NovelToon NovelToon

TERJERAT PERJODOHAN PAKSA

Mendesak Kembali

Paksaan pernikahan membuat seorang gadis frustasi karena selalu mendapat tekanan batin setiap hari. Terkadang dia merutuki diri sebab terlahir dari keluarga sederhana yang selalu di caci maki oleh keluarga ayahnya.

Gadis itu bernama Dianti, pagi hari. Di kediaman rumahnya, mereka menyambut pagi dengan agenda cekcok mengenai perjodohan dengan anak saudagar kaya.

Rumi sebagai Ibu kandung Dianti, sangat mengharapkan anak gadisnya menerima perjodohan tersebut.

Bukan tanpa sebab, wanita itu secara paksa menjodohkan anak kandung sendiri pada saudagar kaya desa sebelah.

Karena semua yang dilakukan semata-mata agar derajat keluarga mereka setara dengan keluarga dari ayah Dianti sendiri.

Tekad itu telah bulat diputuskan, karena ingin menuntaskan dendam yang sejak lama di pendam. Rumi, dengan terpaksa menjadikan Dianti sebagai alat untuk bisa mencapai tujuan.

" Aku tidak bisa menerima lamaran anak juragan tanah itu bu!. " ucap Dianti sambil berlalu menjatuhkan bokongnya kasar pada kursi kayu.

Tatapan mata tajam seketika menjurus. " Apa alasanmu menolak lamaran anak jurangan, Abu. Bersamanya pasti masa depanmu cerah. Dan kita tidak akan lagi di injak-injak oleh keluarga ayahmu."

Juragan Abu, saudagar kaya yang terkenal akan kekayaan berlimpah. Bukan hanya sekadar memiliki aset tanah yang luas, bahkan keluarga itu juga mempunyai kebun teh di pelosok desa seberang.

" Tapi aku tidak bisa bu, mau sampai kapan Ibu mendesakku untuk menikahi lelaki yang tidak aku cintai?. " Air mata yang tadi dipaksa agar tidak luruh kini mulai tumpah.

Rumi yang sedang berdiri bersedekap dada berjalan menghampiri Dianti. " Ibu akan berhenti mendesakmu sampai kau menemukan lelaki yang sama kayanya dengan anak juragan Abu!. " Ucap wanita itu tepat di hadapan Dianti dengan penuh penekanan.

Dianti menggeleng, " Apakah Ibu sadar mengatakan demikian?, kita saja dari keluarga berkekurangan. Lantas mengapa Ibu sangat mengharapkan calon suami untukku dari kalangan atas?. "

Tidak di sangka, keluarga yang dulu terlihat damai tanpa memandang kasta juga jabatan. Semuanya telah hancur terbuai oleh harta dunia.

Rumi, yang terkenal keras kepala juga angkuh. Terus saja mendesak putrinya dengan harapan dia bisa setara dengan keluarga Aditya , suaminya sendiri.

Wanita yang tidak lagi muda itu mendekat. Teringat dulu saat putrinya sempat membawa seorang pemuda pada kediamannya.

" Apa kau sedang ada hubungan dengan seseorang sehingga kau enggan sekali menerima perjodohan ini?. " Rumi bertanya sambil menelisik.

Tidak ada jawaban yang berikan.  Bentakan dan desakan dari ibu nya membuat gadis lugu itu tersudut.

" Jawab Dianti! " Pekik Rumi lantang.

" Tidak ! Aku tidak dekat dengan siapapun!. " penuh isakan tangis Dianti menyanggah tuduhan ibunya.

Seulas senyum cerah terbit dari bibir keriput milik, Rumi. " Baguslah, akan lebih baik jika minggu depan kau harus menikah dengan anak Juragan Abu.! "

Dianti menatap tajam. " Sekali aku bilang tidak, tetap tidak bu!".

Senyum kegembiraan tersebut seketika luntur setelah Dianti menolak mentah-mentah perintah Rumi.

Emosi Rumi mulai tersulut kembali setelah mendapat jawaban berupa penolakan. Tidak di sangka putri yang selama ini dia didik dengan penuh kasih sayang tidak bisa memenuhi keinginannya.

Plakk

Tamparan keras melayang di pipi mulus Dianti. " Lancang kau Dianti, berbicara dengan nada tinggi pada Ibu yang sudah membesarkanmu! "

" Apa salahnya kalau kau menikah dengan anak juragan Abu, dia gagah tampan dan berwibawa. Kekayaan dimana-mana. Kau bodoh Dianti, bodoh!. " umpatan kasar mengalir begitu saja membuat suasana semakin memanas.

Seumur hidup baru kali ini Rumi menampar disertai berucap umpatan kasar seperti tadi. Hiasan tangan Rumi berhasil menoreh luka pada putri tunggalnya.

Dianti memegang pipinya yang memerah.

" Dasar anak tidak berguna, susah payah aku membersarkanmu. Lalu ini balasanmu kepadaku?. "

Sakit, sosok Ibu yang dikagumi selama ini. Ternyata sangat mahir menoreh luka. Luka batin masih belum pulih kini bertambah luka fisik.

Dianti menatap Rumi dengan sorot tajam. Mulutnya bergeming hendak berucap sesuatu.

" Inikah, seorang ibu yang dulu membesarkanku dengan kasih sayang?. Hanya karena aku tidak mengikuti keinginannya kali ini, sudah bermain tangan?. " Ungkap Dianti lirih penuh penekanan.

Tidak tahan sebab menahan rasa sakit yang diterima. Dianti pergi keluar dari rumah bersama bekas tamparan merah menghiasi pipi.

" Hei, Dianti ibu belum selesai bicaraa! " ungkap Rumi bersama nafas menggebu gebu.

" Mau kemana kau kembali!!! "

Dianti tidak menggubris panggilan ibunya, gadis itu tetap melangkah keluar meninggalkan rumah.

Rumi hendak mengejar tapi mengurungkan niatnya, mengingat kondisi kakinya sedang terluka akibat terjatuh kemarin.

Sayup sayup masih terdengar omelan Rumi, tapi tetap Dianti tidak kembali sekalipun menoleh. Gadis itu tetap melanjutkan langkahnya tanpa menggunakan alas kaki.

Jalan desa yang masih dipenuhi batu kerikil kecil. Mampu membuat kaki Dianti berdarah.

Tapi apakah dia meringis merasakan sakit?.

Tentu tidak, Dianti terus berjalan sama sekali  tidak mengindahkan batu kerikil itu menancap pada kakinya.

Sakit dari batu yang menancap tidak sepadan dengan perihnya tamparan serta hinaan dari seorang Ibu. Hingga salah satu warga melihat Dianti tengah berlarian tidak tentu arah.

" Eh, Neng Dianti mau kemana? " sapanya dengan posisi sedang memeras baju basah.

Diam menjadi jawaban dari pertanyaan itu. Hanya suara isakan tangis yang bisa di dengar, warga itupun heran. " Ada apa dengannya?, biasanya selalu ceria setiap hari. " gerutunya.

" Hiks.... Miris sekali nasibku. Inikah takdir yang harus ku alami?. Hidup selalu menuruti kehendak orang tua. "

" Mengapa, mereka tidak pernah bertanya apa yang kuinginkan dan tidak aku dambakan. Mereka egois. Memikirkan perasaan sendiri lalu mengorbankan perasaanku. Hikssss. "

Salahkah Dianti jika mempunyai masa depan sendiri? Tanpa adanya kekangan juga desakan dari orang tua?.

Langkah kakinya berhenti tepat pada jembatan gantung perbatasan desa menuju jalan besar.

Dibawahnya, terlihat arus sungai mengalir deras.

Batu besar yang menonjol bahkan basah akibat cipratan arus itu.

Suara desiran air sangat kentara, mengahantam batu dengan kerasnya. Dianti memegang sisi besi jembatan.

Menatap datar ke bawah sungai. " Apa aku salah meniti masa depanku sendiri?. Kehendak orang tua mana yang aku tidak turuti. Bahkan Aku rela berhenti sekolah hanya untuk menafkahi keluarga. "

Gadis itu memegang dadanya, terasa sakit juga sesak seperti dihimpit ribuan batu besar.

Air mata tak henti mengalir . Bibir mungilnya terus bergeming , tatapannya kosong terarah pada batu besar di bawah jembatan.

Merasa diri berada di ambang batas kata kuat, Dianti merosot lalu terduduk bersandar pada pilar penyangga yang berfungsi sebagai penopang pegangan .

Seperti orang kesetanan ia mengacak kasar rambutnya sembari berteriak kencang. rambut panjang sedikit bergelombang itu menutupi seluruh  paras cantiknya.

Banyak orang berlalu lalang melihat dengan iba. Tak sedikit orang yang bertanya namun tidak ada jawaban yang keluar dan memilih pergi.

Warga pun banyak yang tidak mengenali Dianti karena rambut acak-acakan telah di perbuat.

Bahkan salah satu pemuda yang seumuran dengan Dianti terlihat mengintip dari balik pohon besar ujung jembatan, tidak berani mendekat.

Dianti menghapus jejak air mata, " Sudah cukup. Aku tidak mau terus seperti ini. Selalu disetir tanpa ada yang memikirkan perasaanku. "

Pandangan Dianti mulai kabur, rasa ingin mengakhiri hidupnya muncul berseliweran di kepala.

" Benar. Sepertinya jika aku tidak berada di dunia ini. Mungkin diriku akan tenang di alam berbeda."

Dianti berdiri memegangi pembatas jalan hendak terjun ke dalam sungai itu.

Kemudia menutup matanya, " Selamat tinggal dunia... "

" Hei.... Apakah kau bodoh!."

Balai Desa

Sejak lama Dianti memendam semuanya, bahkan rasa kesepian sudah mendarah daging sampai ia beranjak dewasa.

keluarga cemara yang dulu dijadikan panutan kini bagai rumah roboh yang tidak bisa di huni lagi.

Hanya karena keegoisan seorang Ibu yang selalu mendambakan harta. Gadis itu dijadikan pelampiasan untuk memenuhi keinginan ibu Kandungnya.

Seorang pedagang keliling melintas pada jembatan itu. Sontak dia menekan pedal rem menimbulkan suara decitan di sana.

Terkejut sebab seorang gadis ingin menggakhiri hidupnya tepat di depan mata.

" Neng!!! sedang apa disitu, istighfar neng istighfar!" teriaknya sebelum turun dari motor.

Pedagang itu sangat panik. " Duh gusti, aku harus gimana ini. Mana sepedaku harus di ganjal dulu pakai batu baru bisa turun. Apa aku teriak saja agar warga membantu gadis itu untuk turun?. "

" Tolong!!!!!!, ada yang mau bunuh diri!!!!. Tolongggg!! " teriaknya.

Warga desa sontak berlari ke arah suara itu berasal. Beramai-ramai mereka melihat aksi nekat seorang gadis hendak terjun ke dasar sungai.

Setelah warga berkumpul, mereka memilih berdiri dari kejauhan tidak berniat membantu untuk mencegah, justru hanya melihat dengan tatapan sinis.

" Eh... ini bapak-bapak, tolong gadis itu mau bunuh diri, kenapa malah dilihat saja. " Ungkapnya panik.

Pedagang sayur berbicara pada salah satu warga.

" Aduh, gimana ya pak. Saya takut juga. Takut dia meronta lalu mengancam." Ujar nya lirih.

Pedagang sayur itu menepuk dahinya. " Elah dalah, lantas kenapa kalian datang kemari kalau tidak bisa membantu?. "

Saat Dianti sudah menaikkkan ke dua kakinya pada pembatas jembatan. Semua warga menutup mata, tidak menyangka jika mereka semua yang berada di sana menjadi saksi tragis kematian seseorang.

" Bakalan horor nih desa. " Ungkap salah satu warga dengan mata tertutup.

" Hei apa kau bodoh?!. " Umpatan kasar keluar dari suara pria bertubuh tegap.

Hampir saja, terlambat satu detik nyawanya pasti akan melayang. " Lepas, anda tidak usah ikut campur.!" pekik Dianti meronta-ronta dan meraung meminta dilepaskan.

Pria berbadan tegap tengah memakai kacamata hitam terlihat sangat rupawan. Setelan jas yang membalut tubuh atletisnya terkesan begitu berwibawa.

Dibalik kacamata hitam yang dikenakan, Tatapannya amat tajam menatap sepasang netra hitam milik gadis dipelukannya.

" Gadis bodoh! "

***

Sementara di kediaman Rumi. Keadaannya sekarang sangat kacau. Dadanya masih bergemuruh menanti kedatangan Dianti.

Amarah tadi mulai tersulut semakin membuncah setelah kaburnya Dianti.

Semenjak kepergian putri tunggalnya, Rumi mondar-mandir memikirkan berbagai cara supaya Dianti menerima perjodohan itu.

Tidak adakah rasa bersalah setelah menampar anak gadisnya. Apakah dia memikirkan mental seorang anak itu?.

Tentu saja tidak, isi kepala Rumi hanya harta dunia yang sulit untuk di gapai. Dan juga mencari cara membalas perbuatan keluarga suaminya dulu yang semena-mena terhadap dirinya.

Secuil saja dia tidak memikirkan perasaan Dianti yang terluka dan sekarang ini hendak bunuh diri.

Lelah hanya bermondar-mandir Rumi menjatuhkan bokongnya pada kursi bambu. Kepalanya mendongak bersandar pada sisi kursi, mata Rumi menerawang jauh.

" Maaf , Ibu tidak bermaksud memaksamu untuk menikah dengannya. Ibu hanya ingin, kita tidak lagi  di injak-injak lagi oleh mereka. "

Ditengah-tengah lamunan, pintu di ketuk oleh seseorang. " permisi, bu! Bu Rumi. " ucapnya tergesa gesa.

Rumi menggerutu sebab posisi tadi sudah nyaman untuk merileksasikan badan,  sekarang ada pengganggu yang mengacau.

" Siapa sih, sampai berteriak seperti itu?"

Saat Rumi membuka knop pintu, muncul seorang wanita kurus yang seumuran dengannya.

Sifat angkuhnya pun keluar, " Ada apa? Pagi-pagi gedor rumah orang. " sinis bu Rumi.

Bu Zulaeha, wanita itu adalah beliau dan terlihat geram mendapat cibiran seperti itu, bukannya menjawab salam malah di todong pertanyaan sinis.

" Santai aja kali bu, saya kesini bukan mau minta sumbangan kok. " desahnya.

" Lalu untuk apa kau kesini? "

Dengan sekali tarikan nafas bu Zulaeha memulai, " Itu anakmu si Dianti. Dibawa warga ke balai desa katanya tadi hendak bunuh diri. " ungkapnya.

Rumi terhenyak, raut wajahnya menunjukkan rasa takut juga khawatir menjadi satu.

' Tapi, masa sih karena aku tampar Dianti ia langsung nekat bunuh diri?. ' isi kepala Rumi.

Bu Zulaeha menjetikkan jari, "Hei, hei bu Rumi. Mau ke balai desa tidak?. Kasian tuh anak gadismu sudah seperti orang tidak waras. Bajunya robek sana sini lag... "

Belum sempat selesai bicara, Rumi menutup pintu kemudian menerobos tubuh kurus di hadapannya sampai hampir terjungkal.

" Syukur dikasi tau. Bukannya berterima kasih ini malah menerobos pergi. Dasar nyai girang. " umpatnya kesal.

Wanita paruh baya berpakaian daster motif bunga berjalan terpingkal-pingkal menopang tubuh berlemaknya meninggalkan bu Zulaeha.

" Semoga anak itu tidak membuka mulut. Aku tidak yakin dia sampai mau mengakhiri hidupnya hanya karena mendapat tamparan dariku!. "

Sepanjang jalan Rumi nampak berpikir dan tak luput dari menggerutu.

Sesampai di balai desa, semua orang berkerumun mengelilingi seorang gadis yang keadaannya sangat memprihatinkan.

Setelah sampai, gegas ia menghampiri. Menepis orang-orang sedang berkerumun. " Minggir-minggir itu anak saya, minggir kalian!." keluh Rumi.

Semua orang menepikan diri dari tepisan tangan tebal yang berlemak Rumi, dan sukses memperlihatkan Dianti bersama seorang warga yang sedang menenangkannya.

Tanpa aba-aba Rumi menarik kasar lengan putrinya, " Dianti, ayo pulang. Bikin malu saja nekat mau bunuh diri.! Ayo pulang. "titahnya.

Mendapat tarikan paksa membuat Dianti terkejut, " Lepas bu. Aku ingin sendiri, jangan selalu memaksaku untuk mengikuti kehendakmu!"

Dianti meronta-ronta. Ibu Hanum yang sedang menenangkan Dianti ikut berdiri. " Jangan kasar-kasar dong bu, anak sendiri lagi kalut begini kok main tarik aja. "

" Tahu tuh, Ibu modelan apa seperti itu. Bukannya menenangkan anak supaya tidak nekat lagi. Ini malah berlaku kasar. " seru salah satu warga.

" Diam kalian! Jangan ikut campur urusan saya! "

Seakan urat malunya sudah putus, Rumi tidak mengindahkan ucapan warga.

" Ayo Dianti, kita Pulang!!! "

" Tidak bu!. Lepas.!"

" Kau mau ku anggap anak durhaka karena tidak menuruti perintah orang tua? "

' Lantas kurang berbakti apa aku padamu bu' batin Dianti menjerit.

Akhirnya Dianti patuh, kemudian pergi bersama Ibunya. Selang beberapa langkah Rumi berbalik.

" Terima kasih sudah menolong anak saya, saya permisi. "

Beberapa orang menanggapi dengan sebuah tatapan bukan memberi jawaban.

Rumi menarik lengan Dianti, sambil berjalan.

Tidak peduli luka di bagian kaki Dianti dia tetap berjalan lurus ke depan.

" Itu Rumi kan?. Kenapa sekarang jadi arogan seperti itu. "

" Iyadeh itu Rumi. Kenapa jadi menakutkan begitu ya. perasaan dulu dia lemah lembut. "

" Entahlah aku yakin, anaknya sekarang sangat tertekan sekali."

Salah dari orang ibu-ibu menilai sikap Rumi yang sangat beda dari sebelumnya.

" Sudahlah ibu-ibu, biarlah itu jadi urusan mereka. Sekarang kita bubar saja. " ucap bapak berkumis.

Kumpulan warga pun bubar setelah korban hendak bunuh diri sudah di jemput oleh pihak keluarga.

Namun belum sempat warga tersebut melangkah kan kakinya suara seseorang membuat mereka dengan kompak menoleh.

" Loh-loh pada mau kemana ini, ?" ucap pak Zaenal ketua Rt di kampung Rambutan.

Tawaran Abu

Pak Zaenal kebingungan. Pasalnya tadi pagi ada seorang pemuda yang datang ke rumahnya.

Pemuda itu berkata apabila ada salah satu warganya melakukan percobaan bunuh diri dengan cara terjun ke sungai di bawah jembatan gantung tepatnya.

Dan untung saja seseorang menyelamatkan warga itu, sehingga saat ini posisinya berada di balai desa.

Mendengar itu pak Zaenal tergopoh-gopoh mengunci semua pintu. Sambil berjalan ia membenahi peci yang dikenakan.

Saat tiba di balai Desa, ia di buat terkejut lagi akan warga yang sudah membubarkan diri.

" Ibu-ibu, katanya tadi ada yang nekat bunuh diri!. Sekarang dimana orangnya?." teriak pak Zaenal.

Sekawanan ibu-ibu itu menoleh, " Ah pak RT telat. Orangnya sudah dibawa pergi sama emaknya. " ungkap salah satu dari mereka.

" Owalah saya ketinggalan berita lagi ini. Tapi, siapa yang mau bunuh diri Bu?. "

" Itu anaknya si Rumi, katanya sih sering di desak menikah karena merasa tidak kuat selalu mendapat tekanan akhirnya frustasi lalu melakukan percobaan bunuh diri. "

Pak Zaenal nampak berpikir, " Anak bu Rumi. Si Dianti itu? "

" Nah betul itu pak RT. " jawab bu Hanum.

Warga yang semula bubar, kini kembali berkerumun menceritakan rentetan kejadian baru saja terjadi dan sikap Rumi sangat angkuh.

Sedangkan di lain tempat, saat tiba di rumah. Rumi mencecar Dianti atas tindakannya melakukan percobaan bunuh diri.

" Hanya karena Ibu ingin kau menikah dengan orang berada . Kau rela melakukan aksi nekat itu?. "

Rumi berdiri tengah menuding Dianti yang duduk beralaskan karpet. Selama tiba di rumah , Dianti terus menatap datar ke depan sembari bergeming.

" Apa jangan-jangan kau hamil?. Sampai-sampai pikiranmu sedangkal itu?. "

Dianti tersenyum miring menanggapi omelan Ibunya. Senyum itu perlahan berubah menjadi tawa aneh berkesan menakutkan.

Tentu saja Rumi terkejut melihat perubahan drastis anak gadisnya. Sesaat Dianti berdiri berhadapan langsung dengan wanita paruh baya itu.

Tawa itu kembali mengecil dan berhenti ketika mulutnya mulai mengeluarkan suara. " Dangkal Ibu bilang?!. Lebih dangkal mana kepribadian ku dengan dirimu bu?. "

" Aku nekat bunuh diri bukan karena diriku hamil di luar nikah, aku melakukan itu semua karena sudah muak selalu di kekang dan di desak oleh dirimu. Aku lelah!! . " keluh Dianti Lantang.

Dianti menarik nafas dalam, " lalu apa tadi Ibu bilang? Hanya karena memaksaku untuk menikah. Jika Ibu pikir itu sekadar lelucon mungkin aku sudah tertawa sejak dulu. "

Kening Rumi berkerut " apa maksudmu.? " sergahnya.

" Jika saja Ibu benar menganggap ku seorang anak, seharusnya Ibu tidak pernah menerima tawaran dari saudagar itu. "

Wanita tua itu membelalakkan ke dua matanya disertai perasaan campur aduk. Emosi yang sempat membubun telah sirna, mengikut pikiran mulai menerka.

" Tidak usah bertele-tele Dianti. Cepat katakan apa maksudmu?!. "

" Aku sudah tau tentang ibu menerima tawaran dari saudagar Abu dengan cara menukarku dengan segumpal tanah! . "

Dianti melangkah ke arah Ibunya, menatap lekat. membuat Rumi panik. " Sekarang giliranku menanyakan ini pada Ibu, apa hanya karena ibu selalu dicaci maki oleh keluarga Ayah, lantas ibu menukarku dengan beberapa hektar tanah?. "

Wanita itu seketika terhenyak melihat perubahan Dianti seakan tidak percaya. " Tau dari mana kau!."

Dianti memalingkann wajah tersenyum sinis, " Jadi benar aku ditukar dengan benda mati?. "

Wanita paruh baya itu bergeming. Tidak mejawab apalagi membantah seolah semua yang dikatakan Dianti merupakan kebenaran.

" Jawab Bu.! "

" Iya, Ibu menukarmu dengan segumpal tanah. Itu juga Ibu perbuat supaya kau tidak hidup seperti ibu yang selalu mendapat makian dari mereka !. "

Karena merasa terdesak akhirnya Rumi mengaku.

Gadis yang masih mengenakan pakaian robek itupun menggeleng kepala pelan, ' benarkah ini seorang ibu.?'.

" Waaah... jadi ini sikap asli Ibu, berdalih membesarkan ku agar kelak dapat di jual belikan layaknya barang, benar? . "

Rumi terdiam, bukan itu maksud dan tujuan dia memaksa Dianti agar bersedia menikahi anak Juragan Abu yang masih belum ketahui sifatnya.

Dianti menghela nafas kasar. " Baiklah jika baktiku selama ini masih belum cukup membuat ibu puas. Aku akan menikah dengan anak juragan Abu dengan catatan aku tidak akan tinggal lagi bersama Ibu. "

Seperti tersambar petir di siang hari. Tubuh Rumi memanas, otot otot di tubuhnya melemas seakan luruh begitu saja, tidak lama kemudian tubuhnya merosot menghantam dinginnya lantai.

Hatinya sakit seperti di sayat, suara Dianti terus mengiang di telinga, sukses membuat sang Ibu yang angkuh terdiam.

Dia jatuh terduduk. " Kau membuang Ibu? " tekan Rumi.

Dianti yang sedang berdiri menatap datar pada Ibunya. " Bukan aku yang membuang Ibu. Tapi Ibulah yang tidak pernah mengerti perasaanku. "

" Aku ke kamar dulu!. ". Dianti berjalan tertatih menahan perihnya luka kaki.

Gadis dengan keadaan kaki berlumuran darah itu berjalan melewati Ibunya. Tidak sedikitpun meringis meski itu hanya sekedar gumaman.

Batinnya sangat terluka, begitu membayangkan posisi Ibu kandung sendiri dengan senang hati menandatangani surat perjanjian tanpa memikirkan nasib putrinya kelak.

Hal itu di ketahui ketika dirinya tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan mereka, antara Abu dan Rumi di ruang tamu tempatnya tadi bersitegang urat.

Awalnya Dianti mengira bahwa itu semua adalah mimpi. Buaian bunga tidur yang tidak sengaja hadir . Namun ternyata itu sangat lah jelas terjadi.

Rumit, takdir yang di lewati seolah telah disiapkan cobaan bertubi-tubi.

Banyaknya himpitan ekonomi dapat mengubah sifat seseorang menjadi gila harta dan berubah menjadi keserakahan.

Sampai di kamar ia mengambil kain untuk membersihkan sisa darah menempel di kakinya. " Aku benar-benar sendiri sekarang. Andai saja aku dulu ikut ayah pasti hidupku tidak pupus harapan."

" Ibu bahkan tidak peduli jika aku nekat bunuh diri, jangankan itu. Kakiku yang berdarah saja Ibu tidak terlihat khawatir. "

Dianti menangis sesenggukan bersandarkan pintu kamar. " Kenapa bu, kenapa?!, kenapa kau tega sekali menjualku. Apa salah ku bu?. " lirih.

Air mata mengalir deras diusapnya kasar , " Selama ini aku sudah mempertaruhkan masa depanku hanya untuk menambal keuangan kita. Berharap bahwa takdir akan berpihak padaku kali ini, "

Dia menggeleng. " Namun nihil, semua berjalan seperti naskah drama yang di buat tragis. Kehidupan yang selama ini aku idamkan musnah dihancurkan benda mati! . "

Apa yang akan dilakukan Dianti sekarang, mengamuk bahkan mencaci maki Ibunya juga percuma. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, mau tidak mau dia harus menikah dengan anak juragan Abu.

Jika tidak, akan ada konsekuensi berat yang akan di tanggung wanita itu.

Sementara Rumi masih terpaku. Mengusap dada sambil menetralkan amarah. Lagi pula untuk apa marah?. Bukankah sudah jelas semua ini atas perbuatannya sendiri.

Baru saja akan berdiri seseorang mengetuk pintu dari luar. Mengusap ingus yang meleleh, buru-buru Rumi berdiri membuka pintu.

Tok tok tok

Permisi!

Di sebalik pintu tua sudah keropos dimakan rayap. Pria berbadan tegap dan gagah juga mengenakan kaca mata hitam memegang syal putih bercorak bunga edelweis.

Pintu terkuak, " Siapa ya!"? Ucap Rumi sembari menghapus sedikit ingus tertinggal di bawah hidung.

Tanpa ekspresi yang berati, tangan pria tanpa rambut itu mengulurkan tangannya. " saya hanya mengembalikan ini, tadi tertinggal. Permisi!. "

Berbalik badan lalu melangkah pergi. Pria tersebut tidak berbasa basi sedikitpun.

" Siapa sih dia misterius sekali. " gerutu Rumi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!