NovelToon NovelToon

Oh, My Doctor!

Dipecat

Menggunakan kemeja berwarna putih, dengan bagian lengan digulung hingga siku. Meriana Lindsey sudah bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Wanita berusia 27 tahun itu mendapatkan kesempatan menjadi dokter utama dalam sebuah operasi di tahun kedua masa residennya.

Menghela napas pelan dan mengembuskannya sebelum keluar dari kamar.

“Dareen, kakak pergi dulu, ya!” teriak Meriana pada adiknya.

“Kak, kau harus sarapan dulu.”

“Tidak sempat.”

Seorang pria berusia sekitar 19 tahun datang menghampiri Meriana yang akan pergi dengan sebuah gelas berisi susu di tangannya dan satu slice roti.

“Minumlah ini kalau begitu.” Dareen menyodorkan gelas berisi susu ke hadapannya.

Sadar kalau Dareen tidak akan menyerah, Meriana akhirnya meraih susu di tangan adiknya dan meminumnya hingga menyisakan setengah.

“Ini juga.” Dareen menyerahkan satu slice roti ke tangan kakaknya. “Kau tidak boleh mengoperasi dengan perut kosong, Kak!”

“Baiklah, Dareen, kakak pergi dulu...”

Menyambar roti di tangan adiknya, Meriana langsung pergi meninggalkan rumah sewanya. Dareen masih menggerutu tidak jelas, tapi dia mengabaikannya begitu saja.

Meriana berlari menuju halte bus. Meski masih banyak waktu sampai jam operasinya dimulai, tapi dia ingin lebih dulu sampai di rumah sakit supaya bisa kembali mempelajari semuanya. Dia juga harus memastikan kondisi pasiennya sebelum masuk ke ruang  operasi. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun dalam operasinya nanti. Kalau tidak, karirnya yang dipertaruhkan.  

Saat di tengah perjalanan, sebelum sampai di halte bus. Meriana tidak sengaja melihat seorang perempuan keluar dari sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Wanita itu terlihat kesakitan dan memegangi dadanya. Tidak lama kemudian, wanita itu terjatuh di samping mobilnya,  tidak sadarkan diri.

Meriana segera menghampirinya. “Nona!” panggilnya, “Nona, bangunlah!” Sekali lagi, Meriana memanggil wanita yang tidak sadarkan diri itu.

Menyadari kalau wanita itu pingsan. Meriana segera bertindak. Dia berteriak meminta pertolongan, hingga dua orang  pria berseragam SMA datang menghampirinya. “Ada apa?”

“Dia pingsan. Bisa minta tolong bantu pindahkan ke pinggir. Saya seorang dokter,” ucapnya, seraya menunjuk ke arah trotoar. Dua orang anak SMA itu segera melakukan apa yang dikatakan oleh Meriana, setelahnya keduanya menyingkir untuk memberikan ruang pada Meriana untuk memeriksa.

“Tolong panggilkan ambulans.”

Meriana segera memeriksa pernapasan, denyut nadinya, dan juga detak jantungnya. Setelah dilakukan pemeriksaan dasar, Meriana menyadari jika wanita di hadapannya mengalami serangan jantung. Wanita itu bahkan sudah tidak meresponnya saat ia mencoba memanggil.

Meriana segera memposisikan kepalanya untuk melancarkan saluran pernapasannya saat ia akan melakukan CPR. Akan tetapi, saat dirinya hendak menekan bagian dada wanita tersebut. Seorang pria tiba-tiba saja datang dan mendorongnya. “Hei, apa yang kau lakukan pada temanku?” teriaknya setelah membuat Meriana terjerembab ke belakang. “Kau mau membunuh temanku, hah!” bentak seorang pria pada Meriana.

“Xena, bangunlah! Apa yang terjadi? Jangan membuatku takut?” Pria itu mengguncang tubuh gadis di hadapannya yang tidak sadarkan diri. Lalu menghadap ke arah Meriana dengan marah. “Apa yang kau lakukan pada temanku, hah?” bentaknya dengan tatapan tajamnya, seolah hendak memakan Meriana hidup-hidup.

Meriana langsung bangun. “Dia mengalami—“

“Kalau sampai dia kenapa-kenapa. Aku akan memastikan kau mendapatkan ganjarannya!” ancamnya, lalu pria itu kembali menghadap temannya yang tidak sadarkan diri dan menggendongnya begitu saja.

“Tuan, temanmu harus mendapatkan pertolongan pertama terlebih dahulu. Biarkan aku melakukan CPR. Aku adalah dokter.” Meriana menunjukkan kartu tanda pengenalnya.

“Sudah kubilang hentikan!” Pria itu berteriak. “Aku sama sekali tidak akan pernah melepaskanmu jika terjadi sesuatu padanya.” Setelahnya, dia membawa tubuh gadis yang tidak sadarkan diri itu, masuk ke dalam mobilnya. Pria itu bahkan sempat mendorong Meriana dengan tubuhnya sebelum ikut masuk ke dalam mobil, hingga gadis berusia 27 tahun itu kembali terjatuh.

Meriana berusaha untuk kembali berdiri, tapi kakinya terasa sakit karena ternyata dia terkilir akibat dorongan yang kuat dari laki-laki tersebut. “Tuan!” teriakan Meriana tidak diindahkan, pria itu membawa temannya pergi dalam keadaan tidak sadarkan diri.

“Kak, jangan mengejarnya. Biarkan saja.” Salah satu anak sekolah yang tadi membantunya berkata. “Setidaknya kita sudah mencoba menolongnya. Kalau sampai terjadi apa-apa, jelas dia yang harus bertanggung jawab.” Meriana memejamkan matanya, karena kakinya terasa berdenyut. Dia menghela napas pelan. “Kalian benar. Terima kasih sudah membantu.”

Kedua anak sekolah itu hanya mengangguk dan segera melangkah pergi. Meriana kembali berniat untuk melanjutkan perjalanannya ke rumah sakit, tapi kakinya semakin sakit saat digerakkan hingga ia terjatuh.

“Aaaawww!” Meriana memegangi kakinya yang sakit.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di sampingnya dan seseorang keluar dari dalamnya.

“Meriana!” Seorang pria berambut coklat turun dan berjalan cepat menghampiri Meriana. “Apa yang terjadi? Kenapa kau duduk di sini?”

“Kakiku...”

Pria tersebut menoleh pada kaki Meriana, dia mencoba menyentuhnya, tapi gadis berusia 27 tahun itu sedikit berteriak karena kesakitan. “Kakimu keseleo?”

Meriana mengangguk. “Aku terjatuh saat hendak menuju ke halte bus.”

Pria itu menghela napas dalam. “Bisakah kau tidak terus melukai dirimu sendiri? Coba luruskan kakimu, aku akan—“

“Andrew, aku tidak punya waktu. Hari ini ada operasi dan aku yang akan menjadi dokter utama. Ini kesempatan pertamaku.”

“Operasi? Kau tidak bisa melakukan operasi dengan kondisi kaki seperti ini? Bagaimana caranya kau berdiri?”

“Aku yakin, aku bisa. Ini kesempatan pertamaku.” Meriana berkata setengah memohon, membuat Andrew, temannya, seorang dokter psikiatri yang bekerja di rumah sakit yang sama dengannya langsung menyerah.

“Hah... baiklah, kita akan pergi sekarang. Tetapi, sebelum kau ke ruang operasi, kau harus membalut kakimu terlebih dahulu.”

Meriana hanya bisa mengangguk. Sesungguhnya, kakinya sekarang terasa semakin sakit. Andrew memapah Meriana menuju ke dalam mobil dan segera melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit. membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai di rumah sakit.

Begitu sampai, Andrew langsung membawa Meriana menuju ke UGD supaya wanita itu mendapatkan perawatan dengan cepat. Namun, nasib sial gadis tidak cukup dengan cedera di kakinya. Pria yang tadi membuat kakinya terluka ternyata juga datang ke rumah sakit tempatnya bekerja. Pria berusia sekitar 30 tahunan itu terlihat berdiri tidak jauh dari tempat tidur pasien. Keadaannya terlihat sedikit berantakan.

Menangis?

Apakah pria itu menangis.

“Mer, duduk dulu di sana. Aku akan memanggilkan dokter yang berjaga.”

Meriana mengangguk, lalu dia melangkah, masih dengan bantuan Andrew, temannya. Baru saja dia akan duduk, pria tadi yang membuat kakinya terluka melihat ke arahnya dan tatapan mereka saling bertemu.

“Dia!” teriak pria yang belum diketahui namanya itu. “Dialah yang membunuh Xena. Wanita itu yang membuat Xena jadi seperti ini.” Pria itu menuding Xena dengan telunjuknya, membuat semua orang melihat ke arahnya.

“Tuan tenanglah. Semuanya bisa kita bicarakan.”

Pria itu menoleh pada dokter yang baru saja berbicara. “Bicara kau bilang? Lihatlah, gara-gara dia temanku mati.”

Adrenalin Meriana tersentak saat dia mendengar hal itu. Dia menggelengkan kepalanya, lalu mencoba untuk melangkah, tapi kakinya terlalu sakit dan dia kembali terjatuh. Masih terduduk, dia berkata, “Aku sama sekali tidak melakukannya. Aku hanya ingin—“

“Aku ingin kau memecat pembunuh itu sekarang juga! Kalau kau tidak melakukannya, kau yang akan kehilangan karirmu,” ucap pria itu. “Kau tahu siapa dia, kan? Dia adalah putri direktur rumah sakit ini.”

“Tidak, Dok, aku bisa menjelaskan semuanya. Aku—“

“Hentikan, Meriana!” Dokter yang berdiri di samping pria yang menuduhnya pembunuh berkata tegas. “Beruntung kau tidak dilaporkan ke polisi, karena direktur sendiri yang memintanya. Mulai hari ini kau tidak bisa lagi menjadi dokter di sini. Kau dipecat!”

Seperti ada guntur yang baru saja meledak di dalam kepalanya mendengar dirinya dipecat. Meriana merasa hidupnya hancur dalam waktu singkat. Karir yang susah payah ia bangun dengan keringat dan air mata dan sekejap hilang dari genggamannya. Semua karena tuduhan pria di hadapannya yang menuduhnya membunuh pasien tanpa mencari tahu yang sebenarnya terjadi.

“Mer,” panggil Andrew, rekan Meriana yang tadi membantunya sampai di rumah sakit. “Bangunlah. Aku yakin semuanya bisa diperbaiki, kita akan mencoba mencari bukti kalau kau tidak bersalah.” Andrew menenangkan.

Sebelum Meriana menjawab ucapan rekannya. Dokter yang baru memecat Meriana, yang tak lain adalah Dokter Luke, wakil direktur. Menghampiri mereka berdua. “Bawa dia ke ruang konferesi!” perintahnya, lalu melangkah pergi begitu saja.

“Baik, Dok.” Andrew mengangguk, lalu membantu Meriana bangkit dari duduknya. “Ayo, aku akan membantumu.” Pikiran Meriana terasa kosong. Dia hanya melakukan apa yang dikatakan Andrew dan mengikuti, ke mana pria itu membawanya.

Menunggu di ruang konferensi hampir setengah jam, Meriana hanya diam dan menatap kosong ke sembarang arah. Pikirannya saat ini melayang entah ke mana. Berselang beberapa saat, Dokter Luke, wakil direktur rumah sakit datang menghampiri mereka.

“Dokter Luke, apakah kita tidak bisa mempertimbangkannya lagi? Kita bisa mencari bukti CCTV untuk membuktikan kalau Meriana tidak bersalah.” Andrew berkata.

“Dia sudah tidak memiliki lagi kesempatan. Yang meninggal itu adalah putri direktur rumah sakit ini dan pria yang tadi berbicara adalah putra pemilik saham terbesar rumah sakit ini.”

Andrew terkejut mendengar hal itu, dia menoleh pada Meriana yang masih diam dengan tatapan kosong. Dirinya merasa prihatin dengan wanita itu. Bagaimanapun, dirinya bukan hanya sekedar rekan kerjanya, tapi juga dokter psikiater pribadi Meriana selama ini. Ya, gadis itu memiliki permasalahan dengan mentalnya, yang disebabkan trauma masa kecil

“Jadi, tidak peduli kau benar atau salah. Keputusannya tetap sama.” Dokter Luke menoleh pada Meriana. “Dokter Meriana, mulai hari ini Anda dipecat dari rumah sakit ini.”

Setelah mengatakan itu, Dokter Luke melangkah pergi meninggalkan ruang konferensi. Sedangkan Meriana masih tidak bereaksi apa-apa.

Kondisi yang tidak karuan bukan hanya dialami oleh Meriana, tapi juga oleh pria yang membuatnya dipecat. Pria itu kini duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan UGD dengan rambut yang berantakan dan juga mata yang memerah karena menangis. Dirinya tidak menyangka akan kehilangan sahabat baiknya secepat itu.

“Juan, Xena akan segera dipindah sekarang. Kau mau mengantarnya?”

Pria yang dipanggil Juan itu mengangkat wajahnya dan mengangguk, lalu berdiri, dan melangkah pergi mengikutinya. Dia juga merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi teman baik Satu-satunya itu.

 

Pewaris Sesungguhnya

Tiga tahun kemudian.

 

Menggunakan pakaian serba hitam dan juga topi warna hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Mariana berdiri tidak jauh dari sebuah rumah megah berlantai empat. Di bagian gerbangnya memiliki tulisan 'Brown'. Menandakan, kalau rumah itu adalah rumah milik keluarga Brown.

Dua puluh tiga tahun yang lalu, ia meninggalkan rumah itu bersama dengan ibunya karena ayahnya yang pulang bersama dengan perempuan selingkuhannya dan juga seorang anak. Saat itu jugalah, nama Meriana mengubah namanya dari Sara Ariana Brown menjadi Meriana Lindsey, nama nenek dari ibunya.

Meriana memutus semua akses dengan ayahnya dan tinggal bersama dengan ibunya.

Dua tahun setelah mereka meninggalkan rumah besar itu, Meriana harus kehilangan ibunya yang mengidap penyakit kanker stadium akhir.

Setelah saat itu, Meriana bertekad untuk menjadi seorang dokter spesialis bedah umum. Dia tidak ingin ada orang lain yang seperti ibunya, gagal mendapatkan perawatan atas penyakitnya.

Namun, siapa sangka semuanya hancur karena seorang pria yang tidak dikenalnya, menuding dirinya sebagai seorang pembunuh.

Di rumah megah yang ada di hadapan Meriana kini. Terlihat cahaya yang terang benderang  dia area samping dan area sekitar rumahnya juga cukup ramai. Di rumah itu, kini sedang berlangsung sebuah pesta. Pesta megah yang diadakan setiap tahunnya untuk merayakan ulang tahun kepala keluarga, yakni Anthony Nathanael Brown.

Menurut berita, pesta tersebut juga diadakan untuk menyambut putra semata wayangnya atau lebih tepatnya putra dari selingkuhan Anthony yang baru kembali dari Amerika.

Meriana mendengkus memikirkan hal itu.

Entah apa yang dilakukan Anthony, tapi kini publik mengetahui kalau Anthony hanya memiliki satu putra yang bernama Erick Brown. Pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarga Brown.

Perlahan, Meriana melangkah menuju ke rumah besar itu, langkahnya tertuju ke ke taman belakang di mana pesta meriah itu diadakan.

Meriana berdiri di sebuah tiang besar, dari sana dia dapat melihat semua orang yang hadir di dalam pesta tersebut termasuk ayahnya yang berdiri di paling depan, ditemani dengan para koleganya. Tentu saja, di sampingnya Diana Becker, wanita yang jadi selingkuhan ayahnya menemani.

Meriana mengelilingkan pandangannya, mencari sosok si pewaris utama saat ini, tapi dia tidak berhasil menemukannya.

Namun, dia malah dikejutkan oleh seseorang yang muncul dari arah belakangnya.

"Nona," panggilnya, membuat Meriana langsung berbalik dan menghadap ke arah belakang, bersiap untuk pergi, tapi sebelum itu seseorang berkata.

"Ini saya, Leon."

"Paman Leon?" tanya Meriana, kembali memastikan.

Pria yang bernama Leon itu melangkah ke hadapan Meriana hingga wanita tersebut dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Meriana bernapas lega, ternyata orang tersebut adalah Leon Stuart, sekretaris pribadi ayahnya. Pria paruh baya yang memang masih berkomunikasi dengannya meski dia sudah meninggalkan rumah ayahnya.

Semua informasi mengenai keluarga Brown, Meriana dapatkan dari orang yang ada di hadapannya.

Hanya saja, setelah dirinya dipecat dari pekerjaannya dia pergi dan tidak pernah menghubungi Leon lagi. Baru dua hari yang lalu, Meriana kembali menghubunginya.

"Nona, Anda ke mana saja? Saya sangat khawatir."

Meriana tertawa dengan pertanyaan Leon. Dia menggelengkan kepalanya. "Paman Leon tidak pernah berubah. Masih suka berpura-pura," ucapnya. Tangan kanan Anthony Brown, yang bisa melakukan apa saja. Tidak mungkin tidak mengetahui keberadaan Meriana. Ia hanya tinggal di sebuah kota kecil, masih di negara yang sama.

"Nona."

"Baiklah, baiklah. Aku ke sini hanya ingin ikut menyambut si pewaris utama yang katanya baru saja kembali dari Amerika." Meriana menoleh ke arah belakangnya dan menunjuk. "Tapi aku sama sekali tidak melihatnya di antara mereka."

Mereka yang dimaksud adalah ayahnya dan juga selingkuhannya.

"Tuan Erick sepertinya belum datang. Setelah kembali dari Amerika, dia memang tinggal di apartemen, bukan di rumah ini."

"Tuan?" tanya Meriana.

Leon diam mendengar sindiran Meriana. Dia paham betul apa maksudnya. Pewaris yang sesungguhnya adalah gadis di hadapannya ini, tapi dirinya juga tidak bisa berbuat banyak.

"Nona, apakah Anda akan tetap tinggal di sana? Saya bisa menyiapkan rumah atau apartemen yang layak untuk Anda. Tanpa sepengetahuan Tuan Anthony."

Terlihat ekspresi khawatir di wajah Leon tanpa dibuat-buat. Bagaimanapun, dia adalah salah satu orang yang ikut menyaksikan tumbuh kembang Meriana hingga gadis itu harus terusir dari rumahnya sendiri karena Sidney Ariana, ibunya menolak tinggal satu atap bersama selingkuhan suaminya.

"Paman, tempat tinggalku sekarang juga sangat layak. Bibi Natasha sangat menyayangiku. Lucu, kan, Paman? Aku terusir dari rumahku sendiri karena selingkuhan Anthony, tapi aku juga harus tinggal di rumah selingkuhan Anthony yang lain."

Meriana tertawa, lebih tepatnya menertawakan takdir hidupnya yang dikacaukan oleh ayahnya sendiri.

Leon menatap Meriana dengan sedih, tapi perempuan itu malah mengibaskan tangannya. "Sudahlah, Paman, jangan mengasihaniku. Aku baik-baik saja. Sekarang aku harus pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan."

Tanpa menunggu jawaban Leon, Meriana berlari meninggalkan area pesta tersebut.

Baru beberapa meter, tiba-tiba Meriana menabrak seseorang yang entah siapa. Dia buru-buru menurunkan topinya supaya tidak dikenali dan lekas berdiri.

"Maaf." Hanya itu yang dikatakannya sebelum kembali berlari.

Orang yang baru saja ditabrak oleh Meriana, menatap gadis itu dengan curiga, apalagi saat melihat seluruh pakaiannya yang serba hitam. Tidak mungkin dia tamu undangan, karena berusaha menutupi wajahnya dengan topi.

Akan tetapi, baru saja dirinya akan memanggil petugas keamanan, dari arah belakang seseorang memanggilnya.

"Tuan Erick."

Pria itu menoleh ke belakang dan melihat sekretaris ayahnya. "Paman Leon?"

Leon menundukkan kepalanya, memberi hormat. "Anda baru sampai? Silakan, tuan dan nyonya sudah menunggu."

Pria yang dipanggil Erick itu menatap tidak suka. "Paman, sudah kukatakan, panggil aku Juan jika kita sedang berdua. Aku tidak suka nama itu. Namaku J.U.A.N." Pria itu mengeja setiap hurup dalam namanya.

"Maaf, Tuan, tapi jika saya memanggil Anda seperti itu, Tuan Anthony tidak akan suka."

Juan mendengkus karena dia gagal negosiasi dengan sekretaris ayahnya. Lalu, tiba-tiba saja matanya menyipit. "Paman dari mana? Kenapa keluar dari sana." Juan menunjuk tempat di mana Leon muncul.

"Saya hanya memeriksa area sekitar saja untuk memastikan semua berjalan dengan baik dan aman."

"Paman, kita memiliki banyak penjaga yang melakukan itu. Jangan berbohong. Atau jangan-jangan...." Juan menoleh ke arah di mana seseorang yang baru saja menabraknya pergi. "Yang baru saja menabrakku adalah Sara?"

Leon terkejut dengan pertanyaan Juan. Tidak menyangka kalau Juan akan bertemu dengan Sara. Sebelum dia menjawab, pria itu kembali berbicara. "Sepertinya dugaanku benar. Dia Sara, kan?" Melihat reaksi Leon yang terkejut, Juan sangat yakin.

"Tidak, Tuan, Anda pasti salah lihat. Tidak mungkin Nona Sara datang ke tempat ini."

"Jangan berbohong Paman. Kau tahu kalau aku selama ini selalu mencarinya untuk menebus dosaku dan juga ibuku. Tempat yang aku miliki saat ini seharusnya milik Sara."

"Tapi, Tuan...."

Sebelum Leon menyelesaikan ucapannya, Juan sudah berlari meninggalkannya.

Pria itu mengejar Sara yang sudah pergi beberapa menit yang lalu.

Leon tidak bisa membiarkan Juan menemukan Sara, entah apa yang akan dilakukan Anthony jika mengetahui kalau Sara datang ke rumah itu kembali.

Leon tidak ingin Sara dikurung kebebasannya oleh ayah kandungnya sendiri.

Sudah cukup penderitaannya selama ini.

Hubungan Rumit

Seperti tahun-tahun sebelumnya. Meriana selalu datang ke rumah besar keluarga Brown sekedar untuk mengintip perayaan besar ulang tahun si kepala keluarga.

Bukan karena merindukan ayahnya, tapi sebagai pengingat kalau masih ada orang-orang yang berbahagia di atas penderitaannya. Mereka adalah Diana Becker, selingkuhan ayahnya dan juga Erick Brown, putranya.

Keduanya datang ke rumah itu untuk menyingkirkan Meriana dan juga ibunya.

Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya juga, setiap kali Meriana melihat mereka semua tertawa bahagia, dia akan pulang dalam keadaan mual hebat. Itu adalah reaksi tubuhnya setiap kali kembali ke rumah itu.

Seperti saat ini, Meriana kembali ke rumahnya dengan kepala pening dan juga perutnya yang mual.

Wanita berusia 30 tahun itu berlari masuk ke dalam rumahnya dan langsung memuntahkan seluruh isi perutnya di kamar mandi.

Meriana sampai terduduk di lantai kamar mandi karena merasakan kepalanya yang semakin pusing.

"Kak, apa kau baik-baik saja?" Suara Dareen dari luar terdengar, tapi Meriana tidak sanggup menyahut. Dia masih menundukkan kepalanya di samping kloset.

Dareen memanggil kakaknya  untuk yang kedua kali, tapi masih tidak ada jawaban. Pria berusia 22 tahun itu langsung membuka pintu.

“Kak.”

Dareen mematung di depan pintu kamar mandi yang terbuka, dia menggeleng dan menghela napas berat.

“Kak, kenapa kau selalu melakukan ini? Apa kau tidak lelah?”

Puluhan atau mungkin sudah ratusan kali Dareen mengingatkan Meriana untuk menghentikan kebiasaan buruknya—datang ke rumah ayah kandungnya hanya untuk melihat orang-orang itu tertawa bahagia setiap kali bertambahnya usia.

“Apa kau baru akan berhenti setelah mereka mengetahui keberadaanmu, lalu menyeretmu, dan mengurungmu di suatu tempat. Kau pikir penyihir itu akan diam saja?” gerutu Dareen yang tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan kakaknya.

Untuk beberapa saat, Meriana hanya diam dan tertunduk. Dia berdiri setelah merasakan tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan dari dalam perutnya.

Meriana membasuh area mulutnya dan menyekanya dengan tisu yang diletakkan di atas wastafel.

“Aku tidak akan berhenti, sebelum aku mati,” ucap Meriana, lalu melangkah melewati Dareen untuk keluar dari kamar mandi.

“Astaga! Kau benar-benar mau mati di tangan penyihir itu?” tanya Dareen seraya menyusul kakaknya. “Apakah hari ini kau bertemu dengannya?” tanyanya lagi. “Katanya dia sudah kembali dari Amerika. Cih, ternyata dia masih punya rasa takut.”

Meriana yang kini duduk di kursi meja makan dan meneguk air putih langsung menetap adiknya dengan kening berkerut. “Apa maksudmu?” tanya Meriana bingung. Dia meletakkan gelasnya yang sudah kosong dengan tetap mempertahankan tatapannya pada sang adik.

“Kakak pikir baik-baik. Sudah berapa lama mereka masuk ke dalam keluarga Brown?” Dareen mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan jarinya. “Dua puluh tiga tahun bukan? Tapi sampai detik ini pun tidak ada yang tahu seperti apa rupa Erick Brown, si pewaris itu.”

Meriana membisu mendengar ucapan Dareen, yang dikatakan adiknya itu benar. Bahkan setiap kali dirinya datang ke acara pesta ulang tahu ayahnya secara diam-diam, dia tidak pernah melihat keberadaan anak selingkuhan ayahnya, yang katanya akan menjadi pewaris kerajaan bisnis ayahnya.

Akan tetapi, Meriana sungguh tidak ingin memikirkan hal itu. Dia lagi-lagi menatap adiknya dengan intens. “Seharusnya kau yang muncul di publik dan katakan pada semua orang kalau kau adalah pewaris keluarga Brown. Tidak akan sulit untuk membuktikannya. Kau hanya perlu membawa hasil tes DNA” Meriana tertawa. “Sedangkan Erick Brown yang asli hanya akan terus bersembunyi.” Meriana mengangkat bahunya acuh seolah itu bukan sesuatu yang besar.

Dareen langsung menunjukkan ekspresi jijiknya seperti biasa setiap kali kakaknya mengatakan hal itu. “Maaf, ya, aku pewaris utama kekayaan kekayaan Tuan Kendrick Johnson. Dialah ayahku yang sangat menyayangiku. Siapa itu keluarga Brown?”

Mariana bangkit dari duduknya dan menepuk pundak Dareen. “Kau beruntung tidak sempat mengenal tua bangka seperti Anthony.”

Mendengar hal itu Dareen langsung mengubah ekspresi wajahnya, rasa bersalah menguasai dirinya. Dareen seperti sedang pamer kebahagiaannya pada Meriana karena memiliki orang tua yang sangat baik, padahal Meriana baru saja mengalami saat-saat yang berat setelah melihat ayahnya dan selingkuhannya setelah tiga tahun.

Selain itu, pertanyaan Dareen terakhir jelas menyinggung perasaan kakaknya. Padahal, pada kenyataannya mereka berdua sama-sama memiliki darah keturunan keluarga Brown. Hubungan yang sangat rumit, tapi begitulah adanya.

Dareen yang hendak membuka mulutnya kembali mengurungkan niat saat melihat Meriana yang menerima sebuah telepon dan mengangkatnya.

“Halo?”

“....”

“Sekarang kau di mana?”

Diam mendengarkan.

“Dekat pantai? Baiklah, aku akan segera menyusulmu ke sana. Dalam sepuluh menit aku akan sampai.”

Dareen langsung bertanya saat melihat kakaknya mengenakan jaketnya kembali.

“Ada apa?”

“Ada kecelakaan di dekat pantai. Kebetulan Arthur sedang berada di sana dan dia membutuhkan bantuan.”

“Aku ikut.”

Meriana mengangguk, lalu keduanya berlari keluar dari rumah mereka.

Setelah tiga tahun dirinya dipecat sebagai dokter. Kini Meriana bekerja di sebuah rumah sakit kecil yang tidak jauh dari rumahnya sebagai para medis.

Meriana sudah mencoba untuk melamar ke beberapa rumah sakit, tapi yang didapatnya hanya penolakan mentah-mentah. Entah apa yang terjadi. Meriana hanya bisa pasrah merelakan karirnya.

Sekarang, dia hanya bisa mengendarai sebuah ambulance untuk menyelamatkan orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis untuk menuju ke rumah sakit.

***

Di tempat lain, di rumah keluarga Brown. Sesaat setelah Meriana pergi dari rumah itu, Juan kembali dengan raut kecewa karena dia gagal mengejar wanita yang dianggap Sara olehnya, anak kandung ayah tirinya.

Saat itu, Leon merasa lega karena Juan gagal mengejar nona mudanya. Pria paruh baya itu hanya berkata. “Tuan Erick, tidak mungkin Nona Sara datang ke rumah ini. Untuk apa? Sudah 23 tahun dia keluar dari rumah ini. Sudah tidak ada tempat untuknya di sini.”

Ada sindiran tersirat di setiap kata yang diucapkan Leon pada pria itu.

Juan langsung menatap marah pada Leon. “Paman Leon, ini adalah rumahnya. Akan selalu ada tempat untuknya. Meski aku bukan kakak kandungnya, tapi aku akan menganggap Sara sebagai adikku dan memberikan semua yang telah aku ambil darinya,” ucap Juan, “Itu sebabnya, aku tidak akan menggunakan nama Erick Brown, sebelum menemukan keberadaan Sara.”

Setelahnya, dia meninggalkan Leon untuk bergabung dengan ibunya, merayakan ulang tahun ayahnya.

Lagi-lagi, untuk keseksian kalinya Juan menolak untuk muncul di depan publik, di depan kolega ayahnya. Alasannya hanya satu, dia tidak akan melakukan itu sebelum Sara kembali. Meski harus berdebat dengan ibunya dan harus mendengarkan ceramah ayahnya, Juan tetap kukuh dengan pendiriannya.

Begitu pesta usai, Juan bergegas meninggalkan rumah orang tuanya, tidak peduli ibunya berteriak marah padanya. Juan tetap memacu motor besarnya meninggalkan rumah keluarga Brown.

Meski Paman Leon mengatakan kalau Sara tidak mungkin datang ke rumah itu, entah kenapa Juan yakin kalau wanita yang ditabraknya tadi adalah Sara.

Mengingat hal itu, rasa bersalah semakin menguasai dadanya. Juan merasa kalau dirinya sudah menghancurkan kehidupan Sara dan ibunya. Bertahun-tahun lamanya Juan mencari. Dia belum juga mendapatkan titik terang.

Juan memacu motornya dengan kecepatan tinggi tanpa arah tujuan selama berjam-jam, hingga akhirnya dia sampai di sebuah kota kecil. Deburan ombak terdengar samar saat dia melewati sebuah pantai.

Juan berniat menghentikan motornya di pinggir jalan, tapi nahas dari arah belakangnya tiba-tiba sebuah mobil bak menabrak dirinya hingga ia terpental agak jauh ke depan.

Juan tidak sadarkan diri sampai ada beberapa orang yang mendekat untuk menyelamatkannya. Beruntung, sebuah ambulance melintas di jalan itu hingga dia dapat diberikan pertolongan pertama.

Karena petugas ambulance itu seorang diri, dia segera menghubungi rekannya yang kebetulan tinggal tidak jauh dari area pantai

Tidak sampai sepuluh menit, rekan petugas ambulance itu tiba dan segera membantu.

“Arthur, bagaimana keadaannya?”

“Tidak sadarkan diri.” Pria yang dipanggil Arthur itu menunjuk. “Sepertinya hanya kakinya yang terluka lumayan parah, aku sudah membalutnya. Sepertinya ada keretakan, kita harus memastikannya terlebih dahulu. Tanda vitalnya stabil.  Selebihnya hanya luka-luka saja.”

Arthur menggelengkan kepalanya. “Aku menghubungimu, Mer, karena melihat posisinya terpental cukup jauh, takutnya ada masalah dengan sarap leher dan kepalanya. Ternyata tidak ada. Maaf, sudah mengganggu waktu istirahatmu, padahal kau sedang libur.”

Rekan Arthur yang tak lain adalah Meriana bernapas lega, dia menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah. Kau sudah melakukan hal yang benar.” Meriana menoleh pada adiknya. “Dareen, tolong bantu untuk menaikkannya ke ambulance.”

Dareen mengangguk, ketiga orang itu segera berjongkok untuk mengangkat tubuh Juan yang masih tidak sadarkan diri.

Begitu berjongkok di samping Juan, Meriana tertegun. “Dia... .”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!