Sore hari, Berama sedang duduk santai di sebuah ruangan keluarga. Yang ditemani oleh istri dan kedua putrinya.
"Sayang," panggil istri Berama yang bernama Sarah dengan suara manjanya.
"Hmmm," respon Berama dengan deheman saja.
Sarah mendekat ke arah Berama, ia bergelayut manja di lengan suaminya.
"Sayang, kau tahu. Aku sangat kesal sekali dengan Alana. Sekarang dia menjadi anak yang pembangkang dan tidak mau lagi mendengarkan perintah Mama, Sayang. Dan, hiks... kemarin dia berani sekali membentak Mama, Sayang." Ucap Sarah sengaja mulai membuat masalah bahkan ia berpura-pura menangis dan mengeluarkan air mata palsunya.
"Iya benar itu, Papa. Bahkan kemarin juga Alana mendorong Mama hingga terjatuh," timpal Cindy yaitu putri pertama dari pasangan suami istri tersebut.
"Iya, Papa. Alana harus diberi pelajaran! Sekarang dia sudah berani, Pa. Jadi Papa harus bertindak secepatnya agar Alana tidak kurang ajar lagi sama, Mama!" timpal Mischa ia adalah putri kedua yaitu adiknya Cindy.
Berama tidak langsung bertindak. Berama masih bungkam. Berama sudah lelah mendengar istri dan kedua putrinya mengadu tentang kelakuan Alana yaitu putri terakhirnya.
Entah itu memang benar atau tidak. Berama sungguh bingung. Berama sangat tahu sikap dan perilaku Alana seperti apa. Ia tidak langsung percaya begitu saja tanpa adanya bukti. Tetapi setiap ia pulang ke rumah. Pasti istri dan kedua Kakak perempuan Alana selalu mengadu tentang sikap Alana.
Selama ini Berama berusaha menahan amarahnya. Ia selalu bungkam ketika istrinya mengadu. Berama bukannya tidak mau memberikan pelajaran untuk putrinya itu.
Tetapi Berama berusaha sabar dan menahan emosinya. Berama tetap bungkam ia tidak mau mengambil keputusan yang salah.
Tetapi hari ini, Berama mendengar pengaduan istrinya yang membuat emosinya mulai memuncak. Dan hari ini waktunya Berama akan bertindak yaitu memberikan putrinya pelajaran. Karena menurutnya kelakuan Alana sudah sangat keterlaluan. Sampai Alana mendorong Mamanya sendiri.
"Dimana Alana sekarang, Sayang?" Tanya Berama yang mulai angkat bicara.
"Dia belum bangun, Sayang. Hiks...." Jawab Sarah yang masih berpura-pura menangis.
"Mama tenang ya. Jangan nangis, Ma. Tenanglah, Ma," ucap Cindy berpura-pura menenangkan Sarah.
"Jam segini saja si Alana belum bangun, Papa. Enak banget ya jadi dia. Sedangkan kita dari masih subuh sudah membantu, Mama." Kata Mischa memancing emosi Berama agar semakin meledak.
"Dari tadi pagi Alana belum bangun, begitu?" tanya Berama lagi. Berama berusaha menahan emosinya yang akan meledak.
"Iya, Papa. Tadi Mama sudah beberapa kali mencoba membangunkan Alana, Pa. Tetapi Alana malah marah-marah dan membentak Mama. Setalah itu Alana melanjutkan tidurnya lagi," ucap Cindy mulai membuat-buat cerita. Memang Cindy juara dalam mengarang cerita.
"Apa benar, Ma? Apa yang dikatakan Cindy?" kini Berama beralih menatap Sarah meminta jawaban atas perkataan kedua putrinya.
"Iya, Sayang. Hiks... padahal niat Mama baik, Pa! Mama membangunkan Alana karena Alana belum makan sama sekali. Hiks... Mama sangat khawatir sama Alana, Pa. Nanti kalau Alana kenapa-kenapa pasti Papa sangat marah sama, Mama. Mama sangat sayang dengan Alana. Mama takut kalau Alana sakit. Tetapi perlakuan Mama selalu dinilai salah dimata Alana, Sayang. Hiks...," imbuh Sarah mengarang cerita bahkan Sarah menangis semakin kencang agar Berama percaya dengan ucapannya.
"Kurang ajar!" Berama semakin emosi.
Berama beranjak dari duduknya. Darahnya mulai mendidih. Bahkan emosinya sudah tidak bisa dikendalikan.
"MISCHA, CEPAT KAMU PANGGIL ALANA KESINI!" titah Berama dengan nada tinggi.
Mischa sedikit terkejut. Menatap wajah Papanya saja terlihat sangat seram. 'Seram juga jika Papa murka seperti ini' ucap Mischa dalam hatinya.
"Siap, Pa! Dengan senang hati," ucap Mischa ia nampak bersemangat. Kemudian Mischa berlalu memanggil Alana. Mischa tidak sabar apa yang terjadi selanjutnya.
"Sudahlah, Sayang! Jangan menangis begitu. Hari ini Papa akan memberikan pelajaran kepada anak itu!" ucap Berama ia berusaha menenangkan Sarah.
'Akhirnya. Rasakan, Alana. Sekarang Papa kesayanganmu berada dalam pihakku.' Batin sarah dengan senang.
Sarah dan juga Cindy bersorak ria didalam hatinya. Akhirnya yang mereka tunggu-tunggu selama ini tercapai.
***
Alana Madison Puteri Berama adalah putri ketiga dari pasangan Berama dan Sarah. Alana berusia 17 Tahun. Alana memiliki paras yang cantik persis seperti orang korea. Namun bedanya Alana memiliki tubuh yang pendek.
Keseharian Alana adalah sibuk dengan sekolah dan pekerjaan rumah.
Alana terbangun dari tidurnya, ia menggeliat dengan tangan yang direntangkan keatas. Ia meregangkan otot-otot sendinya yang terasa pegal sekali. Karena seharian full ia mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.
Mulai dari memasak, menyapu lantai, mengepel lantai, mencuci baju dan menyetrika baju. Bahkan ia membersihkan dan merapikan seluruh ruangan yang ada di rumahnya yang sangat luas itu. Termasuk kamar kedua Kakaknya dan juga kamar kedua orang tuanya.
Dor... Dor... Dor...
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar dengan sangat keras. Sehingga terdengar bunyi ketukan itu yang begitu sangat keras.
"ALANA! BUKA PINTUNYA!" terdengar teriakan Mischa memanggil namanya.
Deg!
"Wah ada apa lagi ini?" Gumam Alana berbicara sendiri lalu ia melihat jam yang berada diatas meja nakas yang terletak disamping tempat tidurnya.
"Gawat! Aku ketiduran sampai sore begini? Wah wah berabe nih," Alana terbelelak kaget melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 17.00 sore.
"ALANA! BUKA PINTUNYA!" teriak Mischa lagi.
"Iya, tunggu sebentar," jawab Alana perasannya mulai ketar-ketir. Wajahnya mulai pucat pasi. Alana turun dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya.
Ceklekkk.
Alana membuka pintu kamarnya.
"Awhhh... sakit, Kak." ringis Alana rambutnya langsung dijambak oleh Mischa.
"Emmm rasakan itu. Aku panggil-panggil, kenapa tidak menyahut juga! Sekarang rasain aku buat rambut kamu itu botak!" ucap Mischa semakin keras menjambak rambut Alana.
"Aduh, Kak. Tolong lepasin," pinta Alana ia berusaha melepaskan jambakan itu.
Mischa melepaskan jambakannya, tetapi ia mendorong keras kepala Alana hingga terbentur ke dinding tembok.
Bugh!
Kepala Alana terbentur ke tembok. Alana mulai terasa pusing. Pandangannya mulai kabur. Alana menahan tubuhnya yang mulai linglung. Ia memegangi kepalanya yang terasa pusing.
"Awhhh, kepalaku sakit sekali! Kak to-tolong antarkan aku kekamar," ringis Alana ia sudah tidak bisa menahan tubuhnya.
"Hahaha," Mischa mentertawakan Alana "Rasakan! Aku malas sekali membantu kamu," sambungnya lagi tanpa mau membantu Alana. Malah ia senang melihat Alana kesakitan seperti itu.
BRUK!
Tubuh Alana mulai ambruk, Alana pingsan.
"Hahaha, syukurin kamu, Alana! Mmm aku punya ide," gumam Mischa lalu tersenyum licik. Entah apa yang ada didalam pikirannya.
Mischa membiarkan tubuh Alana terkapar didepan pintu, tanpa mau membantu Alana. Mischa membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Alana begitu saja.
"Papa, Mama." panggil Mischa dengan berteriak.
"Mana Alana, Mischa?" Tanya Berama.
Sedangkan sorot matanya Sarah tertuju ke Mischa memberi isyarat dimana keberadaan Alana.
"Itu, Pa. Alana tidak mau bangun. Dia malah tertidur lagi didepan pintu kamarnya itu, Papa," ucap Mischa berbohong.
"Kurang ajar! Aku harus memberinya pelajaran sekarang. Mischa tolong kamu ambilkan Papa air dingin yang ada didalam kulkas!" perintah Berama kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar Alana.
Tos.
Sarah, Cindy, dan Mischa bertos ria. Mereka bertiga tersenyum penuh kemenangan.
"Yeyyy, misi kita berhasil, Ma." Ucap Cindy.
"Hahaha...," tawa Sarah. "Mischa cepat kamu ambil air dingin di kulkas sebelum Papa kamu sampai di kamar Alana. Mama sudah tidak sabar melihat Alana tersiksa." Sambung Sarah lagi dengan menyunggingkan senyum yang penuh arti.
Byurrr.
Alana disiram dengan air dingin itu yang membuatnya mampu tersadar dari pingsannya.
"Jadi begini kelakuan kamu ketika Papa tidak berada di rumah, Alana!" Ucap Berama dengan nada emosi.
"Pa-Papa!" pekik Alana menyadari Berama sudah pulang dari luar negeri. Jadi Berama jarang berada di rumah. Berama selalu bolak-balik keluar negeri mengurus pekerjannya.
Alana berusaha berdiri, dan hendak memeluk Papanya. Karena Alana rindu dengan Papanya. Namun Berama malah menamparnya.
PLAK!
Satu tamparan mendarat dipipi mulus gadis cantik itu.
Alana menatap Berama dengan mata yang berkaca-kaca. Baru kali ini Alana mengalami kekerasan fisik dari sang Papa.
"Apa maksud Papa menampar Alana seperti itu?" Tanya Alana dengan perasaan sedih.
"Kamu masih bertanya apa maksud, Papa? Seharusnya kamu sadar diri, Alana! Percuma Papa dan Mama merawatmu dengan baik tetapi kamu tidak bisa menghormati orang tua!" Ucap Berama ia tidak pernah menyangka dan membayangkan Alana akan tumbuh menjadi anak yang kurang ajar seperti itu.
Alana terdiam, ia sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Berama saat ini.
"Alana tidak mengerti apa maksud, Papa berkata seperti itu," timpal Alana lagi ia semakin tidak mengerti.
"Jangan munafik kamu, Alana! Bermuka dua sekali! Sudah mendorong Mama, membentak Mama masih aja kamu tidak mau mengakui kesalahanmu!" bukan Sarah yang berbicara tetapi Cindy.
Alana beralih menatap Cindy dengan dahi berkerut. Ada apa sebenarnya yang terjadi. Dan perkataan Kakaknya yaitu Cindy semakin membuatnya tidak mengerti sama sekali.
"Apa maksud, Kak Cindy. Berbicara seperti itu?" Tanya Alana masih tidak mengerti.
PLAK!
Berama menampar pipi mulus Alana.
"Awhhh..." Alana meringis kesakitan. Ia beralih menatap Papanya dengan tatapan yang masih tidak percaya sama sekali. Bahwa Berama menamparnya.
