Bab 2 Semua Berpulang
"Bunda ... nggak ada ... Mbaaaak!" tangisnya pecah.
"Arkaan! Apa maksud kamu? Ar--" sambungan terputus sepihak.
"Ada apa?" tanya Aidam berdiri menahan tubuhku yang serasa sudah tak bertulang.
Air mata ini kembali merembes tak beraturan. Bayangan kebersamaan dengan ibu terlintas di benakku.
"Setelah kamu menikah nanti, mungkin Bunda dan Ayah akan lebih tenang, Nduk ... Arkaan laki-laki, dia sudah dewasa dan tak lagi membutuhkan Bunda nanti. Pasti akan lebih fokus pada istrinya kelak. Dan kamu harus bertahan dengan Aidam apapun yang akan menjadi ujianmu di depan. Bunda doakan semoga kamu menikah sekali ini saja hingga maut memisahkan, bahagia bersama Aidam dan anak-anakmu."
Kalimat bunda kemarin malam sebelum acara resepsi digelar, terngiang lagi di kepalaku.
Aidam mencoba menghubungi seseorang dari ponselku. Entah siapa yang dihubunginya, sebentar saja lalu dia masuk ke kamar mandi.
Aku mencoba melanjutkan berpakaian dan mencoba tetap tenang. Membiarkan pikiranku tak terpenuhi dengan kebencian dan amarah. Ikhlas adalah kata yang sering diberikan padaku dari bunda. Inilah kiranya makna untukku.
Dicap menjadi perawan tua, berhasil menikah dengan seorang konglomerat. Tapi di malam pertama justru dikejutkan dengan kenyataan pahit bahwa suamiku tak hanya pernah menikah, bahkan masih berstatus suami orang.
Dan sekarang di pagi buta mendengar kabar dari Arkaan tentang Bunda. Memang perempuan yang melahirkan dan merawatku itu sudah sepuh dan memiliki riwayat banyak penyakit. Termasuk jantung ....
Tunggu! Apa Bunda tahu tentang Aidam yang menjadikanku istri keduanya. Mengingat Papa Sadana adalah teman baik Ayah, dan jati diri keluarga pria yang telah menikahiku ini terbuka.
Jika benar itu penyebabnya, aku tak akan tinggal diam! Aku bukan wanita lemah yang manja dan harus mendapatkan perlakuan manis dari seorang pria!
Sejak kecil berada di lingkungan yang semuanya laki-laki membuatku lebih kuat dan mirip dengan mereka. Baik berpakaian ataupun cara berpikir. Kukeratkan gigi-gigi hingga bergemeletuk dan mengepalkan tangan sekuat mungkin.
Aidam keluar dan langsung memakai pakaiannya di walk in closet. Cepat meraih kunci mobil dan menggamit pinggangku yang sudah menunggunya di depan pintu.
Kuhembuskan nafas panjang untuk meredam emosi di dada. Berulang kali hingga kurasakan sedikit lega. Melangkah beriringan dengannya menuju ke basement parkir hotel. Tak ada obrolan di antara kami. Sibuk dengan berisik argumen dalam benakku.
"Aku yakin kami pasti kuat! Kamu perempuan luar biasa dan tangguh selama ini. Hm?" katanya membukakan pintu mobil untukku.
Tak ada lagi isakan yang tersisa. Tenggorokanku seperti sudah mengering dan sulit untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya satu yang kupikirkan saat ini.
Aku ingin mengajukan gugatan cerai pada Aidam. Dan akan tinggal bersama Ayah juga Arkaan, adik bungsuku. Terserah apa dia mengijinkan atau tidak. Aku tak akan pernah mau tinggal di rumahnya. Apalagi harus bersama maduku.
Buat apa menikah jika harus seperti ini. Menjadi yang kedua dan hanya diharapkan peranakannya saja. Memangnya aku tak punya hati dan perasaan. Di mana otak Aidam ketika memutuskan untuk melamarku sebulan lalu.
Tak tahu lagi umpatan apa yang harus kulayangkan pada lelaki yang baru kemarin menjabat tangan ayah dan mengucapkan kabul untukku ini.
"Mbaaak!" Semua adik ipar memelukku sesampainya di halaman rumah.
"Arkaan." Aku memeluknya yang duduk bersimpuh di bawah keranda Bunda.
"Kenapa harus sekarang, Mbak? Ar ... Ar ...," ucapannya terhenti ketika tangan Aidam meremas bahunya.
Arkaan berdiri dan melayangkan sebuah pukulan di rahang suamiku. Aidam terhuyung dan memegang pipinya. Sudut bibirnya berdarah.
"ARKAAN!!!" jeritku menepis lengannya yang sudah terangkat lagi.
"Ayaaaah!!!" Semua orang menjerit saat terdengar sesuatu jatuh dari arah tangga.
Tubuh laki-laki paruh baya itu berguling di anak tangga. Belum sampai bawah sudah ditahan oleh dua adikku Aifaz dan Arsyad.
"Ayah ...," gumamku bersamaan dengan Arkaan yang menurunkan tangan dan berjalan cepat menuju tangga.
Ayah tak sadarkan diri setelah terpeleset dan terguling di tangga. Diangkat dan dibaringkan di sofa ruang tamu yang telah dipindahkan ke ruang keluarga. Para pelayat yang sudah berdatangan sedikit riuh dengan kecelakaan yang dialami pria bernama Abyasa Radeva di rumahnya sendiri.
Setelah beberapa upaya menyadarkannya, ayah membuka mata. Kami berlima serta tiga menantu perempuan sudah berdiri mengelilinginya. Dia menatap satu per satu dan mengangguk pelan.
"Nduuuk, Leee ... kalian harus saling menjaga. Arkaan, nurut sama Mbakmu dan Masmu. Nduk Riri ... patuhilah suamimu. Jangan jadi pembangkang seperti pada ayah, dia jalan surgamu, Nduk ...." Ayah berpesan dengan senyuman dan sedikit tersengal.
Kami semua membisu, tak ada yang berani menjawab kalimatnya. Mata yang kelopaknya sudah mengeriput itu menunjukkan kebanggaan menatap anak-anaknya lalu tersenyum.
Kalimat selanjutnya adalah syahadat yang terbata dan hampir tak terdengar. Meski lirih dan susah payah terucap, tapi jelas itu adalah sebuah kesaksian terhadap Tuhannya. Hanya gerakan bibir dengan mata perlahan memejam. Sesekali melirik ke arah atas dengan nafas yang tersengal.
"Ayaaah ...."
Aku menunduk tajam dan pertahananku jebol saat itu juga. Air mata meleleh begitu saja di pipi. Tanganku mengepal kuat mencengkeram ujung baju. Tak ada isakan, hanya sesak yang tertahan dalam dada.
"Gauri! Sudah ayah katakan kamu perempuan Nduuk! Biarkan adik-adikmu yang belajar taekwondo! Kamu nonton aja! Nggak usah ikut-ikutan!"
"Gauri! Kamu bolos sekolah lagi? Sekali lagi ayah mendapat laporan atas kenakalanmu, maka ayah akan kirim kamu ke Pesantren!"
"Gauri! Putuskan dia sekarang juga! Atau ayah akan lumpuhkan semua aksesmu keluar rumah selamanya!"
Peringatan dan kemarahan ayah atas diriku yang terus saja membangkang kembali berputar di kepalaku. Bergema dan berulang-ulang hingga tak sadar ayah telah diangkat ke pembaringan terakhir.
Di bawah gundukan tanah basah ini, Ayah dan Bunda dimakamkan bersama. Tak ada yang mereka bawa, hanya doaku yang mungkin bisa menolong keduanya.
Karena itulah aku tak meratap, tak meraung dan histeris seperti kebanyakan anak ditinggal orang tuanya. Bukan aku tak sayang. Bukan.
"Kelak jika suatu saat Ayah atau Bunda tiada, jangan tangisi kepergian kami. Iringi dengan doa kalian memohonkan ampunan untuk dosa kami. Dan kirimlah pahala dengan mengerjakan amalan yang telah kami ajarkan pada kalian, Nduk. Katakan pada ketiga adikmu, hm?"
Nasehat ayah saat bunda hendak melahirkan Arkaan di usia yang telah senja adalah satu-satunya penguatku saat ini. Semuanya seperti rekaman kaset yang ter-replay di memori otakku. Menyerukan ke seluruh sistem saraf tubuh agar aku tak menangis.
Pandanganku hanya menatap satu titik. Nisan bertuliskan nama kedua orang yang telah berjasa besar dalam hidupku selama ini. Abyasa Radeva dan Adhira Laksman hidup bersama selama hampir empat puluh tahun. Tanpa wanita lain ataupun pria lain dalam pernikahan mereka.
"Yang tabah ya, Mbak?"
"Mbak pasti kuat!"
"Gauri, Lo pasti bisa lewatin ini! Lo cewek tangguh!"
"Gue pamit, ya Ri?"
Ucapan sapaan dan bela sungkawa teman-teman kantor, sekolah, kuliah dan kolega bisnis ayah hanya bisa kujawab anggukan. Tanpa mengalihkan pandangan pada mereka.
"Sayang ... kita pulang, hm?" bisik Aidam di telingaku.
Dua tangannya sedikit menarik bahuku agar berdiri mengikuti ucapannya.
"Sebentar lagi." balasku tak bertenaga.
"Pak, Nona Yosi ada di sini." Bisikan asisten pribadi Aidam terdengar di telingaku.
'Apa yang dicari wanita itu di sini?' Batinku geram.
...***...
^^^Bersambung ....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Tati st🍒🍒🍒
pengen kenalan deh sama istri perramanya,baikah atau sebaliknya😁
2023-12-18
2