NovelToon NovelToon

Terimakasih Telah Menjadikanku Cinderella

Bab. 1 Penyamaranmu sempurna

"Bulik Riana pulang ya, makasih banget dah selalu bantu kami" Riana berpamitan pada Bulik Ririn salah satu adik sepupu ibu.

"Oalah Ri, gak nunggu adikmu Galih dulu biar diantar pulang. Kamu tadi kesini jalan kaki, capek to kalau bolak balik gitu" Bulik Ririn mendekat sembari memeluk bahuku dan menyelipkan selembar uang pecahan biru kedalam genggaman.

"Gak usah Bulik, Galih juga g tau kapan pulangnya kasian ibu sendiri. Makasih sekali lagi ya, maaf kami selalu merepotkan" aku mencium tangan Bulik Ririn lalu berjalan keluar rumah bulik sembari tanganku menjinjing tas kain berisi beras dan belanjaan dari buliknya

Semenjak aku dan ibu ditinggal ayah pergi dengan alasan merantau tapi tidak pernah pulang dan tanpa berkirim uang, hanya kabar saja yang mengatakan kalau ayah sudah punya keluarga baru disana.

Bulik dan saudara ibu yang selalu membantu kami, apalagi setahun lebih ini ibu yang memang sering sakit-sakitan justru bertambah parah sakitnya setelah tau suaminya menikah lagi.

Aku berjalan pelan melewati jalan setapak yang menuju perkebunan sawit masyarakat, jalan ini tidak memutar jadi bisa lebih cepat sampai kerumah tepatnya rumah pakde karena rumah itu sudah kami jual pada Pakde Wito setahun lalu. Kebutuhan berobat ibu dan hutang yang ditinggalkan ayah memaksa kami untuk memilih menjualnya.

Makin kupercepat langkahku, bukannya aku takut berjalan diperkebunan tapi aku khawatir ibu terlalu lama menunggu. Toh biasanya kalau siang aku jg selalu ada di tengah perkebunan sawit untuk mencari sisa sawit yang rontok, biasanya para pemanen tidak terlalu telaten untuk memungut sawit yang rontok itu, kalau biasanya orang desa kami menyebutnya "Leles".

Ketikan aku hampir sampai dijalan kebun yang mengarah pada rumah, aku melihat seorang pria duduk ditengah jalan. Tapi pakaiannya terlihat aneh, seperti pemain kuda kepang tapi terlihat pria ini lebih banyak menggunakan perhiasan. Dia menatapku dari kepala sampai kaki, membuat aku jadi merinding dan berfikir untuk berlari tapi justru kakiku malah terasa lemas belum lagi beban tas kainku yang lumayan berat.

Aku menarik nafas mencoba tenang sambil berfikir, andai dia orang tidak waras tapi wajahnya terlihat bersih pakaiannya juga tapi jika orang waras mengapa berpakaian seperti itu ditengah kebun. Wajahnya juga terlihat kebingungan, sumpah dalam hari merasa menyesal aku mengapa tadi tidak melewati jalan desa saja daripada bertemu orang aneh ini.

Matahari makin meredup aku nekad saja melewati pria itu perlahan sembari mataku meliriknya takut dia berbuat macam macam. Dia terlihat diam saja sambil terus menatapku, ku percepat langkahku sambil menahan dada yang berdebar keras. Aku tidak berani menoleh kebelakang, tujuanku yang penting segera sampai dirumah.

"Ibu...Riana pulang" teriakku saat pintu belakang rumahku berjarak 20 meter. Lega rasanya tidak terjadi apa apa padaku.

"Iya nak kenapa teriak teriak lo" kulihat ibu berjalan keluar sembari berpegangan pada tongkat kayunya. ibu memang belum bisa berjalan tanpa tongkat setelah sakit parahnya yang terkahir.

" G apa apa Bu, cuma takut ibu kelamaan menunggu soalnya tadi Bulik Ririn belanja dulu jadi aku suruh menunggu" ku buang nafas lega begitu menginjak teras belakang rumahku.

"Ri...kamu diantar siapa" ibu tidak mengikuti aku masuk, justru beliau menatap aneh kearah belakang rumahku.

"Aku sendirian kok, memang siapa yang mengantar.Galih tadi gak ada dirumah" setelah aku meletakkan tas kainku aku mendekati ibu dan menatap kearah belakang rumah juga.

"Kamu ngapain ngikutin aku kesini????"

Pria aneh itu sudah berdiri didekat teras belakang rumah sambil menatap aku dan ibu.

"Memang dia siapa Ri..temanmu atau siapa?"

lbu menatapku dan pria itu dengan heran.

"Riana g kenal Bu, tadi aku ketemu dia ditengah perkebunan sawit. Tapi dia diem aja, eh kok malah ngikutin kesini" Aku menatap pria itu yang terus mendekat, matanya juga terlihat menatap keseluruh lingkungan rumah yang memang sedikit jauh dari tetangga kanan dan kiri.

Kulihat ibu tersenyum padanya dan dia juga terlihat tersenyum kaku, ingin rasanya aku berteriak agar para tetangga mendekat kerumah tapi lagi lagi aku hanya bisa diam.

"Mari silahkan mampir nak, masuk dulu biar bisa ngobrol kedalam" ibu justru mempersilahkan pria aneh itu masuk, aku menyenggol lengan ibu memberi tanda tapi ibu justru tersenyum dan tetap mempersilahkan pria itu untuk masuk.

Pria aneh itu tersenyum lalu mengucapkan salam dan mengikuti ibu yang mempersilahkan dia duduk di kursi kayu didalam rumah, ibu melirikku sebagai tanda agar aku membuatkan minuman untuk pria itu. Ibu memang terbiasa ramah pada tiap orang.

"Kalau boleh tau anak ini siapa dan darimana, kenapa mengikuti anakku??"

Ibu bertanya lembut pada pria aneh tersebut.

"Nama saya Mahesa Ardhana Bu, saya berasal dari kerajaan Pancawarna" pria itu menjawab pertanyaan ibu dengan tenang, sementara aku yang baru saja meletakkan teh hangat dewasa hampir saja meledakkan tawaku mendengar jawabannya.

Bagaimana tidak dizaman melinial begini ada seseorang yang mengaku dari sebuah kerajaan dengan pakaian dengan model kerajaan. Apakah dia kesurupan atau berhalusinasi lantas terinspirasi untuk berpakaian seperti itu.

"Lalu bisa sampai kesini bagaimana ceritanya nak?" ibuk tetap menanggapi dengan tenang seakan benar-benar percaya pada pria aneh tersebut.

"Tadi saya sedang berburu di hutan, kemudian saya terjerumus kedalam sebuah sumur. Ketika saya tidak sadarkan diri, begitu bangun saya ada di hutan yang pohonnya sama semua dan bertemu anak ibu" pria aneh itu menerangkan dan aku makin merasa ingin tertawa, mang boleh sehalu itu yaaa.

"Terus nak Mahesa sekarang ini mau kemana?" ibu tetap dengan lembut mengajaknya ngobrol setelah mempersilahkan pria itu meminum kopi buatanku.

"Saya tidak tahu mau kemana Bu, saya tidak tau arah" pria itu menjawab sembari menunduk.

"Ya sudah sementara ini nak Mahesa disini saja dulu, kami hanya tinggal berdua. Tapi ya keadaan kami seperti ini" ibu mempersilahkan pria aneh itu tinggal, aku melirik ibu tapi beliau justru tersenyum manis padaku.

"Terimakasih kasih, maaf saya jadi merepotkan ibu dan adik ini. Kalau boleh tau ini kerajaan apa ya Bu, kenapa pakaian dan rumahnya berbeda sekali dengan kerajaanku" pria aneh ini menatapku dan ibu, pandangannya juga terlihat aneh saat melihat sekeliling rumah.

"Tidak repot kok nak, tapi kami tidak tinggal dikerajaan. Negara ini namanya Indonesia" ketika ibu menjawab pertanyaannya dia terlihat menganggukkan kepala entah faham atau tidak.

"Riana kamu siapkan kamar depan untuk nak Mahesa dan Carikan baju ayahmu untuk dia berganti pakaian ya nak" ibu menatapku dengan yakin ketika aku memberi tanda ibu dengan menyenggol kakinya. Jika sudah begitu mana aku berani membantahnya.

