Elena nyengir. Dibiarkannya lelaki itu melakukan apapun yang ia suka. Terserah. Selama itu menguntungkannya. Berkali-kali lelaki itu melontarkan kata-kata bujukan agar Elena bersedia menampung dirinya untuk sementara waktu. Memohon. Memelas. Lelaki itu sedang dalam kebingungan. Tak tahu arah tujuan. Hanya Elena yang dipandangnya bisa membantu.
Timbul rasa iba yang kemudian menggelayut di benak Elena melihat tatapan lemah lelaki yang baru dikenalnya itu. Sebenarnya bukan ia tidak mau menolong, tapi dimana lelaki itu akan tidur? Rumahnya yang lebih mirip gubuk itu amat sempit untuk dihuni berdua dengan Salva, adiknya. Bagaimana jika ditambah lelaki itu? Bisa sesak bernafas.
“Oke, lo boleh ikut gue!” ucap Elena sambil memasukkan kaleng bekas ke karung di punggung lelaki itu.
“Serius?” lelaki itu girang.
Elena mengangguk.
Gue harap lo nggak betah dan segera pergi. Batin Elena mengingat gubuk reotnya yang tak layak huni.
Lelaki itu tersenyum. Andai saja Elena mengamati senyuman itu dengan seksama, tentu dia akan terpesona. Sayangnya Elena seperti telah menutup keindahan dunia dengan hatinya yang beku. Dia hanya akan terpesona dan tertarik dengan senyum adiknya. Itu saja. Pahit getir hidupnya membuatnya terlalu sulit mengakui bahwa sesungguhnya masih banyak keindahan di sekitarnya. Tapi ia tidak melihat itu. Ia tidak memperdulikan itu.
“Boy.” Lirih lelaki itu lalu kembali tersenyum. “Panggilan yang bagus.” Pria itu girang, kemudian berlari mengejar Elena yang berjalan begitu cepat meninggalkannya menyusuri jalan setapak.
Elena berhenti di depan rumah yang lebih mirip dengan gubuk. Ia membuka topi bundar dan menyangkutkannya di paku dekat bibir pintu. Lalu menoleh pria yang dipanggilnya dengan nama Boy. Pria itu berdiri terpaku mengamati rumah di depannya, ia tersenyum tipis. Manis sekali.
Pandangan Elena jatuh di ikat pinggang Boy, menggkilap. Mungkin mahal. Dari ikat pinggangnya saja, Elena sudah bisa memprediksi bahwa Boy berasal dari orang berada. Jiks benar lelaki itu berasal dari orang kaya, apa mungkin ia sanggup bertahan hidup di rumah reot yang tak serupa rumah itu?
Boy masih terpaku dengan nafas terengah. Tatapannya mengedar pada rumah kecil itu.
“Ini rumah gue,” kata Elena.
Boy mengangguk.
Elena cukup terkesan melihat sikap Boy yang sedemikian cuek dengan kondisi gubuk buruk itu.
“Ini tarok mana?” Boy menunjuk karung berisi rongsokan di punggung.
“Tuh!” Elena menunjuk.
Boy meletakkan karung tersebut sesuai dengan petunjuk Elena. Di samping pintu.
Elena mendorong pintu reot dengan mudahnya, sebab memang tidak dikunci. Tidak ada barang berharga yang perlu dijaga di rumah itu.
***
Eng ing eng… ketemu lagi sama aku, emma shu.
Kali ini aku bawain cerita yang berbeda dari cerita lainnya. Kalau tentang CEO ganteng, cowok tajir melintir, atau presdir keturunan orang terkaya se-Indonesia itu udah biasa, dan memang udah booming di dunia maya kebanyakan mengisahkan makhluk terkaya yang nggak ada duanya.
Nah, cerita yng ini boleh diikuti, kalau nggak baper, jangan panggil aku emma shu, panggil aja emma imut. Wk wk wk…
Jangan lupa masukin ke favorit dan tombol like-nya jangan dianggurin, kasihan pencipta aplikasinya udah capek-capek bikin itu tombol tapi Cuma dicuekin. Manfaatin yah!
Jangan lupa juga baca ceritaku yang berjudul Pacarku Dosen, buset ceritanya seru banget pokoknya, jangan sampe ketinggalan baca. Rugi!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
the loyal reader
kak emma lucu ih
2023-04-27
0
Mommy R3
Apakah Elena juga seorang kaya yg karena nasibnya jadi terpaksa misqueen? Habis namanya dan adiknya bagus banget untuk seorang pemulung 😁
2023-03-13
0
Wiwin Gunandi
baru baca karyamu thor...
2022-01-04
0