Sang Wira
Seorang pria bernama Wira, pria berkebangsaan Indonesia, yang lahir di pulau Jawa, tepatnya pada tahun 1972.
Jika dihitung usianya sekarang adalah 45 tahun. Masa-masa kokohnya bagi seorang petani yang bekerja dari pagi hingga sore demi untuk menghidupi keluarga kecilnya di desa.
Ya.
Meski begitu, jerih payahnya tak menjamin penghasilan lebih besar. Pada nyatanya dia dan keluarga tetap saja kekurangan, bahkan sering kali ia dan istrinya berpuasa demi memberikan kekenyangan pada perut putra kecilnya.
Ia hidup di dalam hiruk pikuk masyarakat yang masih begitu kental dengan adat dan budaya. Tak hanya dalam hal kelahiran bayi atau pernikahan, bahkan keseharian mereka pun masih saja berakar pada sebuah adat.
Seperti halnya kala putra tunggal Wira lahir ke dunia. Apa saja yang tidak dilakukan oleh keluarga besar mereka. Mulai dari membuatkan sambetan, membuang air bekas mandi pada tempat mengubur ari-ari si bayi. Katanya supaya si bayi tidak dekil saat sudah dewasa kelak.
Huhh!
Ada-ada saja. Namun begitulah adat di desa tempat Wira terduduk sekarang dan menjadi pria termiskin di tempat tersebut. Tak jarang warga desa memanggilnya si miskin sebab memang Wira terkenal seperti gelandangan, yang hidup bergantung pada orang lain di sekitarnya.
Ah!
Nasibnya memang memilukan. Bahkan sebelum dia menikahi gadis cantik yang bernama Yuni. Gadis muda tercantik di desanya atau biasa disebut kembang desa sebab pesona wajahnya yang anggun dan cantik jelita. Usianya juga terpaut cukup jauh dari usia Wira. Yuni lahir pada tahun 1996. Bahkan Wira masih ingat kala Yuni lahir, dialah yang membantu mengangkat tandu ibu mertuanya demi untuk bisa menyeberangi jembatan berlumpur menuju ke puskesmas.
Entah bagaimana bisa wanita itu memilih dirinya. Padahal banyak yang datang untuk melamarnya, bahkan sekelas bangsawan. Anak Pak RT, bahkan sampai anak Camat pun rela meraungi jalanan setapak nan membunuh demi untuk meminangnya.
Alhasil, Yuni tetap bersikukuh ingin menikah dengan Wira. Pemikiran yang gila.
"Mas, pagi ini Yuni ndak bisa bikin kopi buat Mas Wira." Ucap Yuni di pagi hari dengan wajah yang muram pun gelap gulita. Kesedihan jelas terpancar pada kedua matanya yang sipit.
Wira hanya menengadah ke atas menatap wajah istrinya yang lugu dan mulai kelihatan kurus. Maklum saja, keduanya sudah sejak dua hari lalu tidak makan. Ada sepucuk nasi jagung di bakul atas meja makan, tapi anak mereka berdua juga butuh makan. Jika mereka memakannya, bagaimana nasib anak mereka nanti?
Sejenak Wira terdiam penuh penyesalan. Sampai akhirnya dia berhenti menyalahkan keadaan. Tersenyum wajahnya menatap sang istri, "ndak apa-apa, Mas masih sanggup berpuasa sampai besok," ucap Wira dengan halus, "yang penting kamu harus makan, jangan sampai kurus, kasihan Mas lihatnya." Sambung Wira lagi. Tak terasa air mata mulai menggenang di kedua matanya.
"Mas Wira, apa boleh Yuni ikut Mas Wira kerja ke ladang? Mungkin ada yang bisa Yuni bantu di sana.."
"Ndak perlu, Yuni, kamu sudah cukup bantu Mas menjahit, itu pun sudah harus membuat Mas banyak berterima kasih sama kamu."
Mendengar jawaban dari suaminya, Yuni pun hanya bisa tersenyum layu. Ia tahu suaminya benar-benar membutuhkan bantuan kedua tangannya, tapi mengapa Wira tak mau berterus terang? Pria itu justru menolaknya mentah-mentah seperti ini. Ah, menyedihkan sekali.
Batinnya.
Siang hari mulai berlalu. Seperti biasanya, Wira selalu pergi memancing di sore hari. Harapannya dia bisa mendapatkan beberapa ikan yang besar agar bisa dia jual untuk membeli beras.
Ia mulai bergerak melesat menuju sungai yang tak jauh letaknya dari desanya sendiri.
"Lihat tuh si miskin! Udah tahu pancingannya ndak pernah dapat, tapi masih saja ngeyel mau mancing," tukas seseorang merutuki dirinya yang malang.
Ingin sekali Wira membalas dengan menjotos kedua pria di sisi kanannya itu dengan pukulannya yang lumayan kuat. Namun apalah daya, yang dikatakan mereka berdua memanglah benar. Pancingannya tak pernah mendapatkan hasil selama ini.
Ia pun hanya berlanjut terduduk di sisi sungai, melempar kail, dan kemudian menunggunya mendapat hasil.
Sore hari telah berlalu, malam juga mulai semakin larut. Para pemancing lainnya sudah mulai pergi dengan membawa hasil yang lumayan banyak di dalam ember. Namun Wira masih terbengong dengan ember kosong tiada berisi apapun.
Padahal sudah lima jam dia menunggu. Kawan-kawan yang lain juga sudah mendapat setidaknya sepuluh ekor selama Wira berada di sana. Lalu mengapa dia tak kunjung dapat?
"Sialan!!"
Umpat Wira mulai terpancing emosi. Ia yang semula sabar pun pada akhirnya mulai menyerah. Ditarik olehnya secara paksa pancingan yang sedari tadi dia biarkan saja.
"Hidupku memang selalu sial! Selain bisa mendapatkan Yuni, tidak ada lagi keberuntungan yang aku dapatkan! Mengapa Engkau mengujiku dengan kemiskinan ini, Tuhan!!!"
Teriaknya kepada langit, memohon dan menuntut belas kasihan kepada sang penguasa.
Jelger!!
Guntur mendadak menyambar. Langit pun seolah terbelah manakala mendengar teriakan menyakitkan dari kelelahan seorang pria miskin bernama Wira. Alam saja seolah tak terima dengan kehidupan melarat seorang Wira yang tak kunjung berakhir.
Hujan mendadak turun begitu deras. Wira yang semula merasa hancur sebab ikan pun tidak dia dapat, akhirnya mulai mengalah dan pulang dengan tangan hampa. Berjalan saja dia meninggalkan sungai yang memberinya harapan palsu.
Esok harinya, pria itu kembali ke kebun tempat dia menanam cabai dan kentang. Ia selalu tertunduk lesu, sebab bertambah sehari lagi dia dan istrinya tidak makan sama sekali. Untunglah ada air hujan turun semalam. Ia dan istrinya pun pada akhirnya menghabiskan malam tadi dengan beberapa gelas air minum sampai perut mereka terasa kembung.
Kakinya terus melangkah dengan terseok-seok menuju ke arah kebun dengan wajahnya yang muram. Namun wajah muram itu seketika berubah berbinar manakala mendapati kondisi kebunnya yang berubah total.
"Apa? Apa ini kebunku?" Tanyanya dengan kegirangan.
Setengah berlari Wira menuju ke arah kebunnya, meletakkan cangkulnya di atas tanah basah sebab guyuran hujan, lalu mulai lah dia melihat-lihat sekeliling kebunnya.
"Kebunku sudah hijau.."
Tanaman cabainya mendadak berbuah, padahal sudah enam bulan lebih sejak ditanam pohon-pohon cabai ini tak pernah menunjukkan tanda-tanda akan berbuah. Bahkan bunga pun tiada tersemat di sana.
Wira tertawa kegirangan. Baru kali ini dia mendapati kebunnya yang sangat hijau, bahkan keadaan kebunnya jauh lebih baik daripada hari kemarin.
"Kenapa bisa? Kebunku? Kenapa bisa?"
Wira terus saja bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tak tahu mengapa, rasanya dia masih saja tak percaya dengan keajaiban yang baru saja dia alami tersebut.
Singkat cerita, Wira pun mulai memanen beberapa bedeng kentang yang dia tanam. Sebab kentangnya sudah berusia enam puluh hari ke atas. Jika dalam kondisi sekarat seperti ini, Wira masih bisa memanennya dengan terpaksa.
Pria itu pun pulang dengan satu karung kentang yang dia pikul di bahu kirinya. Wajahnya berbinar saat mulai mengetuk pintu dan menunggu istrinya membukanya.
"Dek, Dek! Mas pulang.."
Tidak ada sahutan dari siapapun. Hanya kemudian terdengar suara anaknya menangis keras dari arah dalam. "Dek? Kamu di rumah, kan?" Tanya Wira lagi, berpikir kalau istrinya mungkin tidak mendengar panggilannya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Achi
Asyiiik ada yang baru 👏👏 Semangat kak 💪
2023-11-17
2