TERJERAT PERJODOHAN PAKSA
Paksaan pernikahan membuat seorang gadis frustasi karena selalu mendapat tekanan batin setiap hari. Terkadang dia merutuki diri sebab terlahir dari keluarga sederhana yang selalu di caci maki oleh keluarga ayahnya.
Gadis itu bernama Dianti, pagi hari. Di kediaman rumahnya, mereka menyambut pagi dengan agenda cekcok mengenai perjodohan dengan anak saudagar kaya.
Rumi sebagai Ibu kandung Dianti, sangat mengharapkan anak gadisnya menerima perjodohan tersebut.
Bukan tanpa sebab, wanita itu secara paksa menjodohkan anak kandung sendiri pada saudagar kaya desa sebelah.
Karena semua yang dilakukan semata-mata agar derajat keluarga mereka setara dengan keluarga dari ayah Dianti sendiri.
Tekad itu telah bulat diputuskan, karena ingin menuntaskan dendam yang sejak lama di pendam. Rumi, dengan terpaksa menjadikan Dianti sebagai alat untuk bisa mencapai tujuan.
" Aku tidak bisa menerima lamaran anak juragan tanah itu bu!. " ucap Dianti sambil berlalu menjatuhkan bokongnya kasar pada kursi kayu.
Tatapan mata tajam seketika menjurus. " Apa alasanmu menolak lamaran anak jurangan, Abu. Bersamanya pasti masa depanmu cerah. Dan kita tidak akan lagi di injak-injak oleh keluarga ayahmu."
Juragan Abu, saudagar kaya yang terkenal akan kekayaan berlimpah. Bukan hanya sekadar memiliki aset tanah yang luas, bahkan keluarga itu juga mempunyai kebun teh di pelosok desa seberang.
" Tapi aku tidak bisa bu, mau sampai kapan Ibu mendesakku untuk menikahi lelaki yang tidak aku cintai?. " Air mata yang tadi dipaksa agar tidak luruh kini mulai tumpah.
Rumi yang sedang berdiri bersedekap dada berjalan menghampiri Dianti. " Ibu akan berhenti mendesakmu sampai kau menemukan lelaki yang sama kayanya dengan anak juragan Abu!. " Ucap wanita itu tepat di hadapan Dianti dengan penuh penekanan.
Dianti menggeleng, " Apakah Ibu sadar mengatakan demikian?, kita saja dari keluarga berkekurangan. Lantas mengapa Ibu sangat mengharapkan calon suami untukku dari kalangan atas?. "
Tidak di sangka, keluarga yang dulu terlihat damai tanpa memandang kasta juga jabatan. Semuanya telah hancur terbuai oleh harta dunia.
Rumi, yang terkenal keras kepala juga angkuh. Terus saja mendesak putrinya dengan harapan dia bisa setara dengan keluarga Aditya , suaminya sendiri.
Wanita yang tidak lagi muda itu mendekat. Teringat dulu saat putrinya sempat membawa seorang pemuda pada kediamannya.
" Apa kau sedang ada hubungan dengan seseorang sehingga kau enggan sekali menerima perjodohan ini?. " Rumi bertanya sambil menelisik.
Tidak ada jawaban yang berikan. Bentakan dan desakan dari ibu nya membuat gadis lugu itu tersudut.
" Jawab Dianti! " Pekik Rumi lantang.
" Tidak ! Aku tidak dekat dengan siapapun!. " penuh isakan tangis Dianti menyanggah tuduhan ibunya.
Seulas senyum cerah terbit dari bibir keriput milik, Rumi. " Baguslah, akan lebih baik jika minggu depan kau harus menikah dengan anak Juragan Abu.! "
Dianti menatap tajam. " Sekali aku bilang tidak, tetap tidak bu!".
Senyum kegembiraan tersebut seketika luntur setelah Dianti menolak mentah-mentah perintah Rumi.
Emosi Rumi mulai tersulut kembali setelah mendapat jawaban berupa penolakan. Tidak di sangka putri yang selama ini dia didik dengan penuh kasih sayang tidak bisa memenuhi keinginannya.
Plakk
Tamparan keras melayang di pipi mulus Dianti. " Lancang kau Dianti, berbicara dengan nada tinggi pada Ibu yang sudah membesarkanmu! "
" Apa salahnya kalau kau menikah dengan anak juragan Abu, dia gagah tampan dan berwibawa. Kekayaan dimana-mana. Kau bodoh Dianti, bodoh!. " umpatan kasar mengalir begitu saja membuat suasana semakin memanas.
Seumur hidup baru kali ini Rumi menampar disertai berucap umpatan kasar seperti tadi. Hiasan tangan Rumi berhasil menoreh luka pada putri tunggalnya.
Dianti memegang pipinya yang memerah.
" Dasar anak tidak berguna, susah payah aku membersarkanmu. Lalu ini balasanmu kepadaku?. "
Sakit, sosok Ibu yang dikagumi selama ini. Ternyata sangat mahir menoreh luka. Luka batin masih belum pulih kini bertambah luka fisik.
Dianti menatap Rumi dengan sorot tajam. Mulutnya bergeming hendak berucap sesuatu.
" Inikah, seorang ibu yang dulu membesarkanku dengan kasih sayang?. Hanya karena aku tidak mengikuti keinginannya kali ini, sudah bermain tangan?. " Ungkap Dianti lirih penuh penekanan.
Tidak tahan sebab menahan rasa sakit yang diterima. Dianti pergi keluar dari rumah bersama bekas tamparan merah menghiasi pipi.
" Hei, Dianti ibu belum selesai bicaraa! " ungkap Rumi bersama nafas menggebu gebu.
" Mau kemana kau kembali!!! "
Dianti tidak menggubris panggilan ibunya, gadis itu tetap melangkah keluar meninggalkan rumah.
Rumi hendak mengejar tapi mengurungkan niatnya, mengingat kondisi kakinya sedang terluka akibat terjatuh kemarin.
Sayup sayup masih terdengar omelan Rumi, tapi tetap Dianti tidak kembali sekalipun menoleh. Gadis itu tetap melanjutkan langkahnya tanpa menggunakan alas kaki.
Jalan desa yang masih dipenuhi batu kerikil kecil. Mampu membuat kaki Dianti berdarah.
Tapi apakah dia meringis merasakan sakit?.
Tentu tidak, Dianti terus berjalan sama sekali tidak mengindahkan batu kerikil itu menancap pada kakinya.
Sakit dari batu yang menancap tidak sepadan dengan perihnya tamparan serta hinaan dari seorang Ibu. Hingga salah satu warga melihat Dianti tengah berlarian tidak tentu arah.
" Eh, Neng Dianti mau kemana? " sapanya dengan posisi sedang memeras baju basah.
Diam menjadi jawaban dari pertanyaan itu. Hanya suara isakan tangis yang bisa di dengar, warga itupun heran. " Ada apa dengannya?, biasanya selalu ceria setiap hari. " gerutunya.
" Hiks.... Miris sekali nasibku. Inikah takdir yang harus ku alami?. Hidup selalu menuruti kehendak orang tua. "
" Mengapa, mereka tidak pernah bertanya apa yang kuinginkan dan tidak aku dambakan. Mereka egois. Memikirkan perasaan sendiri lalu mengorbankan perasaanku. Hikssss. "
Salahkah Dianti jika mempunyai masa depan sendiri? Tanpa adanya kekangan juga desakan dari orang tua?.
Langkah kakinya berhenti tepat pada jembatan gantung perbatasan desa menuju jalan besar.
Dibawahnya, terlihat arus sungai mengalir deras.
Batu besar yang menonjol bahkan basah akibat cipratan arus itu.
Suara desiran air sangat kentara, mengahantam batu dengan kerasnya. Dianti memegang sisi besi jembatan.
Menatap datar ke bawah sungai. " Apa aku salah meniti masa depanku sendiri?. Kehendak orang tua mana yang aku tidak turuti. Bahkan Aku rela berhenti sekolah hanya untuk menafkahi keluarga. "
Gadis itu memegang dadanya, terasa sakit juga sesak seperti dihimpit ribuan batu besar.
Air mata tak henti mengalir . Bibir mungilnya terus bergeming , tatapannya kosong terarah pada batu besar di bawah jembatan.
Merasa diri berada di ambang batas kata kuat, Dianti merosot lalu terduduk bersandar pada pilar penyangga yang berfungsi sebagai penopang pegangan .
Seperti orang kesetanan ia mengacak kasar rambutnya sembari berteriak kencang. rambut panjang sedikit bergelombang itu menutupi seluruh paras cantiknya.
Banyak orang berlalu lalang melihat dengan iba. Tak sedikit orang yang bertanya namun tidak ada jawaban yang keluar dan memilih pergi.
Warga pun banyak yang tidak mengenali Dianti karena rambut acak-acakan telah di perbuat.
Bahkan salah satu pemuda yang seumuran dengan Dianti terlihat mengintip dari balik pohon besar ujung jembatan, tidak berani mendekat.
Dianti menghapus jejak air mata, " Sudah cukup. Aku tidak mau terus seperti ini. Selalu disetir tanpa ada yang memikirkan perasaanku. "
Pandangan Dianti mulai kabur, rasa ingin mengakhiri hidupnya muncul berseliweran di kepala.
" Benar. Sepertinya jika aku tidak berada di dunia ini. Mungkin diriku akan tenang di alam berbeda."
Dianti berdiri memegangi pembatas jalan hendak terjun ke dalam sungai itu.
Kemudia menutup matanya, " Selamat tinggal dunia... "
" Hei.... Apakah kau bodoh!."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments