Papa, Where Are You?
Bocah laki-laki berusia tiga tahun itu tampak duduk dengan tenang di samping dalang Ki Dimas yang sedang melakukan lakon Gatotkaca Lahir di sanggar.
Nama bocah itu Gatot. Sesekali ia membantu eyang Dimas mengambilkan wayang yang dibutuhkan. Ia melihat eyang Dimas yang lincah memainkan wayang.
Sedangkan kakak kembarnya berada tak jauh darinya. Kartini nama kakak Gatot. Ia tampak berada di dekat para sinden. Sesekali ia menembang dan meniru para sinden.
Samantha, nama mama mereka. Ia hendak memanggil kedua bocah kesayangannya itu untuk mandi. Tetapi ia membatalkan niatnya karena melihat mereka begitu asyik dengan kegiatan mereka. Aku akan menunggu sampai latihan selesai.
Bunyi gamelan berhenti. Tanda latihan telah selesai. Para sinden dan pemusik mulai meninggalkan sanggar. Mereka berpamitan pulang.
Tetapi Gatot tetap berada di dekat wayang. Ia memperhatikan wayang-wayang yang menjadi favoritnya sejak bayi. Tinggal di tempat yang berkesenian membuat Gatot dan Kartini tumbuh menjadi anak yang menyukai seni.
“Petyuk, Gayeng, Bagong, ...” Gatot menyebut nama tokoh punakawan sambil melihat wayang. Ia tampak bingung. Ia melihat eyang Dimas, pria yang sudah sepuh itu. “Eyang, Semay-nya nggak ada.”
“Semarnya ada. Ini ...” eyang Dimas menyentuh perut buncit Gatot yang seperti Semar.
*Semar, Petruk, Gareng, Bagong adalah tokoh-tokoh di wayang.
“Ha ... ha ... ha ...” Gatot merasa geli saat eyang Dimas menggelitik perut buncitnya.
“Eyang, ampun. Stop, eyang.” Gatot tidak tahan lagi dengan gelitikan eyang Dimas. Eyang Dimas menghentikan gelitikannya.
Samantha datang. “Mama ...” Gatot melihat Samantha. Mereka pulang ke rumah. Rumah mereka terletak di bagian samping sanggar.
Samantha membersihkan tubuh Gatot dan Kartini. Setelahnya mereka makan malam. Menu hari ini sayur asem dan ikan asin. Gatot dan Kartini memakannya dengan lahap.
“Tambah ...” Gatot mengangkat piringnya. Ia ingin makan lagi. Satu porsi piring tidak cukup untuknya. Eyang Ajeng mengambilkan nasi untuk Gatot.
“Biar saya aja, Eyang.” Samantha merasa sungkan.
“Nggak perlu sungkan. Kita itu keluarga.” Eyang Ajeng tidak merasa direpotkan.
Tetapi Samantha tidak berpikir seperti itu. Sudah tiga tahun mereka tinggal bersama tetapi Samantha selalu merasa sungkan. Ia selalu merasa merepotkan eyang Dimas dan eyang Ajeng yang sudah menganggap dirinya dan kedua anaknya sebagai keluarga mereka. Mereka berdua sangat baik.
Flashback.
Saat Samantha masih gadis. Ayah Samantha meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang. Rumah keluarga mereka sudah digadai sang ayah dan jatuh tempo. Debt collector datang menagih. Tidak hanya satu debt collector. Entah berapa banyak. Setiap hari selalu ada yang datang menagih hutang.
“Bapak yang sabar, ya. Kami akan bayar secepatnya.” Ibu tiri Samantha, Siska berusaha bernegosiasi.
“Sabar. Sabar. Kami sudah datang dari bulan lalu. Jika tidak dilunasi, rumah ini akan kami sita,” ucap debt collector.
Tidak hanya persoalan hutang. Perusahaan ayah Samantha juga mengalami masalah. Perusahaan ayah Samantha membutuhkan suntikan dana yang tidak sedikit. Siska dan kakak tiri Samantha, Diego berusaha mencari pinjaman ke teman-teman mereka.
Ada satu orang yang mau menggelontorkan dana. Tetapi dengan satu syarat. Ia mau tidur dengan Samantha.
“Baiklah. Saya akan meminta Samantha datang.” Siska akan memberitahu Samantha.
“Ta, ibu ingin kamu ke hotel ini.” Siska menyerahkan kartu masuk kamar hotel.
“Ini apa, Bu?” Samantha tidak berpikir apa-apa.
“itu kamar tuan ... Kamu tak perlu tahu siapa dia. Layani dia dengan baik. Ia akan memberikan dana untuk perusahaan.”
“Maksud ibu?” Samantha tidak mengerti. Melayani tuan dengan baik? Apa maksud Ibu?
“Kamu akan tidur dengannya malam ini.”
“Aku tidak mau, Bu.” Samantha hanya mau menyerahkan kegadisannya kepada suaminya nanti.
Siska mendekat. “Kamu mau rumah ini disita? Kamu mau ibu jadi gelandangan? Kamu mau perusahaan ayahmu dinyatakan bangkrut?”
Tentu saja Samantha tidak mau. Terlalu banyak kenangan dirinya dan kedua orang tuanya di rumah ini. Dan perusahaan ayahnya yang sudah dibangun sejak dulu. Ia tak mau kerja keras sang ayah sia-sia.
“Apa tidak ada cara lain, Bu?”
“Tidak ada. Dan jangan bertingkah. Anggap ini balas budimu karena ibu sudah membesarkanmu.” Tak ada rasa iba dari Siska. Ia hanya mau tetap hidup mewah seperti dulu tanpa peduli dengan Samantha yang akan menjadi rusak.
Samantha ingin kabur. Tapi ia juga tidak tahu mau kabur ke mana. Teman-teman yang selama ini ia anggap teman sudah menjauh saat tahu keluarganya banyak hutang,
Samantha menuju hotel yang dimaksud.
Tidak aku duga malam pertamaku terjadi hari ini. Dengan orang yang tidak aku kenal. Siapa dia? Seperti apa dia? Ibu tidak memberitahukanku. Bahkan namanya aku tidak tahu.
Samantha berjalan masuk ke dalam hotel. Ia berdiri cukup lama di depan lift. “Kamu nggak naik?” kata seseorang saat pintu lift terbuka.
Lamunan Samantha buyar. Saat ia masuk ke dalam lift, ia bertabrakan dengan seorang wanita yang tergesa-gesa. Kartu pintu kamar yang ia pegang terjatuh. Ia mengambilnya kartu yang terjatuh. Begitu juga wanita itu.
Samantha masuk ke dalam lift. Lift menuju ke lantai dua puluh. Pintu lift terbuka. Samantha menuju ke kamar yang dimaksud. Ia membuka pintu kamar dan melihat jika kamar hotel itu sangat gelap. Samantha menyalakan ponselnya untuk mencari saklar lampu.
“Matikan ponselmu,” seru pria itu. ia ingin bermain dalam gelap. Samantha mematikan ponselnya dan menaruhnya ke dalam tas miliknya. Ia merasa pria itu mendekati dirinya. Ia bisa merasakan pria itu meraba dirinya dan tangan pria itu bergerak ke bagian tubuh Samantha.
Samantha sempat menolak. Tapi ia tidak berdaya. Rumah, perusahaan ayahnya dan nasib keluarganya berada di tangannya sekarang. Samantha dibawa pria itu ke atas ranjang. Pria itu mulai bermain dan akhirnya mereka bersatu.
Perih. Samantha mulai meneteskan air matanya. Batinnya tersiksa. Ia merasa seperti pelacur di tempat prostitusi yang menjual tubuhnya demi uang.
Jika memang kegadisanku bisa menyelamatkan perusahaan ayah, aku rela.
Semalaman pria itu bermain dengan tubuh Samantha.
Pagi harinya Samantha terbangun. Pria itu sudah tidak ada lagi di kamar itu. Samantha pulang ke rumah.
Di depan pintu Siska sudah berkacak pinggang. “Kamu memang anak yang tidak bisa membalas budi. Kamu ke mana saja semalam? Tuan itu menelpon ibu. Kamu tidak datang ke kamarnya. Tuan itu tidak jadi memberikan dana untuk perusahaan.”
Samantha membeku. Ia sudah datang ke hotel.
Siapa pria yang meniduriku kemarin? Aku menyerahkan kegadisanku pada siapa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments