#Sang Wira 4

       Keberuntungan memang selalu datang pada setiap orang, termasuk Wira. Ia sudah tak payah lagi pergi berkebun demi sesuap nasi. Sekarang dia bahkan sanggup memperkerjakan ratusan anak buah untuk mengelola ladangnya. Begitulah roda kehidupan. Kapanpun itu pasti nasib akan lekas berubah.

       "Ndak bisa tah Wir, anakmu ini ndak punya akta lahir, jadi susah kalau mau sekolah." Ucap sahabat Wira, Leman. Dia memang seorang guru SD di desa mereka. Sudah sejak lama Wira bercengkerama dengan Leman membahas anaknya yang sudah seharusnya mulai bersekolah.

       Namun tidak semua hal semudah seperti yang dipikirkan. Anaknya tidak memiliki akta kelahiran sebab dia dan Yuni dulu menikah juga hanya sah secara agama, tidak tercantum di negara. Sebab itulah sekarang semuanya jadi sulit.

       "Gini deh, saya kasih ongkos tiga kali lipat sama kamu, tapi anak saya harus punya akta." Ucap Wira mencoba membujuk Leman dengan uangnya.

       "Ini bukan masalah uang, Wir, tapi gimana mau bikin akta kalau pernikahan ayah ibunya saja tidak tercantum oleh negara? Ya, ndak bakal jadi." Jawab Leman dengan bersungguh-sungguh.

     Leman beralih menyeruput kopi di atas meja tamunya. Istrinya yang telah membuatkan kopi ini untuknya. Di depannya, satu gelas kopi milik Wira masih utuh, belum juga tersentuh. Padahal keduanya sudah berbincang cukup lama. Atau mungkin, kopi buatan istrinya Leman tak selezat itu di lidah Wira.

     Mana mungkin. Wira bukan saudagar kaya yang sombong. Bagaimanapun juga, dia pun pernah mencicipi pahitnya kehidupan di masa lalu bersama Yuni dan putranya, Danu. Ia terbiasa minum kopi pahit tanpa gula. Jadi saat diberi minum kopi di rumah Leman, rasanya masih sama, lezat.

     Ia memang sedang melamun selepas mendengar penuturan Leman barusan. Bukan sebab apa, semuanya memang akan lebih sulit karena memang dahulu dia dan Yuni hanya menikah siri. Bagaimanapun juga, membuat akta lahir tanpa buku nikah kedua orang tuanya pastilah akan sangat menyulitkan.

       Mendengar perkataan Leman, jujur saja Wira sudah putus asa. Ia tak tahu lagi bagaimana jalan keluar untuk menghadapi permasalahan anaknya ini. Salah sendiri dulu menikahi Yuni hanya secara siri, sekarang semuanya jadi repot urusannya.

       Dengan kekecewaan, Wira pun akhirnya meninggalkan rumah Leman. Ia berlenggang saja menuju ke arah mobilnya.

       Belum juga dia masuk ke dalam mobil, suara lembut nan halus tiba-tiba menyapa kedua telinganya.

       "Mas Wira.."

       Suara itu membuat Wira tertegun sesaat. Tangan kanannya pun berhenti sejenak manakala hendak membuka pintu mobil. Ia tampak menoleh ke sisi kanan. Wajah ayu dan molek tampak berbinar menatap ke arahnya dengan pandangan lugu.

       Wajah yang telah lama menghilang dari kedua mata Wira. Wajah ayu yang dulu sempat dia kagumi, dan lebih dari itu, bahkan pernah habis sebab dia cu*bui dengan penuh cinta.

       "Yuni.."

       Wanita itu lekas mendekat dengan langkah kedua kakinya yang jenjang, membuat degup jantung Wira tiada beraturan iramanya. Bahkan nafas Wira sesaat terhenti tatkala rambut indah Yuni terhempas oleh angin nakal yang menyapunya.

       "Mas Wira apa kabar?" Tanya Yuni dengan senyum manisnya.

       Wira lekas terbangun. Pada nyatanya ia tetap saja dibuat kagum pada sosok Yuni meskipun telah lama dia tak menikmati keindahan tersebut.

       "Baik, kamu sendiri apa kabar?" Tanya Wira yang tampak gugup.

       Yuni mengangguk diulas senyuman yang merekah dan begitu manis di bibirnya yang ranum. Tak dapat dipungkiri, Yuni juga merasa kagum pada sosok Wira yang sekarang. Sungguh jauh berbeda dari Wira yang dulu. Sekarang pria itu bahkan kelihatan lebih muda dibanding Lukman, suaminya.

       "Baik, Mas. Kamu ada keperluan apa datang kesini?" Tanya Yuni membuat Wira lekas tergagap.

       "Ini, aku.. ada urusan penting sama Leman." Jawab Wira gugup, "kamu sendiri kenapa bisa di sini?"

       "Kebetulan saya mengajar satu sekolah dengan Pak Leman, saya juga mau berurusan sama beliau."

       "Begitu rupanya, ya sudah, kalau begitu, saya permisi." Ucap Wira terburu-buru. Bukan dia yang sibuk, lebih tepatnya, dia tak mau berlama-lama bersama Yuni, atau rasa yang lama akan kembali muncul.

       Ia pun masuk ke dalam mobil dan segera pergi meninggalkan tempat tersebut sebelum degup jantungnya semakin tidak terkendali. Jelas saja, memang tak akan mungkin semudah itu menata hatinya walaupun dia sudah bertahun-tahun berpisah dengan Yuni. Nyatanya cinta dan kekecewaan itu bisa hidup berdampingan.

       "Huhh! Si Yuni makin cantik saja."

      Sesaat Wira melamun, membayangkan wajah Yuni yang tetap cantik jelita dengan parasnya yang manis. Wajah itu memang selalu sukses membuat dirinya mabuk.

      "Hahhhh! Ada-ada saja kamu ini, Wir! Ya iyalah dia cantik orang yang kasih makan anaknya Pak Camat!" Kekehnya sembari mencoba membuyarkan lamunannya yang nakal.

      Tak dapat dipungkiri, bayangan indah bercinta dengan Yuni di masa lalu memang sempat terlintas dalam memorinya, seolah dengan sengaja memperlihatkan kerinduan akan sosok Yuni dan kehangatan yang diberikan kepadanya kala itu. Rupanya tak hanya otaknya yang nakal, tangannya juga begitu nakal semasa itu.

      Wira pun kembali terkekeh sembari melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Leman.

    "Heheh, Wir, Wir, otakmu memang ngeres." Ucapnya pada diri sendiri.

      Sepanjang perjalanan dia terus melamun, memikirkan bagaimana nasib anaknya yang terancam tidak dapat bersekolah sebab tidak adanya akta kelahiran, juga memikirkan betapa ayunya wajah Yuni yang sekarang. Dua hal itu terus saja menghantui otaknya. Ditambah lagi jalanan yang sudah mulus setelah dibangun pemerintah beberapa bulan yang lalu. Sangat mendukung lamunan Wira bukan? Dapat mengemudi sambil melamun tanpa terganggu jalanan rusak atau berlubang.

...----------------...

     "Yang dua ratus dibawa ke kebun sana saja," sambil menunjuk ke suatu arah pada anak buahnya, "buat genepin yang kemarin masih kurang itu," ucap Wira pada salah seorang anak buah kepercayaannya. Sementara anak buahnya hanya terus mengangguk memberi tanda dia sudah mengerti maksud ucapan Wira.

      Tiga hari kemudian, saat Wira tengah sibuk menerima barang untuk urusan kebunnya, mendadak Leman datang ke rumahnya dengan membawa berita gembira.

      "Wah, wah, wah, juragan kentang yang satu ini memang ndak ada lawan." Ucap Leman mendekati Wira.

      "Kamu tah Man.. kenapa kamu datang? Ndak biasanya kamu main ke rumahku."

      "Ini juga bukan rumahmu, tah.." ucap Leman sambil tersenyum.

      "Ada-ada saja kamu."

      "Tadi aku cari ke rumahmu, tapi kata anakmu kamu lagi ke gudang, emang ya, kalau sudah jadi juragan, ndak pernah bisa duduk di rumah, sangar koe Wir, Wir!" Ujar Leman tak ada habis-habisnya memuji Wira. Bagaimanapun juga, Wira memang sudah jadi kebanggaan para warga, sebab perekonomian mereka meningkat drastis setelah Wira menjadi juragan di kampung. Ya, maklum saja, Wira tak akan sungkan memasukkan pekerja lebih dari puluhan orang untuk mengurus kebun-kebun miliknya. Alhasil tanpa sadar Wira pun sudah berpengaruh pada perekonomian rakyat.

      "Uwis, tah, Man, ndak usah ngeledek terus, punya hajat apa kamu sampai berkesempatan datang bertamu?" Tanya Wira selepas hampir muntah dipuji oleh Leman.

      "Gini lho, Wir, ini tentang anakmu yang mau sekolah itu."

      "Danu, maksud kamu?"

Bersambung..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!