Oh, My Doctor!

Oh, My Doctor!

Dipecat

Menggunakan kemeja berwarna putih, dengan bagian lengan digulung hingga siku. Meriana Lindsey sudah bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Wanita berusia 27 tahun itu mendapatkan kesempatan menjadi dokter utama dalam sebuah operasi di tahun kedua masa residennya.

Menghela napas pelan dan mengembuskannya sebelum keluar dari kamar.

“Dareen, kakak pergi dulu, ya!” teriak Meriana pada adiknya.

“Kak, kau harus sarapan dulu.”

“Tidak sempat.”

Seorang pria berusia sekitar 19 tahun datang menghampiri Meriana yang akan pergi dengan sebuah gelas berisi susu di tangannya dan satu slice roti.

“Minumlah ini kalau begitu.” Dareen menyodorkan gelas berisi susu ke hadapannya.

Sadar kalau Dareen tidak akan menyerah, Meriana akhirnya meraih susu di tangan adiknya dan meminumnya hingga menyisakan setengah.

“Ini juga.” Dareen menyerahkan satu slice roti ke tangan kakaknya. “Kau tidak boleh mengoperasi dengan perut kosong, Kak!”

“Baiklah, Dareen, kakak pergi dulu...”

Menyambar roti di tangan adiknya, Meriana langsung pergi meninggalkan rumah sewanya. Dareen masih menggerutu tidak jelas, tapi dia mengabaikannya begitu saja.

Meriana berlari menuju halte bus. Meski masih banyak waktu sampai jam operasinya dimulai, tapi dia ingin lebih dulu sampai di rumah sakit supaya bisa kembali mempelajari semuanya. Dia juga harus memastikan kondisi pasiennya sebelum masuk ke ruang  operasi. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun dalam operasinya nanti. Kalau tidak, karirnya yang dipertaruhkan.  

Saat di tengah perjalanan, sebelum sampai di halte bus. Meriana tidak sengaja melihat seorang perempuan keluar dari sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Wanita itu terlihat kesakitan dan memegangi dadanya. Tidak lama kemudian, wanita itu terjatuh di samping mobilnya,  tidak sadarkan diri.

Meriana segera menghampirinya. “Nona!” panggilnya, “Nona, bangunlah!” Sekali lagi, Meriana memanggil wanita yang tidak sadarkan diri itu.

Menyadari kalau wanita itu pingsan. Meriana segera bertindak. Dia berteriak meminta pertolongan, hingga dua orang  pria berseragam SMA datang menghampirinya. “Ada apa?”

“Dia pingsan. Bisa minta tolong bantu pindahkan ke pinggir. Saya seorang dokter,” ucapnya, seraya menunjuk ke arah trotoar. Dua orang anak SMA itu segera melakukan apa yang dikatakan oleh Meriana, setelahnya keduanya menyingkir untuk memberikan ruang pada Meriana untuk memeriksa.

“Tolong panggilkan ambulans.”

Meriana segera memeriksa pernapasan, denyut nadinya, dan juga detak jantungnya. Setelah dilakukan pemeriksaan dasar, Meriana menyadari jika wanita di hadapannya mengalami serangan jantung. Wanita itu bahkan sudah tidak meresponnya saat ia mencoba memanggil.

Meriana segera memposisikan kepalanya untuk melancarkan saluran pernapasannya saat ia akan melakukan CPR. Akan tetapi, saat dirinya hendak menekan bagian dada wanita tersebut. Seorang pria tiba-tiba saja datang dan mendorongnya. “Hei, apa yang kau lakukan pada temanku?” teriaknya setelah membuat Meriana terjerembab ke belakang. “Kau mau membunuh temanku, hah!” bentak seorang pria pada Meriana.

“Xena, bangunlah! Apa yang terjadi? Jangan membuatku takut?” Pria itu mengguncang tubuh gadis di hadapannya yang tidak sadarkan diri. Lalu menghadap ke arah Meriana dengan marah. “Apa yang kau lakukan pada temanku, hah?” bentaknya dengan tatapan tajamnya, seolah hendak memakan Meriana hidup-hidup.

Meriana langsung bangun. “Dia mengalami—“

“Kalau sampai dia kenapa-kenapa. Aku akan memastikan kau mendapatkan ganjarannya!” ancamnya, lalu pria itu kembali menghadap temannya yang tidak sadarkan diri dan menggendongnya begitu saja.

“Tuan, temanmu harus mendapatkan pertolongan pertama terlebih dahulu. Biarkan aku melakukan CPR. Aku adalah dokter.” Meriana menunjukkan kartu tanda pengenalnya.

“Sudah kubilang hentikan!” Pria itu berteriak. “Aku sama sekali tidak akan pernah melepaskanmu jika terjadi sesuatu padanya.” Setelahnya, dia membawa tubuh gadis yang tidak sadarkan diri itu, masuk ke dalam mobilnya. Pria itu bahkan sempat mendorong Meriana dengan tubuhnya sebelum ikut masuk ke dalam mobil, hingga gadis berusia 27 tahun itu kembali terjatuh.

Meriana berusaha untuk kembali berdiri, tapi kakinya terasa sakit karena ternyata dia terkilir akibat dorongan yang kuat dari laki-laki tersebut. “Tuan!” teriakan Meriana tidak diindahkan, pria itu membawa temannya pergi dalam keadaan tidak sadarkan diri.

“Kak, jangan mengejarnya. Biarkan saja.” Salah satu anak sekolah yang tadi membantunya berkata. “Setidaknya kita sudah mencoba menolongnya. Kalau sampai terjadi apa-apa, jelas dia yang harus bertanggung jawab.” Meriana memejamkan matanya, karena kakinya terasa berdenyut. Dia menghela napas pelan. “Kalian benar. Terima kasih sudah membantu.”

Kedua anak sekolah itu hanya mengangguk dan segera melangkah pergi. Meriana kembali berniat untuk melanjutkan perjalanannya ke rumah sakit, tapi kakinya semakin sakit saat digerakkan hingga ia terjatuh.

“Aaaawww!” Meriana memegangi kakinya yang sakit.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di sampingnya dan seseorang keluar dari dalamnya.

“Meriana!” Seorang pria berambut coklat turun dan berjalan cepat menghampiri Meriana. “Apa yang terjadi? Kenapa kau duduk di sini?”

“Kakiku...”

Pria tersebut menoleh pada kaki Meriana, dia mencoba menyentuhnya, tapi gadis berusia 27 tahun itu sedikit berteriak karena kesakitan. “Kakimu keseleo?”

Meriana mengangguk. “Aku terjatuh saat hendak menuju ke halte bus.”

Pria itu menghela napas dalam. “Bisakah kau tidak terus melukai dirimu sendiri? Coba luruskan kakimu, aku akan—“

“Andrew, aku tidak punya waktu. Hari ini ada operasi dan aku yang akan menjadi dokter utama. Ini kesempatan pertamaku.”

“Operasi? Kau tidak bisa melakukan operasi dengan kondisi kaki seperti ini? Bagaimana caranya kau berdiri?”

“Aku yakin, aku bisa. Ini kesempatan pertamaku.” Meriana berkata setengah memohon, membuat Andrew, temannya, seorang dokter psikiatri yang bekerja di rumah sakit yang sama dengannya langsung menyerah.

“Hah... baiklah, kita akan pergi sekarang. Tetapi, sebelum kau ke ruang operasi, kau harus membalut kakimu terlebih dahulu.”

Meriana hanya bisa mengangguk. Sesungguhnya, kakinya sekarang terasa semakin sakit. Andrew memapah Meriana menuju ke dalam mobil dan segera melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit. membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai di rumah sakit.

Begitu sampai, Andrew langsung membawa Meriana menuju ke UGD supaya wanita itu mendapatkan perawatan dengan cepat. Namun, nasib sial gadis tidak cukup dengan cedera di kakinya. Pria yang tadi membuat kakinya terluka ternyata juga datang ke rumah sakit tempatnya bekerja. Pria berusia sekitar 30 tahunan itu terlihat berdiri tidak jauh dari tempat tidur pasien. Keadaannya terlihat sedikit berantakan.

Menangis?

Apakah pria itu menangis.

“Mer, duduk dulu di sana. Aku akan memanggilkan dokter yang berjaga.”

Meriana mengangguk, lalu dia melangkah, masih dengan bantuan Andrew, temannya. Baru saja dia akan duduk, pria tadi yang membuat kakinya terluka melihat ke arahnya dan tatapan mereka saling bertemu.

“Dia!” teriak pria yang belum diketahui namanya itu. “Dialah yang membunuh Xena. Wanita itu yang membuat Xena jadi seperti ini.” Pria itu menuding Xena dengan telunjuknya, membuat semua orang melihat ke arahnya.

“Tuan tenanglah. Semuanya bisa kita bicarakan.”

Pria itu menoleh pada dokter yang baru saja berbicara. “Bicara kau bilang? Lihatlah, gara-gara dia temanku mati.”

Adrenalin Meriana tersentak saat dia mendengar hal itu. Dia menggelengkan kepalanya, lalu mencoba untuk melangkah, tapi kakinya terlalu sakit dan dia kembali terjatuh. Masih terduduk, dia berkata, “Aku sama sekali tidak melakukannya. Aku hanya ingin—“

“Aku ingin kau memecat pembunuh itu sekarang juga! Kalau kau tidak melakukannya, kau yang akan kehilangan karirmu,” ucap pria itu. “Kau tahu siapa dia, kan? Dia adalah putri direktur rumah sakit ini.”

“Tidak, Dok, aku bisa menjelaskan semuanya. Aku—“

“Hentikan, Meriana!” Dokter yang berdiri di samping pria yang menuduhnya pembunuh berkata tegas. “Beruntung kau tidak dilaporkan ke polisi, karena direktur sendiri yang memintanya. Mulai hari ini kau tidak bisa lagi menjadi dokter di sini. Kau dipecat!”

Seperti ada guntur yang baru saja meledak di dalam kepalanya mendengar dirinya dipecat. Meriana merasa hidupnya hancur dalam waktu singkat. Karir yang susah payah ia bangun dengan keringat dan air mata dan sekejap hilang dari genggamannya. Semua karena tuduhan pria di hadapannya yang menuduhnya membunuh pasien tanpa mencari tahu yang sebenarnya terjadi.

“Mer,” panggil Andrew, rekan Meriana yang tadi membantunya sampai di rumah sakit. “Bangunlah. Aku yakin semuanya bisa diperbaiki, kita akan mencoba mencari bukti kalau kau tidak bersalah.” Andrew menenangkan.

Sebelum Meriana menjawab ucapan rekannya. Dokter yang baru memecat Meriana, yang tak lain adalah Dokter Luke, wakil direktur. Menghampiri mereka berdua. “Bawa dia ke ruang konferesi!” perintahnya, lalu melangkah pergi begitu saja.

“Baik, Dok.” Andrew mengangguk, lalu membantu Meriana bangkit dari duduknya. “Ayo, aku akan membantumu.” Pikiran Meriana terasa kosong. Dia hanya melakukan apa yang dikatakan Andrew dan mengikuti, ke mana pria itu membawanya.

Menunggu di ruang konferensi hampir setengah jam, Meriana hanya diam dan menatap kosong ke sembarang arah. Pikirannya saat ini melayang entah ke mana. Berselang beberapa saat, Dokter Luke, wakil direktur rumah sakit datang menghampiri mereka.

“Dokter Luke, apakah kita tidak bisa mempertimbangkannya lagi? Kita bisa mencari bukti CCTV untuk membuktikan kalau Meriana tidak bersalah.” Andrew berkata.

“Dia sudah tidak memiliki lagi kesempatan. Yang meninggal itu adalah putri direktur rumah sakit ini dan pria yang tadi berbicara adalah putra pemilik saham terbesar rumah sakit ini.”

Andrew terkejut mendengar hal itu, dia menoleh pada Meriana yang masih diam dengan tatapan kosong. Dirinya merasa prihatin dengan wanita itu. Bagaimanapun, dirinya bukan hanya sekedar rekan kerjanya, tapi juga dokter psikiater pribadi Meriana selama ini. Ya, gadis itu memiliki permasalahan dengan mentalnya, yang disebabkan trauma masa kecil

“Jadi, tidak peduli kau benar atau salah. Keputusannya tetap sama.” Dokter Luke menoleh pada Meriana. “Dokter Meriana, mulai hari ini Anda dipecat dari rumah sakit ini.”

Setelah mengatakan itu, Dokter Luke melangkah pergi meninggalkan ruang konferensi. Sedangkan Meriana masih tidak bereaksi apa-apa.

Kondisi yang tidak karuan bukan hanya dialami oleh Meriana, tapi juga oleh pria yang membuatnya dipecat. Pria itu kini duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan UGD dengan rambut yang berantakan dan juga mata yang memerah karena menangis. Dirinya tidak menyangka akan kehilangan sahabat baiknya secepat itu.

“Juan, Xena akan segera dipindah sekarang. Kau mau mengantarnya?”

Pria yang dipanggil Juan itu mengangkat wajahnya dan mengangguk, lalu berdiri, dan melangkah pergi mengikutinya. Dia juga merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi teman baik Satu-satunya itu.

 

Terpopuler

Comments

Feeza_MCI

Feeza_MCI

jangan sampai menyesal kamu Juan dan Dokter Luke Krn menuduh Meriana tanpa bukti

2024-05-30

0

Pendak Wah

Pendak Wah

Assalamualaikum thorr,, ini Novel yg ke 3 aku baca. Aku suka Karyamu Thorr Sehat sll ya

2024-05-13

1

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

Ahhhh lg sebel ma Abimanyu..
melipir jg la kesini..
ok, kak Kunay..... ☺

2024-01-16

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!