#Sang Wira 2

  Berulang-ulang kali Wira memanggil istrinya, namun benar-benar tidak ada sahutan dari sang istri sama sekali. Bahkan anak mereka yang menangis pun dibiarkan menangis saja, membuat Wira curiga kalau sang istri tidak ada di dalam.

  Wira membuka pintu, rupanya tidak terkunci seperti yang dia pikirkan. Bergegas Wira meletakkan sekarung kentang di dapur dan kemudian segera meraih putranya yang merengek mencari ibunya.

  "Cup, cup, uwis nduk, ibumu kemana? Kok kamu nangis Ndak ditolongin?" Tanya Wira pada sang putra. Balita dua tahun itu tak menjawab apapun, hanya bisa terus menangis dan memeluk ayahnya ketakutan.

  Entah apa yang terjadi pada anak ini.

    "Kita cari ibumu, ya, sudah, jangan nangis lagi.."

  Wira menepuk-nepuk punggung anaknya yang sudah menangis sesenggukan sembari berjalan menuju pintu belakang. Pintunya rupanya terbuka.

  "Kemana si Yuni ini? Kok pergi anaknya ditinggal?"

 Wira kemudian berjalan menuju ke belakang rumah yang hanya berisikan beberapa tumpuk kayu bakar. Selebihnya hanya rumput liar yang menjadi lajur ke arah hutan belantara.

   "Udah, Mas Lukman, kamu, jangan kelamaan, nanti Mas Wira pulang gimana?"

  "Kamu kan sudah aku bayar pakai uang, jadi jangan banyak menuntut, baru juga setengah menit." Samar-samar Wira mendengar suara percakapan dua manusia. Satu orang wanita, yang sepertinya Wira agak mengenal suara itu. Bukan agak lagi, tapi memang dia sangat kenal. Itu suara Yuni.

  Si kecil di pundaknya sudah diam dan mulai tidur kembali. Dengan kondisi ini, Wira pun mulai berjalan mendekat ke arah suara berada, tepatnya di antara semak belukar yang hampir menuju ke arah hutan.

   "Uhm.. kang, udah, keburu Mas Wira pulang, kang.."

  "Sudah, ini aku mau ke...lu..ar.."

  Wira menyibakkan rerumputan yang menutupi kedua manusia tersebut.

  "Bang*at!!"

 Begitu bergejolaknya amarah di hati Wira, manakala kedua matanya terperanjat melihat tubuh molek istrinya terbuka dan tengah dinikmati oleh pria lain.

  Tanpa aba-aba lagi, segera dia melarak istrinya yang kala itu masih tidak terbungkus apapun menuju ke dalam rumah.

 "Mas Wira.."

  Ia tak mendengar panggilan dari istrinya sama sekali. Hanya beberapa saat kemudian dia berlari ke arah semak belukar barusan setelah meletakkan anaknya di atas kasur.

  Ia berlanjut mengejar pria yang hanya mengenakan celana pendek di atas lutut sampai ke tengah hutan belantara, dan kemudian memukulinya habis-habisan.

  Bukk!

  "Dasar ndak tahu diri!!"

   Buk!

  Pria itu hanya meringis saja. Justru ia tak kelihatan menyesal setelah menggauli istri Wira barusan. Dia malah terlihat tersenyum picik.

  "Pukuli saja aku, yang penting aku sudah menikmati istrimu!"

  "Laknat kamu!!"

  Bukk!

  "Yang laknat itu kamu, Wira! Sudah tahu kamu dan aku bukan tandingan, masih saja dulu kamu nekat menikahi Yuni! Sekarang kalau Yuni menyesal nikah sama kamu, dan lebih baik buat berbuat sama aku, jangan salahkan aku! Aku selalu punya uang buat membahagiakan istrimu, dan mengenyangkan perutnya!!"

  Pria itu namanya Lukman. Anak Pak Camat yang dulu sempat melamar Yuni. Memang benar adanya, Wira dan Lukman ini bukan saingan yang sepadan. Namun entah mengapa bisa Wira juga tak mau kalah mau mendapatkan Yuni. Sekarang, ucapan Lukman memang benar. Yuni pastilah telah menyesal menikahi dia.

Merasa kalah telak dengan kenyataan, Wira pun hanya bisa melepaskan Lukman dan membiarkan pria berusia 30 tahun itu pergi.

Dengan wajah kesal dan muram, lekas Wira bergerak dengan tertatih-tatih menuju ke rumahnya kembali, dan mendapati istrinya yang sudah rapi, berpakaian tertutup dan sudah lebih baik.

Bruk!

"Mas, Yuni minta maaf, Yuni melakukannya karena Yuni ndak tahu gimana lagi cara bantu Mas cari uang! Yuni ndak dapat pelanggan lagi, jahitan Yuni sudah sepi sekarang, Yuni minta maaf, Mas.." ucap Yuni sembari bersimpuh di kaki suaminya.

Wira tak berkutik. Tak pula memberi perkataan apapun. Tubuhnya terduduk lemas di atas ranjang, hingga kemudian kedua matanya melirik sang putra yang masih tertidur pulas. Perutnya selalu berbunyi dalam tidurnya, membuat hati Wira teriris menyakitkan.

"Kalau saja kamu bersabar, Mas pasti akan kasih kamu makanan dan uang dari hasil penjualan kentang."

Yuni mendongak. Matanya berkaca-kaca diselimuti penyesalan hebat. Ia yang kelaparan sebab tidak makan berhari-hari rela menjual tub\*hnya dengan harga 150 ribu pada Lukman yang baj\*ngan. Tanpa dia ketahui, suaminya bahkan bisa memberikan empat kali lipat besarnya daripada uang dari hasilnya menjaj\*kan diri.

Ia benar-benar menyesal. Menangislah Yuni dengan penuh penyesalan.

"Mas, Yuni minta maaf, Yuni sudah bersalah, maafkan Yuni, Mas, maafkan Yuni.."

Hati Wira terasa mengeras. Entah bagaimana dia akan memaafkan Yuni. Meski dalam hatinya nama Yuni selalu terukir secara permanen, namun kesalahan ini, apa Yuni masih pantas mendapat maaf dari Wira?

"Makan saja kamu dari uang yang aku berikan nanti, untuk uang itu, sedekahkan saja buat anak yatim di ujung jalan sana, untuk masalah ini, biar Mas yang simpan kesedihan ini sendiri, ke depannya, jangan pernah lakukan lagi."

Yuni mengangguk mengerti. Entah mengapa Wira masih memaafkan dirinya. Padahal jelas sekali terlihat di depan kedua matanya Yuni yang sedang berbuat hal tidak senonoh dengan Lukman. Namun entah apa yang membuat Wira memaafkan Yuni dan masih memberi Yuni kesempatan kedua. Apakah Wira terlalu baik hati? Atau sebenarnya pria ini hanya terlalu bodoh?

Hari berganti menjadi esok. Kentang yang dipanen kemarin akhirnya laku terjual di pasar sayur dini hari tadi.

Ya, untuk mendapatkan harga yang lumayan tinggi memang harus rela bangun jam satu dini hari untuk menjual kentang di pasar sayur. Hal ini sebenarnya sudah lumrah terjadi pada masyarakat desa tersebut. Banyak pula warga yang berbondong-bondong menjual barang dagangannya ke pasar tersebut. Ada yang membawa kol, sawi, cabai, tomat, dan lain sebagainya. Tak jarang para wanita juga ikut serta membantu suaminya membawa dagangan mereka ke pasar.

Pagi ini Wira mendapat uang cukup besar dari hasil penjualan sekarung kentang miliknya. Satu kilo kentang dihargai kisaran 10.000 rupiah. Satu karung kentang milik Wira beratnya mencapai 60 kilo. Jika dihitung, hasilnya lumayan juga, 600.000.

Wira pun pulang dengan perasaan gembira. Bukan berarti dia telah melupakan kejadian kemarin sore saat mendapati istrinya tengah asik dengan pria lain. Tapi dia senang karena akhirnya dia bisa memberi makan enak untuk putra semata wayangnya.

Uang 600.000 ini jika khusus dia gunakan untuk makan sehari-hari bisa bertahan sampai dua bulan lamanya. Itu pun kalau makan ikan, kalau makan tempe tahu beda lagi, bisa bertahan tiga bulanan.

"Assalamualaikum, Bapak pulang.." ucap Wira dengan senang. Ya, akhirnya dia dan keluarganya bisa makan enak.

Bersambung..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!