Sejak lama Dianti memendam semuanya, bahkan rasa kesepian sudah mendarah daging sampai ia beranjak dewasa.
keluarga cemara yang dulu dijadikan panutan kini bagai rumah roboh yang tidak bisa di huni lagi.
Hanya karena keegoisan seorang Ibu yang selalu mendambakan harta. Gadis itu dijadikan pelampiasan untuk memenuhi keinginan ibu Kandungnya.
Seorang pedagang keliling melintas pada jembatan itu. Sontak dia menekan pedal rem menimbulkan suara decitan di sana.
Terkejut sebab seorang gadis ingin menggakhiri hidupnya tepat di depan mata.
" Neng!!! sedang apa disitu, istighfar neng istighfar!" teriaknya sebelum turun dari motor.
Pedagang itu sangat panik. " Duh gusti, aku harus gimana ini. Mana sepedaku harus di ganjal dulu pakai batu baru bisa turun. Apa aku teriak saja agar warga membantu gadis itu untuk turun?. "
" Tolong!!!!!!, ada yang mau bunuh diri!!!!. Tolongggg!! " teriaknya.
Warga desa sontak berlari ke arah suara itu berasal. Beramai-ramai mereka melihat aksi nekat seorang gadis hendak terjun ke dasar sungai.
Setelah warga berkumpul, mereka memilih berdiri dari kejauhan tidak berniat membantu untuk mencegah, justru hanya melihat dengan tatapan sinis.
" Eh... ini bapak-bapak, tolong gadis itu mau bunuh diri, kenapa malah dilihat saja. " Ungkapnya panik.
Pedagang sayur berbicara pada salah satu warga.
" Aduh, gimana ya pak. Saya takut juga. Takut dia meronta lalu mengancam." Ujar nya lirih.
Pedagang sayur itu menepuk dahinya. " Elah dalah, lantas kenapa kalian datang kemari kalau tidak bisa membantu?. "
Saat Dianti sudah menaikkkan ke dua kakinya pada pembatas jembatan. Semua warga menutup mata, tidak menyangka jika mereka semua yang berada di sana menjadi saksi tragis kematian seseorang.
" Bakalan horor nih desa. " Ungkap salah satu warga dengan mata tertutup.
" Hei apa kau bodoh?!. " Umpatan kasar keluar dari suara pria bertubuh tegap.
Hampir saja, terlambat satu detik nyawanya pasti akan melayang. " Lepas, anda tidak usah ikut campur.!" pekik Dianti meronta-ronta dan meraung meminta dilepaskan.
Pria berbadan tegap tengah memakai kacamata hitam terlihat sangat rupawan. Setelan jas yang membalut tubuh atletisnya terkesan begitu berwibawa.
Dibalik kacamata hitam yang dikenakan, Tatapannya amat tajam menatap sepasang netra hitam milik gadis dipelukannya.
" Gadis bodoh! "
***
Sementara di kediaman Rumi. Keadaannya sekarang sangat kacau. Dadanya masih bergemuruh menanti kedatangan Dianti.
Amarah tadi mulai tersulut semakin membuncah setelah kaburnya Dianti.
Semenjak kepergian putri tunggalnya, Rumi mondar-mandir memikirkan berbagai cara supaya Dianti menerima perjodohan itu.
Tidak adakah rasa bersalah setelah menampar anak gadisnya. Apakah dia memikirkan mental seorang anak itu?.
Tentu saja tidak, isi kepala Rumi hanya harta dunia yang sulit untuk di gapai. Dan juga mencari cara membalas perbuatan keluarga suaminya dulu yang semena-mena terhadap dirinya.
Secuil saja dia tidak memikirkan perasaan Dianti yang terluka dan sekarang ini hendak bunuh diri.
Lelah hanya bermondar-mandir Rumi menjatuhkan bokongnya pada kursi bambu. Kepalanya mendongak bersandar pada sisi kursi, mata Rumi menerawang jauh.
" Maaf , Ibu tidak bermaksud memaksamu untuk menikah dengannya. Ibu hanya ingin, kita tidak lagi di injak-injak lagi oleh mereka. "
Ditengah-tengah lamunan, pintu di ketuk oleh seseorang. " permisi, bu! Bu Rumi. " ucapnya tergesa gesa.
Rumi menggerutu sebab posisi tadi sudah nyaman untuk merileksasikan badan, sekarang ada pengganggu yang mengacau.
" Siapa sih, sampai berteriak seperti itu?"
Saat Rumi membuka knop pintu, muncul seorang wanita kurus yang seumuran dengannya.
Sifat angkuhnya pun keluar, " Ada apa? Pagi-pagi gedor rumah orang. " sinis bu Rumi.
Bu Zulaeha, wanita itu adalah beliau dan terlihat geram mendapat cibiran seperti itu, bukannya menjawab salam malah di todong pertanyaan sinis.
" Santai aja kali bu, saya kesini bukan mau minta sumbangan kok. " desahnya.
" Lalu untuk apa kau kesini? "
Dengan sekali tarikan nafas bu Zulaeha memulai, " Itu anakmu si Dianti. Dibawa warga ke balai desa katanya tadi hendak bunuh diri. " ungkapnya.
Rumi terhenyak, raut wajahnya menunjukkan rasa takut juga khawatir menjadi satu.
' Tapi, masa sih karena aku tampar Dianti ia langsung nekat bunuh diri?. ' isi kepala Rumi.
Bu Zulaeha menjetikkan jari, "Hei, hei bu Rumi. Mau ke balai desa tidak?. Kasian tuh anak gadismu sudah seperti orang tidak waras. Bajunya robek sana sini lag... "
Belum sempat selesai bicara, Rumi menutup pintu kemudian menerobos tubuh kurus di hadapannya sampai hampir terjungkal.
" Syukur dikasi tau. Bukannya berterima kasih ini malah menerobos pergi. Dasar nyai girang. " umpatnya kesal.
Wanita paruh baya berpakaian daster motif bunga berjalan terpingkal-pingkal menopang tubuh berlemaknya meninggalkan bu Zulaeha.
" Semoga anak itu tidak membuka mulut. Aku tidak yakin dia sampai mau mengakhiri hidupnya hanya karena mendapat tamparan dariku!. "
Sepanjang jalan Rumi nampak berpikir dan tak luput dari menggerutu.
Sesampai di balai desa, semua orang berkerumun mengelilingi seorang gadis yang keadaannya sangat memprihatinkan.
Setelah sampai, gegas ia menghampiri. Menepis orang-orang sedang berkerumun. " Minggir-minggir itu anak saya, minggir kalian!." keluh Rumi.
Semua orang menepikan diri dari tepisan tangan tebal yang berlemak Rumi, dan sukses memperlihatkan Dianti bersama seorang warga yang sedang menenangkannya.
Tanpa aba-aba Rumi menarik kasar lengan putrinya, " Dianti, ayo pulang. Bikin malu saja nekat mau bunuh diri.! Ayo pulang. "titahnya.
Mendapat tarikan paksa membuat Dianti terkejut, " Lepas bu. Aku ingin sendiri, jangan selalu memaksaku untuk mengikuti kehendakmu!"
Dianti meronta-ronta. Ibu Hanum yang sedang menenangkan Dianti ikut berdiri. " Jangan kasar-kasar dong bu, anak sendiri lagi kalut begini kok main tarik aja. "
" Tahu tuh, Ibu modelan apa seperti itu. Bukannya menenangkan anak supaya tidak nekat lagi. Ini malah berlaku kasar. " seru salah satu warga.
" Diam kalian! Jangan ikut campur urusan saya! "
Seakan urat malunya sudah putus, Rumi tidak mengindahkan ucapan warga.
" Ayo Dianti, kita Pulang!!! "
" Tidak bu!. Lepas.!"
" Kau mau ku anggap anak durhaka karena tidak menuruti perintah orang tua? "
' Lantas kurang berbakti apa aku padamu bu' batin Dianti menjerit.
Akhirnya Dianti patuh, kemudian pergi bersama Ibunya. Selang beberapa langkah Rumi berbalik.
" Terima kasih sudah menolong anak saya, saya permisi. "
Beberapa orang menanggapi dengan sebuah tatapan bukan memberi jawaban.
Rumi menarik lengan Dianti, sambil berjalan.
Tidak peduli luka di bagian kaki Dianti dia tetap berjalan lurus ke depan.
" Itu Rumi kan?. Kenapa sekarang jadi arogan seperti itu. "
" Iyadeh itu Rumi. Kenapa jadi menakutkan begitu ya. perasaan dulu dia lemah lembut. "
" Entahlah aku yakin, anaknya sekarang sangat tertekan sekali."
Salah dari orang ibu-ibu menilai sikap Rumi yang sangat beda dari sebelumnya.
" Sudahlah ibu-ibu, biarlah itu jadi urusan mereka. Sekarang kita bubar saja. " ucap bapak berkumis.
Kumpulan warga pun bubar setelah korban hendak bunuh diri sudah di jemput oleh pihak keluarga.
Namun belum sempat warga tersebut melangkah kan kakinya suara seseorang membuat mereka dengan kompak menoleh.
" Loh-loh pada mau kemana ini, ?" ucap pak Zaenal ketua Rt di kampung Rambutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments