Aku menghela nafas, untuk kesekian kalinya panggilan telpon pada ayah ditolak. Inilah yang membuatku malas untuk menghubunginya, ingatan kembali saat aku menghubunginya untuk meminta bantuan biaya sekolah menjelang ujian akhir. Penolakannya dengan alasan tidak punya uang membuatku patah hati, karena aku faham berapa penghasilan ayah tiap bulan.
Tidak mungkin dia tidak sanggup membantu biaya ujian sekolahku.
"Bagaimana Ri, sudah bicara pada ayahmu" Bulik Ririn yang baru saja datang bersama suaminya duduk disebelahku.
"Tidak diangkat Bulik" aku menjawab sambil tetap menekan no ayah di handphoneku.
"Mungkin ayahmu masih dijalan, sabar nanti dicoba lagi ya. Bulik mau kedapur mau menyusun belanjaan dulu" Bulik berjalan kearah dapur setelah mengelus bahuku.
Aku hanya mengangguk, beberapa saudara sepupu ibu memang sudah datang. Mereka selalu membantu sejak ibu sakit dari berbagai keperluan sampai keuangan mereka bersatu membantu kami.
Sebenarnya ibu mempunyai dua orang adik kandung, tapi semenjak ibu menagih uang yang mereka pinjam. Sejak itu mereka menjauh dari kami meskipun hutang mereka tetap belum dibayarkan. Bahkan ketika ibu sakit mereka seakan tidak begitu peduli, aku sendiri juga merasa malas untuk terlalu ikut campur masalah mereka.
"Halo, ada apa menelpon ayahmu sedang tidur" setelah sekian puluh kali menelpon akhirnya terdengar suara diseberang telpon. yang aku tau itu suara ibu tiriku.
"Riana ada perlu sama ayah, ada hal penting yang harus kami bicarakan" aku menjawab dengan tenang berharap telpon itu diberikan pada ayahku..
"Perlu apa, mau minta kirim uang ya. Kamu itu sudah dewasa jangan bikin susah ayahmu lagi, kerja kalau mau uang" seperti biasa omelan dari wanita istri ayahku ini selalu keluar tiap aku menelpon ayah.
"Enggak Bu, aku gak mau minta uang. Kan sudah lama juga aku enggak pernah minta uang sama ayah" aku tetap berusaha santai meskipun telingaku mulai panas.
"Terus mau ngomong apa sama ayahmu, nanti aku sampaikan" suara ibuku terdengar sedikit keras seperti bentakan
"Riana mau menikah, aku harap ayah bisa datang untuk menjadi waliku" langsung saja aku sampaikan intinya
"Wah sudah laku ya. ..dapat juragan atau pegawai apa kok buru-buru menikah begini" benar-benar panas hati dan telingaku mendengar suara itu.
"Bukan pegawai atau juragan, yang penting dia mau menjaga dan bertanggung jawab pada keluargaku" aku menjawab sedikit ketus
"Jangan-jangan kamu hamil duluan ya Ri, makanya menikah dadakan" wanita itu terkekeh menghinaku
"Memangnya kamu, mau hamil duluan dengan suami orang. Jangan disamakan ya" aku tidak bisa lagi mengontrol emosiku, kata-kata itu meluncur seiring airmata yang ikut menetes Karena penghinaannya.
Melihatku menangis sembari memegang telepon Pakde Wito yang baru datang langsung duduk disebelahku dan meraih handphone dari tanganku.
"Halo, mana Marwan aku Kang Wito mau bicara dengannya" Pakde Wito mengaktifkan loud speaker di handphoneku.
"Halo kang ada masalah apa, tumben sampeyan mau nelpon aku" kudengar suara ayah diseberang.
"Anakmu Riana sudah mau menikah, kamu sebagai ayahnya diharapkan bisa datang untuk menjadi walinya" Pakde berbicara tenang pada ayahku
"Maaf kang kenapa mendadak mau menikah, apa ada sesuatu yang terjadi atau bagaimana. Soalnya kalau mau kesana kan perlu ongkos kang, itu masalahnya" mendengar suara ayahku hatiku makin terasa perih.
"Wan ini kan momen sekali seumur hidup untuk anakmu, masa iya kamu tega untuk tidak datang" suara Pakde terdengar bergetar menahan emosi
"Ya gimana lagi kang, kalau calon mantu ku atau kalian mau mengganti ongkosku kesana pulang pergi ya aku datang. Kalau tidak maaf kang aku tidak datang" santai sekali lelaki yang jadi cinta pertamaku itu berkata seakan tidak ada hari yang treiris.
"Keterlaluan kamu Marwan, boro-boro calon menantumu atau kami bisa mengganti ongkosmu, cukup untuk keperluan disini saja sudah bersyukur. itu harusnya jadi kewajibanmu sebagai ayah Marwan" suara Pakde Wito benar-benar terdengar gemetar air matanya sudah mulai menetes. Sementara tangan kirinya menarikku dalam rengkuhannya
"Siapa suruh kalian buru-buru menikahkan dia, atau anak itu sudah hami duluan artinya itu kesalahannya sendiri. Aku tidak mau tau asalkan dikirim ongkos aku pulang kalau tidak ya tidak" ayahku tetap dengan setelan suara santainya.
"Kalau begitu wali nikah akan dipercayakan pada hakim saja, bukan salah kami jika kami memutuskan seperti itu. ltu karena kamu benar-benar sudah keblinger tidak perduli pada anakmu" dada Pakde terlihat turun naik cepat, aku mengusap punggungnya agar dia bisa mengatur nafas dan emosinya.
"Silahkan, mau wali hakim atau apa saja silahkan kang. Toh tidak berpengaruh pada hidupku" ayahku tetap saja ayahku yang diajak bicara pelan dia ngotot diajak keras makin keras.
"Ya sudah tapi jangan menyesal kalau nanti anakmu juga lupa padamu, kau tega pada adikku wajar tapi pada anakmu sungguh keterlaluan" Pakde memutuskan sambungan telpon dan memelukku.
"Yang sabar ya Ri, semoga nanti kamu mendapatkan kebahagiaanmu nak" ucap Pakde sambil mengelus pundakku yang lagi-lagi aku rindukan itu dari ayahku.
"Dan kamu Mahesa ingat jangan kecewakan Riana, hidupnya sudah pahit dari kecil walaupun tanpa harta melimpah berikan rumah tangga yang manis padanya" Pakde menatap Mahesa yang berdiri mematung sejak datang bersama Pakde Wito tadi
"Saya berjanji Pakde akan berusa membahagiakan dek Riana apapun caranya. Saya susah mendengar semua dan berharap bisa jadi obat dari rasa pahit dalam hidupnya" Mahesa calon suamiku itu berkata mantap didepan kami.
Aku bangkit dan berjalan memasuki kamar, didalam kamar kulihat ibu sedang menghapus air matanya, bahunya bergetar naik turun menahan tangisnya agar tidak meledak.
"Maafkan ibu Ri, ibu tidak bisa mencarikan ayah yang baik untukmu" suara ibu lirih diantara isaknya
"Tidak apa-apa Bu, tidak ada manusia yang bisa memilih darah siapa yang akan mengalir dan dari rahim siapa dia akan dilahirkan. Ayah mungkin sudah membuatku patah hati lagi, tapi aku bahagia punya ibu sepertmu" aku memeluk tubuh ringkih ibuku, menguatkan hatinya dengan kasih sayangku.
Meskipun aku sendiri merasa hancur sekali lagi dipatahkan hatiku oleh cinta pertamaku
Ayah....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments