Bab 5 Hanya Mimpi!
"Pemberitaan semakin menyudutkan keluarga kita, Mbak! Dampaknya sudah mulai ke perusahaan, Mbak! Apa yang akan Mbak Gauri lakukan? Diem aja kayak gini tanpa klarifikasi?" desak Arkaan yang geram mendapat teror dan hinaan dari temannya.
"Mbak udah pikirin semuanya. Kalian tenang aja dan kerjakan yang Mbak perintahkan tanpa banyak bertanya." jawabku enteng sambil terus mengunyah camilan di depan layar PS yang dimainkan Nizam dan Langit.
"Lo keluar dari kerjaan. Dan ikut masuk ke perusahaan sama gue besok. Kita rapat besar sama semua kantor cabang. Gue udah undang semuanya. Pokonya, kalian semua terima beres dari gue!"
Dengan gaya slengekan dan bossy, merangkul adik bungsu paling manja di depanku dengan gemas. Makanan ringan berupa keripik kentang kutuangkan ke rambutnya.
"Mbak Ririiii!!!" teriaknya tak terima lalu menggelitiki pinggangku.
"Udah! Udah! ARKAAAN! Stop! OKE! Mbak minta maaf! Gue minta maaf! Gue bilang stop!!!" Meronta-ronta aku berusaha terlepas dari jari Arkaan.
Tiba-tiba Arkaan tertunduk lemah menghentikan tindakannya.
"Biasanya Bunda yang menghentikannya, Mbak ... kalo Bunda belum jewer telinga ini sampe merah. Gue nggak mau berhenti ...." isaknya terduduk di lantai.
Lekas aku memeluknya. Dadaku mulai sesak mengingat kembali semua tentang Bunda. Tapi aku harus kuat. Tak boleh ada air mata di depan Arkaan.
"Hei! Lo itu cowok dua puluh dua tahun, woii! Cengeng banget, sih adik gue?" Satu geplakan di kepalanya tidak terlalu keras kudaratkan.
Sedikit menghiburnya, karena dia tersenyum dan mengumpat pelan. Takut terdengar dua keponakanku yang masih asyik bermain di dekat kami.
"Punya Mbak satu aja, gini amet deh! Nggak punya simpati simpatinya sama adek yang lagi sedih!" ucapnya manyun.
"Iyalah ... gue sukanya yang XL extra large, wleeek!" sahutku dengan menjulurkan lidah dan melompati sandaran sofa lari ke kamar. Menghindarinya yang mengepalkan tangan dengan umpatan dan anacaman.
Aku harus menjaga kewarasan agar bisa mencari tahu semua kejanggalan demi kejanggalan ini.
"Ken, bisa kita ketemu?"
"Kamu baik-baik aja, kan Ri?"
"Hm ... baik banget malah! Kita ketemu di tempat nongkrong anak-anak. Kapan kamu ada waktu? Lebih cepat lebih baik, Ken. Gue butuh bantuan Lo!"
Percakapan di telpon dengan mantan pacarku itu terhenti saat sepasang tangan melingkar di pinggangku.
Aidam!
Aku langsung menutup panggilan tanpa tahu jawaban Kenzie. Apa dia dungu? Kenapa masih menemuiku di rumah ini? Geram rasanya ingin sekali mengumpat bahkan memukulnya.
"Kok ditutup, Sayang? Maaf ... aku ganggu, ya?"
Parah! Pria model apa sih suamiku ini? Hhhh ... ya dia masih suamiku. Dan itulah mengapa aku masih bisa menahan amarah dan tetap hormat padanya. Meski rasanya benci dan cinta saling bersekutu dalam hati.
"Hhhh ...." hanya hembusan nafas panjang yang kuberikan sebagai jawaban.
"Aku nggak akan pernah bosan meminta maaf hingga kamu benar-benar memaafkanku, Sayaaang." katanya membalikkan tubuhku agar berhadapan.
"Ok! Apa perlu ada hitam di atas putih agar kamu mengingat syarat yang akau berikan padamu, wahai Aidam Ishwar Sura?" tanyaku sinis melipat tangan di depan dada.
"Aku sudah menyiapkan semuanya untuk melakukan pers conferences besok pagi, maka--"
"Bagus! Aku akan lebih leluasa berjalan sebagai diriku sendiri di luar sana, kan?" potongku cepat menunjukkan wajah ceria.
"Kita bertiga yang akan menjelaskan semua, Gauri. Kamu boleh buka suara dan membela dirimu sendiri. Maka--"
"Apapun itu? Aku boleh mengungkapnya? Really?" sahutku menggut-manggut.
"Kita harus selaraskan pernyataan dulu. Aku dan Yosi sudah mengatur semuanya. Kamu tinggal mengikuti skenarionya."
"Skenario? Oooh ... jadi aku harus berakting juga? Trus aku dapet keuntungan apa? Akting kan nggak mudah?" tantangku dengan sikap manja layaknya wanita penggoda.
Tatapan dan raut wajahnya datar, sulit ditebak apa yang dipikirkannya. Tanganku menarik kerah kemejanya lalu merapikan lagi. Mengusap dadanya dengan tatapan fokus ke mata bening yang mulai berkabut itu.
Kita lihat bagaimana aku menjadi sosok yang mereka katakan padaku. Aku sang pelakor, kan?
Dia mengerjap beberapa kali, mungkin sedang memastikan apakah yang di hadapannya saat ini aku atau wanita lain. Aku terus mendorongnya hingga ke kaca jendela kamar.
Senja berwarna jingga masih merona di atas langit. Memancar indah melalui bias sinar yang mukai meredup. Kutarik gorden hitam meraup habis cahaya dalam kamar.
Dua lenganku mengalung di lehernya. Sentuhan-sentuhan manja kudaratkan di pahatan indah tubuhnya. Jemariku menari di antara dua netra tajam yang terpancar keraguan. Turun hingga rahang tegas berbulu halus kususuri tiap helainya.
Kuangkat tumit hingga bibirku sejajar dengan miliknya. Melumat habis candu kenyal yang menghempaskan logikaku akhir-akhir ini.
Dia masih belum membalasnya, mungkin masih asing dengan sikap agresifku seperti ini. Masih mempertahankan hisapan di indera pengecapnya. Tanganku turun melepaskan satu demi satu kancing kemejanya. Semakin merapatkan tubuh hingga tak berjarak dengannya.
Tangannya mulai menekan pinggangku. Mendekapnya dan terus menyusuri punggung. Membalas lumatan dengan lidahnya dan semakin brutal. Membalik keadaan dengan kasar menghempaskan aku ke atas ranjang.
Dia melepaskan semua kain penutup dengan kasar. Hanya menyisakan celana dalamnya saja. Membungkuk di atasku dan mengoyak paksa atasanku. Matanya sudah berselimut kabut gairah yang menggebu.
Aku tak mengenalinya. Sungguh dia bukan Aidam yang kukenal. Logikaku kembali, mataku membelalak saat dia hampir mencekikku. Dia terlalu kasar dan beringas kali ini. Tiba-tiba saja aku tak mengenalinya.
Aku tak bisa lagi meronta. Respon tubuh dengan estrogen yang sudah meningkat tak bisa dihentikan begitu saja. Dia telah berhasil menyingkirkan penghalang di bawah sana.
Satu lenguhanku membuatnya cepat memompa. Saat semburan itu menghangatkan organ dalamku, mata ini basah. Begitu saja tanpa bisa kutahan lagi. Mengapa aku tak bisa mengontrol emosiku? Mengapa aku benar-benar layaknya wanita nakal?
"Mbak! Mbak Riri! Ada Mas Kenzie dari tadi nungguin di bawah!" teriakan Arkaan disertai ketukan pintu semakin jelas terdengar.
Aku mengerjap berulang kali, mengingat apa yang baru saja terjadi. Di mana Aidam? Aku masih di meja kerja Ayah?
"Mbak! Kenapa pintunya dikunci, sih? Mbak nggak kenapa-napa kan, Mbak?" suara Arkaan berteriak dan menggedor pintu terdengar kembali.
Dan itu membuatku terkekeh, merutuki alam bawah sadar yang harus menampilkan adegan panas. What wrong with your think's, Gauri!
"Katanya udah janji sama Ken? Sampai Ken nyamperin ke sini, kan? Ngapain sih, Mbak?"
Saat pintu terbuka, Arkaan memberondong pertanyaan padaku yang mengucek mata.
"Dasar kebo banget sih Lo, Mbak? Pantesan aja nggak ada yang serius sama Mbak? Modelan kayak gini?" ejeknya memindaiku dari atas hingga bawah.
"Jadi kan, Ri?"
Pria berkaos putih dengan dibalut jaket sudah berdiri di belakang Arkaan dan menyapaku.
Siapa pria ini? Hm ....
Tunggu kelanjutannya di episode berikutnya!
Terima kasih sudah bertahan buat baca.
...***...
^^^Bersambung ....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
aaaaaaaa
tidaaaaakkkkkk
aqu msh bertahan..
pdhl aqu sdh gk tahan, thor...
mau kabuurrrrrrrrrrrr😫🏃♀️
2023-12-05
2