NovelToon NovelToon

Sang Wira

#Sang Wira 1

Seorang pria bernama Wira, pria berkebangsaan Indonesia, yang lahir di pulau Jawa, tepatnya pada tahun 1972.

Jika dihitung usianya sekarang adalah 45 tahun. Masa-masa kokohnya bagi seorang petani yang bekerja dari pagi hingga sore demi untuk menghidupi keluarga kecilnya di desa.

Ya.

Meski begitu, jerih payahnya tak menjamin penghasilan lebih besar. Pada nyatanya dia dan keluarga tetap saja kekurangan, bahkan sering kali ia dan istrinya berpuasa demi memberikan kekenyangan pada perut putra kecilnya.

Ia hidup di dalam hiruk pikuk masyarakat yang masih begitu kental dengan adat dan budaya. Tak hanya dalam hal kelahiran bayi atau pernikahan, bahkan keseharian mereka pun masih saja berakar pada sebuah adat.

Seperti halnya kala putra tunggal Wira lahir ke dunia. Apa saja yang tidak dilakukan oleh keluarga besar mereka. Mulai dari membuatkan sambetan, membuang air bekas mandi pada tempat mengubur ari-ari si bayi. Katanya supaya si bayi tidak dekil saat sudah dewasa kelak.

Huhh!

Ada-ada saja. Namun begitulah adat di desa tempat Wira terduduk sekarang dan menjadi pria termiskin di tempat tersebut. Tak jarang warga desa memanggilnya si miskin sebab memang Wira terkenal seperti gelandangan, yang hidup bergantung pada orang lain di sekitarnya.

Ah!

Nasibnya memang memilukan. Bahkan sebelum dia menikahi gadis cantik yang bernama Yuni. Gadis muda tercantik di desanya atau biasa disebut kembang desa sebab pesona wajahnya yang anggun dan cantik jelita. Usianya juga terpaut cukup jauh dari usia Wira. Yuni lahir pada tahun 1996. Bahkan Wira masih ingat kala Yuni lahir, dialah yang membantu mengangkat tandu ibu mertuanya demi untuk bisa menyeberangi jembatan berlumpur menuju ke puskesmas.

Entah bagaimana bisa wanita itu memilih dirinya. Padahal banyak yang datang untuk melamarnya, bahkan sekelas bangsawan. Anak Pak RT, bahkan sampai anak Camat pun rela meraungi jalanan setapak nan membunuh demi untuk meminangnya.

Alhasil, Yuni tetap bersikukuh ingin menikah dengan Wira. Pemikiran yang gila.

"Mas, pagi ini Yuni ndak bisa bikin kopi buat Mas Wira." Ucap Yuni di pagi hari dengan wajah yang muram pun gelap gulita. Kesedihan jelas terpancar pada kedua matanya yang sipit.

Wira hanya menengadah ke atas menatap wajah istrinya yang lugu dan mulai kelihatan kurus. Maklum saja, keduanya sudah sejak dua hari lalu tidak makan. Ada sepucuk nasi jagung di bakul atas meja makan, tapi anak mereka berdua juga butuh makan. Jika mereka memakannya, bagaimana nasib anak mereka nanti?

Sejenak Wira terdiam penuh penyesalan. Sampai akhirnya dia berhenti menyalahkan keadaan. Tersenyum wajahnya menatap sang istri, "ndak apa-apa, Mas masih sanggup berpuasa sampai besok," ucap Wira dengan halus, "yang penting kamu harus makan, jangan sampai kurus, kasihan Mas lihatnya." Sambung Wira lagi. Tak terasa air mata mulai menggenang di kedua matanya.

"Mas Wira, apa boleh Yuni ikut Mas Wira kerja ke ladang? Mungkin ada yang bisa Yuni bantu di sana.."

"Ndak perlu, Yuni, kamu sudah cukup bantu Mas menjahit, itu pun sudah harus membuat Mas banyak berterima kasih sama kamu."

Mendengar jawaban dari suaminya, Yuni pun hanya bisa tersenyum layu. Ia tahu suaminya benar-benar membutuhkan bantuan kedua tangannya, tapi mengapa Wira tak mau berterus terang? Pria itu justru menolaknya mentah-mentah seperti ini. Ah, menyedihkan sekali.

Batinnya.

Siang hari mulai berlalu. Seperti biasanya, Wira selalu pergi memancing di sore hari. Harapannya dia bisa mendapatkan beberapa ikan yang besar agar bisa dia jual untuk membeli beras.

Ia mulai bergerak melesat menuju sungai yang tak jauh letaknya dari desanya sendiri.

"Lihat tuh si miskin! Udah tahu pancingannya ndak pernah dapat, tapi masih saja ngeyel mau mancing," tukas seseorang merutuki dirinya yang malang.

Ingin sekali Wira membalas dengan menjotos kedua pria di sisi kanannya itu dengan pukulannya yang lumayan kuat. Namun apalah daya, yang dikatakan mereka berdua memanglah benar. Pancingannya tak pernah mendapatkan hasil selama ini.

Ia pun hanya berlanjut terduduk di sisi sungai, melempar kail, dan kemudian menunggunya mendapat hasil.

Sore hari telah berlalu, malam juga mulai semakin larut. Para pemancing lainnya sudah mulai pergi dengan membawa hasil yang lumayan banyak di dalam ember. Namun Wira masih terbengong dengan ember kosong tiada berisi apapun.

Padahal sudah lima jam dia menunggu. Kawan-kawan yang lain juga sudah mendapat setidaknya sepuluh ekor selama Wira berada di sana. Lalu mengapa dia tak kunjung dapat?

"Sialan!!"

Umpat Wira mulai terpancing emosi. Ia yang semula sabar pun pada akhirnya mulai menyerah. Ditarik olehnya secara paksa pancingan yang sedari tadi dia biarkan saja.

"Hidupku memang selalu sial! Selain bisa mendapatkan Yuni, tidak ada lagi keberuntungan yang aku dapatkan! Mengapa Engkau mengujiku dengan kemiskinan ini, Tuhan!!!"

Teriaknya kepada langit, memohon dan menuntut belas kasihan kepada sang penguasa.

Jelger!!

Guntur mendadak menyambar. Langit pun seolah terbelah manakala mendengar teriakan menyakitkan dari kelelahan seorang pria miskin bernama Wira. Alam saja seolah tak terima dengan kehidupan melarat seorang Wira yang tak kunjung berakhir.

Hujan mendadak turun begitu deras. Wira yang semula merasa hancur sebab ikan pun tidak dia dapat, akhirnya mulai mengalah dan pulang dengan tangan hampa. Berjalan saja dia meninggalkan sungai yang memberinya harapan palsu.

Esok harinya, pria itu kembali ke kebun tempat dia menanam cabai dan kentang. Ia selalu tertunduk lesu, sebab bertambah sehari lagi dia dan istrinya tidak makan sama sekali. Untunglah ada air hujan turun semalam. Ia dan istrinya pun pada akhirnya menghabiskan malam tadi dengan beberapa gelas air minum sampai perut mereka terasa kembung.

Kakinya terus melangkah dengan terseok-seok menuju ke arah kebun dengan wajahnya yang muram. Namun wajah muram itu seketika berubah berbinar manakala mendapati kondisi kebunnya yang berubah total.

"Apa? Apa ini kebunku?" Tanyanya dengan kegirangan.

Setengah berlari Wira menuju ke arah kebunnya, meletakkan cangkulnya di atas tanah basah sebab guyuran hujan, lalu mulai lah dia melihat-lihat sekeliling kebunnya.

"Kebunku sudah hijau.."

Tanaman cabainya mendadak berbuah, padahal sudah enam bulan lebih sejak ditanam pohon-pohon cabai ini tak pernah menunjukkan tanda-tanda akan berbuah. Bahkan bunga pun tiada tersemat di sana.

Wira tertawa kegirangan. Baru kali ini dia mendapati kebunnya yang sangat hijau, bahkan keadaan kebunnya jauh lebih baik daripada hari kemarin.

"Kenapa bisa? Kebunku? Kenapa bisa?"

Wira terus saja bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tak tahu mengapa, rasanya dia masih saja tak percaya dengan keajaiban yang baru saja dia alami tersebut.

Singkat cerita, Wira pun mulai memanen beberapa bedeng kentang yang dia tanam. Sebab kentangnya sudah berusia enam puluh hari ke atas. Jika dalam kondisi sekarat seperti ini, Wira masih bisa memanennya dengan terpaksa.

Pria itu pun pulang dengan satu karung kentang yang dia pikul di bahu kirinya. Wajahnya berbinar saat mulai mengetuk pintu dan menunggu istrinya membukanya.

"Dek, Dek! Mas pulang.."

Tidak ada sahutan dari siapapun. Hanya kemudian terdengar suara anaknya menangis keras dari arah dalam. "Dek? Kamu di rumah, kan?" Tanya Wira lagi, berpikir kalau istrinya mungkin tidak mendengar panggilannya.

Bersambung...

#Sang Wira 2

  Berulang-ulang kali Wira memanggil istrinya, namun benar-benar tidak ada sahutan dari sang istri sama sekali. Bahkan anak mereka yang menangis pun dibiarkan menangis saja, membuat Wira curiga kalau sang istri tidak ada di dalam.

  Wira membuka pintu, rupanya tidak terkunci seperti yang dia pikirkan. Bergegas Wira meletakkan sekarung kentang di dapur dan kemudian segera meraih putranya yang merengek mencari ibunya.

  "Cup, cup, uwis nduk, ibumu kemana? Kok kamu nangis Ndak ditolongin?" Tanya Wira pada sang putra. Balita dua tahun itu tak menjawab apapun, hanya bisa terus menangis dan memeluk ayahnya ketakutan.

  Entah apa yang terjadi pada anak ini.

    "Kita cari ibumu, ya, sudah, jangan nangis lagi.."

  Wira menepuk-nepuk punggung anaknya yang sudah menangis sesenggukan sembari berjalan menuju pintu belakang. Pintunya rupanya terbuka.

  "Kemana si Yuni ini? Kok pergi anaknya ditinggal?"

 Wira kemudian berjalan menuju ke belakang rumah yang hanya berisikan beberapa tumpuk kayu bakar. Selebihnya hanya rumput liar yang menjadi lajur ke arah hutan belantara.

   "Udah, Mas Lukman, kamu, jangan kelamaan, nanti Mas Wira pulang gimana?"

  "Kamu kan sudah aku bayar pakai uang, jadi jangan banyak menuntut, baru juga setengah menit." Samar-samar Wira mendengar suara percakapan dua manusia. Satu orang wanita, yang sepertinya Wira agak mengenal suara itu. Bukan agak lagi, tapi memang dia sangat kenal. Itu suara Yuni.

  Si kecil di pundaknya sudah diam dan mulai tidur kembali. Dengan kondisi ini, Wira pun mulai berjalan mendekat ke arah suara berada, tepatnya di antara semak belukar yang hampir menuju ke arah hutan.

   "Uhm.. kang, udah, keburu Mas Wira pulang, kang.."

  "Sudah, ini aku mau ke...lu..ar.."

  Wira menyibakkan rerumputan yang menutupi kedua manusia tersebut.

  "Bang*at!!"

 Begitu bergejolaknya amarah di hati Wira, manakala kedua matanya terperanjat melihat tubuh molek istrinya terbuka dan tengah dinikmati oleh pria lain.

  Tanpa aba-aba lagi, segera dia melarak istrinya yang kala itu masih tidak terbungkus apapun menuju ke dalam rumah.

 "Mas Wira.."

  Ia tak mendengar panggilan dari istrinya sama sekali. Hanya beberapa saat kemudian dia berlari ke arah semak belukar barusan setelah meletakkan anaknya di atas kasur.

  Ia berlanjut mengejar pria yang hanya mengenakan celana pendek di atas lutut sampai ke tengah hutan belantara, dan kemudian memukulinya habis-habisan.

  Bukk!

  "Dasar ndak tahu diri!!"

   Buk!

  Pria itu hanya meringis saja. Justru ia tak kelihatan menyesal setelah menggauli istri Wira barusan. Dia malah terlihat tersenyum picik.

  "Pukuli saja aku, yang penting aku sudah menikmati istrimu!"

  "Laknat kamu!!"

  Bukk!

  "Yang laknat itu kamu, Wira! Sudah tahu kamu dan aku bukan tandingan, masih saja dulu kamu nekat menikahi Yuni! Sekarang kalau Yuni menyesal nikah sama kamu, dan lebih baik buat berbuat sama aku, jangan salahkan aku! Aku selalu punya uang buat membahagiakan istrimu, dan mengenyangkan perutnya!!"

  Pria itu namanya Lukman. Anak Pak Camat yang dulu sempat melamar Yuni. Memang benar adanya, Wira dan Lukman ini bukan saingan yang sepadan. Namun entah mengapa bisa Wira juga tak mau kalah mau mendapatkan Yuni. Sekarang, ucapan Lukman memang benar. Yuni pastilah telah menyesal menikahi dia.

Merasa kalah telak dengan kenyataan, Wira pun hanya bisa melepaskan Lukman dan membiarkan pria berusia 30 tahun itu pergi.

Dengan wajah kesal dan muram, lekas Wira bergerak dengan tertatih-tatih menuju ke rumahnya kembali, dan mendapati istrinya yang sudah rapi, berpakaian tertutup dan sudah lebih baik.

Bruk!

"Mas, Yuni minta maaf, Yuni melakukannya karena Yuni ndak tahu gimana lagi cara bantu Mas cari uang! Yuni ndak dapat pelanggan lagi, jahitan Yuni sudah sepi sekarang, Yuni minta maaf, Mas.." ucap Yuni sembari bersimpuh di kaki suaminya.

Wira tak berkutik. Tak pula memberi perkataan apapun. Tubuhnya terduduk lemas di atas ranjang, hingga kemudian kedua matanya melirik sang putra yang masih tertidur pulas. Perutnya selalu berbunyi dalam tidurnya, membuat hati Wira teriris menyakitkan.

"Kalau saja kamu bersabar, Mas pasti akan kasih kamu makanan dan uang dari hasil penjualan kentang."

Yuni mendongak. Matanya berkaca-kaca diselimuti penyesalan hebat. Ia yang kelaparan sebab tidak makan berhari-hari rela menjual tub\*hnya dengan harga 150 ribu pada Lukman yang baj\*ngan. Tanpa dia ketahui, suaminya bahkan bisa memberikan empat kali lipat besarnya daripada uang dari hasilnya menjaj\*kan diri.

Ia benar-benar menyesal. Menangislah Yuni dengan penuh penyesalan.

"Mas, Yuni minta maaf, Yuni sudah bersalah, maafkan Yuni, Mas, maafkan Yuni.."

Hati Wira terasa mengeras. Entah bagaimana dia akan memaafkan Yuni. Meski dalam hatinya nama Yuni selalu terukir secara permanen, namun kesalahan ini, apa Yuni masih pantas mendapat maaf dari Wira?

"Makan saja kamu dari uang yang aku berikan nanti, untuk uang itu, sedekahkan saja buat anak yatim di ujung jalan sana, untuk masalah ini, biar Mas yang simpan kesedihan ini sendiri, ke depannya, jangan pernah lakukan lagi."

Yuni mengangguk mengerti. Entah mengapa Wira masih memaafkan dirinya. Padahal jelas sekali terlihat di depan kedua matanya Yuni yang sedang berbuat hal tidak senonoh dengan Lukman. Namun entah apa yang membuat Wira memaafkan Yuni dan masih memberi Yuni kesempatan kedua. Apakah Wira terlalu baik hati? Atau sebenarnya pria ini hanya terlalu bodoh?

Hari berganti menjadi esok. Kentang yang dipanen kemarin akhirnya laku terjual di pasar sayur dini hari tadi.

Ya, untuk mendapatkan harga yang lumayan tinggi memang harus rela bangun jam satu dini hari untuk menjual kentang di pasar sayur. Hal ini sebenarnya sudah lumrah terjadi pada masyarakat desa tersebut. Banyak pula warga yang berbondong-bondong menjual barang dagangannya ke pasar tersebut. Ada yang membawa kol, sawi, cabai, tomat, dan lain sebagainya. Tak jarang para wanita juga ikut serta membantu suaminya membawa dagangan mereka ke pasar.

Pagi ini Wira mendapat uang cukup besar dari hasil penjualan sekarung kentang miliknya. Satu kilo kentang dihargai kisaran 10.000 rupiah. Satu karung kentang milik Wira beratnya mencapai 60 kilo. Jika dihitung, hasilnya lumayan juga, 600.000.

Wira pun pulang dengan perasaan gembira. Bukan berarti dia telah melupakan kejadian kemarin sore saat mendapati istrinya tengah asik dengan pria lain. Tapi dia senang karena akhirnya dia bisa memberi makan enak untuk putra semata wayangnya.

Uang 600.000 ini jika khusus dia gunakan untuk makan sehari-hari bisa bertahan sampai dua bulan lamanya. Itu pun kalau makan ikan, kalau makan tempe tahu beda lagi, bisa bertahan tiga bulanan.

"Assalamualaikum, Bapak pulang.." ucap Wira dengan senang. Ya, akhirnya dia dan keluarganya bisa makan enak.

Bersambung..

#Sang Wira 3

Senyum disertai kegembiraan langsung memancar pada wajah putra kecilnya sembari berlari keluar menghampiri sang ayah yang kelelahan.

Terduduk saja Wira di kursi tamu yang terbuat dari kayu, itu pun sudah usang. Untung saja di tempat Wira tinggal tidak ada yang namanya rayap. Jika binatang perusak itu ada, mungkin si kursi kayu miliknya sudah musnah dari dulu.

Berbeda dari si kecil yang menyambut kedatangan bapaknya dengan bahagia, Yuni justru masih tampak muram sejak suaminya pulang ke rumah. Mungkin saja dia masih terpikirkan soal kemarin sore.

"Yun, kamu masak ikan sana, aku udah beli di pasar tadi, lumayan enam ribu dapat tiga, walaupun kecil-kecil." Ucap Wira sembari menyodorkan tiga ekor ikan kepada Yuni. Matanya tak menatap sekalipun ke wajah Yuni yang molek. Mungkinkah Wira masih belum memaafkan kesalahan Yuni kemarin?

"Mas.."

Namun bukannya menyambut ikan di tangan suaminya, Yuni justru terlihat enggan.

"Kenapa?"

"Ibu, ibu sama bapak tadi kesini.." ucap Yuni murung.

"Memangnya ada keperluan apa?" Tanya Wira masih agak acuh.

"Itu.. anu.. bapak sama ibu.."

Belum juga berlanjut ucapan Yuni selanjutnya, segerombol manusia datang entah darimana, membobol rumah usang mereka dan kemudian segera melarak tangan Yuni keluar.

"Yuni! Sini kamu!!"

Wira terperanjat kaget. Bukan main segerombol manusia itu datang ke tempatnya. Mereka bahkan membawa beberapa jenis senjata tajam di tangan masing-masing. Hanya satu wanita saja yang tidak membawa apapun di tangannya. Dan itu adalah ibu mertuanya, ibunya Yuni.

Ia segera mengangkat anaknya ke dalam gendongannya, dan kemudian menghadapi mereka semua seorang diri. Ya, Yuni sudah berada di antara mereka, jadi sekarang tinggallah dia dan anaknya seorang.

"Ada apa ini, Bu?" Tanya Wira masih lembut.

"Ada apa ada apa! Kamu sengaja kan jual anak saya ke Lukman? Kamu maksa dia buat layanin Lukman kan? Dasar laki-laki Ndak tahu diri kamu!!"

Teriak ibunya Yuni membuat Wira terkejut sekaligus merasa sesak. Jangankan menyuruh Yuni melayani Lukman, melihat Yuni bercengkerama dengan laki-laki lain saja dia sudah cemburu setengah mati. Lagipula siapa pula yang mengada-ngada seperti ini?

Wira tak berkata apapun. Matanya dengan sendu menatap ke arah Yuni yang gemetar di samping ibunya. Wajah wanita itu tertunduk manakala kedua mata Wira menatap ke arahnya. Benar dugaan Wira, ada sesuatu yang ganjil di sini.

Wira pun hanya dapat menggelengkan kepalanya penuh kekecewaan, "Ndak nyangka kamu bakal ngelakuin ini ke aku, Yun!"

"Kenapa kamu jadi nyalahin anak saya? Sudah salah, malah ndak mau ngaku!"

Wira tak menggubris perkataan ibu mertuanya. Dia hanya terlihat semakin erat menggendong anaknya.

"Kalau kamu sudah Ndak sanggup biayain hidup anak saya, mending kamu ceraikan saja Yuni! Toh kalian juga cuma suami istri yang sah secara agama! Ndak susah kok kalau mau cerai! Mending saya nikahin si Yuni sama Lukman aja daripada bertahan sama kamu?" Ucap ibunya Yuni pada Wira.

Wira pun hanya dapat mengangguk penuh pengertian. Ternyata inilah yang dimaui mereka selama ini. Tak dapat dipercaya bukan?

"Mau nikah sama Lukman? Kenapa Ndak dari dulu aja bilangnya? Kan Ndak perlu buat dosa!" Sindir Wira dengan halusnya, "baguslah kalau begitu, kalian bisa segera bawa Yuni pergi dari sini."

"Tapi anakku.." Yuni mulai bersuara.

"Anakmu? Kamu Ndak pernah punya anak dari pria miskin macam dia! Ayo kita pulang!" Ajak ibunya Yuni pada anaknya. Tak lama setelah itu, segerombolan manusia itu pun pergi meninggalkan kediaman Wira seorang diri.

Wira tak berkutik ataupun mencegat kepergian istrinya. Meski dia tahu dan kedua matanya pun nampak sang istri yang kelihatan terpaksa meninggalkan dirinya, namun dia tak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi untuk kedua kalinya.

Sekarang Yuni baginya telah mati. Ya, kedepannya, tinggallah dia dan masa depan putra tunggalnya.

Sekarang kejadian itu telah menjadi masa lalu. Lima tahun sudah terlalui dengan cepatnya. Anak Wira pun sudah besar dan siap untuk bersekolah. Badannya sekarang berubah menjadi gemuk. Kulitnya juga tak sekasar dulu sewaktu hidup susah bersama ibunya.

Ya, dalam waktu lima tahun ini adalah masa yang sangat jaya bagi seorang Wira. Secepat kilat dia berubah menjadi sosok pria kaya yang mampu membeli lahan sana-sini dan menanaminya dengan tanaman kentang, juga cabai. Hasilnya pun tak main-main. Sekali panen dia bisa meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah. Alhasil, rumahnya pun sudah bertingkat, dengan pagar keliling yang mewah. Tahun ini Wira berniat membeli mobil kedua agar lebih mudah antar jemput anaknya ke sekolah. Mobil lamanya memang sudah usang, apalagi sekarang dia punya banyak uang, semuanya pasti jauh lebih mudah.

Ya, sejak kejadian di hari itu mendadak kehidupan Wira seolah mengalami keajaiban. Sejak kebunnya mendadak menghijau, dia bahkan seolah tak pernah merasa miskin lagi. Setiap hari makanannya daging dan ikan. Setiap hari ada saja uang yang bisa dia sisihkan untuk kaum dhuafa.

Hingga lambat laun uangnya pun semakin menumpuk. Hilanglah panggilan si miskin yang sejak kecil melekat pada dirinya semenjak hari itu. Dan sekarang semua orang kompak memanggilnya juragan.

Seorang Wira, yang tumbuh dan besar pada lingkungan kemiskinan, tidak pernah terlepas dari tubuhnya julukan anak miskin, bahkan sampai dia dewasa, dan kemudian menikahi seorang gadis cantik keturunan orang berada, pun julukan itu masih saja melekat pada dirinya.

Padahal Yuni dari kalangan kelas orang kaya di kampungnya. Bapaknya pemilik peternakan sapi terbesar di kampungnya. Sedangkan ibunya adalah salah satu orang tersohor di desanya, sebab kakeknya si Yuni adalah pemilik lahan pertanian terbesar di kampungnya.

Membicarakan perihal Yuni dan keluarganya memang tak akan ada habisnya. Seolah harta mereka tak akan pernah habis meski dimakan tujuh turunan sekalipun. Hanya saja, semua orang di kampung tahu, ibunya Yuni adalah wanita yang gila harta. Seakan dia tak pernah puas dari yang namanya uang.

Bahkan sebelum dirinya menikah dengan ayahnya Yuni, dia juga pernah kedapatan sedang menjadi selingkuhan seorang pejabat daerah di sebuah hotel ternama. Agaknya penyakit ibunya Yuni telah menular pada putrinya.

Untung saja dulu Wira dipaksa bercerai dari Yuni. Sekarang menyesallah wanita itu dibuatnya. Wira memang sudah terlanjur sakit hati oleh Yuni. Sebab itulah dalam waktu lima tahun terakhir, Wira benar-benar menggunakannya dengan sebaik mungkin agar bisa lepas dari julukan si miskin, dan dapat membuktikan pada dunia, bahwa dia lebih sanggup dibandingkan dengan mereka.

Usahanya membuahkan hasil. Panggilan juragan termasyhur di desanya sekarang telah tersemat dalam dirinya, membuat dia menjadi seseorang yang terhormat di kampungnya. Siapa sangka seorang Wira yang miskin akan jadi juragan terkaya di kampung?

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!