Aku Ingin Pulang
Sore hari, Berama sedang duduk santai di sebuah ruangan keluarga. Yang ditemani oleh istri dan kedua putrinya.
"Sayang," panggil istri Berama yang bernama Sarah dengan suara manjanya.
"Hmmm," respon Berama dengan deheman saja.
Sarah mendekat ke arah Berama, ia bergelayut manja di lengan suaminya.
"Sayang, kau tahu. Aku sangat kesal sekali dengan Alana. Sekarang dia menjadi anak yang pembangkang dan tidak mau lagi mendengarkan perintah Mama, Sayang. Dan, hiks... kemarin dia berani sekali membentak Mama, Sayang." Ucap Sarah sengaja mulai membuat masalah bahkan ia berpura-pura menangis dan mengeluarkan air mata palsunya.
"Iya benar itu, Papa. Bahkan kemarin juga Alana mendorong Mama hingga terjatuh," timpal Cindy yaitu putri pertama dari pasangan suami istri tersebut.
"Iya, Papa. Alana harus diberi pelajaran! Sekarang dia sudah berani, Pa. Jadi Papa harus bertindak secepatnya agar Alana tidak kurang ajar lagi sama, Mama!" timpal Mischa ia adalah putri kedua yaitu adiknya Cindy.
Berama tidak langsung bertindak. Berama masih bungkam. Berama sudah lelah mendengar istri dan kedua putrinya mengadu tentang kelakuan Alana yaitu putri terakhirnya.
Entah itu memang benar atau tidak. Berama sungguh bingung. Berama sangat tahu sikap dan perilaku Alana seperti apa. Ia tidak langsung percaya begitu saja tanpa adanya bukti. Tetapi setiap ia pulang ke rumah. Pasti istri dan kedua Kakak perempuan Alana selalu mengadu tentang sikap Alana.
Selama ini Berama berusaha menahan amarahnya. Ia selalu bungkam ketika istrinya mengadu. Berama bukannya tidak mau memberikan pelajaran untuk putrinya itu.
Tetapi Berama berusaha sabar dan menahan emosinya. Berama tetap bungkam ia tidak mau mengambil keputusan yang salah.
Tetapi hari ini, Berama mendengar pengaduan istrinya yang membuat emosinya mulai memuncak. Dan hari ini waktunya Berama akan bertindak yaitu memberikan putrinya pelajaran. Karena menurutnya kelakuan Alana sudah sangat keterlaluan. Sampai Alana mendorong Mamanya sendiri.
"Dimana Alana sekarang, Sayang?" Tanya Berama yang mulai angkat bicara.
"Dia belum bangun, Sayang. Hiks...." Jawab Sarah yang masih berpura-pura menangis.
"Mama tenang ya. Jangan nangis, Ma. Tenanglah, Ma," ucap Cindy berpura-pura menenangkan Sarah.
"Jam segini saja si Alana belum bangun, Papa. Enak banget ya jadi dia. Sedangkan kita dari masih subuh sudah membantu, Mama." Kata Mischa memancing emosi Berama agar semakin meledak.
"Dari tadi pagi Alana belum bangun, begitu?" tanya Berama lagi. Berama berusaha menahan emosinya yang akan meledak.
"Iya, Papa. Tadi Mama sudah beberapa kali mencoba membangunkan Alana, Pa. Tetapi Alana malah marah-marah dan membentak Mama. Setalah itu Alana melanjutkan tidurnya lagi," ucap Cindy mulai membuat-buat cerita. Memang Cindy juara dalam mengarang cerita.
"Apa benar, Ma? Apa yang dikatakan Cindy?" kini Berama beralih menatap Sarah meminta jawaban atas perkataan kedua putrinya.
"Iya, Sayang. Hiks... padahal niat Mama baik, Pa! Mama membangunkan Alana karena Alana belum makan sama sekali. Hiks... Mama sangat khawatir sama Alana, Pa. Nanti kalau Alana kenapa-kenapa pasti Papa sangat marah sama, Mama. Mama sangat sayang dengan Alana. Mama takut kalau Alana sakit. Tetapi perlakuan Mama selalu dinilai salah dimata Alana, Sayang. Hiks...," imbuh Sarah mengarang cerita bahkan Sarah menangis semakin kencang agar Berama percaya dengan ucapannya.
"Kurang ajar!" Berama semakin emosi.
Berama beranjak dari duduknya. Darahnya mulai mendidih. Bahkan emosinya sudah tidak bisa dikendalikan.
"MISCHA, CEPAT KAMU PANGGIL ALANA KESINI!" titah Berama dengan nada tinggi.
Mischa sedikit terkejut. Menatap wajah Papanya saja terlihat sangat seram. 'Seram juga jika Papa murka seperti ini' ucap Mischa dalam hatinya.
"Siap, Pa! Dengan senang hati," ucap Mischa ia nampak bersemangat. Kemudian Mischa berlalu memanggil Alana. Mischa tidak sabar apa yang terjadi selanjutnya.
"Sudahlah, Sayang! Jangan menangis begitu. Hari ini Papa akan memberikan pelajaran kepada anak itu!" ucap Berama ia berusaha menenangkan Sarah.
'Akhirnya. Rasakan, Alana. Sekarang Papa kesayanganmu berada dalam pihakku.' Batin sarah dengan senang.
Sarah dan juga Cindy bersorak ria didalam hatinya. Akhirnya yang mereka tunggu-tunggu selama ini tercapai.
***
Alana Madison Puteri Berama adalah putri ketiga dari pasangan Berama dan Sarah. Alana berusia 17 Tahun. Alana memiliki paras yang cantik persis seperti orang korea. Namun bedanya Alana memiliki tubuh yang pendek.
Keseharian Alana adalah sibuk dengan sekolah dan pekerjaan rumah.
Alana terbangun dari tidurnya, ia menggeliat dengan tangan yang direntangkan keatas. Ia meregangkan otot-otot sendinya yang terasa pegal sekali. Karena seharian full ia mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.
Mulai dari memasak, menyapu lantai, mengepel lantai, mencuci baju dan menyetrika baju. Bahkan ia membersihkan dan merapikan seluruh ruangan yang ada di rumahnya yang sangat luas itu. Termasuk kamar kedua Kakaknya dan juga kamar kedua orang tuanya.
Dor... Dor... Dor...
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar dengan sangat keras. Sehingga terdengar bunyi ketukan itu yang begitu sangat keras.
"ALANA! BUKA PINTUNYA!" terdengar teriakan Mischa memanggil namanya.
Deg!
"Wah ada apa lagi ini?" Gumam Alana berbicara sendiri lalu ia melihat jam yang berada diatas meja nakas yang terletak disamping tempat tidurnya.
"Gawat! Aku ketiduran sampai sore begini? Wah wah berabe nih," Alana terbelelak kaget melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 17.00 sore.
"ALANA! BUKA PINTUNYA!" teriak Mischa lagi.
"Iya, tunggu sebentar," jawab Alana perasannya mulai ketar-ketir. Wajahnya mulai pucat pasi. Alana turun dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya.
Ceklekkk.
Alana membuka pintu kamarnya.
"Awhhh... sakit, Kak." ringis Alana rambutnya langsung dijambak oleh Mischa.
"Emmm rasakan itu. Aku panggil-panggil, kenapa tidak menyahut juga! Sekarang rasain aku buat rambut kamu itu botak!" ucap Mischa semakin keras menjambak rambut Alana.
"Aduh, Kak. Tolong lepasin," pinta Alana ia berusaha melepaskan jambakan itu.
Mischa melepaskan jambakannya, tetapi ia mendorong keras kepala Alana hingga terbentur ke dinding tembok.
Bugh!
Kepala Alana terbentur ke tembok. Alana mulai terasa pusing. Pandangannya mulai kabur. Alana menahan tubuhnya yang mulai linglung. Ia memegangi kepalanya yang terasa pusing.
"Awhhh, kepalaku sakit sekali! Kak to-tolong antarkan aku kekamar," ringis Alana ia sudah tidak bisa menahan tubuhnya.
"Hahaha," Mischa mentertawakan Alana "Rasakan! Aku malas sekali membantu kamu," sambungnya lagi tanpa mau membantu Alana. Malah ia senang melihat Alana kesakitan seperti itu.
BRUK!
Tubuh Alana mulai ambruk, Alana pingsan.
"Hahaha, syukurin kamu, Alana! Mmm aku punya ide," gumam Mischa lalu tersenyum licik. Entah apa yang ada didalam pikirannya.
Mischa membiarkan tubuh Alana terkapar didepan pintu, tanpa mau membantu Alana. Mischa membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Alana begitu saja.
"Papa, Mama." panggil Mischa dengan berteriak.
"Mana Alana, Mischa?" Tanya Berama.
Sedangkan sorot matanya Sarah tertuju ke Mischa memberi isyarat dimana keberadaan Alana.
"Itu, Pa. Alana tidak mau bangun. Dia malah tertidur lagi didepan pintu kamarnya itu, Papa," ucap Mischa berbohong.
"Kurang ajar! Aku harus memberinya pelajaran sekarang. Mischa tolong kamu ambilkan Papa air dingin yang ada didalam kulkas!" perintah Berama kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar Alana.
Tos.
Sarah, Cindy, dan Mischa bertos ria. Mereka bertiga tersenyum penuh kemenangan.
"Yeyyy, misi kita berhasil, Ma." Ucap Cindy.
"Hahaha...," tawa Sarah. "Mischa cepat kamu ambil air dingin di kulkas sebelum Papa kamu sampai di kamar Alana. Mama sudah tidak sabar melihat Alana tersiksa." Sambung Sarah lagi dengan menyunggingkan senyum yang penuh arti.
Byurrr.
Alana disiram dengan air dingin itu yang membuatnya mampu tersadar dari pingsannya.
"Jadi begini kelakuan kamu ketika Papa tidak berada di rumah, Alana!" Ucap Berama dengan nada emosi.
"Pa-Papa!" pekik Alana menyadari Berama sudah pulang dari luar negeri. Jadi Berama jarang berada di rumah. Berama selalu bolak-balik keluar negeri mengurus pekerjannya.
Alana berusaha berdiri, dan hendak memeluk Papanya. Karena Alana rindu dengan Papanya. Namun Berama malah menamparnya.
PLAK!
Satu tamparan mendarat dipipi mulus gadis cantik itu.
Alana menatap Berama dengan mata yang berkaca-kaca. Baru kali ini Alana mengalami kekerasan fisik dari sang Papa.
"Apa maksud Papa menampar Alana seperti itu?" Tanya Alana dengan perasaan sedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments