Devi'L Obsession
...----------------...
Marves Xander Arsenik, Raja iblis berusia 1000 tahun memiliki wajah tampan dan daya pikat yang sangat kuat. Berkulit putih, bibir merah merona, pipi sedikit chubby, hidung mancung dan matanya yang tajam tengah duduk santai menatap malas manusia pendosa yang tengah disiksa secara kejam.
Setiap hari setiap saat ia harus menatap manusia pendosa. Harinya hanya dipenuhi jeritan memohon, ke frustasi, penyesalan dan lain sebagainya, membuatnya sungguh muak melihat manusia yang tak tahu diri ketika diberi kesempatan selalu melakukan kesalahan terus menerus. Ketika di dunia selalu bilang akan tobat dan tak akan melakukan kesalahan kembali tapi yang mereka lakukan malah sebaliknya.
Tapi yang lebih muak dari ini ia lebih muak dengan neraka, karena setiap hari ia selalu menatap adegan penuh penyiksaan membosankan. Tatapan malas ia layangkan kepada para bawahannya tengah sibuk melempar manusia ke dalam lautan api dan di lain sisi tengah menyiksa mereka.
"Membosankan," gumamnya beranjak dari tempat duduk lantas pergi menuju singgasana utama.
Dihadapannya terdapat deretan kursi yang telah diisi sesuai pangkat mereka masing-masing, di tengah kursi kedudukan terdapat singgasana berlapis emas dengan ukiran rumit namun tampak indah menunjukan kedudukan paling tinggi.
Berjalan angkuh, raut dingin, datar, beserta aura pekat yang mampu membuat mereka langsung berdiri tunduk tak berani menatap pria yang terkenal kejam, bengis, tanpa ampun menghabisi mereka yang berani melawannya.
Marves menduduki singgasana, menatap tajam mereka.
"Duduk."
Mereka lantas duduk mendengar perintah pria itu.
Terdiam sesaat tak ada yang berani berbicara karena aura yang dikeluarkan Marves sangatlah kuat sekaligus menyiksa mereka.
Hingga salah satu diantara mereka memberanikan berbicara kepada Marves.
"Maafkan saya Yang Mulia, kenapa anda menyuruh kami untuk berkumpul, apakah ada suatu hal yang penting Yang Mulia?" tanya Aldrick, tangan kanan Marves. Menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Marves menatap Aldrick bosan, tapi raut wajah masih tetaplah dingin datar tak tersentuh.
"Aku akan tinggal di bumi." Suara dingin Marves mampu membuat mereka bergidik ngeri sekaligus tersentak kaget mendengar permintaan Raja mereka.
Aldrick melebarkan matanya terkaget. "Apa anda serius Yang Mulia?" ucap Aldrick tak percaya hingga lupa bahwa dirinya dengan berani menatap mata Marves secara langsung.
Tidak ada jawaban hanya tatapan dingin yang semakin dingin dan datar Marves layangkan kepada Aldrick. Seolah mengatakan ia sama sekali tak bercanda dan hentikan tatapanmu itu sebelum aku menghancurkan matamu.
Aldrick meneguk saliva susah payah, ia lupa jika telah menatap mata Marves, segerah Aldrick menundukkan kepalanya.
"Maafkan saya Yang Mulia. Tapi saya ragu jika anda pergi ke bumi dan menetap di sana siapa yang akan mengurus kerajaan?"
"Kamu." Singkat, padat dan jelas.
Aldrick melongo seolah melayangkan protes yang Marves layangkan padanya, tapi tanpa peduli Marves lantas mengumumkan bahwa dirinya yang akan mengurus kerajaan sementara waktu.
Aldrick membuka mulutnya melayangkan protes, tapi nada ancaman membuat Aldrick tak berkutik.
"Tidak menerima berarti hukuman menanti,"ucapanya dengan nada santai penuh penekanan.
Aldrick menghembuskan nafas pasrah dari pada dihukum dengan siksaan yang begitu menyakitkan membuat Aldrick tak sanggup membayangkan.
"Baiklah Yang Mulia, tapi berapa hari anda akan kembali mengurus kerajaan, saya takut kerajaan musuh akan mengambil kesempatan ketika Yang Mulia tak ada di kerajaan." Aldrick takut jika Marves tak berada di sini, kerajaan akan menurun drastis dan kerajaan musuh akan mengambil kesempatan dengan tidak adanya Marves sebagai pemimpin.
"Aku mengawasi kerajaan dari jauh, berkunjung sesuka hati," ucapnya tanpa merasa bersalah sama sekali, ingin rasanya Aldrick menangis darah mendengar perkataan Rajanya. Apa dia bilang sesuka hati? Berarti Aldrick akan mengurus kerajaan dan Rajanya akan santai menatap kesengsaraannya.
Sungguh Aldrick serasa ingin menenggelamkan Marves ke dalam lautan terdalam dan menguburkan sampai ketujuh lapis.
"Hentikan perkataanmu atau aku akan menghabisimu."
Aldrick mengeram lupa jika ia tak boleh mengatakan sembarangan mengenai Marves walaupun dengan perkataan ataupun di hati.
"Maafkan saya Yang Mulia."
"Segerah persiapkan keberangkatan ku." tegas Marves.
"Baik Yang Mulia," jawab Aldrick, lantas pergi meninggalkan tempat persidangan.
Tak lama kemudian, Aldrick kembali dengan kepala menunduk.
"Hormat Yang Mulia Marves, saya telah menyiapkan semua kebutuhan Yang Mulia selama berada di bumi."
"Sebutkan?" ucap Marves dengan singkat.
"Saya telah membeli sebuah perusahaan Vesxa Entertainment terbesar nomor 1 di dunia. Anda tak perlu khawatir Yang Mulia, semua sudah saya persiapkan," jawab Aldrick.
"Bagus, aku berangkat sekarang." Marves beranjak dari singgasana.
"Biar saya antar Yang Mulia." Aldrick dengan cepat mengikuti Marves.
"Tidak, aku sendiri yang akan kesana."
"Tapi Yang Mulia." Protes Aldrick.
"Diam," tukas Marves dengan suara dingin.
Aldrick terdiam tak berani berbicara.Marves lantas melangkah menuruni tangga tapi baru saja ia melangkah suara gaduh dari pintu persidangan membuat semua iblis menatap suara gaduh termasuk Marves.
"Biarkan dia masuk," perintah Marves dengan wajah datar. Seketika pintu terbuka dengan lebar menunjukan wanita cantik memakai gaun biru, melangkah penuh angkuh sambil menatap tajam penjaga gerbang.
"Ada apa Putri Selena Liberty dari Kerajaan Liberty kemari." Bukan Marves yang menjawab melainkan Aldrick tangan kanan Marves yang memakai baju ksatria menatap tajam Putri yang berada di hadapannya.
"Aku tidak ada urusan denganmu! Jadi diamlah pelayan rendahan. Aku ada urusan dengan kekasihku," pekik Selena menatap jijik Aldrick.
Aldrick mengepalkan tangannya berusaha mengontrol emosi, ia menghembuskan nafas berusaha sabar.
"Maaf Putri, tapi saya adalah tangan kanannya, jadi sepatutnya saya mewakili perkataan Yang Mulia Marves dan untuk Putri Selena, jangan berbicara sembarangan seolah Yang Mulia adalah kekasih Putri."
Selena memutar matanya malas. Tanpa menggubris perkataan Aldrick, Selena lantas menatap Marves dengan penuh dambaan.
"Yang Mulia, saya dengar anda akan pergi ke bumi, Apakah benar itu?" tanya Selena.
"Hm," deham Marves.
"Jika begitu, ijinkan saya menemani Yang Mulia ." Dengan tatapan binar menatap Marves.
"Tidak," telak Marves tanpa basa basi.
"Kumohon Yang Mulia, jika anda membawa saya, saya jamin anda tidak akan rugi, saya juga telah 5 tahun tinggal di sana. Kumohon Yang Mulia saya janji tidak akan membuat anda risih dengan saya, saya hanya menemani, tidak akan melakukan kesalahan yang membuat anda malu dengan saya. Saya juga akan tinggal di apartemen saya sendiri." Harap Selena terhadap Marves.
Marves berpikir sesaat hingga ia menyetujui permintaan Selena.
"Baiklah."
Senyum terbit di bibir Selena mendengar perkataan Marves.
"Terimakasih Yang Mulia."
"Tapi Yang Mulia!" Protes kembali dilayangkan Aldrick.
"Diam."
Marves melangkah menuruni tangga, lantas pergi melewati Aldrick.
Melihat Marves telah pergi. Selena lantas mengikuti Marves dari belakang sambil melirik Aldrick dengan tatapan jijik dan penuh cemoohan.
Aldrick yang ditatap seperti itu, memalingkan kepala, mengepalkan tangannya menahan emosi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments