Terimakasih Telah Menjadikanku Cinderella
"Bulik Riana pulang ya, makasih banget dah selalu bantu kami" Riana berpamitan pada Bulik Ririn salah satu adik sepupu ibu.
"Oalah Ri, gak nunggu adikmu Galih dulu biar diantar pulang. Kamu tadi kesini jalan kaki, capek to kalau bolak balik gitu" Bulik Ririn mendekat sembari memeluk bahuku dan menyelipkan selembar uang pecahan biru kedalam genggaman.
"Gak usah Bulik, Galih juga g tau kapan pulangnya kasian ibu sendiri. Makasih sekali lagi ya, maaf kami selalu merepotkan" aku mencium tangan Bulik Ririn lalu berjalan keluar rumah bulik sembari tanganku menjinjing tas kain berisi beras dan belanjaan dari buliknya
Semenjak aku dan ibu ditinggal ayah pergi dengan alasan merantau tapi tidak pernah pulang dan tanpa berkirim uang, hanya kabar saja yang mengatakan kalau ayah sudah punya keluarga baru disana.
Bulik dan saudara ibu yang selalu membantu kami, apalagi setahun lebih ini ibu yang memang sering sakit-sakitan justru bertambah parah sakitnya setelah tau suaminya menikah lagi.
Aku berjalan pelan melewati jalan setapak yang menuju perkebunan sawit masyarakat, jalan ini tidak memutar jadi bisa lebih cepat sampai kerumah tepatnya rumah pakde karena rumah itu sudah kami jual pada Pakde Wito setahun lalu. Kebutuhan berobat ibu dan hutang yang ditinggalkan ayah memaksa kami untuk memilih menjualnya.
Makin kupercepat langkahku, bukannya aku takut berjalan diperkebunan tapi aku khawatir ibu terlalu lama menunggu. Toh biasanya kalau siang aku jg selalu ada di tengah perkebunan sawit untuk mencari sisa sawit yang rontok, biasanya para pemanen tidak terlalu telaten untuk memungut sawit yang rontok itu, kalau biasanya orang desa kami menyebutnya "Leles".
Ketikan aku hampir sampai dijalan kebun yang mengarah pada rumah, aku melihat seorang pria duduk ditengah jalan. Tapi pakaiannya terlihat aneh, seperti pemain kuda kepang tapi terlihat pria ini lebih banyak menggunakan perhiasan. Dia menatapku dari kepala sampai kaki, membuat aku jadi merinding dan berfikir untuk berlari tapi justru kakiku malah terasa lemas belum lagi beban tas kainku yang lumayan berat.
Aku menarik nafas mencoba tenang sambil berfikir, andai dia orang tidak waras tapi wajahnya terlihat bersih pakaiannya juga tapi jika orang waras mengapa berpakaian seperti itu ditengah kebun. Wajahnya juga terlihat kebingungan, sumpah dalam hari merasa menyesal aku mengapa tadi tidak melewati jalan desa saja daripada bertemu orang aneh ini.
Matahari makin meredup aku nekad saja melewati pria itu perlahan sembari mataku meliriknya takut dia berbuat macam macam. Dia terlihat diam saja sambil terus menatapku, ku percepat langkahku sambil menahan dada yang berdebar keras. Aku tidak berani menoleh kebelakang, tujuanku yang penting segera sampai dirumah.
"Ibu...Riana pulang" teriakku saat pintu belakang rumahku berjarak 20 meter. Lega rasanya tidak terjadi apa apa padaku.
"Iya nak kenapa teriak teriak lo" kulihat ibu berjalan keluar sembari berpegangan pada tongkat kayunya. ibu memang belum bisa berjalan tanpa tongkat setelah sakit parahnya yang terkahir.
" G apa apa Bu, cuma takut ibu kelamaan menunggu soalnya tadi Bulik Ririn belanja dulu jadi aku suruh menunggu" ku buang nafas lega begitu menginjak teras belakang rumahku.
"Ri...kamu diantar siapa" ibu tidak mengikuti aku masuk, justru beliau menatap aneh kearah belakang rumahku.
"Aku sendirian kok, memang siapa yang mengantar.Galih tadi gak ada dirumah" setelah aku meletakkan tas kainku aku mendekati ibu dan menatap kearah belakang rumah juga.
"Kamu ngapain ngikutin aku kesini????"
Pria aneh itu sudah berdiri didekat teras belakang rumah sambil menatap aku dan ibu.
"Memang dia siapa Ri..temanmu atau siapa?"
lbu menatapku dan pria itu dengan heran.
"Riana g kenal Bu, tadi aku ketemu dia ditengah perkebunan sawit. Tapi dia diem aja, eh kok malah ngikutin kesini" Aku menatap pria itu yang terus mendekat, matanya juga terlihat menatap keseluruh lingkungan rumah yang memang sedikit jauh dari tetangga kanan dan kiri.
Kulihat ibu tersenyum padanya dan dia juga terlihat tersenyum kaku, ingin rasanya aku berteriak agar para tetangga mendekat kerumah tapi lagi lagi aku hanya bisa diam.
"Mari silahkan mampir nak, masuk dulu biar bisa ngobrol kedalam" ibu justru mempersilahkan pria aneh itu masuk, aku menyenggol lengan ibu memberi tanda tapi ibu justru tersenyum dan tetap mempersilahkan pria itu untuk masuk.
Pria aneh itu tersenyum lalu mengucapkan salam dan mengikuti ibu yang mempersilahkan dia duduk di kursi kayu didalam rumah, ibu melirikku sebagai tanda agar aku membuatkan minuman untuk pria itu. Ibu memang terbiasa ramah pada tiap orang.
"Kalau boleh tau anak ini siapa dan darimana, kenapa mengikuti anakku??"
Ibu bertanya lembut pada pria aneh tersebut.
"Nama saya Mahesa Ardhana Bu, saya berasal dari kerajaan Pancawarna" pria itu menjawab pertanyaan ibu dengan tenang, sementara aku yang baru saja meletakkan teh hangat dewasa hampir saja meledakkan tawaku mendengar jawabannya.
Bagaimana tidak dizaman melinial begini ada seseorang yang mengaku dari sebuah kerajaan dengan pakaian dengan model kerajaan. Apakah dia kesurupan atau berhalusinasi lantas terinspirasi untuk berpakaian seperti itu.
"Lalu bisa sampai kesini bagaimana ceritanya nak?" ibuk tetap menanggapi dengan tenang seakan benar-benar percaya pada pria aneh tersebut.
"Tadi saya sedang berburu di hutan, kemudian saya terjerumus kedalam sebuah sumur. Ketika saya tidak sadarkan diri, begitu bangun saya ada di hutan yang pohonnya sama semua dan bertemu anak ibu" pria aneh itu menerangkan dan aku makin merasa ingin tertawa, mang boleh sehalu itu yaaa.
"Terus nak Mahesa sekarang ini mau kemana?" ibu tetap dengan lembut mengajaknya ngobrol setelah mempersilahkan pria itu meminum kopi buatanku.
"Saya tidak tahu mau kemana Bu, saya tidak tau arah" pria itu menjawab sembari menunduk.
"Ya sudah sementara ini nak Mahesa disini saja dulu, kami hanya tinggal berdua. Tapi ya keadaan kami seperti ini" ibu mempersilahkan pria aneh itu tinggal, aku melirik ibu tapi beliau justru tersenyum manis padaku.
"Terimakasih kasih, maaf saya jadi merepotkan ibu dan adik ini. Kalau boleh tau ini kerajaan apa ya Bu, kenapa pakaian dan rumahnya berbeda sekali dengan kerajaanku" pria aneh ini menatapku dan ibu, pandangannya juga terlihat aneh saat melihat sekeliling rumah.
"Tidak repot kok nak, tapi kami tidak tinggal dikerajaan. Negara ini namanya Indonesia" ketika ibu menjawab pertanyaannya dia terlihat menganggukkan kepala entah faham atau tidak.
"Riana kamu siapkan kamar depan untuk nak Mahesa dan Carikan baju ayahmu untuk dia berganti pakaian ya nak" ibu menatapku dengan yakin ketika aku memberi tanda ibu dengan menyenggol kakinya. Jika sudah begitu mana aku berani membantahnya.
"Maaf Bu, ini minuman apa ya kok warnanya hitam? Apa tidak berbahay" pria aneh tersebut mengamati gelas berisi kopi yang sudah dingin seperti barang aneh.
"Itu kopi nak Mahesa, itu aman dan nikmat apalagi kalau diminum pas hangat tadi" Ibu menjelaskan sembari tersenyum sedangkan aku hanya memutar mata malas.
ketika dia dengan ragu meminum kopinya, matanya terlihat berbinar dan kagum. Bibirnya terlihat melengkung membentuk senyum menatap ibu dan aku.
"Ini benar enak Bu, besok mau lagi ya"
ibu tersenyum sambil mengangguk aku si melengos saja, di otakku cuma bagaimana caranya agar dia segera pergi dari rumah ini besok. Rasanya tidak nyaman ada orang asing dan aneh satu rumah denganku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments