grace memilih sebotol minuman rasa buah, lalu keluar setelah membayarnya, kemudian gadis itu meminumnya dengan cepat hingga rasa panas di tenggorokannya hilang. "Ethan benar-benar menyebalkan, awas nanti jika ketika sampai di rumah." Tanpa sadar, Grace berhasil meremukkan botol minumannya yang sudah kosong.

Grace dan Ethan, dia orang yang berwatak sama, sifatnya yang keras kepala dan tak mau kalah membuat mereka jarang akur. Keduanya hidup mandiri tanpa pengawasan orang dewasa sejak memasuki usia remaja.

Sejak lima tahun lalu, orang tua mereka menjalani bisnis yang mengharuskan mereka keluar negeri. Namun, sifat keduanya yang begitu mirip membuat orang akan berpikir kalau mereka adalah saudara kandung.

"Ah, si4lan! Kenapa tiba-tiba rusak begini sih!?" Ethan belum berangkat!

Pria itu ternyata masih berkutat dengan motornya yang tak bisa menyala sejak tadi. "Jika begini, aku akan terlambat, seharusnya aku memeriksa ini dari kemarin." keluhnya dengan penuh rasa sesal.

Saat ia mencoba menghidupkannya sekali lagi, hasilnya tetap nihil. "Ini takkan bisa di perbaiki sekarang, karena waktunya akan sangat panjang."

Dalam kebuntuan situasi, Ethan tak mulai gelisah sambil mengedarkan pandangannya kesana-kemari. Di satu sisi matanya terfokus pada sebuah objek yang membuat dirinya tersenyum lebar. "Nah, aku pergi dengan sepeda saja, sepertinya itu akan lebih baik."

Ia langsung bereaksi mengambil sepeda dan mengayuhnya keluar dari pagar rumah. "Aku akan pastikan Grace masih belum jauh dari sini, kita lihat saja nanti." ujarnya kembali menyeringai, tanpa berhenti mengayuh.

Lima menit bersepeda, tak jauh dari sana Ethan melihat sesosok wanita yang tengah berjalan lambat di persimpangan jalan. "Itu pasti dia..."

Lagi-lagi Ethan menyeringai saat memikirkan sesuatu yang hanya di ketahui dirinya sendiri. Ia mengayuh sepedanya dengan cepat, dan dengan sengaja melewati Grace dan berpura-pura menyemrempet sedikit. "Hampir saja..."

"Ethan...!" gadis itu memekik keras hingga semua orang yang mendengarnya menutup telinga.

Ethan menghentikan sepedanya, lalu menoleh ke belakang sambil tersenyum sinis. "Apa? Butuh bantuanku?" tanyanya sambil melipat tangan dan kedua alis yang sengaja di naikkan.

Grace berlari kecil menuju kearah sepeda berhenti. Nafasnya sesak karena jaraknya cukup jauh dari tempatnya berdiri tadi. "Kamu sengaja kan?" Grace menarik nafas dalam-dalam. Rasa kesalnya tak dapat di pungkiri lagi karena masalah merica dan sekarang perkaranya malah bertambah.

"Tidak, aku tak sengaja."

Lelaki itu menjawab tanpa beban. "Ethan... kamu membuat tenggorokanku perih karena merica..." Grace mencubit lengan kokoh milik Ethan,

"Aww...! Kenapa kamu kasar sekali?"

Saat itu Ethan menatap sepasang mata Grace. "Aku tak sengaja, apa kamu menikmatinya?"

"Ya, dan lihat saja pembalasanku nanti." Grace melipat tangannya dengan muka sebal. Namun, Ethan mengalihkannya, dan melirik jam yang melingkar di tangannya.

"Astaga, sepertinya 8 menit lagi pukul delapan. Kalau begitu aku akan pergi..." Belum sempat Ethan mengayuh sepedanya Grace dengan sigap menahan tangannya. "Aku ikut denganmu. Apa kamu tega ninggalin aku sendirian?" Grace mengedipkan-ngedipkan kedua matanya sambil memelas.

Ethan terpaksa menunda waktunya, dan melipat dua tangannya ke atas dada. "Tapi ini hanya sepeda, apa kamu yakin kita boncengan dengan sepeda?"

Tanpa persetujuan gadis itu langsung duduk di belakang sambil memeluk pinggang Ethan. "Jalan..."

Pria itu tak bisa mengelak dan segera mengayuh sepedanya sambil diam-diam tersenyum senang. Ia tahu Grace takkan mungkin memperpanjang masalah lagi, terlebih keadaannya sedang terjepit.

Saking kencangnya bersepeda, dalam sekejap saja mereka tiba di depan sebuah gedung bertingkat, Universitas unggul Cove Hartley, kampus tempat mereka kuliah. Keduanya memasuki pagar besi disertai dengan beberapa orang lainnya.

"Kita tepat waktu! Jika sampai terlambat sedikit saja, mungkin kita akan terkurung di luar gerbang," ujar Grace sambil melihat ke belakang, beberapa orang lainnya tengah berlarian karena tak ingin terlambat.

Gadis itu menghela nafas lega, dan merasa dirinya beruntung karena bisa terhindar dari hukuman. "Kakak Ethan, makasih banyak loh! untung ada kakak, coba kalau tidak, aku akan terlambat hari ini. Aku masuk duluan ya..." Grace menepuk pundak pria itu dengan keras sebelum pergi meninggalkannya begitu saja, gadis itu tanpa peduli kalau pukulannya tadi membuat Ethan meringis kesakitan.

"Huh! Kalau tahu begini lebih baik aku membiarkannya jalan sendirian." Ethan menggerutu kesal setelah mendapat perlakuan begitu. Itu karena dirinya masih harus memarkirkan sepedanya, sementara punggung gadis itu malah tak terlihat lagi.

"Ethan..." seseorang memanggil namanya sambil melambai pada Ethan, saat menoleh orang itu malah datang menghampirinya. "Leon?"

"Kamu sendirian? Dimana adikmu? Bukankah kamu biasanya selalu pergi barengan sama Grace?"

Ethan melebarkan bibirnya karena malas menjawab, bahkan saat Leon berbicara panjang lebar padanya matanya fokus pada jalan yang akan dilaluinya. Namun, tiba-tiba mereka berhenti. Sosok seorang gadis cantik dengan mata biru, rambut yang ikal dan pita bandana di rambut, terlihat berjalan dengan disertai beberapa pasang mata yang juga menatapnya dari kejauhan.

"Dia cantik bukan?"

Ethan, tak bergeming begitu di tanyai dan bahkan dia membuang muka sambil berbicara sendiri. "Jika di bandingkan Grace, masih kalah jauh..."

"Apa?"

Bab 2 Pertemuan pertama

Ethan mengalihkan topik obrolan mereka ketika mendapat respon yang besar dari temannya, beruntungnya Leon tak bartanya lagi dan malah benar-benar mengganti topik obrolan mereka.

"Ethan, ayo masuk! dosen udah datang..." Tiba-tiba Leon panik dan menarik temannya sambil bergegas menuju sebuah ruangan yang di penuhi oleh para mahasiswa jurusan Sains biologi,

Sebelum benar-benar duduk, Ethan meluaskan pandangannya mencari tempat kosong, saat itu matanya terfokus pada salah satu kursi yang berada di sudut paling belakang. "Disana..."

Entah kenapa kali ini Leon yang selalu tak sependapat dengan Ethan kini malah setuju saja tanpa berkomentar. Anehnya wajahnya kini malah terlihat berseri, terlebih lagi saat matanya melirik sesosok gadis yang tak asing dan berada tak jauh dari mereka. "Makanya aku bilang di sini lebih baik karena..."

Ehhmm... Suara deheman terdengar, Leon tak jadi bicara dan memilih diam daripada dia harus di tegur untuk kesekian kalinya oleh Juliana, seorang dosen bergelar S3 yang kebetulan usianya masih terbilang muda dan cantik.

Juliana tampak membawa banyak buku yang memiliki ketebalan sekitar 150 halaman. Leon menyenggol lengan Ethan, lalu berbisik. "Kurasa dosen Juliana berkepribadian sama dengan orang yang kukenal, apa kamu juga merasa begitu?"

"Ya, kurasa begitu..."

Di sisi lain Grace berjalan dengan tergesa setelah selesai membuat duplikat tugasnya, di tengah jalan ia membuka tas dan memasukkan hasil duplikat tadi ke dalamnya.

Namun, terlalu asyik berjalan, membuatnya tak menyadari kalau di depannya ada orang yang tengah melakukan potret dengan kameranya. Brukk... Tanpa sengaja mereka bertabrakan hingga Grace jatuh tersungkur ke lantai.

Gadis itu meringis kesakitan, ia mengusap pantatnya sambil berusaha berdiri, berharap orang yang di depannya akan menolongnya, namun ternyata tidak seperti yang di bayangkan. Bukannya di tolong, Grace malah mendapat sorotan tajam dari pria itu. "Hei, kalau jalan lihat-lihat dong, kamu nggak punya mata ya? Lihat, kamera rusak gara-gara kamu..." ujarnya kesal.

Grace menjadi takut dan pucat seketika saat melihat sesuatu yang telah berserakan di lantai. "Oh, tidak...!"

***

"Ah, lagi-lagi gadis bodoh itu lupa dengan buku tugasnya." Ethan mengeluh kesal ketika dia tanpa sengaja melihat buku milik Grace malah berada dalam tasnya, kebetulan saat ini ia masih sibuk mencari alat tulis yang akan digunakannya.

"Tapi bagaimana aku akan tenang jika buku ini masih apa padaku?" Sekilas Ethan menatap benda yang seluas dua jengkal itu sambil berpikir, kemudian ia menarik nafas dalam-dalam seperti sedang merencanakan sesuatu.

"Kenapa kamu bro?" Leon bertanya saat mendapati temannya itu berdiri dari bangkunya. "Biasa, mau ngantarin ini sama si ceroboh. Aku yakin pasti sekarang dia kebingungan sekarang..."

"Maksudmu Grace?"

Ethan mengangguk, namun siapa sangka kalau tiba-tiba Leon langsung merebut buku itu dari tangannya, "Biar aku saja, kebetulan aku mau membeli sesuatu di luar."

"Tapi..." Leon malah melambaikan tangannya sebelum keluar pintu, jadi Ethan tak dapat melanjutkan perkataannya dan memilih kembali duduk.

"Sudahlah, mungkin ini lebih baik. Jadi aku tak perlu buang-buang waktu untuk itu." batinnya dalam hati.

Leon berjalan pelan sambil bersenandung kecil dan benda yang kini terselip di balik jaket yang dia pakai. Tak jauh dari sana, matanya terfokus pada sebuah objek di depannya, hingga langkahnya jadi tertunda. "Grace? Sedang apa dia?" Leon penasaran dan menghampirinya ke sana.

"... Kamu punya mata nggak sih? Kalau jalan perhatikan kiri kanan, untung yang kamu tabrak itu bukan tembok..." Seorang pria terlihat tengah memarahi gadis yang berdiri dengan muka sayu di depannya. Leon menyimak obrolan mereka dengan mengintip di balik pohon bunga kertas yang berada di antara mereka.

"Maaf aku benar-benar tak sengaja... biarkan aku coba memperbaiki kameramu." Gadis itu tampak berkata dengan wajah penuh keraguan.

"Grace?" Suara Leon membuat dua orang yang sedang bertengkar itu menoleh padanya. "Ada apa Grace?Kenapa kamu begitu ketakutan?" Ia mendekati mereka karena penasaran.

Grace terlihat gugup dan cemas, ragu-ragu ia berusaha untuk menjelaskannya. "Anu... Itu..."

"Dia menabrakku sampai kameraku jatuh, aku yakin benda itu tak berfungsi lagi karena dia!" Tukas Pria berambut ikal dengan topi di kepalanya. Ia bahkan memungut bagian kameranya yang patah itu sambil menggerutu.

Grace tak berani menatap dua orang di depannya, bahkan Leon sebenarnya juga tahu, kalau Grace memang suka ceroboh. Namun soal kamera...

Leon beralih menatap pada gadis yang masih berdiri dengan cemas di tempatnya, alisnya berkedut seperti sedang berpikir. "Benar yang dia katakan barusan, Grace?"

Gadis itu tak menghindar, dan mengangguk perlahan, satu sisi dia malu karena sifat cerobohnya terlihat di depan cowok yang di sukainya sejak lama, "Bagaimana ini? Aku takut nanti Leon akan membenciku. Tapi... Aku benar-benar tak sengaja menabraknya." Gumamnya dalam hati.

Grace menarik nafas berat. "Maafkan aku..." Hanya dua kata itu yang terlontar dari bibirnya dan kemudian gadis itu menggigit bibirnya, merasa harap-harap cemas akan jawaban Leon setelah ini.

"Baiklah, jika memang begitu, coba kulihat kameramu. Aku akan coba perbaiki dan mengembalikannya padamu besok."

Orang itu malah mendengus, "Memperbaikinya? Memangnya kamu bisa? Ini barang edisi terbatas. Kamu tak mungkin bisa memperbaikinya." Ejak pria itu sambil tersenyum mencemooh.

"Jika mereka menciptakan tanpa bisa di perbaiki buat apa? Cepat bawa saja kemari..." ujarnya sedikit memaksa.

"Tapi..." rasa ragu masih hinggap pada pria itu, lama menunggu membuat Leon terpaksa merebutnya.

"Awas jika rusak, kamu harus bertanggung jawab dan menggantinya yang baru..." ucapnya yang masih tak terima dengan paksaan ini.

"Sepakat... besok akan kukembalikan padamu." Leon segera mengajak Grace pergi dari sana tanpa peduli dengan ocohen yang terdengar dari mulut si pemilik kamera itu,

"Makasih bantuannya Kak Lee, untung kamu datang tepat waktu, jika tidak aku benar-benar tak bisa keluar dari masalah tadi." ungkap Grace, saat mereka di tengah jalan. Gadis itu melihat ke sekeliling, kelas jurusannya masih di jarak beberapa meter dari sana.

Namun pria yang di hadapannya sekarang hanya tersenyum, itu membuat Grace berbunga-bunga. "Lagipula kenapa kamu begitu ceroboh? bagaimana jika Ethan tahu tentang masalah ini, kalian pasti akan kembali bertengkar." ungkap Leon sambil menaikkan sebelah alisnya.

Grace hanya menatapnya tanpa berkedip, entah apa isi pikirannya hingga ia terhanyut dalam lamunannya secara tiba-tiba.

"Oh, aku lupa. Sebenarnya sejak tadi aku mencarimu dan ingin mengantarkan sesuatu." Leon segera mengeluarkan benda yang dia maksud dari saku jaketnya. "Nah, ini..."

"Buku tugasku..., untung saja..." Gadis itu terlalu senang hingga teriakannya yang sangat antusias membuat beberapa orang melihatnya.

"Ehhmm..."

Grace segera menoleh ke belakangnya dan begitu kaget saat melihat seorang dosen yang sedang berdiri sambil melipat tangannya ke atas dada.

"B-Bu, Shopia... Aku..."

"Segera masuk..."

Bab 3 Saat makan di kantin

Pukul 10.15, waktu istirahat di Kantin kampus…

Ethan menatap pada sosok gadis yang duduk tidak jauh dari tempatnya, ia bahkan begitu asyik dengan aktifitasnya, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

Beberapa orang gadis tampak mencuri pandang kearahnya! Bukan hal yang aneh karena selain pintar, Ethan juga memiliki wajah dan postur tubuh di atas rata-rata. Tak heran begitu banyak gadis yang ingin mendekatinya dan berharap menjadi kekasihnya.

Dengan nilai IPK tertinggi, Ethan selalu diberi kepercayaan untuk mengikuti berbagai kompetisi yang membuat kampus tempatnya menimba ilmu menjadi Universitas terbaik di tahun ini.

Sempurna! Sepertinya pria itu memiliki keberuntungan yang di anugrahi sang illahi padanya.

Tapi berbeda dengan gadis itu yang kini sedang di perhatikannya, sifat ceroboh dan keras kepala bahkan sudah melekat dalam namanya, bukan hanya itu, sang gadis belakangan selalu mendapat nilai di bawah standar, terkadang fokusnya juga begitu sulit di kendalikan hingga otaknya sedikit sulit menangkap beberapa materi.

Namun, dalam hal membaca jangan di tanya lagi, ia selalu menjadi orang pertama yang tiba di perpustakaan dan keluar dengan membawa banyak buku bacaan.

Cerita fiksi, salah satu hobinya yang membuatnya selalu menatap pada lembaran kertas yang berisi berbagai imajinasi dan khayalan dari para penulisnya.

"Grace… apa itu tak membosankan? Kamu membaca cerita konyol itu hingga pagi buta semalam." Ethan bergerak mendekati gadis itu dengan suara nyaring.

Grace, mendongak dan kaget, namun saat itu juga ia berekspresi datar tanpa mempedulikan keberadaan Ethan. Pria itu merasa kesal, padahal diam-diam ia mengagumi sosok Grace. Sayangnya, ia tak memiliki berkesempatan mengobrol lebih dekat lagi dengannya, karena seseorang malah muncul dan menyelonong, duduk di antara mereka berdua. "Ternyata aku tidak sendiri di sini."

"Leon... Kenapa kamu tiba-tiba kemari?" tanya Ethan dengan nada kesal, sementara Grace segera meletakkan buku cerita fiksi yang sejak tadi dia pegang, saat pria gebetannya muncul di sana.

Bagi Leon, ia tak merasa salah. "Kenapa kamu melihatku begitu? Grace bahkan tak keberatan jika aku duduk bergabung di sini."

Ethan menggertakkan giginya menahan kesal, terlebih lagi melihat Grace yang malah tersenyum senang, dan bahkan sangat manis di lihat.

"Ethan, kamu tak lapar? kenapa kamu bertahan tanpa makanan di tempat ini, atau aku akan membantu kamu memesannya, tapi... harus ada imbalannya..." Leon berkata sambil terkekeh.

Ethan memasang muka sebal, sambil membesarkan matanya pada pria yang berkata dengan seenak jidat menurutnya.

"Ah, benar juga. Aku akan segera memesannya. Tapi..., kebetulan dompetku tertinggal di rumah, jadi aku minta bantuanmu dulu." sahutnya yang tiba-tiba melebarkan bibirnya seolah semua itu sudah terpikirkan olehnya.

Helaan nafas kasar terdengar, sorot mata Leon yang sebelumnya ingin mengerjai mereka, dirinya malah balik di kerjai. "Dasar Ethan...!"

Sampai pesanan mereka tiba, Ethan terfokus pada box yang kebetulan di taruh di hadapan Grace. Kebetulan gadis itu begitu antusias dan ingin segera menggapainya. "Apa ini? Kalau punya makanan enak harus di bagi dong, sini..."

Ethan malah mengambilnya lebih dulu hingga raut wajah Grace langsung berubah. Ekspresi kesal sekaligus kecewa terlihat.

"Ethan, aku mau..."

Tapi semuanya terlambat, tanpa persetujuan, pria itu membukanya kemudian melahapnya tanpa permisi.

Sedangkan saat ini ekspresi Grace berubah, dengan wajah yang di tekuk cemberut sambil menahan emosi yang tak ingin di keluarkan di depan pria itu.

"Hei, bukankah itu... menu kesukaannya Grace yang sengaja aku pesan? Kenapa malah kamu comot tanpa izinnya?" tanya Leon yang sadar akan hal yang di depannya. Pria itu menatap temannya dengan kesal.

Namun, Ethan tak mempedulikannya dan terus asyik dengan menu pasta super pedas setingkat mie instan ala Korea. Leon sampai geleng-geleng kepala di buatnya. Pasalnya, jika menarik paksa box itu, percuma.

Leon juga bukan orang sembarangan yang tega memberikan makanan bekas atau sisa orang lain pada temannya. "Huh! Dasar, Ethan memang sembarangan..."

Leon berencana kembali memesan menu yang sama, saat dirinya akan memanggil ibu penjual kantin, dengan cepat Grace menahannya. "Tak usah kak Lee, lagipula kebetulan aku lagi sakti gigi, jadi nggak bisa makan pedas." tolaknya secara halus, Leon merasa ucapan Grace terlihat meyakinkan, maka ia mengurungkan niatnya dan memberikan porsi miliknya untuk Grace.

"Halah... Sok perhatian banget kamu. Kalau mau traktir, jangan setengah-setengah, harus sampai puas." Pandangannya mengarah pada piring melamin pemberian Leon pada Grace.

"Lee, kenapa kamu kasih dia spaghetti cum..."

Belum sempat melanjutkan ucapannya, Grace malah berinisiatif menarik piring tadi dan segera menyantapnya tanpa rasa ragu.

"Grace kau...."

"Ssttt! Jangan berisik...!"

Demi orang yang di sukainya, Grace tak akan menghindari pantangan bahkan sekalipun itu membuatnya mendapat resiko.

Pada beberapa detik berikutnya, setelah Grace makan sepiring spaghetti cumi-cumi tadi, tiba-tiba ia merasakan seluruh tubuhnya terasa gatal yang hebat. Sebisa mungkin di tahan, namun tetap saja tak bisa. "Aku... aku ke kamar kecil dulu."

Langkahnya terburu-buru meninggalkan meja kantin, Leon penasaran dan mengalihkan pandangannya pada Ethan. "Grace kenapa bro?"

Pria yang ditanyai tak menggubris dan malah menyeringai melihat punggung gadis yang mengarah ke kamar kecil di kantin itu. "Nekat banget sih!" Gerutunya kesal.

"Ada apa sih? Kok gitu amat liatin si Grace, apa jangan-jangan dia tanggal merah?"

"Grace bukannya M, tapi dia itu alergi sama cumi-cumi." Ethan tampak menyudahi makannya dan meneguk gelas berisi air, kemudian dia tampak buru-buru untuk pergi.

"Terus kamu mau kemana?" tanya Leon, seolah dirinya tampak bodoh,

"Kamu nggak lihat semua badannya gatal-gatal? sekarang dia pasti sibuk menggaruk di kamar kecil." Ethan menarik nafas sejenak. "Aku harus pergi ke apotik membeli obat untuknya."

Ethan mengabiskan sisa minumannya tadi sebelum pergi, "Tunggu aku ikut!" tahan Leon yang juga bersiap meninggalkan tempat itu.

Bisa di bayangkan ekspresi Ethan saat ini, menunggu merupakan hal yang paling menjengkelkan baginya. "Ingat, jangan lupa bayar, aku lagi nggak bawa uang loh!"

"Jangan banyak omong kamu..." Leon mengeluarkan ponselnya dan segera melakukan pemindaian kode QR begitu mereka tiba di meja kasir. "Ethan..."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!