Sekutu Rasa

Sekutu Rasa

Bab 1 Kehilangan yang Berharga

Bab 1 Kehilangan yang Berharga

Mataku mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk. Getaran ponsel di nakas membangunkanku dari alam bawah sadar. Menahan nyeri di sekujur tubuh. Utamanya bagian bawahku. Sadar kini aku tak lagi perawan. Pria yang masih terlelap di sisiku ini telah merenggutnya semalam, usai resepsi pernikahan dia langsung mengajakku ke hotel.

Getaran gawai di nakas masih saja berisik. Sedikit meringis aku beringsut menggapai benda pipih itu.

My Yos is calling ....

Terpampang jelas nama dan foto perempuan di layar handphone Aidam. Mataku membelalak sempurna dan refleks terduduk dengan tetap mempertahankan selimut menutup tubuh.

"Siapa yang mengganggu sepagi ini? Bahkan masih belum adzan Subuh, kan?" rengeknya merebut ponsel digenggamanku dan melemparnya hingga ponsel terberai di lantai.

"Siapa dia? Mantan istrimu kah?" tanyaku dengan tatapan nanar ke wajahnya yang masih terpejam.

Dia tak menjawab dan memunggungiku sembari menarik selimut yang sebagian menutup tubuh polos kami.

"Aidam ... katakan kejujuran untukku! Siapa perempuan yang menghubungimu di jam seperti ini? Bahkan belum ada 24 jam setelah kita menikah!" tanyaku menahan amarah.

Aku telah menjadi istrinya, apapun yang terjadi dia tetaplah harus dihormati. Karena aku dalam kesadaran menerimanya walau tahu bahwa dia pernah ...

"Apa dia bahkan belum bercerai denganmu, Aidam?" Satu pertanyaan kembali kulayangkan padanya yang memutar tubuhnya menghadapku.

"Aku sudah bertanya dan meminta keyakinanmu berulang kali, Gauri. Jawaban kamu tetap sama dan menerima pernikahan ini!" ucapnya tegas dengan menatap tajam.

"Heh? Setelah kamu merenggut apa yang paling berharga dariku, kamu baru mengakuinya?" tanyaku sinis dengan tetap menyunggingkan senyuman.

Otakku rasanya sudah mendidih dengan nafas yang naik turun menahan emosi. Berusaha tetap waras dan tak menangis di depannya.

"APA TUJUANMU SEBENARNYA MENIKAHIKU, AIDAAAAM!!!" bentakku menggelegar dengan air mata yang tak lagi bisa kubendung.

Pertama kalinya aku menangis di depan lelaki. Sekeras dan sesakit apapun aku terluka selama ini tak pernah sekalipun menangis di depan orang lain. Aku bahkan malu dengan diriku sendiri jika harus mengeluarkan air mata untuk kesakitan yang tak seberapa ini. Karena aku sadar bahwa masih banyak sekali yang lebih sakit dan menderita dibanding diriku.

Aku meraung memukul dan berteriak keras menepis dua tangannya yang hendak menyentuhku. Tak mungkin aku meminta cerai darinya. Aku tahu perempuan yang meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan diharamkan mencium bau surga.

Wajah lelaki yang baru saja merobek hal berharga dariku itu sama kacaunya. Aku bisa melihat kegusaran dan penyesalan dalam raut tegas yang sekarang sirna. Berganti sendu dan berair sudut matanya. Apa yang bisa membuatnya sesedih ini, harusnya dia tak begini jika berniat menipuku.

Dia terlalu sempurna sebagai seorang pria dewasa. Ketaatan beribadah dan pemahamannya tentang agama pun tak diragukan lagi. Aku tahu, karena sejak dulu aku telah mengaguminya dalam diam.

Aku lelah berteriak dan menangis, tangan kekar itu berhasil merengkuh tubuhku. Membawanya masuk dalam dekapan hangatnya. Nafasku tersengal dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Kurasakan detak jantungnya pun seperti menahan beban yang tak tersampaikan.

"Maaf Gauri ... aku sudah mengatakan bahwa statusku bukan Duda, tapi masih suami sah Yosita. Aku tak sempat mengatakan kejujuran saat kamu mengatakan ingin menikah segera. Selama satu bulan aku berusaha membuka rahasia itu, tak pernah didengar bahkan sepertinya aku pun tak tega mengatakannya di saat kamu begitu menunjukkan ketertarikan padaku, Gauri ...."

Pernyataan panjang lebarnya membuatku semakin tergugu tanpa suara di dada bidangnya.

Ya. Akulah yang meminta secepatnya menikah dengannya. Entahlah, aku hanya tahu bahwa kesempatan tak datang dua kali. Aidam lama terkubur di dasar hatiku dan muncul ke permukaan menawarkan pernikahan denganku.

"Yosita tak bisa hamil, Papa menginginkan kehadiran cucu dan penerus bisnisnya, anakku, dan semoga itu dari rahimmu, Gauri ...." lanjutnya melepaskan dekapan dan menyeka basah di pipiku.

"Ya! Apalah aku ini yang tak berharga sama sekali! Ayahku saja telah menjualku pada keluarga Sadana! Ini hukumanku selama ini membangkang Ayah dan aturannya melalui kamu!" ucapku menepis jari tangannya di wajahku.

Beranjak dari atas ranjang, aku menyeret selimut memasuki kamar mandi. Kupaksakan rasa nyeri saat kaki melangkah, tak sesakit hatiku saat ini. Setelah mengunci pintu dan menyalakan shower, aku duduk memeluk lutut melanjutkan tangis lagi.

"Gaurika ... kamu adalah seorang istri sekarang! Istri kedua dari seorang Aidam yang akan melahirkan keturunan untuk keluarga Sadana. Kamu pemenangnya! Bukan Yosita!" hiburku pada diri sendiri.

"Kamu harus lebih kuat dan lebih berkelas dibandingkan istri pertama suamimu! Jangan menangis! Ini bukan maumu! Ini bukan salahmu! Bangkit dan hadapi dengan elegan, Gaurika Yada!" teriakku dalam hati sembari menegakkan tubuh berdiri menyelesaikan mandi.

Keluar dari sana hanya mengenakan bath robe di tubuh, Aidam duduk di tepi ranjang, dua tangannya menyangga kepala yang menunduk. Aku mendekat dan dia mengangkat wajahnya yang ... sembab?

"Gauri ... maafkan aku ...," katanya lirih meraih jemari tanganku dan mengecupnya.

"Tak kusangka seorang Aidam Ishwar menangis karena seorang Gaurika, heh?" kataku menghempaskan tangannya dan melenggang ke walk in closet.

"Gauri, bantu aku untuk bisa adil. Atau ... aku akan mempertahankan kamu dan melepaskan Yos. Jujur, kalian berdua ... sangat berbeda. Dan--"

"Jangan katakan kelebihan atau kekurangan istrimu di depan istrimu yang lain! Itu adabnya, Aidam! Kamu harusnya lebih paham itu." tegasku melirik sinis melanjutkan langkah ke walk in closet.

Ya ... walaupun aku memang belum bisa menutup auratku seperti muslimah taat dan sholehah, tapi aku banyak membaca masalah seperti ini. Apalagi baru-baru ini banyak sekali masalah memiliki istri kedua dengan berbagai alasan. Karena sesering itu melihat bersliweran di media sosial, aku jadi banyak tahu. Tak menyangka jika aku akan mengalaminya juga.

Ponselku berdering di atas nakas, nomor baru yang tak tersimpan di kontakku terpampang di sana.

"Bolehkah aku mengangkatnya, Suamiku?" Kusodorkan layar ke depan wajahnya dan dia hanya mengangguk dengan wajah keheranan melihat perubahan sikapku yang sangat drastis.

Sengaja aku melakukannya untuk melindungi diriku sendiri agar tetap waras. Ya! Menjadi tegar dan menerimanya dengan ikhlas adalah cara membentengi perasaanku sendiri.

"Mbak ... ini Arkaan! Bunda, Mbak ... Bunda ...." suara isakan dan terbata adik bungsuku terdengar di telinga.

"Apa yang terjadi, Ar? Katakan yang jelas! Jangan nangis dulu!" bentakku gusar dengan jantung berdebar hebat.

"Bunda ... nggak ada ... Mbaaaak!" tangisnya pecah dan panggilan terputus.

Jantungku berdebar hebat, tangan gemetaran. Hampir saja ponsel di genggamanku menghantam lantai. Dengan sigap Aidam menangkapnya dan menahan tubuhku yang terhuyung.

"Arkaan! Apa maksud kamu? Ar--" sambungan terputus sepihak.

Apa yang terjadi?

Apa maksud ucapan Arkaan Bunda nggak ada? Meninggal kah?

...***...

^^^Bersambung ....^^^

Terpopuler

Comments

AriNovanie

AriNovanie

Kak 🤭

2024-01-06

1

Mega Kuzuma

Mega Kuzuma

masih awal loh ini ,bagusssss thor

2023-12-22

1

Tati st🍒🍒🍒

Tati st🍒🍒🍒

masih nyimak

2023-12-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!