Sudah satu jam Rose berjalan tanpa arah. Peluhnya sudah bercucuran sejak tadi. Kakinya mulai kehilangan tenaga untuk terus berjalan. Hingga akhirnya ia memilih untuk mengistirahatkan diri di bawah pohon besar di pinggir jalan utama.
"Rose! Kau kah itu?!", seru seseorang tak jauh darinya.
***
"Bagaimana ini ayah? Sudah satu jam lebih Rose pergi dan belum kembali. Apalagi Tuan Rogh akan menikahinya besok!", seru Mirabel sengaja mengangkat topik ini untuk memancing ayah tirinya yang sejak tadi diam dengan wajah yang tegang.
"Mirabel, bagaimana bisa di saat-saat seperti ini kau malah membicarakan masalah pernikahan Rose dengan Tuan Rogh besok?! Saat ini yang terpenting adalah Rose kembali ke rumah dengan selamat. Baru kita bisa menentukan apa yang harus kita lakukan selanjutnya", ibu anak itu mulai memainkan peran mereka. Dengan ekspresi menjijikan, wajah khawatir yang dibuat-buat supaya terkesan mereka begitu mempedulikan Rose saat ini. Nyatanya tetap saja, urusan mereka dengan Tuan Rogh adalah yang utama. Hal itu yang sebenarnya menjadi bagian paling penting dalam ucapan Nyonya Mira.
brrakk
Tuan Benneth menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Beruntung meja itu terbuat dari kayu berkualitas, sehingga dengan kekuatan Tuan Benneth tadi, meja itu tak mengalami cedera sedikitpun. Malahan tangan Tuan Benneth yang nampak memerah pada bagian telapakannya.
"Apa kalian bisa diam?!", Tuan Benneth menggeram penuh amarah. Bagaimana bisa tidak mengetahui apapun tentang putrinya sendiri. Bagaimana bisa ia tenggelam dalam pekerjaannya sehingga tak pernah memberikan satu perhatian khusus pun kepada putri kandungnya sendiri. Apa yang ia lihat tadi, sudah cukup mengoyak jiwanya sebagai orang tua kandung satu-satunya yang Rose miliki. Penampilan Mirabel yang nampak sempurna ditambah lagi dengan polesan make up di wajahnya, sungguh kontras dengan penampilan Rose yang terkesan lebih seperti pelayan atau bahkan budak di rumah ini. Dan yang paling parah adalah kenyataan bahwa putrinya sendiri harus menjadi bahan pelunasan hutang dari istrinya yang baru ini. Sungguh kali ini, Tuan Benneth tak mampu untuk berkata-kata.
"Jadi kau masih membahas tentang hal ini?!", Tuan Benneth bangkit dari duduknya. Menatap Nyonya Mira maupun Mirabel dengan kilatan amarah.
"Kenapa tidak kau gunakan saja putrimu untuk membayarkan hutang-hutangmu yang bahkan aku sendiri tidak pernah tau untuk apa saja uang itu digunakan?! Gunakan putrimu! Jangan coba-coba menyentuh putriku!", aura Tuan Benneth yang sedang dipenuhi amarah begitu mendominasi. Apalagi di saat dirinya berada begitu dekat, kedua wanita itu meringkuk ketakutan seakan ditekan oleh sesuatu yang menyeramkan.
Jiwa keibuan Nyonya Mira bergejolak, ia tak mungkin membiarkan putrinya masuk ke dalam lubang buaya tua itu. Sekuat tenaga ia mengumpulkan keberaniannya untuk menatap balik Tuan Benneth.
"Tidak! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!", ucap Nyonya Mira dengan lantang.
"Lalu jangan pula kau sentuh putriku! Atau jika tidak, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian berdua!", mata nyalangnya membuat Mirabel seketika menitihkan air mata. Bukan karena akan kehilangan sosok ayah, tapi lebih kepada akan bagaimana nanti jika dirinya tidak tinggal di rumah ini lagi. Rumah ini tidak begitu mewah, namun masih tetap layak untuknya menyombongkan diri dengan teman-teman yang lainnya. Nasibnya yang ia pikirkan, bukan tentang bagaimana ia akan jauh dari ayah tirinya.
"Ayah! Aku kecewa pada ayah!", ia menjungkirbalikkan kenyataan tentang perasaannya dengan memasang wajah penuh luka. Lalu ia berlari menuju kamarnya.
"Lihat! Kau telah menyakiti putriku!", lagi Nyonya Mira berucap dengan marah lalu segera menyusul Mirabel. Sebenarnya ia juga tidak tau peran apa yang sedang dimainkan putrinya saat ini. Namun hanya ini yang ia bisa lakukan, mengikuti alur untuk mempermainkan perasaan pria yang kini menjadi suaminya.
"Aakkhh!", Tuan Benneth berteriak marah. Ia kesal dengan keadaan yang membuatnya terhimpit. Ia harus memilih untuk membela Mirabel, anak tirinya yang sudah ia sayangi. Atau menjaga Rose yang sudah tentu darah dagingnya sendiri. Keduanya mempunyai posisi yang kuat di dalam hatinya kini.
Sedangkan di kamarnya, Mirabel menggeram marah sambil mengacak-acak seluruh ranjangnya. Melemparkan bantal dan gulingnya ke segala arah. Lalu tak lama ibunya menyusul, Nyonya Mira sedikit mengulas senyumnya sambil memandangi putrinya itu.
"Anak pintar! Kurasa ayahmu itu sedang berpikir keras!", puji Nyonya Mira seraya membelai pucuk kepala Mirabel.
Tapi anaknya ini benar-benar tidak bisa menerima jika nanti ia harus menggantikan Rose untuk menikah dengan Tuan Rogh, si buaya tua. Dengan wajah kesalnya, Mirabel memperkerjakan otaknya dengan begitu keras.
"Ponsel, ma! Ponsel!", serunya dengan tangan menengadah siap menerima ponsel dari ibunya.
"Bukan ponselku! Tapi ponsel Mama!", ia melempar ponselnya ke samping. Lalu tangannya menengadah lagi.
"Tapi untuk apa?", tanya Nyonya Mira penasaran dengan rencana putrinya.
"Nanti Mama akan tau!", Mirabel sedang sibuk menscroll layar ponsel ibunya mencari kontak yang ia cari.
"Hallo! Selamat malam Tuan Rogh!", ucap Mirabel dengan begitu ramah setelah sambungan teleponnya terhubung. Jelas hal itu langsung membuat mata Nyonya Mira melebar, bertanya-tanya apa yang sebenarnya akan dilakukan anak ini.
"Kau putrinya Mira?", tanya pria di seberang saluran.
"Iya Tuan, saya Mirabel! Ada hal penting yang harus saya katakan kepada Tuan!", ucapnya serius.
"Katakan, ada apa?", sahut cepat pria itu.
"Rose Tuan, dia melarikan diri sejak satu jam yang lalu. Kami sudah mencarinya kemana-mana tapi belum menemukannya juga. Tuan tentu tidak mau kehilangan calon istri secantik Rose, bukan?!", Mirabel memberi kabar mengejutkan sekaligus memberi penawaran yang amat menggiurkan. Bagaimana pun juga, istrinya yang sekarang sudah mulai menua, tak ada yang segar seperti Rose.
"Tentu saja, aku akan segera mencari calon istriku! Tapi,, kalian juga harus tetap mencarinya. Karena jika sampai aku tidak mendapatkannya, jangan harap hutang-hutang ibumu akan aku anggap selesai!", lalu Tuan Rogh segera menutup teleponnya.
"Selesai!", Mirabel melebarkan senyumnya ke arah ibunya.
"Anakku memang benar-benar cerdas!", Nyonya Mira yang sudah duduk di sampingnya lalu memeluknya dari samping sambil tersenyum bangga.
***
"Ini!", seorang pria muda menyodorkan sebuah botol minuman kepada Rose.
"Terima kasih!", meski sempat meragu namun Rose tetap menerimanya. Karena bagaimanapun juga dia benar-benar kelelahan saat ini.
"Apa yang terjadi? Maukah kau menceritakannya kepadaku?", tanya Eric hati-hati berusaha tak memaksa. Tapi ia benar-benar penasaran bagaimana wanita yang ia sukai bisa berakhir menyedihkan seperti ini. Kedua pipinya yang sedikit bengkak jelas menandakan bahwa itu adalah bekas tamparan yang tidak pelan.
"Aku tidak apa-apa!", Rose memaksakan senyumnya. Ia tak ingin berbagi kisah tragisnya ataupun kehidupan sehari-harinya yang menyedihkan kepada orang lain. Baginya itu hanya aib keluarga yang harus ia simpan dan jaga sendiri.
"Baiklah! Jika kau ingin bercerita aku siap mendengarkan kapan saja!", Eric menghela nafas pelan karena tetap saja tak bisa menjangkau hati wanita yang sudah ia sukai sejak remaja dulu. Ia tahu bahwa Rose merupakan wanita yang ceria pada dasarnya, begitu yang ia kenal selama masa sekolah dulu. Tapi ia juga tau banyak luka dan kesedihan yang ia pendam, yang tutupi dengan senyumannya. Namun selama bertahun-tahun ini, Rose tetap tidak mau membagi apa pun yang ia rasakan kepada orang lain.
"Terima kasih, Eric!", Rose tau pria yang ada di hadapannya ini memanglah orang baik. Maka dari itu, ia selalu nyaman untuk berada dekat dengan pria itu. Rose juga tau bahwa sebenarnya Eric menyukai dirinya, hanya saja ia tak bisa membalas apa yang Eric rasakan terhadap dirinya. Ia tak memungkiri bahwa ia juga terpesona oleh ketampanan pria itu yang ditambah dengan sikapnya yang baik dan santun. Tapi bagi Rose memendam perasaannya sendiri adalah hal yang biasa ia lakukan. Terlebih lagi setelah ia tau bahwa saudara tirinya, Mirabel menyukai Eric dengan terang-terangan. Ia tak ingin menambahkan banyak konflik lagi di antara dirinya dan keluarganya yang sudah kacau ini.
Tiba-tiba lampu sorot mengarah kepada dirinya maupun Eric yang berada di sebelahnya. Ia maupun Eric melindungi matanya yang terasa silau dengan telapak tangan. Lampu sorot itu makin lama makin mendekat, makin menyilaukan. Suara pintu mobil dibuka dan ditutup kembali membuat Rose sedikit merenggangkan jemarinya untuk mengintip sosok siluet yang berjalan mendekatinya.
Lampu yang menyorot ke arahnya pun mati. Remangnya malam akhirnya membuat Rose maupun Eric menurunkan tangan mereka. Dan betapa Rose ingin segera melarikan diri begitu ia melihat sosok yang sedang mengeluarkan seringai lebar berdiri tepat di hadapannya. Lalu disusul dua wanita setengah berlari di belakangnya. Tuan Rogh menatap dirinya dengan penuh kuasa, sedangkan Nyonya Mira dan juga Mirabel saling melemparkan senyum kemenangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Ernadina 86
ayah yg B*go
2022-11-21
0
Gia Gigin
Dasar dua siluman ular 😠
2021-04-21
0
0316 Toiyibah,S,Pd.
lariiii Rose
2021-03-10
0