Seperti tahun-tahun sebelumnya. Meriana selalu datang ke rumah besar keluarga Brown sekedar untuk mengintip perayaan besar ulang tahun si kepala keluarga.
Bukan karena merindukan ayahnya, tapi sebagai pengingat kalau masih ada orang-orang yang berbahagia di atas penderitaannya. Mereka adalah Diana Becker, selingkuhan ayahnya dan juga Erick Brown, putranya.
Keduanya datang ke rumah itu untuk menyingkirkan Meriana dan juga ibunya.
Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya juga, setiap kali Meriana melihat mereka semua tertawa bahagia, dia akan pulang dalam keadaan mual hebat. Itu adalah reaksi tubuhnya setiap kali kembali ke rumah itu.
Seperti saat ini, Meriana kembali ke rumahnya dengan kepala pening dan juga perutnya yang mual.
Wanita berusia 30 tahun itu berlari masuk ke dalam rumahnya dan langsung memuntahkan seluruh isi perutnya di kamar mandi.
Meriana sampai terduduk di lantai kamar mandi karena merasakan kepalanya yang semakin pusing.
"Kak, apa kau baik-baik saja?" Suara Dareen dari luar terdengar, tapi Meriana tidak sanggup menyahut. Dia masih menundukkan kepalanya di samping kloset.
Dareen memanggil kakaknya untuk yang kedua kali, tapi masih tidak ada jawaban. Pria berusia 22 tahun itu langsung membuka pintu.
“Kak.”
Dareen mematung di depan pintu kamar mandi yang terbuka, dia menggeleng dan menghela napas berat.
“Kak, kenapa kau selalu melakukan ini? Apa kau tidak lelah?”
Puluhan atau mungkin sudah ratusan kali Dareen mengingatkan Meriana untuk menghentikan kebiasaan buruknya—datang ke rumah ayah kandungnya hanya untuk melihat orang-orang itu tertawa bahagia setiap kali bertambahnya usia.
“Apa kau baru akan berhenti setelah mereka mengetahui keberadaanmu, lalu menyeretmu, dan mengurungmu di suatu tempat. Kau pikir penyihir itu akan diam saja?” gerutu Dareen yang tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan kakaknya.
Untuk beberapa saat, Meriana hanya diam dan tertunduk. Dia berdiri setelah merasakan tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan dari dalam perutnya.
Meriana membasuh area mulutnya dan menyekanya dengan tisu yang diletakkan di atas wastafel.
“Aku tidak akan berhenti, sebelum aku mati,” ucap Meriana, lalu melangkah melewati Dareen untuk keluar dari kamar mandi.
“Astaga! Kau benar-benar mau mati di tangan penyihir itu?” tanya Dareen seraya menyusul kakaknya. “Apakah hari ini kau bertemu dengannya?” tanyanya lagi. “Katanya dia sudah kembali dari Amerika. Cih, ternyata dia masih punya rasa takut.”
Meriana yang kini duduk di kursi meja makan dan meneguk air putih langsung menetap adiknya dengan kening berkerut. “Apa maksudmu?” tanya Meriana bingung. Dia meletakkan gelasnya yang sudah kosong dengan tetap mempertahankan tatapannya pada sang adik.
“Kakak pikir baik-baik. Sudah berapa lama mereka masuk ke dalam keluarga Brown?” Dareen mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan jarinya. “Dua puluh tiga tahun bukan? Tapi sampai detik ini pun tidak ada yang tahu seperti apa rupa Erick Brown, si pewaris itu.”
Meriana membisu mendengar ucapan Dareen, yang dikatakan adiknya itu benar. Bahkan setiap kali dirinya datang ke acara pesta ulang tahu ayahnya secara diam-diam, dia tidak pernah melihat keberadaan anak selingkuhan ayahnya, yang katanya akan menjadi pewaris kerajaan bisnis ayahnya.
Akan tetapi, Meriana sungguh tidak ingin memikirkan hal itu. Dia lagi-lagi menatap adiknya dengan intens. “Seharusnya kau yang muncul di publik dan katakan pada semua orang kalau kau adalah pewaris keluarga Brown. Tidak akan sulit untuk membuktikannya. Kau hanya perlu membawa hasil tes DNA” Meriana tertawa. “Sedangkan Erick Brown yang asli hanya akan terus bersembunyi.” Meriana mengangkat bahunya acuh seolah itu bukan sesuatu yang besar.
Dareen langsung menunjukkan ekspresi jijiknya seperti biasa setiap kali kakaknya mengatakan hal itu. “Maaf, ya, aku pewaris utama kekayaan kekayaan Tuan Kendrick Johnson. Dialah ayahku yang sangat menyayangiku. Siapa itu keluarga Brown?”
Mariana bangkit dari duduknya dan menepuk pundak Dareen. “Kau beruntung tidak sempat mengenal tua bangka seperti Anthony.”
Mendengar hal itu Dareen langsung mengubah ekspresi wajahnya, rasa bersalah menguasai dirinya. Dareen seperti sedang pamer kebahagiaannya pada Meriana karena memiliki orang tua yang sangat baik, padahal Meriana baru saja mengalami saat-saat yang berat setelah melihat ayahnya dan selingkuhannya setelah tiga tahun.
Selain itu, pertanyaan Dareen terakhir jelas menyinggung perasaan kakaknya. Padahal, pada kenyataannya mereka berdua sama-sama memiliki darah keturunan keluarga Brown. Hubungan yang sangat rumit, tapi begitulah adanya.
Dareen yang hendak membuka mulutnya kembali mengurungkan niat saat melihat Meriana yang menerima sebuah telepon dan mengangkatnya.
“Halo?”
“....”
“Sekarang kau di mana?”
Diam mendengarkan.
“Dekat pantai? Baiklah, aku akan segera menyusulmu ke sana. Dalam sepuluh menit aku akan sampai.”
Dareen langsung bertanya saat melihat kakaknya mengenakan jaketnya kembali.
“Ada apa?”
“Ada kecelakaan di dekat pantai. Kebetulan Arthur sedang berada di sana dan dia membutuhkan bantuan.”
“Aku ikut.”
Meriana mengangguk, lalu keduanya berlari keluar dari rumah mereka.
Setelah tiga tahun dirinya dipecat sebagai dokter. Kini Meriana bekerja di sebuah rumah sakit kecil yang tidak jauh dari rumahnya sebagai para medis.
Meriana sudah mencoba untuk melamar ke beberapa rumah sakit, tapi yang didapatnya hanya penolakan mentah-mentah. Entah apa yang terjadi. Meriana hanya bisa pasrah merelakan karirnya.
Sekarang, dia hanya bisa mengendarai sebuah ambulance untuk menyelamatkan orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis untuk menuju ke rumah sakit.
***
Di tempat lain, di rumah keluarga Brown. Sesaat setelah Meriana pergi dari rumah itu, Juan kembali dengan raut kecewa karena dia gagal mengejar wanita yang dianggap Sara olehnya, anak kandung ayah tirinya.
Saat itu, Leon merasa lega karena Juan gagal mengejar nona mudanya. Pria paruh baya itu hanya berkata. “Tuan Erick, tidak mungkin Nona Sara datang ke rumah ini. Untuk apa? Sudah 23 tahun dia keluar dari rumah ini. Sudah tidak ada tempat untuknya di sini.”
Ada sindiran tersirat di setiap kata yang diucapkan Leon pada pria itu.
Juan langsung menatap marah pada Leon. “Paman Leon, ini adalah rumahnya. Akan selalu ada tempat untuknya. Meski aku bukan kakak kandungnya, tapi aku akan menganggap Sara sebagai adikku dan memberikan semua yang telah aku ambil darinya,” ucap Juan, “Itu sebabnya, aku tidak akan menggunakan nama Erick Brown, sebelum menemukan keberadaan Sara.”
Setelahnya, dia meninggalkan Leon untuk bergabung dengan ibunya, merayakan ulang tahun ayahnya.
Lagi-lagi, untuk keseksian kalinya Juan menolak untuk muncul di depan publik, di depan kolega ayahnya. Alasannya hanya satu, dia tidak akan melakukan itu sebelum Sara kembali. Meski harus berdebat dengan ibunya dan harus mendengarkan ceramah ayahnya, Juan tetap kukuh dengan pendiriannya.
Begitu pesta usai, Juan bergegas meninggalkan rumah orang tuanya, tidak peduli ibunya berteriak marah padanya. Juan tetap memacu motor besarnya meninggalkan rumah keluarga Brown.
Meski Paman Leon mengatakan kalau Sara tidak mungkin datang ke rumah itu, entah kenapa Juan yakin kalau wanita yang ditabraknya tadi adalah Sara.
Mengingat hal itu, rasa bersalah semakin menguasai dadanya. Juan merasa kalau dirinya sudah menghancurkan kehidupan Sara dan ibunya. Bertahun-tahun lamanya Juan mencari. Dia belum juga mendapatkan titik terang.
Juan memacu motornya dengan kecepatan tinggi tanpa arah tujuan selama berjam-jam, hingga akhirnya dia sampai di sebuah kota kecil. Deburan ombak terdengar samar saat dia melewati sebuah pantai.
Juan berniat menghentikan motornya di pinggir jalan, tapi nahas dari arah belakangnya tiba-tiba sebuah mobil bak menabrak dirinya hingga ia terpental agak jauh ke depan.
Juan tidak sadarkan diri sampai ada beberapa orang yang mendekat untuk menyelamatkannya. Beruntung, sebuah ambulance melintas di jalan itu hingga dia dapat diberikan pertolongan pertama.
Karena petugas ambulance itu seorang diri, dia segera menghubungi rekannya yang kebetulan tinggal tidak jauh dari area pantai
Tidak sampai sepuluh menit, rekan petugas ambulance itu tiba dan segera membantu.
“Arthur, bagaimana keadaannya?”
“Tidak sadarkan diri.” Pria yang dipanggil Arthur itu menunjuk. “Sepertinya hanya kakinya yang terluka lumayan parah, aku sudah membalutnya. Sepertinya ada keretakan, kita harus memastikannya terlebih dahulu. Tanda vitalnya stabil. Selebihnya hanya luka-luka saja.”
Arthur menggelengkan kepalanya. “Aku menghubungimu, Mer, karena melihat posisinya terpental cukup jauh, takutnya ada masalah dengan sarap leher dan kepalanya. Ternyata tidak ada. Maaf, sudah mengganggu waktu istirahatmu, padahal kau sedang libur.”
Rekan Arthur yang tak lain adalah Meriana bernapas lega, dia menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah. Kau sudah melakukan hal yang benar.” Meriana menoleh pada adiknya. “Dareen, tolong bantu untuk menaikkannya ke ambulance.”
Dareen mengangguk, ketiga orang itu segera berjongkok untuk mengangkat tubuh Juan yang masih tidak sadarkan diri.
Begitu berjongkok di samping Juan, Meriana tertegun. “Dia... .”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Pendak Wah
Alur Cerita nya Seru thorr walaupun agak rumit sedikit
2024-05-13
0
Neng Nosita
kyknya bakal menarik nich ceritanya... semangat ya utk author 💪💪💪
2023-12-09
1
BCuan
kepo hubungan kekeluargaan Dareen sama Meriana dari mananya.
2023-12-09
1