"Maaf Bu, ini minuman apa ya kok warnanya hitam? Apa tidak berbahay" pria aneh tersebut mengamati gelas berisi kopi yang sudah dingin seperti barang aneh.

"Itu kopi nak Mahesa, itu aman dan nikmat apalagi kalau diminum pas hangat tadi" Ibu menjelaskan sembari tersenyum sedangkan aku hanya memutar mata malas.

ketika dia dengan ragu meminum kopinya, matanya terlihat berbinar dan kagum. Bibirnya terlihat melengkung membentuk senyum menatap ibu dan aku.

"Ini benar enak Bu, besok mau lagi ya"

ibu tersenyum sambil mengangguk aku si melengos saja, di otakku cuma bagaimana caranya agar dia segera pergi dari rumah ini besok. Rasanya tidak nyaman ada orang asing dan aneh satu rumah denganku.

Bab.2 Leles sampai Lemes

Pagi masih gelap, setelah selesai memasak menu sederhana aku langsung membersihkan rumah. Semua aktivitas dirumah memang aku kerjakan sendiri kecuali memasak ibu selalu membantuku.

Ketika aku sedang mengangkat pakaian kotor aku terkejut melihat ada pakaian asing teronggok didekat ember tempat cucian. Ketika ku angkat beberapa benda seperti perhiasan jatuh ke lantai cucian, aku memungutnya dan tersenyum masam. ini pasti milik pria aneh tamu kami.

" Bu ini mungkin punya Mahesa aku temukan ditumpukan baju kotor tadi" ucapku pada ibu sembari menyerahkan barang barang itu pada ibu

"Iya Ri, nanti ibu kasih kedia kalau anaknya sudah pulang" ibu menjawab sembari mengamati barang barang itu.

"Lo orangnya kemana memangnya Bu?"

Aku bertanya sementara tanganku sibuk menyiapkan bekal yang akan aku bawa untuk pergi ke perkebunan sawit seperti biasa mencari leles.

"Katanya mau jalan-jalan pagi" sahut ibu

"Pagi buta begini jalan-jalan nanti dikira maling kesiangan lo, dia kan masih asing dengan desa ini Bu" ibu justru terkekeh, mendengar perkataan ku.

"Memangnya desa kita ini pernah ada maling, paling-paling dikira orang pendatang yang mau cari lahan baru saja" ibu bangkit dari duduknya berjalan dengan tongkatnya kearah pintu.

Tak lama terdengar salam dan pria itu masuk, ditangannya ada bungkusan plastik hitam yang diserahkan padaku.

"Apa ini, kok bau amis" tanyaku padanya

"Ikan, tadi ada orang yang kasih" dia menjawab sembari mengendus tangan dan kaos ayah yg dia pakai.

"Siapa yang kasih ikan pagi-pagi begini?'

Aku mengerutkan kening berfikir dan menatap tajam padanya.

"Pas aku jalan-jalan ada orang mau bawa ikan kepasar, orang itu jatuh dan aku membantunya. Lalu dia kasih aku ikan itu" Dia menjawab tapi aku liat ada sesuatu yang dia pikirkan.

"Oh begitu, terus kenapa kok kayak mikir sesuatu. Kamu kenal sama tukang ikan itu?"

Aku bertanya sebab wajahnya menunjukkan kalau dia sedang berfikir keras.

"Bukan Ri, tapi aku heran dengan kendaraan yang dipakai tukang ikan itu. Tidak adak hewan yang menariknya tapi bisa berjalan sendiri, juga suaranya berisik. Itu apa ya?" Makin bertambah rumit wajahnya.

"Astaga... rodanya berap?" tanyaku sambil menahan tawa.

"Rodanya dua, depan dan belakang. aku baru sekali ini melihatnya, hebat sekali jalanya kencang Ri" wajah takjubnya terlihat lagi.

"Itu namanya sepeda motor nak Mahesa, jalannya pakai mesin jadi g ada hewan yang menariknya" ibu tersenyum simpul menjelaskan.

"Sudahlah mandi sama, jangan lupa pakai sabun biar gak amis badanmu" aku meletakkan ikan di baskom kecil sambil berjalan keluar berniat membersihkan ikan diluar saja biar amisnya tidak didalam rumah.

"Sabun apa Ri, aku kalau mau mandi wangi biasanya pakai bunga" wajah bingungnya bikin aku benar-benar kesel sekaligus pengen ngakak.

"Ini sabun mas....badan kamu di basahi pakai air terus digosok pakai ini biar wangi. Terus dibilas baru deh bersih mandimu" aku menjelaskan panjang lebar biar dia benar-benar faham.

Bayangkan semalam pas disuruh pakai kaos ayahku sengaja aku ambilkan yang model polo berlengan panjang biar hangat, eh kerahnya dia hadapkan kebelakang kan Soak banget.

Setelah kami bertiga sarapan dengan tambahan lain ikan dadakan, aku bersiap berangkat keperkebunan sawit untuk "berdinas"

"Aku ikut ya Ri, biar tahu daerah sekitar sini"

Mahesa mendekat dan meminta aku mengajaknya.

"Mau ngapain, aku ini mau kerja bukan jalan-jalan" aku menyahut, rasanya males bget diikuti makhluk aneh kayak dia.

"Ajal aja Riana, biar dia tahu daerah sekitar desa kita. Pulangnya nanti kan bisa bantu kamu bawa lelesnya biar kamu g terlalu berat bawanya nak" ibu berkata sambil tersenyum padaku dan makhluk aneh itu.

"Ya udah tapi nanti jangan bikin repot ya" aku berjalan mendahului Mahesa setelah berpamitan pada ibu, sementara dia mengekor dibelakang ku.

Sesampainya ditempat yang dituju aku tersenyum bahagia, banyak sekali rontokan sawi yang tidak diangkut pekerja. mungkin karena sudah hampir malam mereka memanen jadi tidak sempat lagi memungut sawit yang rontok itu.

Ini nanti mau buat apa Ri, kok banyak sekali yang kamu pungut?" Mahesa bertanya sembari ikut membantuku mengumpulkan biah merah kehitaman itu kekarug yang aku bawa.

"Nanti kita jual, ini sama pengepul juga bakal dibawa ke pabrik untuk diolah juga" jawabku menerangkan

."Kenapa tidak ambil yang dipohon aja , itu yang kita lewati tadi banyak buah dipohon nya " dia bertanya tapi tangannya tetap demgan cepat bekerja.

"Bisa dimarahi sama yang punya kebun dong, itu bukan milik kita. Kalau yang rontok ini boleh kita ambil asalkan buah tandan aslinya sudah dimuat" sebel sebenarnya aku menjelaskan tapi mau gimana lagi dia benar-benar terlihat tidak tahu apa apa.

Tidak terasa dua jam sudah kami bekerja dan buaj sawit yang kami kumpulkan benar-benar sudah banyak.Aku heran dengan kecepatan kerjanya padahal aku biasanya hanya bisa mengumpulkan setengah karung saja, ini dua karung yang aku bawa full isi. Dan lahan yang kami datangi jg 4 kali lipat yang biasa aku datangi.

"Kita pulang ya, sudah dapet banyak ini" aku mengajaknya pulang sebab aku juga berfikir untuk membawa pulang buah sebanyak ini kami harus dua kali bolak balik.

"Kenapa pulang, itu buahnya masih banyak Lo Ri" Mahesa menunjuk sekeliling yang memang masih banyak terdapat rontokan buah sawit.

"Karung kita dua sudah penuh semua, mau ditaruh kemana lagi" aku menjawab datar

"Ya sudah kita antar ini dulu, ambil karung baru kita cari lagi ya" dia tersenyum berusaha meyakinkan aku

"Yakin kamu sanggup, apa enggak capek" aku kuatir dikira memangaatkan

"Gak lah ayo kita pulang dulu ambil karung ini biar aku bawa satu karung, kamu jalan didepan ya" dia berjalan mendekati karung berisi biah sawit itu dan mengangkat dengan begitu mudahnya.

Aku menelan ludah melihat kekuatanya, jadilah hari itu kami bolak balik sampai aku menyerah meminta pulang saja. Dia tidak capek tapi aku lelah

Masak iya cari Leles sampai Lemes

walaupun hatiku bersyukur besok waktu buah itu ditimbang tentu hasil yang kudapat pasti akan berkali lipat dari biasanya.

Selain aku didesaku juga ada beberapa warga yang juga bekerja Leles seperti aku, tapi mereka biasanya selalu bersama suami atau keluarga lainnya tidak seperti aku yang sendiri saja semenjak ibu sakit, makanya hasilku selalu paling sedikit dari yang lainnya.

Bab. 3 Permintaan Ibu

Hari terus berjalan, Mahesa masih tetap membantu apapun yang aku kerjakan. Dan tetap banyak bertanya tentang banyak hal yang dia tidak mengerti, aku berusaha untuk menjelaskan apapun yang dia tanyakan. Dia cepat belajar dan faham bahkan sudah tidak bingung lagi untuk menghidupkan kompor gas dan hal sederhana lainnya.

"Assalamualaikum...Ri aku mau nganterin uang hasil timbangan Leles kamu Minggu ini. Tumben dapet banyak, kerja keras terus ya Ri" kang Rohman orang kepercayaan juragan pengepul sawit menyerahkan amplop putih bertuliskan namaku.

"Alhamdulillah, terimakasih kasih ya kang, pasti aku akan kerja keras lagi. Ibu kan sekarang sudah mulai bisa aku tinggal agak lama kang" aku tersenyum sembari menerima amplop itu.

Setelah kang Rohman pamit aku menghitung uang dalam amplop itu dan tersenyum, walaupun hasil yang kami dapatkan tidak sebanyak hari pertama leles bersama Mahesa setidaknya penghasilan Minggu ini tiga kali lipat dari yang biasa aku dapatkan.

Aku menyisihkan uang untuk membeli obat ibu selama setengah bulan kedepan supaya lebih tenang, lainya akan aku gunakan untuk belanja kebutuhan. Kalau begini terus kami tidak harus merepotkan bulik dan saudara lainnya untuk membantu kami lagi.

"Ini bagian uangmu untuk pegangan ya" aku menyerahkan 4 lembar uang pecahan berwarna biru pada Mahesa.

*Uang ini untuk apa Ri" dia mengamati lembaran uang yang ada ditangannya.

"Ya terserah kamu mau dibelikan apa, memang tidak banyak tapi setidaknya bisa kamu pakai untuk kamu kalau ingin membeli sesuatu" aku menjawab sambil berjalan kearah dapur untuk membuat kopi, minuman yang sekarang menjadi favoritnya.

"Ibu saja yang pegang ya, jadikan satu dengan perhiasan yang Mahesa titipkan pada ibu" Mahesa menyerahkan uangnya pada ibu yang sedari tadi duduk diam dihadapannya.

"Iya nak, nanti kalau kamu perlu kamu minta sama ibu ya" ibu menerima uang itu

"Tapi ada yang mau ibu tanyakan padamu nak Mahesa" ibu menatap dalam pada pria yang sedang menyeruput kopinya.

"Apa nak Mahesa betah tinggal disini dan tidak bermaksud pergi mencari keluarga nak Mahesa" ibu bertanya pelan seakan-akan takut pria itu tersinggung karena merasa diusir.

"Aku betah disini Bu, aku bahagia bisa membantu dek Riana. Soal keluarga bagaimana aku bisa mencarinya, aku saja belum faham dengan apa yang terjadi padaku" Mahesa menatap ibu dan aku bergantian.

"Ya sudah kalau begitu tapi ada yang harus kita bicarakan dengan keluarga besar ibu nak" ibu menatapku penuh makna yang aku tidak tau apa artinya.

"Ri...tolong kamu panggil Pakdemu kesini ya, jangan lupa Bulik Ningrum juga" aku mengangguk dan berjalan ke rumah Pakde Wito, dijalan aku berfikir ada apa ibu mengundang Pakde dan Bulik.

Didepan sudah berkumpul ibu, Mahesa, Pakde, Bulik Ningrum juga Bulik Ririn. Entah apa yang mereka bicarakan, setelah membuatkan minuman hangat aku langsung pergi kedapur untuk memasak malan malam kami.

Selesai masak aku langsung mandi, dan setelah berganti Pakde Wito memanggilku untuk ikut duduk bersama mereka.

"Begini Ri, dari hasil yang kami bicarakan tadi ada yang mau Pakde sampaikan kepadamu" Pakde berkata sambil mengelus pundak ku.

Aku hanya menunduk dan mengangguk

"Dirumah ini kan hanya ada kamu dan ibumu, semua wanita jadi tidak baik kalau ada seorang laki-laki dirumah ini tanpa ada ikatan keluarga" Pakde terus menatap dan mengelus pundakku, yang terasa hangat seperti dulu ayah selalu melakukan itu jika aku sedang merajuk.

"Tadi kami sudah berbicara pada Mahesa, tapi dia tidak mau meninggalkan kamu dan ibumu. Jadi kami memutuskan agar Mahesa segera menikahimu supaya dia tetap bisa tinggal disini" aku tersentak dan menatap semua yang ada di ruangan ini.

Bukannya aku tidak ingin menikah, bukan aku punya seseorang dihatiku atau tidak berterima kasih pada niat Mahesa. Tapi aku baru mengenalnya satu Minggu, siapa dia, bagaimana sifat aslinya darimana asalnya aku benar-benar tidak tahu. Bagaimana mungkin aku akan menikah dengan orang yang belum aku tau seluk beluknya.

"Tapi Pakde, apa kalian sudah mempertimbangkan semuanya. Bagaimana nanti kalau sudah menikah dan dia ingin kembali pada keluarganya lalu aku ditinggalkan" aku mencoba menyampaikan apa yang aku pikirkan pada keluargaku.

"Riana, aku saja tidak tau caranya bagaimana bisa kembali pada keluargaku. Dan jika aku memang bisa kembali aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu dan ibu" Mahesa menjawab kata-kataku dengan yakin dan mantap.

"Riana maafkan keputusan sefihak dari kami nak, ini demi kamu dan ibumu agar ada yang menjaga dan bertanggung jawab" Bulik Ririn menambahkan sembari menghapus airmatamya yang sudah bercucuran sejak Pakde Wito mulai berbicara tadi.

"Bukannya kami tidak ingin terus membantu dan dan menjaga kalian nduk, tapi kami juga punya keluarga dan kesibukan yang kadang membuat kami tidak bisa selalu ada untuk kalian" Kali ini Bulik Ningrum juga angkat bicara.

Aku menatap ibu yang tersenyum tapi aku tau dia menahan airmatanya, kutatap Pakde Wito dan Mahesa berganti. Mereka mengangguk mantap.

"Ini permintaan ibu nak, seandainya ibu tidak lagi panjang umur setidaknya ibu sudah tenang ada yang menjagamu setelah ibu tidak ada" kedua Bulikku memeluk ibu melarang ibu mengucapkan kata-kata itu airmata tumpah sudah.

Aku menangis dalam pelukan Pakde Wito, aku menganggukkan kepalaku tanda menyetujui permintaan ibu.

Setelah diputuskan hasilnya untuk sementara Mahesa akan tinggal dirumah pakde sampai akad nikah dilaksanakan.

Karena dokumen dan surat keterangan Mahesa yang belum bisa diurus Pakde menetapkan bahwa kami akan menikah secara agama lebih dulu.

"Oh iya Ri, tolong kamu beri kabar pada ayahmu supaya dia bisa datang untuk menjadi wali nikahmu. Sebab keluarga yang ada disini semua berasal dari fihak ibumu nak" aku terdiam mendengar perkataan Pakde, meskipun rasanya enggan aku tetap mengangguk pada Pakde.

Setelah makan malam bersama mereka pamit dan Mahesa mengikuti Pakde pulang kerumahnya. Sedangkan aku setelah membereskan dapur terbaring disebelah ibu, ibu memelukku erat tanpa berkata apapun.

Aku hanya terdiam sambil menatap wajahnya, mengingat beban dan rasa sakitnya selama ini. Sakit hati, pikiran dan sakit jasmani yang menggerogoti tubuhnya. Ah bagaimana mungkin aku tega menghancurkan lagi hatinya, jika ini bisa sedikit membuatmu bahagia aku akan rela melakukannya ibu...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!