...----------------...
Marves Xander Arsenik, Raja iblis berusia 1000 tahun memiliki wajah tampan dan daya pikat yang sangat kuat. Berkulit putih, bibir merah merona, pipi sedikit chubby, hidung mancung dan matanya yang tajam tengah duduk santai menatap malas manusia pendosa yang tengah disiksa secara kejam.
Setiap hari setiap saat ia harus menatap manusia pendosa. Harinya hanya dipenuhi jeritan memohon, ke frustasi, penyesalan dan lain sebagainya, membuatnya sungguh muak melihat manusia yang tak tahu diri ketika diberi kesempatan selalu melakukan kesalahan terus menerus. Ketika di dunia selalu bilang akan tobat dan tak akan melakukan kesalahan kembali tapi yang mereka lakukan malah sebaliknya.
Tapi yang lebih muak dari ini ia lebih muak dengan neraka, karena setiap hari ia selalu menatap adegan penuh penyiksaan membosankan. Tatapan malas ia layangkan kepada para bawahannya tengah sibuk melempar manusia ke dalam lautan api dan di lain sisi tengah menyiksa mereka.
"Membosankan," gumamnya beranjak dari tempat duduk lantas pergi menuju singgasana utama.
Dihadapannya terdapat deretan kursi yang telah diisi sesuai pangkat mereka masing-masing, di tengah kursi kedudukan terdapat singgasana berlapis emas dengan ukiran rumit namun tampak indah menunjukan kedudukan paling tinggi.
Berjalan angkuh, raut dingin, datar, beserta aura pekat yang mampu membuat mereka langsung berdiri tunduk tak berani menatap pria yang terkenal kejam, bengis, tanpa ampun menghabisi mereka yang berani melawannya.
Marves menduduki singgasana, menatap tajam mereka.
"Duduk."
Mereka lantas duduk mendengar perintah pria itu.
Terdiam sesaat tak ada yang berani berbicara karena aura yang dikeluarkan Marves sangatlah kuat sekaligus menyiksa mereka.
Hingga salah satu diantara mereka memberanikan berbicara kepada Marves.
"Maafkan saya Yang Mulia, kenapa anda menyuruh kami untuk berkumpul, apakah ada suatu hal yang penting Yang Mulia?" tanya Aldrick, tangan kanan Marves. Menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Marves menatap Aldrick bosan, tapi raut wajah masih tetaplah dingin datar tak tersentuh.
"Aku akan tinggal di bumi." Suara dingin Marves mampu membuat mereka bergidik ngeri sekaligus tersentak kaget mendengar permintaan Raja mereka.
Aldrick melebarkan matanya terkaget. "Apa anda serius Yang Mulia?" ucap Aldrick tak percaya hingga lupa bahwa dirinya dengan berani menatap mata Marves secara langsung.
Tidak ada jawaban hanya tatapan dingin yang semakin dingin dan datar Marves layangkan kepada Aldrick. Seolah mengatakan ia sama sekali tak bercanda dan hentikan tatapanmu itu sebelum aku menghancurkan matamu.
Aldrick meneguk saliva susah payah, ia lupa jika telah menatap mata Marves, segerah Aldrick menundukkan kepalanya.
"Maafkan saya Yang Mulia. Tapi saya ragu jika anda pergi ke bumi dan menetap di sana siapa yang akan mengurus kerajaan?"
"Kamu." Singkat, padat dan jelas.
Aldrick melongo seolah melayangkan protes yang Marves layangkan padanya, tapi tanpa peduli Marves lantas mengumumkan bahwa dirinya yang akan mengurus kerajaan sementara waktu.
Aldrick membuka mulutnya melayangkan protes, tapi nada ancaman membuat Aldrick tak berkutik.
"Tidak menerima berarti hukuman menanti,"ucapanya dengan nada santai penuh penekanan.
Aldrick menghembuskan nafas pasrah dari pada dihukum dengan siksaan yang begitu menyakitkan membuat Aldrick tak sanggup membayangkan.
"Baiklah Yang Mulia, tapi berapa hari anda akan kembali mengurus kerajaan, saya takut kerajaan musuh akan mengambil kesempatan ketika Yang Mulia tak ada di kerajaan." Aldrick takut jika Marves tak berada di sini, kerajaan akan menurun drastis dan kerajaan musuh akan mengambil kesempatan dengan tidak adanya Marves sebagai pemimpin.
"Aku mengawasi kerajaan dari jauh, berkunjung sesuka hati," ucapnya tanpa merasa bersalah sama sekali, ingin rasanya Aldrick menangis darah mendengar perkataan Rajanya. Apa dia bilang sesuka hati? Berarti Aldrick akan mengurus kerajaan dan Rajanya akan santai menatap kesengsaraannya.
Sungguh Aldrick serasa ingin menenggelamkan Marves ke dalam lautan terdalam dan menguburkan sampai ketujuh lapis.
"Hentikan perkataanmu atau aku akan menghabisimu."
Aldrick mengeram lupa jika ia tak boleh mengatakan sembarangan mengenai Marves walaupun dengan perkataan ataupun di hati.
"Maafkan saya Yang Mulia."
"Segerah persiapkan keberangkatan ku." tegas Marves.
"Baik Yang Mulia," jawab Aldrick, lantas pergi meninggalkan tempat persidangan.
Tak lama kemudian, Aldrick kembali dengan kepala menunduk.
"Hormat Yang Mulia Marves, saya telah menyiapkan semua kebutuhan Yang Mulia selama berada di bumi."
"Sebutkan?" ucap Marves dengan singkat.
"Saya telah membeli sebuah perusahaan Vesxa Entertainment terbesar nomor 1 di dunia. Anda tak perlu khawatir Yang Mulia, semua sudah saya persiapkan," jawab Aldrick.
"Bagus, aku berangkat sekarang." Marves beranjak dari singgasana.
"Biar saya antar Yang Mulia." Aldrick dengan cepat mengikuti Marves.
"Tidak, aku sendiri yang akan kesana."
"Tapi Yang Mulia." Protes Aldrick.
"Diam," tukas Marves dengan suara dingin.
Aldrick terdiam tak berani berbicara.Marves lantas melangkah menuruni tangga tapi baru saja ia melangkah suara gaduh dari pintu persidangan membuat semua iblis menatap suara gaduh termasuk Marves.
"Biarkan dia masuk," perintah Marves dengan wajah datar. Seketika pintu terbuka dengan lebar menunjukan wanita cantik memakai gaun biru, melangkah penuh angkuh sambil menatap tajam penjaga gerbang.
"Ada apa Putri Selena Liberty dari Kerajaan Liberty kemari." Bukan Marves yang menjawab melainkan Aldrick tangan kanan Marves yang memakai baju ksatria menatap tajam Putri yang berada di hadapannya.
"Aku tidak ada urusan denganmu! Jadi diamlah pelayan rendahan. Aku ada urusan dengan kekasihku," pekik Selena menatap jijik Aldrick.
Aldrick mengepalkan tangannya berusaha mengontrol emosi, ia menghembuskan nafas berusaha sabar.
"Maaf Putri, tapi saya adalah tangan kanannya, jadi sepatutnya saya mewakili perkataan Yang Mulia Marves dan untuk Putri Selena, jangan berbicara sembarangan seolah Yang Mulia adalah kekasih Putri."
Selena memutar matanya malas. Tanpa menggubris perkataan Aldrick, Selena lantas menatap Marves dengan penuh dambaan.
"Yang Mulia, saya dengar anda akan pergi ke bumi, Apakah benar itu?" tanya Selena.
"Hm," deham Marves.
"Jika begitu, ijinkan saya menemani Yang Mulia ." Dengan tatapan binar menatap Marves.
"Tidak," telak Marves tanpa basa basi.
"Kumohon Yang Mulia, jika anda membawa saya, saya jamin anda tidak akan rugi, saya juga telah 5 tahun tinggal di sana. Kumohon Yang Mulia saya janji tidak akan membuat anda risih dengan saya, saya hanya menemani, tidak akan melakukan kesalahan yang membuat anda malu dengan saya. Saya juga akan tinggal di apartemen saya sendiri." Harap Selena terhadap Marves.
Marves berpikir sesaat hingga ia menyetujui permintaan Selena.
"Baiklah."
Senyum terbit di bibir Selena mendengar perkataan Marves.
"Terimakasih Yang Mulia."
"Tapi Yang Mulia!" Protes kembali dilayangkan Aldrick.
"Diam."
Marves melangkah menuruni tangga, lantas pergi melewati Aldrick.
Melihat Marves telah pergi. Selena lantas mengikuti Marves dari belakang sambil melirik Aldrick dengan tatapan jijik dan penuh cemoohan.
Aldrick yang ditatap seperti itu, memalingkan kepala, mengepalkan tangannya menahan emosi.
...----------------...
Seorang wanita menghembuskan nafas lelah menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajah kusam penuh jerawat, muka berminyak, membuat wanita itu lelah menghadapi nasib.
Berbagai skincare telah ia gunakan sayangnya tak ada satupun yang cocok dengan wajahnya. Sekali lagi ia menghembuskan nafas lelah.
Keadaan apartemen sederhana miliknya sungguh berantakan karena tak pernah ia bersihkan selama 1 bulan penuh ia hanya berusaha merawat diri dan menutup diri sebisa mungkin dari dunia kejam.
Dunia begitu kejam baginya, di mana hanya wanita cantik yang akan disanjung dan dipuji, sedangkan wanita dekil, jelek sepertinya akan dihina dan dimaki atau lebih parah akan dikucilkan.
Dia adalah Anavella Deolinda wanita yang hidup sebatang kara berusia 28 tahun. Wanita yang bermimpi setiap ia membaca novel memiliki kekasih tampan, imut yang menerima keadaan apa adanya tak memandang fisik ataupun lain.
Vella tertawa miris menatap nasib tidak seperti artis yang berada di dalam tv. Seorang artis yang terkenal cantik dan kaya, hidup bergelimang harta dengan fans yang mencintainya, rela melakukan apapun demi dirinya. Banyak para pria siap berbaris demi ditunjuk olehnya, hidup bahagia tanpa beban.
Sedangkan Vella? Hanya wanita dekil sebatang kara, sejak kecil Vella dibuang oleh keluarga yang tak menganggapnya ada, karena Vella hanyalah anak haram yang lahir karena kesalahan. Tapi entah kenapa takdir seakan mengejeknya. Wajah yang buruk rupa bahkan saat Vella keluar dari apartemen seorang pria menatap wajahnya dengan jijik dan penuh cemoohan. Ingin sekali Vella membalas perbuatan mereka tapi apa boleh buat Vella sama sekali tak berdaya.
"Apa yang harus aku lakukan?" Raut sedih Vella menjambak rambut kuat, lalu tanpa diduga Vella menghempaskan skincare berbagai merek hingga terjatuh ke lantai.
Penghinaan, cibiran, tatapan jijik, tatapan remeh, membuat Vella depresi, apalagi saat Vella kecil, ia adalah anak haram dari keluarga yang membuangnya hanya demi keegoisan mereka. Hingga membuatnya menjadi orang tertutup tak berani melangkah keluar selangkah pun dari apartemen.
Vella dibuang sejak kecil oleh keluarganya tapi keluarganya tetap memberikan tempat tinggal dan juga uang tiap bulan.
Tapi semenjak beranjak 15 tahun masa SMP, keluarganya tak lagi memberikan uang. Beruntung Vella selalu menghemat uang dan menjadi penulis novel demi melangsungkan hidup hingga umurnya 28 tahun.
Menetralkan nafas, Vella mengecek rekening yang ia miliki hanya cukup untuk makan sebulan, tapi tidak cukup untuk membayar apartemennya.
Terpaksa Vella harus berkerja di luar demi kebutuhan hidup. Vella mencari pekerjaan di internet yang kebetulan banyak yang membuka lowongan.
Vella lantas mengirim surat lamaran kerja ke 10 lowongan tapi baru saja 10 menit ia mengirim surat lamaran suara notifikasi pemberitahuan pesan dari 10 lowongan membuatnya langsung bersemangat.
Tapi saat Vella mengecek surat lamaran yang pertama, ia tak diterima karena alasan tidak cantik.
Surat lamaran kedua alasan yang sama begitupun sampai surat kesembilan alasan sama seperti sebelumnya.
Vella mengusap wajah lelah, hembusan nafas pasrah jika ia tak diterima ke surat ke terakhir maka Vella sudah pasrah akan takdir.
Vella mengklik pesan kesepuluh tertampil tanda bulat yang terus memutar. Tak sadar ia menarik nafas saat pesan mulai terbuka.
Seketika tatapan bahagia Vella layangkan saat menatap pesan kesepuluh. Menutup mulut tak percaya, Vella lantas bersorak bahagia.
"Aku diterima, apa! Aku diterima. Wahh..." Bersorak bahagia sampai meloncat- loncat di atas ranjang.
"Wah aku sungguh tak percaya jika aku diterima. Tak apalah jika aku diterima hanya disebuah club malam menjadi OG. Aku tak masalah yang terpenting cukup untuk mengisi perut dan membayar apartemen milikku apalagi gaji yang diperoleh setiap bulan mencapai 6 juta." Bahagia Vella tersenyum bahagia tapi beberapa menit kemudian senyum itu menghilang tergantikan dengan kesedihan.
"Tapi bagaimana jika aku berkerja mereka akan menghina dan mencibirku karena wajahku yang burik." Khawatir Vella pusing memikirkannya.
"Tapi bagaimana lagi mau ataupun tidak aku harus berkerja dan memperoleh uang siapa tahu dengan aku berkerja di sana ada salah satu pria yang mencintaiku, menerimaku apa adanya."
"Baiklah Vella kamu harus semangat, merek menganggap mu ada ataupun tidak kamu harus semangat menjalani hidup." Dengan tatapan membara Vella menyemangati dirinya sendiri.
Di malam hari, Vella memakai masker hitam berserta topi hitam dengan pakaian yang dikenakannya berwarna putih dan terakhir celana jeans panjang. Menatap bingung sebuah club malam dihadapannya berulang kali ia menatap ponselnya memastikan bahwa alamat yang tercantum benar adanya.
Dilihatnya terdapat banyaknya mobil mewah yang terparkir di depan club.
Seorang wanita ataupun gadis cantik memakai gaun kekurangan bahan demi memperlihatkan bahu ataupun lainnya yang mereka sukai, Vella menatap mereka menyerahkan kartu berwarna hitam yang Vella duga sebagai kartu masuk club kepada dua orang pria bertubuh kekar sebagai penjaga pintu.
Vella meneguk saliva memberanikan melangkah menuju dua pria bertubuh kekar. Ketika Vella melangkah menuju pintu seorang pria bertubuh kekar dengan kumis hitam menghadang Vella.
"Maaf Nona serahkan dulu kartu masuknya."
Keringat turun ke pelipis, tangan bergetar kuat menahan kegugupan. "Maafkan saya Paman saya tidak punya kartu yang Paman maksud."
"Jika begitu anda tidak boleh masuk Nona."
Vella membelalak mata mendengar perkataan pria berkumis.
"Tapi Paman saya disuruh kesini untuk berkerja. Ini buktinya Paman." Vella menunjukan pesan lamaran diterima kepada pria berkumis.
"Saya masih tidak percaya Nona, bisa saja anda memalsukan surat itu, jadi sebaiknya anda pergi dari sini sebelum saya menyeret anda Nona."
Vella menatap tak percaya padahal surat yang dilihatnya pada pria berkumis benar asli tak ia ubah sekalipun. "Tapi Paman, saya benar melamar berkerja di sini Paman. Gini saja jika Paman tak percaya dengan saya, Paman bisa bertanya langsung dengan Manajer anda."
Paman berkumis itu lantas mengiyakan perkataan Vella, lantas pergi Manajernya.
Tak lama kemudian seorang wanita berpakaian kurang bahan melangkah mendekati Vella.
"Ada apa ini?" tanya wanita itu bingung.
"Maaf menganggu Mrs. Jela, kata Nona ini anda memperkerjakan dia. Jadi saya memastikan kebenarannya," jawab Paman berkumis.
Mendengar perkataan pria berkumis Jela menatap Vella dari bawah ke atas membuat Vella risih dibuatnya.
"Kamu melamar berkerja menjadi apa?" tanya Jela.
Vella tersenyum ramah. "Saya melamar menjadi OG Mrs."
"Oh OG baiklah. Nama kamu siapa?"
"Saya Anavella Deolinda Mrs." Masih dengan senyum ramah yang ditujukan Vella kepada Jela.
Jela menatap datar." Baiklah ikutilah saya sekarang." Jela lantas pergi meninggalkan Vella.
Vela mengangguk sopan mengikutinya Jela dari arah belakang.Dilihatnya Vella menatap tempat yang dituju Jela, tempat belakang club.
"Kamu di tempat di sini, tapi ingat kamu jangan macam-macam di sini. Kerja yang benar."
"Baik Mrs. Jela." Angguk Vella sopan masih mempertahankan senyum ramah di dalam masker membuat matanya menjadi sipit.
"Bagus, oh iya saya mau tahu wajahmu agar saya bisa memastikan kamu bukan orang berbahaya ."
Seketika Vella pucat mendengar permintaan Mrs Jela. "Tapi Mrs. Apa tidak usah saja Mrs, saya takut anda akan membenci saya."
Jela mengernyit heran. "Kenapa saya harus membenci kamu? Kamu melakukan kesalahan apa hingga membuat saya membenci kamu."
"Bukan begitu saya takut jika anda menatap wajah saya anda akan membenci saya." Tunduk Vella.
Jela menatap datar. "Cepatlah buka maskermu atau saya akan memecatmu hari ini juga."
Vella membelalak mata kaget dengan perkataan Jela. "Baiklah Mrs." Dari pada dirinya harus dipecat terpaksa ia menampakan wajahnya.
...----------------...
Menghembus nafas Vella membuka masker dengan pelan hingga memperlihatkan jerawat yang cukup banyak.
Satu menit, 10 detik, tak ada jawaban.
Vella memberanikan menatap Jela. Tapi yang ia lihat hanyalah tatapan datar. Menduga pasti ia akan dipecat karena wajahnya tapi tiba saja Jela malah terkekeh membuat Vella menatap bingung
"Ambil seragam mu di laci, bekerjalah semaksimal mungkin." Menepuk punggungnya sambil terkekeh.
Terbengong sesaat. Seorang wanita menepuk pundak lumayan keras tapi mampu membuat Vella meringis.
"Hai, kamu anak baru yah?" tanya wanita berpakaian seragam biru tengah memegang gagang pel sambil tersenyum padanya.
Vella mengangguk kikuk. "Iya."
"Wah jika kamu anak baru, kenalin nama aku Tania. Salam kenal yah." Senyum ramahnya menjulurkan tangan ke arah Vela.
Vela menerima uluran tangan Tania. "Salam kenal. "
"Baiklah sekarang ayo aku bantuin cari seragam kamu," ajak Tania menarik tangan Vella.
Vella hanya pasrah jika ditarik. Sampainya di tempat ruang ganti Tania memperlihatkan seragam berwarna biru yang akan Vella kenakan.
Sekian lama Vella memakai seragam biru dengan rambut yang ia kuncir kuda tak lupa Vella memakai masker hitam menutupi wajah buruknya.
"Ok kau terlihat bagus, baiklah sekarang ayo kita berkerja." Tarik kembali Tania menarik tangan Vella.
"Aku akan kerja dulu kamu bersihin toilet wanita aku akan membersihkan toilet pria, kamu mengerti?" Vela menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.
Tania lantas pergi meninggalkan Vela sendirian. Vella menatap punggung Tania yang perlahan menghilang ia menatap toilet wanita yang harus ia bersihkan.
Terdapat gagang sapu dan juga pel berada di kedua tangannya. Vella lantas menarik nafas sebelum berkerja.
Vella menyapu semua yang sekiranya harus dibersihkan, setelah dirasa lumayan bersih Vella mengepel lantai yang telah ia sapu.
3 jam telah berlangsung, Vella menatap lega toilet yang telah bersih, merasa bangga pada diri sendiri karena di apartemennya saja ia tak perna membersihkan karena ia cukup malas untuk membersihkan itu semua bisa dibilang Vella bukanlah wanita pembersih tapi saat di sini pekerjaan yang sudah lama ia tak lakukan ia kerjakan di tempatnya berkerja.
Keringat turun hingga pelipis Vella, wajah yang penuh akan keringat membuat Vella mencuci mukanya.
Pekerjaan telah selesai Vella lakukan. Vella melirik jam menunjukan pukul 2 malam, artinya ia bisa pulang sekarang juga.
Vella menaruh kembali gagang sapu dan pel pada tempat, Vella segerah mengambil tas yang berada di loker tapi yang Vella lihat Tania tengah duluan mengambil tasnya.
"Loh kita ketemu lagi, sudah selesai pekerjaanmu Vella," ucapnya dengan ramah.
Vella menganggukkan kepala merespon ucapan Tania.
"Baiklah jika sudah selesai kamu mau aku antar?" tanya Tania.
Vella menggelengkan kepala. "Tidak usah Tan, makasih. Aku bisa sendiri," tolak halus."Beneran?" tanya Tania khawatir.
"Iya kamu gak usah khawatir aku bisa jaga diri." Senyum Vella.
"Yasudah kalau gitu terserah kamu saja." Vella menganggukkan kepalanya.
"Kamu kalau ada yang terjadi sama kamu, kamu langsung telfon aku yah, aku usahain bantu kamu." Tania menggenggam tangan Vella.
Vella kembali menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, aku pamit pergi dulu. Kamu yang hati-hati," pamit Tania sebelum pergi. Vella hanya tersenyum sebagai respon.
Dirasa Tania telah pergi, Vella mengambil tasnya menganti seragam biru dengan baju yang tadi ia kenakan.
Vella lantas pergi meninggalkan club malam dari arah pintu belakang.
Sampainya ia di apartemen miliknya, Vella membuka pintu dan tertampil barang yang berserakan di penjuru ruangan.
Vella memijit pelipis lelah. Tak ada waktu untuk membersihkan ruangan, Vella tanpa basa basi membaringkan tubuh menunggu esok tiba.Hari keenam Vella berkerja menjadi OG di club malam. Tak ada spesial sama sekali.
Harinya hanya membersihkan toilet wanita di satu tempat. Harapan yang ingin memiliki kekasih tampan dan menerima dirinya apa adanya hanyalah sebuah impian, nyatanya pria yang berada di sini hanya memandang fisik dan memperlakukan wanita sebagai mainan saja.
Vella yang telah menyelesaikan pekerjaannya lantas melangkah menganti seragam.
Tapi baru saja ia melangkah seorang wanita memberhentikan langka Vella.
"Vella," panggil Mrs. Jela memakai pakaian cukup formal dengan dress merah yang dikenakan.
Vela mengernyit heran, tak biasanya Mrs. Jela memakai dress yang menutupi baju dan punggung.
"Iya Mrs, ada yang bisa saya bantu?" tanya Vella sopan.
"Tidak usah, hari ini saya akan bertemu tamu penting kamu jangan pulang dulu kamu bersihkan toilet pria terlebih dahulu."
Vella menarik alisnya bingung. "Tapi Mrs, bukannya saya hanya membersihkan toilet wanita saja Mrs sedangkan toilet pria di bersihkan Tania."
"Tania hari ini tidak masuk, kamu yang akan gantikan tugas Tania. Kamu tidak perlu khawatir gaji kamu akan saya tambah," balas Jela.
"Maaf saya Mrs, kenapa Tania tidak masuk?" Heran Vella.
"Saya juga tidak tahu, katanya ada urusan penting yang mau Tania selesaikan. Yaudah saya pergi dulu sebentar lagi tamu akan datang, cepat lakukan tugasmu," perintah Jela lantas pergi.
Vella mendengus capek, hari ini hari terlelah bagi Vella. la terpaksa harus berkerja extra entah sampai kapan pekerjaannya akan selesai.
Menarik nafas sebelum melakukan pekerjaan. Vella memasuki toilet pria, seketika ia berdecak kagum menatap luas toilet pria dan jangan lupa aroma wangi yang menyebar di seluruh ruangan.
Tak perna Vella bayangkan luas toilet pria yang kira cukup untuk menampung ruang tamu, kamar tidur.
Beberapa menit Vella terbengong seketika tersentak kaget karena seseorang menabrak dirinya membuat Vella terjatuh dan secara reflek memaki pria yang menabrak dirinya tanpa melihat wajah pria itu.
Tak ada suara kata maaf ataupun lain. Vella menarik alis heran, ia mendongak. Mata melebar, mulut melongo yang untung Vella memakai masker, dihadapannya terdapat pria sangat tampan dan imut memakai setelan hitam tengah memandang datar Vella.
Tanpa sepatah kata pria itu melewati Vella, membiarkan Vella dalam keadaan terduduk di lantai.
"Pria idaman." Monolog Vella tak sadar jika pria yang ia lihat telah pergi. Tapi entah kenapa saat Vella menatap pria itu jantungnya terasa berdebar seakan telah menemukan jodoh.
Beberapa menit Vella tersadar dari lamunannya saat ia lihat hanya ada dirinya saja di sini. Menghela nafas kecewa.
"Siapa pria tampan itu? Perasaan selama berkerja di sini aku tak perna melihat pria itu sama sekali. Ah aku tak peduli yang terpenting aku menyukainya dan akan mengejarnya." Pancar Vella dengan semangat.
Vella dengan semangat membersihkan toilet dan akan mencari tahu tentang pria yang baru saja ia temui kepada Mrs. Jela.
Hingga tak butuh lama Vella menyelesaikan tugasnya lantas melirik jam menunjukan pukul 3 malam, tak peduli akan jam. Vella mencari Mrs. Jela.
Dilihatnya Mrs. Jela berjalan keluar dengan sekelompok pria memakai setelan hitam. Sekilas Vella melihat pria tampan berwajah datar hanya diam tak merespon perkataan Jela tapi wajahnya yang datar membuat tampak mempesona.
Tak sadar Vella mengikuti langkah sekumpulan pria demi menatap pria datar itu, senyum terbit di balik masker Vella tapi seketika senyumnya tergantikan dengan raut kecewa saat pria itu memasuki mobil dengan seorang wanita.
Mrs. Jela berbalik terkejut melihat Vella dengan raut sedih berada di depannya.
"Vella kenapa kamu di sini?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!