Hey You, I Love You !
"Ini untukmu! Semoga kau cepat mendapatkan pasangan hidupmu", ucapnya pada Ben lalu segera beranjak ke arah tempat duduk tak jauh dari sana.
Ben tak mengucapkan sepatah kata pun. Kalimat Tuan Reymond sungguh menggema di telinganya. Kalimat sederhana itu amat mengena di hatinya kini. Memang, selama ini hidupnya hanya berjalan begitu saja tanpa ada satu wanita pun yang mengisi hari-harinya. Hanya Ana, hanya gadis remaja yang sudah menjadi wanita dewasa itu yang pernah mengisi relung-relung yang biasanya kosong.
Ya, tapi kini keputusannya sudahlah tepat dengan membuat Ana bahagia dengan melepaskannya kepada pria yang sangat dicintainya. Mungkin ini juga salah satu pertanda bahwa ia juga harus memikirkan kebahagiaan hatinya sendiri. Ia menatap rangkaian bunga itu lama, nampak tertegun untuk beberapa saat. Lalu ia menatap ke arah Relly yang berada di hadapannya. Menatap dengan penuh tanda tanya, namun yang ditatap seakan mengerti apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Relly mengangguk seraya menipiskan bibirnya ke arah tuannya itu. Lalu ditatapnya Ana di seberang pandangannya yang tengah berada di rangkulan tangan suaminya kini, wanita itu pun seakan mengerti. Lalu Ana juga mengangguk sambil tersenyum kepadanya.
"Baiklah, aku terima!", ucapnya sambil lalu dan berbalik untuk duduk di samping Tuan Reymond. Ia menyilangkan kakinya lalu duduk bersandar dengan santainya tanpa mempedulikan suara bising dari mulut Sam yang tak terima jika buket bunga itu tak menjadi miliknya. Tangannya terus memainkan rangkaian bunga itu dengan mata yang menatap lurus ke depan. Tatapannya ambigu tak terbaca.
***
Keesokan harinya,
Di sisi kota lainnya, di terik mentari yang sama. Nampak sebuah mobil ikut meramaikan lalu lintas kota. Setelah setengah jam, mobil itu mengarah ke pinggiran kota yang lalu lintasnya mulai sedikit lengang. Gedung-gedung bertingkat juga sudah berkurang, berganti dengan pepohonan tinggi menjulang pada setiap sisi jalan. Ben, pria dengan topi koboi itu membuka jendela mobilnya lalu ia nyalakan sebatang rokok yang sudah menempel pada bibirnya. Kepulan asap pertama mulai membumbung bersama lajunya kendaraan itu. Matanya yang tajam bagai elang, menerawang, membelah setiap sudut jalan tanpa orang tau apa arti tatapannya.
Saat ini ia harus menemui salah satu teman lamanya. Mereka pernah sama-sama menjadi kaki tangan Tuan Danu sebelumnya. Namun karena keluarganya, orang itu keluar dari Geng Harimau Putih dan lebih memilih untuk berkumpul bersama keluarganya. Tinggallah Ben seorang yang menjadi kaki tangan paling setia hingga akhirnya ia dijadikan ketua menggantikan Tuan Danu yang memilih untuk meneruskan bisnis ayahnya.
Mobil mereka sampai di pekarangan sebuah rumah, tidak terlalu mewah namun tetap memiliki kesan tak sederhana. Tengah malam tadi, tiba-tiba temannya ini menghubunginya dan meminta sebuah bantuan. Dan tidak mungkin juga bagi Ben untuk menolak permintaan yang sekiranya memiliki nilai urgensi ini. Namun dirinya masih bertanya-tanya ada masalah apa gerangan, hingga ia memintanya langsung datang ke rumahnya. Pertanyaan ini ia simpan hingga nanti ia bisa langsung mengajukannya sendiri.
"Silahkan, Tuan! Tuan Victor sudah menunggu anda di kamarnya", seorang pelayan menyapanya di ambang pintu rumah. Lalu membimbingnya menuju kamar utama tuan rumah itu.
"Silahkan Tuan!", setelah sampai pada kamar yang dituju pelayan itu membukakan pintu dan menghela tangannya untuk Ben memasuki kamar itu beserta Relly yang selalu setia mengekorinya sejak tadi.
Beberapa langkah ia memasuki kamar itu. Yang sampai pada indera penciumannya adalah wangi disenfektan khas rumah sakit. Ia tak membenci aroma ini, hanya ia tak nyaman dengan hal yang berbau rumah sakit. Baginya hal itu mengingatkan dirinya dengan sudah berapa nyawa yang terenggut oleh tangannya sendiri. Namun apa mau dikata, memang itulah apa yang ia jalankan saat ini. Pikiran itu mungkin akan datang sambil lalu.
"Ben, kau kah itu?", suara lemah seorang pria tiba-tiba terdengar dari arah ranjang.
"Victor!", seru Ben seraya menghampiri teman lamanya itu.
"Bagaimana kabarmu, Ben?", tanya Victor setelah melepas pelukannya dengan teman lamanya itu.
"Aku jelas baik-baik saja. Lalu ada apa denganmu?", tanya Ben balik yang bingung dengan keadaan temannya ini.
"Leukimia, Ben. Aku telah lama mengidap penyakit ini, bahkan sebelum aku memutuskan untuk pergi", senyum pria itu terurai meski tak sesuai dengan keadaannya saat ini. Tubuhnya kurus kering dan rambut di kepalanya hanya menyisakan beberapa helai saja yang terlihat hampir botak.
"Apa maksudmu, teman?", Ben mengernyitkan alisnya dalam.
"Setelah mengetahui aku mengidap penyakit sialan ini, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kalian. Awalnya aku berpikir untuk kembali ke negara ku dan berkumpul dengan keluargaku di akhir masa hidupku. Nyatanya keluarga kami malah berantakan setelah ayahku memutuskan untuk menikah lagi, lalu aku kembali pergi ke sini untuk menenangkan diri sampai tiba nanti ajal menjemput", tutur Victor dengan gamblang.
"Hentikan ucapanmu!", Ben benci mendengar hal-hal yang menyangkut kematian. Rasanya miris sekali saat mendengar seorang pesakitan mengucapkan kalimat-kalimat terakhirnya.
"Baiklah, baiklah! Aku ingin meminta bantuanmu, Ben. Itu pun jika kau masih menganggapku sebagai temanmu", pria itu menampilkan senyum termanisnya pada wajahnya yang sudah sangat tirus.
"Hey, apa maksud ucapanmu?! Katakanlah bagaimana bisa aku membantumu?", ucap Ben.
"Temukanlah adikku!", Victor memasang wajah seriusnya.
"Sebelum aku pergi, aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku menyesal tidak membawanya pergi bersamaku waktu itu. Kudengar ia sering kali disiksa oleh istri ayahku. Tolong temukan dia dan bawa dia kepadaku! Aku tak ingin menyesal karena belum menyelamatkan dia dari neraka itu", jelas Victor sungguh-sungguh.
"Baiklah! Aku berjanji!", keheningan membentang sebelum akhirnya Ben memberi jawaban.
"Terima kasih, teman!", begitu senangnya Victor kembali memeluk Ben dengan eratnya.
"Apa kau mau membunuhku?!", Victor terkekeh setelah sadar membuat temannya kesulitan bernafas.
"Siapa namanya?", tanya Ben singkat.
"Rose Benneth!", ya karena dia sendiri bernama Victor Benneth. Dengan seksama Ben mengingat hal itu dalam benaknya.
"Rose Benneth!", ucap Ben dalam hatinya.
***
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Ben kembali mengepulkan asapnya keluar jendela dengan tatapan yang sulit diartikan. Di tangannya terdapat sebuah foto seorang gadis dengan rambut pirang keemasan tengah memegang sekeranjang bunga dan tersenyum ceria. Rasanya menghangatkan memandangi foto itu hingga ia sejenak berpikir bahwa senyuman itu ditujukan kepadanya. Lalu ia merutuki kebodohannya sendiri.
"Bodoh!", gumamnya dalam hati.
"Relly, kau ingat apa yang harus kita lakukan selanjutnya?", tanyanya pada pria yang tengah duduk di balik kemudi.
"Saya ingat, Tuan! Han sudah mengabari saya untuk menjalankan bagian kita besok, karena hari ini nampaknya wanita itu terlaku shock", jelas Relly pada bosnya itu.
"Cih, apa kita masih harus berbelas kasihan kepada wanita licik itu?!", ucapan Ben pelan tidak bernada tinggi namun sangat tajam hingga mampu menusuk ke dalam.
"Mata ini?!", gumam Ben dalam hati.
Ben kembali memandangnya foto yang ia pegang. Kembali mengepulkan asap rokoknya keluar, mata pria itu juga kembali menerawang.
"Relly, segera cari informasi mengenai wanita ini. Secepat mungkin! Aku tak ingin mengecewakan temanku yang satu ini", Ben paham waktunya sempit. Hidupnya entah bertahan sampai kapan lagi, meskipun dokter memvonis hidupnya masih beberapa bulan lagi, namun umur manusia siapa yang bisa mengaturnya.
"Rose Benneth!", gumam Ben lagi dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Erni Fitriana
mampir
2023-02-11
0
adelia faranisa
baru mmpir kk 😊
2022-07-19
1
❤️⃟Wᵃf🤎⃟ꪶꫝ🍾⃝ͩDᷞᴇͧᴡᷡɪͣ𝐀⃝🥀ᴳ᯳
hay salam hangat salam kenal kak author. Saya mampir di cerita babang koboimu ini 🤠😇🙏👋💙💙💙
2022-05-28
1