"Kamu belum paham juga, Alana? Apa penjelasan dari Kakak kamu itu kurang jelas? Hingga kamu belum paham juga?" Bentak Berama. Walaupun ia sadar tamparannya terlalu keras untuk Alana. Tetapi emosi lah yang membuatnya tidak perduli dengan suara ringisan Alana.
Alana semakin dilanda kebingungan. Apa sebenarnya yang Mama dan kedua saudaranya itu katakan kepada Papa? Sehingga Papa ringan tangan menamparnya. Ada perasaan perih yang timbul di dalam hatinya. Ia yang tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba mendapatkan perlakuan kasar dari Papanya.
Lalu apa maksudnya jika Alana mendorong dan membentak Mama? Alana tidak pernah melakukan itu sama sekali. Justru Alana lah yang diperlakukan dengan tidak baik oleh Mama dan kedua saudaranya itu.
Bahkan perlakuan Mama dan kedua saudaranya itu sangat kasar. Saat ketika Berama tidak berada di rumah.
"Sekarang kamu ikut dengan, Papa," ucap Berama ia menyeret tubuh Alana dengan kasar.
"Papa, dengarkan penjelasan Alana dulu, Pa." ucap Alan dengan susah payah ia berusaha menyamakan langkah kakinya dengan langkah kaki Papanya.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan, Alana. Semuanya sudah jelas!" ucap Berama ia terus menyeret Alana dengan kasar.
"Tapi, Pa. Papa mau membawa Alana kemana? Tangan Alana sakit, Pa." kata Alana ia merasa tangannya mulai sakit. Karena Berama mengenggamnya dengan sangat keras. Namun sepertinya Papanya tidak perduli lagi dengannya. Bahkan terlihat jelas Papanya sedang diselimuti emosi.
"Terus, Pa. Terus! Beri dia pelajaran, Pa." ucap Cindy bersorak ria.
Byurrrr...
Alana didorong ke dalam kolam renang. Alana berusaha mengimbangi tubuhnya lalu ia berjalan ketepi kolam renang.
Baru ia akan hendak naik. Tetapi Berama langsung menenggelamkan kepala Alana lagi.
"Huf, Pa!" Alana kesulitan bernapas ia menggerakkan tangannya diatas agar Berama berhenti menenggelamkannya.
"Hahaha...," Tawa mereka bertiga. Mereka menganggap bahwa itu adalah lelucon.
"Hufff...," Alana merasa napasnya akan habis.
"Huh, uhuk uhuk," Alana merasa lega ketika Papanya menghentikan menenggelamkan dirinya.
"Itu balasan kamu karena kamu menjadi anak durhaka, Alana!" ujar Berama kemudian ia berdiri.
"Satu lagi, kamu tidak boleh kembali kekamarmu jika belum pagi hari!" sambung Berama degan tegas.
"Ayo kalian tinggalkan Alana disini, tidak ada yang boleh membantunya!" perintah Berama.
Alana segera naik ketas, ia hendak protes.
"Papa. Maafkan Alana, Pah. Alana tidak salah!" Teriak Alana yang berusaha naik keatas kolam renang.
"Cukup, Alana! Papa tidak butuh penjelasan kamu! Ayo Sayang, Cindy, Mischa. Tinggalkan Alana sendiri disini." Sambung Berama. Ia sudah tidak perduli lagi.
"Tapi, Pa," ucap Alana terlambat karena Papanya sudah terlebih dahulu mengunci pintu halaman itu.
Ceklekkk!
Berama dengan cepat menutup dan mengunci pintu itu.
"Papa, bukain Alana pintu, Pa! Alana tidak mau disini," teriak Alana sambil menggedor pintu kaca itu.
Namun Berama tidak perduli dengan teriakannya.
"Hiks...," Alana mulai terisak. Tubuhnya merosot kebawah ia menangis dengan memeluk kedua lututnya.
"Apa salahku, Pa. Mengapa Papa sekarang berubah seperti itu. Hiks..." lirih Alana.
"Alana kangen sama, Papa. Tetapi kenapa Papa bersikap seperti ini kepada, Alana. Hiks..."
Alana terus menangis dan pasrah. Ia masih tidak percaya dengan cara Papanya memperlakukannya. Apakah Alana sedang bermimpi? Alana mulai mencubit lengannya sendiri.
"Awhhh..." Ringis Alana. "Hiks... ini ternyata bukan mimpi," lirih Alana.
Kini langit sudah berubah menjadi gelap. Tubuh Alana menggigil hebat. Ia sudah tidak tahan dingin menusuk seluruh tubuhnya. Baju yang tadinya basah kini sudah menjadi kering.
Alana tidak pernah membayangkan jika Papanya akan tega berbuat sekejam ini padanya. Padahal ia tidak pernah melakukan kesalahan sekalipun. Ia selalu patuh kepada kedua orang tuanya.
Selama ini Alana tidak pernah membantah perkataan orang tuanya.
Tetapi mengapa Mama dan kedua saudaranya selalu menyiksanya. Bahkan mereka setega itu memfitnahnya di depan Papanya.
Apa selama ini mereka tidak puas menyiksa Alana membuat hidupnya sengsara. Bahkan dijadikan sebagai budak mereka.
Hanya Papa yang selalu menyanyanginya. Bahkan Mama dan saudaranya akan baik ketika Papa ada dirumah saja.
Tetapi sekarang Papa menjadi kejam kepadanya. Papa telah termakan omongan Mama dan kedua saudaranya itu.
Malam semakin larut. Tubuh Alana semakin bergetar hebat. Angin malam menelusuk masuk kedalam kulitnya. Sampai sekarang Berama belum juga muncul, Berama benar-benar marah dengannya.
Lalu apa Alana boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Mau merengek pun agar Berama mengampuninya. Dan menyuruhnya masuk kedalam kamar itu tidak mungkin terjadi.
Alana tahu betul jika Berama marah. Dia tidak akan pernah menyesali keputusannya. Walaupun Alana sekalipun sakit.
"Hiks...," tangis Alana semakin pecah. Dia sudah tidak tahu harus bebuat apa lagi. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Berusaha menghangatkan tubuhnya.
Tiba-tiba ada seorang perempuan yang masih muda seumuran seperti Mamanya yang datang menghampirinya. Perempuan itu menggunakan baju putih bahkan dia mengeluarkan cahaya yang sangat terang membuat mata Alana silau.
Perempuan itu berjalan mendekat kearahnya. Dengan senyuman yang terpancar sangat indah menurut Alana. Bahkan wajah perempuan itu sangat cantik dan bercahaya.
Perempuan itu sudah berada dihadapan Alana. Lalu perempuan itu membungkukkan badannya dan mulai mengusap puncak kepala Alana dengan lembut.
Alana mendongakkan kepalanya tidak percaya. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya. Bahkan Alana pun sampai mengucek kelopak matanya.
"Alana...," lirih perempuan itu dengan senyum yang tidak pudar.
Deg.
Mengapa jantung Alana semakin berdetak denga kencang. Apakah sekarang ia berada di surga? Apakah perempuan yang sangat cantik dihadapannya sekarang adalah bidadari surga? Atau malaikat pencabut nyawa?
Huaaaaaa...
Alana tidak bisa membayangkan jika ia benar-benar sudah meninggal dunia. Alana menatap sekelilingnya namun ia masih tetap sama masih berada di pinggir kolam renang.
Atau jangan-jangan perempuan didepanya sekarang adalah hantu? Mana mungkin ada hantu secantik itu. Atau jangan-jangan dia sedang berubah menjadi hantu cantik.
Huaaaaa...
Alana menjadi merinding. Ia memastikan sekali lagi dengan keberanian Alana menatap lekat manik mata perempuan didepannya ini.
"Alana...," lirih perempuan itu lagi memanggil namanya. Lalu perempuan itu mulai duduk dan mengusap puncak kepalanya dengan sangat lembut.
"Ka-kamu si-siapa?" tanya Alana dengan nada gugup sekaligus takut ia mulai memberanikan diri untuk membuka suaranya.
"Kamu jangan takut...," lirihnya lagi dengan menatap manik mata Alana dengan tatapan yang sangat teduh membuat hati Alana merasa sangat tenang.
Lalu perempuan itu membawa Alana kedalam pelukannya.
Alana yang tadinya merasa sangat takut kini berubah menjadi kenyamanan. Sungguh selama ini Alana tidak pernah merasakan pelukan dari seoarang Ibu.
Walaupun Alana mempunyai Mama. Namun Alana tidak pernah diperlakukan semanis perempuan yang ada dihadapan Alana sekarang oleh Mamanya.
"Kamu siapa? Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini? Apakah kamu hantu?" ucap Alana ia masih bertanya-tanya siapa sebenarnya perempuan dihadapannya sekarang.
Dan darimana perempuan itu datang? Bukankah pintu itu dikunci oleh Papa.
"Tenanglah Sayang... Kamu jangan takut. Aku menyanyangimu," lirih perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.
Alana melepaskan pelukannya. Lalau menatap lekat wajah perempuan dihadapannya itu.
Terlihat perempuan itu meneteskan air matanya, dengan sigap Alana menghapus cairan bening itu.
Sttt...
Namun saat Alana mau menghapus cairan bening itu. Telapak tangannya tembus. Ia seperti tidak bisa menyentuh wajah itu.
"Maaf aku harus pergi...," lirih perempuan itu lagi.
Tiba-tiba Alana merasa ia tidak mau perempuan itu pergi dihadapannya. Ia ingin sekali menghapus air mata perempuan itu.
"Jangan pergi!" cegah Alana dan hendak memegang lengan perempuan itu lagi-lagi ia tidak bisa meraihnya.
Tubuh perempuan itu dengan satu persatu seperti menghilang dan tersisa setengah badannya lagi.
"Ya Tuhan hiks...," entah mengapa Alana menangis melihat itu.
Sekarang perempuan itu melambaikan tangan kearahnya. Alana menangis sejadi-jadinya ia merasa nyaman dan tidak mau perempuan itu meninggalkannya.
"Jangan pergi...," teriak Alana dengan histeris.
"Hiks..."
"Non. Non, Alana. Non. Ayo bangun," panggil Bik Wati membangunkan Alana sambil menepuk pipi Alana dengan pelan. Bik Wati adalah pembantu dirumah Alana. Ia bekerja baru 2 tahun.
"Jangan pergi. Aku mohon jangan pergi," ucap Alana.
"Waduh. Pasti, Non Alana. Sedang bermimpi ini. Bangun, Non. Bangun!" Ucap Bik Wati lagi. Bik Wati mengguncang tubuh Alana dengan keras.
Alana membuka matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia juga sesekali mengucek matanya. Lalu ia melihat sekeliling. Ternyata itu hanyalah mimpi.
"Ternyata, cuman mimpi," gumam Alana dengan pelan.
"Non. Sedang bermimpi apa sih? Sehingga, Non Alana berteriak sangat histeris," Tanya Bik Wati penasaran dengan mimpi Alana.
"Tidak apa-apa kok, Bik Wati. Aku hanya bermimpi dikejar anjing," jawab Alana berbohong. Ia tidak mau memberitahu siapa pun tentang mimpinya. Cukup hanya dirinya yang tahu. Nanti jika ia bercerita mereka tidak akan percaya sama sekali tentang mimpinya.
"Tidak apa-apa kok berteriak histeris. Jangan pergi. Aku mohon jangan pergi." ucap Bik Wati sambil menirukan gaya bicara Alana.
"Haish, Bik Wati ada-ada saja."
Alana mengalihkan pandangannya. Raut wajahnya terlihat sedih lagi. Alana sedih, Berama benar-benar menghukumnya atas apa yang tidak pernah ia lakukan.
"Bik Wati. Apa tadi malam Papa mengkhawatirkanku?" Alana bertanya seperti itu, ia takut Papanya benar-benar marah dan membencinya. Karena hanya Papanya yang selalu perhatian padanya.
"Haish, Non yang cantik. Mana Bibi tahu kalau Tuan, Berama. Mengkhawatirkan Non, Alana." Jawab Bik Wati.
Alana yang mendengar jawaban itu raut wajahnya berubah menjadi murung. Alana semakin sedih. Apakah Berama sudah benar-benar tidak menyanyanginya lagi? Pertanyaan itu terus yang ada dibenaknya Alana.
Bik Wati yang melihat anak majikannya murung. Ia merasa bersalah dengan ucapan yang dilontarkannya. Bik Wati tidak bermaksud membuat Alana sedih. Memang Bik Wati tidak tahu jika majikannya itu sedang khawatir atau tidak.
"Non Alana, tidak perlu bersedih seperti itu. Maksud dari perkataan Bibik tadi karena Bibik tidak bertemu dengan, Tuan. Alias Papanya, Non Alana. Jadi Bibik tidak tahu kalau Papanya Non mengkhawatirkan Non atau tidak. Satu yang harus Non Alana ketahui. Kalau Papanya, Non. Pasti mengkhawatirkan, Non Alana. Sejatinya orang tua itu tidak ada yang tidak menyanyangi anaknya. Apalagi anaknya seperti, Non. Sudah cantik, baik lagi. Mana Non Alana rajin juga. Beihhh, seandainya Non Alana anak Bibi. Bibi akan merasa bahagia menjadi seorang Ibu dari anak yang baik seperti, Non Alana." Jelas Bik Wati panjang lebar.
Bik Wati berkata seperti itu, bukan semata-mata untuk menghibur anak majikannya itu. Bik Wati mengakui jika Alana adalah anak yang sangat baik. Bik Wati merasa kasihan dan juga sedih jika Alana diperlakukan tidak baik oleh Sarah dan kedua Kakak perempuan Alana.
Bik Wati juga tidak tahu sebab majikan perempuannya selalu memarahi Alana. Dari segi pandang Bik Wati. Alana adalah anak penurut dan penyabar. Bahkan Bik Wati pernah mencari tahu apa kesalah Alana hingga Mamanya sering memarahinya.
Tetapi Alana tidak berbuat kesalahan sama sekali. Buktinya jika Alana dimarahi Alana hanya bisa terdiam tidak berani melawan ataupun menyahutinya dan juga setiap Alana disuruh untuk melakukan pekerjaan rumah sendirian tanpa ada orang yang membantunya. Anak itu selalu menurut.
Apalagi semenjak kejadian semalam. Bik Wati hanya bisa terdiam dan tidak bisa membantu Alana.
Alana terharu dengan perkataan Bik Wati. Di dalam benaknya Alana membandingkan Bik Wati dengan Mamanya.
'Andai saja Mama seperti, Bik Wati. Aku mungkin bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu yang sebenarnya,' ucap Alana di dalam hatinya.
Bik Wati yang begitu paham dengan perasaan Alana.Ia langsung memeluk Alana. Dengan pelukannya itu, Bik wati berharap kesedihan Alana bisa terobati walaupun tidak sepenuhnya. Sunggu hati Bik wati mulia sekali.
Alana langsung menyambut pelukan itu dengan hangat. Nyaman yang dirasakan saat ini oleh Alana. Walaupun Bik Wati bukan keluarganya. Alana sangat menyanyangi Bik Wati. Bahkan Alana menganggap Bik Wati seperti Ibu kandungnya.
Kehadiran Bik Wati mampu mengobati rasa rindunya atas kasih sayang seorang Ibu, yang tidak pernah Alana dapatkan dari Sarah alias Mama Alana.
"Sudah, tidak baik terlalu bersedih, Non. Non juga hari ini mau berangkat sekolah kan. Jadi ayo, Non Alana kembali ke kamar, Non. Nanti Non bisa terlambat kesekolahnya. Satu lagi, Non harus bersemangat. Tunjukkan kepada Papa, Non. Jika Non Alana itu anak yang hebat dan bisa membanggakan kedua orang tua, Non Alana. Non bisa buktikan kepada mereka berdua bahwa Non bukan wanita yang pembangkang. Seperti apa yang dikatakan oleh Papa, Non Alana," sambung Bik Wati sambil mengelus puncak kepala Alana.
Bik Wati memberikan Alana semangat melalui kata-katanya. Bik Wati sangat yakin jika Alana bisa membuat orang tuanya bangga.
"Bik Wati sangat benar sekali. Aku harus membuktikan kepada Papa dan Mama. Kalau aku aku bisa menjadi anak yang hebat," ucap Alana melepaskan pelukan itu dan berkacak pinggang. Alana menyakinkan dirinya jika ia bisa menjadi anak yang hebat agar menjadi anak yang dibanggakan.
"Top, Non Alana. Bik Wati akan selalu mendampingi, Non Alana. Bik Wati akan selalu menyemangati, Non Alana. Tos dulu dong, Non." Sorak Bik Wati. Ia tidak kalah semangatnya. Bik Wati sangat senang jika Alana seperti itu.
Tos.
Mereka berdua bertos ria lalu tertawa bersamaan. Sedihnya hilang seketika. Seakan-akan Alana lupa dengan kejadian semalam.
"Bik Wati, harus berjanji ya! Jangan pernah meninggalkan aku," Pinta Alana kepada Bik Wati.
Alana seperti itu karena ia takut nantinya Bik Wati meninggalkannya. Harapan satu-satunya saat ini adalah Bik Wati.
"Iya Bik Wati berjanji. Tidak akan meninggalkan, Non Alana." Jawab Bik Wati menyakinkan Alana.
"Terima kasih, Bik. Bibik selalu mengerti perasaan aku," Alana langsung memeluk Bik Wati lagi.
"Sama-sama, Non cantik. Sekarang Non Alana kekamar gih. Nanti Non telat lagi. Pasti Tuan semakin marah dengan, Non."
"Siap, komandan!" Jawab Alana bersemangat dengan tangan yang di letakkan dijidatnya seperti orang hormat bendera.
Bik Wati hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Alana yang terlihat lucu baginya.
Alana bergegas menuju kamarnya. Sebelum sampai dikamarnya, Alana berpapasan dengan Kakaknya yaitu Mischa. Alana tidak berani menatap Mischa, ia berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Disaat Alana hendak menaiki anak tangga. Terlihat Papa dan Mamanya akan menuruni anak tangga itu. Alana terdiam tidak langsung naik. Alana mengalah dan membiarkan Papa dan Mamanya turun terlebih dahulu.
Berama dan Sarah sekarang berada di hadapan Alana. Sarah menatap Alana dengan tatapan sinis. Lebih tepatnya tatapan tidak suka.
"Papa, Mama." Sapa Alana dengan perasaan takut.
"Sudah bangun kamu?" Tanya Berama mulai membuka suara. Sebenarnya Berama masih marah dengan Alana tetapi ia masih bisa menahannya.
Alana yang ditanya seperti itu langsung menunduk. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Papanya. Alana kembali bersedih lagi. Alana berharap pertama kali pertanyaan yang muncul dari Papanya adalah menanyai keadaannya.
Tetapi pertanyaan itu tidak dilontarkan sama sekali oleh Papanya yang membuat Alana sedih lagi.
"Alana! Kamu ditanyai oleh Papa kamu. Malah tidak menjawab. Tidak sopan sekali! Ayo, Sayang. Mungkin Alana menjadi bisu jadi tidak perlu diladeni," sindir Sarah. Ia menarik lengan suaminya agar menjauh dari Alana.
Berama tidak protes sama sekali. Ia malah mengikuti istrinya. Tanpa memperdulikan perasaan Alana.
Tes.
Alana kembali menangis. Sakit yang dirasakan ketika dikatakan bisu dan diabaikan oleh Papanya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!